• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pembibitan Kelapa Sawit

PELAKSANAAN PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Pembibitan Kelapa Sawit

Pembibitan adalah kegiatan untuk mempersiapkan bahan tanam meliputi media, pemeliharaan, seleksi bibit hingga siap untuk ditanam yang dilaksakan dalam satu tahap atau lebih. Pembibitan kelapa sawit merupakan hal yang sangat penting untuk menghasilkan produksi kelapa sawit dalam jangka panjang. Pertumbuhan awal bibit menentukan keberhasilan tanaman dan adaptasi pindah tanam bibit dari pembibitan awal ke pembibitan utama (BBPPTP, 2013).

Kecambah yang ditanam harus dipelihara dengan baik agar mencapai standar pertumbuhan bibit normal dan berkualitas. Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah ketersediaan air, ketersediaan unsur

hara yang dapat diserap oleh tanaman, mineral tanah, jenis tanah yang digunakan, iklim pada lingkungan sekitar, intensitas cahaya matahari. Jika salah satu faktor tersebut tidak sesuai dan tidak tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan oleh tanaman maka pertumbuhan tanaman akan terhambat

(Salisbury dan Ross, 1995).

Pembibitan kelapa sawit pada tahap awal menhendaki keadaan media yang baik dan mampu menunjang pertumbuhan optimal. Penggunaan media yang dipih juga menyangkut volume ataupun bobot tanah yang digunakan pada pembibitan.

Bobot tanah dalam keberlanjutan media pembibitan juga akan mempengaruhi kepadatan tanah. Berdasarkan penelitian Haridjaja, 2010 menyatakan bahwa semakin padat suatu tanah secara berkelanjutan akan menghambat pertumbuhan tanaman karena akar dipaksa bekerja menembus tanah dengan partikel–partikel padatan yang rapat, mengurangi aerasi tanah dan mengurangi ketersediaan air bagi tanaman. Selain itu Ningsih, 2007 dalam hasil

penelitiannya menyatakan bahwa makin tinggi tingkat kepadatan tanah maka semakin berkurang persentase pori makro dan resistensi terhadap penetrasi akar akan meningkat.

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) merupakan asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberi manfaat yang baik bagi tanah dan tanaman inang sebagai tempat jamur tumbuh dan berkembang biak. Fungi Mikoriza Arbuskular adalah fungi yang secara alamiah bersimbiosis dengan tanaman kelapa sawit bersifat obligat (Rungkat, 2009).

Secara alami jamur ini mengkolonisasi kelapa sawit namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi FMA terseleksi menyebabkan peningkatan efesiensi pemupukan P. Prinsip kerja FMA ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa eksternal secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu

meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara dan kebutuhan air (Iskandar, 2002).

Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Namun ada juga yang membedakan menjadi 3 kelompok dengan menambahkan jenis ketiga yaitu peralihan dari 2 bentuk tersebut yang disebut ektoendomikoriza. Pola asosiasi antara cendawan dengan akar tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza dengan endomikoriza. Pada ektomikoriza, jaringan hifa cendawan tidak sampai masuk kedalam sel tetapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk jaringan hifa dan mantel dipermukaan akar. Sedangkan endomikoriza, jaringan hifa cendawan masuk ke dalam sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas membentuk oval yang disebut vesikula dan simtem percabangan hifa yang disebut arbuskula (Rao, 1998).

Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskular dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik yakni konsentrasi hara yang terdapat pada media, pH tanah, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk

maupun pestisida yang digunakan dan faktor biotik meliputi interaksi mikrobial, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanamn inang dan kompetisi

lingkungan yang tidak bersahabat, FMA ini dapat membantu logistik tanaman dan perlindungan akar tanaman dari gangguan lingkungan, sehingga tanaman dapat hidup lebih baik di lapangan (Schulzt et al., 2005).

Menurut Pang dan Cheng (1998) akar yang ber Fungi Mikoriza Arbuskular selain aktif menyerap unsur hara seperti N, P, K, Mg, Mn dan Zn, hifa eksternal membantu penyerapan air. Penyerapan air sangat berguna dalam proses fotosintesis, dimana air merupakan salah satu bahan baku fotosintesis (Samah et al., 2001).

Menurut Puryono (1998) secara umum peranan mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut :

1. Adanya mikoriza sangat penting bagi persediaan unsur hara dan pertumbuhan tanaman. simbiosis mikoriza pada akar tanaman akan mengatasi kekurangan unsur hara terutama Phospor (P) yang tersedia dalam tanah. Hal ini disebabkan mikoriza mampu melepaskan ikatan Aluminium fospat (AlPO4) dan Besi fospat (FePO4) pada tanah-tanah yang asam.

2. Mikoriza dapat meningkatkan unsur hara dengan jalan memperkecil jarak antara akar dengan unsur hara tersebut. Hal ini terjadi melalui pembentukan hifa pada pemukaan akar yang befungsi sebagai perpanjangan akar.

3. Dengan perluasan hifanya, mikoriza akan meningkatkan daya serap dari elemen-elemen yang imobil dalam tanah, misalnya : P, Cu, Zn.

4. Mikoriza dapat membantu memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat struktur agregat tanah.

5. Mikoriza dapat membantu memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama di daerah yang kondisinya sangat miskin hara, pH rendah, dan kekurangan air.

Menurut penelitian Novriani (2010) di dapatkan bahwa aplikasi mikoriza 10 g / bibit kelapa sawit nyata meningkatkan persen kolonisasi mikoriza, serapan

hara N, serapan hara P, berat kering tajuk, berat kering akar pada bibit kelapa sawit dibandingkan tanpa mikoriza dan menurut penelitian Harahap (2014) telah di dapat bahwa pemberian FMA 10 g / polibek pada pembibitan kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap parameter derajat infeksi akar, volume akar dan bobot kering tajuk.

Azotobacter chroococcum

Penambatan nitrogen merupakan proses yang menyebabkan nitrogen bebas digabungkan secara kimia dengan unsur lain (Wedhastri, 2002). Jumlah nitrogen di atmosfer lebih dari 80%, bahkan dengan satuan luas satu acre (0,46 ha)

diperkirakan tanah mengandung kurang lebih 30.000 ton nitrogen bebas (Jeneng, 1998). Dengan banyaknya jumlah nitrogen seperti tidak ada tumbuhan

pengaruh terhadap sifat fisik dan kimia tanah dalam meningkatkan kesuburan tanah (Supriyadi, 2009). Azotobacter spp. memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda-beda. Bentuk sel Azotobacter biasanya berbentuk batang pendek, batang, dan oval serta bentuk yang lain yang bermacam-macam. Dengan bentuk sel yang bermacam-macam seperti ini, bakteri Azotobacter dikenal sebagai dengan bentuk sel pleomorfik. Menurut (Hans, 1994) ada beberapa jenis bakteri Azotobacter penting, diantaranya A.Chroococcum, A.agilis, A.paspali dan A.vinelandi. Untuk dapat menemukannya bakteri Azotobacter ini dapat kita temukan pada tempat dengan jenis tanah yang netral sampai dengan tanah yang basa, air dan beberapa tanaman (Kader, 2002).

Kemampuan Azotobacter chroococcum dalam menambat nitrogen, bakteri ini dikenal sebagai agen penambat nitrogen yang mengkonversi dinitrogen (N2) ke dalam bentuk (NH3) melalui reduksi elektron dan protonisasi gas dinitrogen. Dan dalam kemampuannya menambat nitrogen bakteri Azotobacter termasuk

bakteri yang dapat menambat nitrogen dalam jumlah yang cukup tinggi. Menurut (Hans, 1995) bakteri Azotobacter mampu menambat kurang lebih 20 mg nitrogen/g gula. Ketika menambat nitrogen terdapat enzim yang

bertanggung jawab yaitu nitrogenase. Bakteri Azotobacter memiliki struktur nitrogenase yang unik, karena pada Azotobacter memiliki struktur nitrogenase yang terdiri dari 3 kompleks protein, yaitu nitrogenase I (Molybdenum nitrogenase), nitrogenase II (Vanidium nitrogenase), dan nitrogenase III (Ferrum nitrogenase) (Tjahjadi, 2007). Pada umumnya bakteri itu memiliki struktur

nitrogenase yang terdiri 2 kompleks protein. Maka dari itu Azotobacter dikatakan unik pada struktur nitrogenasenya. Faktor-faktor yang mempengaruhi bakteri Azotobacter dalam penambatan nitrogen adalah faktor lingkungan, terutama ciri kimia dan fisika habitatnya. Faktor-faktor tersebut meliputi ketersediaan senyawa nitrogen, kesediaan nutrien anorganik, pH, dan suhu (Nasahi, 2010).

Azotobacter chroococcum selain dalam menambat nitrogen, bakteri ini juga menghasilkan sejenis hormon yang kurang lebih sama dengan hormon pertumbuhan tanaman dan menghambat pertumbuhan jenis jamur tertentu. Bakteri ini dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui pasokan nitrogen udara, pasokan pengatur tumbuh, mengurangi kompetisi dengan mikroba lain dalam menambat nitrogen, atau membuat kondisi tanah lebih menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman (Rahmawati, 2005).

Azotobacter spp. memiliki kelebihan dibandingkan dengan bakteri penambat N atmosfer nonsimbiotik lainnya, karena mampu mensintesis hormon seperti IAA. Sintesis IAA pada bakteri melalui jalur asam indol piruvat. IAA yang disekresikan bakteri memacu pertumbuhan akar secara langsung dengan menstimulasi pemanjangan atau pembelahan sel atau secara tidak langsung mempengaruhi aktivitas ACC deaminase. ACC deaminase yang dihasilkan oleh banyak bakteri pemacu pertumbuhan tanaman mencegah produksi etilen pada

mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan serapan karbon (carbon sequestration) sehingga karbon berada dalam bentuk yang lebih stabil

(Murdiyarso, 2003).

Pseudomonas fluorescens

Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran sel 0.5 – 1.0 x 1.5 – 5.0 μm, motil dengan satu atau lebih flagella,

tergolong dalam bakteri gram negatif, memiliki habitat didalam tanah, air, tanaman. Bakteri ini hidup aerob, tidak membentuk spora dan katalase positif, menggunakan H2 atau karbon sebagai sumber energinya. Bakteri ini menghasilkan pigmen fluorescent yang larut didalam air. Bakteri ini memiliki kemampuan melindungi akar tanaman dari infeksi patogen penyebab penyakit dengan cara

mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti anti jamur dan antibiotik serta kompetisi dalam penyerapan kation Fe (Patten dan Glick, 2002).

Pseudomonas fluorescens mampu meningkatkan kelarutan hara P didalam tanah dan termasuk dalam golongan bakteri pelarut fosfat. Bakteri pelarut fosfat merupakan kelompok mikroorganisme tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia. Bakteri pelarut fosfat bersifat menguntungkan karena mengeluarkan berbagai macam asam organik seperti asam formiat, asetat, propionat, laktat, glikolat, fumarat, dan suksinat. Asam-asam organik ini dapat membentuk khelat (kompleks stabil) dengan kation Al, Fe atau Ca yang mengikat P, sehingga ion

H2P04 menjadi bebas dari ikatannya dan hara P menjadi tersedia bagi tanaman untuk diserap (Dewi, 2007).

Mekanisme mikroorganisme dalam melarutkan P tanah yang terikat dan P yang berasal dari alam diduga karena asam-asam organik yang dihasilkan akan bereaksi dengan AlPO4, FePO4, dan Ca(PO4), dari reaksi tersebut terbentuk khelat organik dari Al, Fe, dan Ca sehingga P terbebaskan dan larut serta tersedia untuk tanaman (Subba rao, 1982b; Illmer et al., 1995). Menurut Illmer dan Schinner (1995) jenis bakteri Pseudomonas spp lebih efektif dalam melarutkan hara P. Menurut Rodriquezz dan Fraga (1999) dari beberapa strain bakteri, ternyata genus Pseudomonas mempunyai kemampuan yang tinggi dalam melarutkan fosfat.

Kecepatan pelarutan P dari mineral P oleh asam organik ditentukan oleh kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah, waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral, tingkat dissosiasi asam organik, tipe dan letak gugus fungsi asam organik, affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan kadar asam organik dalam larutan tanah (Dubey, 1997).

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan hara P tetapi juga disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh bagi tanaman, terutama oleh mikroba yang hidup dalam permukaan akar

sebagai agen biokontrol untuk digunakan secara komersial di rumah kaca maupun di lapangan (Arshad dan Frankenberger, 1993). Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylplorogucinol, suatu metabolit sekunder yang dapat menghalangi dumping-off Phytium ultium (frenton et al., 1992). Bakteri Pseudomonas fluorescens ini juga dapat mengontrol perkembangan jamur Sclerotium roefsii pada tanaman kacang kacangan (Dewi, 2007).

Volume Media Tanam

Metabolisme pertumbuhan tanaman berawal dari pembentukan akar dan pembentukan tunas hingga terbentuk daun yang selanjutnya berfotosintesis dan terus tumbuh. Pada pembibitan kelapa sawit sistem perakaran yang baik akan menopang pertumbuhan bibit yang baik. Volume rooting memegang peranan penting dalam biokontrol pertumbuhan tanaman. (Poorter, et al., 2012) sistem perakaran dalam volume rooting mempengaruhi mekanisme fotosintesis, morfologi dan fisiologi akar, biomassa tanaman, efektifivitas mikroorganisme.

Volume media tanam yang digunakan memberi pengaruh arah pertumbuhan akar dan mekanisme akar dalam penyerapan hara. Volume media tanam berpengaruh pada bobot biomassa tanaman diasumsikan karena keterbatasan media dapat menurunkan pembentukan tajuk tanaman, laju fotosintesis pada tanaman menurun menyebabkan pasokan nitrogen dan fosfor berkurang, ketersedian air, hara dan stres pada tanaman. Penggunaan volume media tanam tidak berlaku sama pada seluruh tanaman. Dilaporkan presentasi

kenaikan biomassa tanaman menghasilkan rata – rata meningkat 43% dalam massa untuk setiap peningkatan ukuran volume media tanam (Poorter et al, 2012).

Mekanisme penyerapan unsur hara oleh akar dapat dilakukan dengan tiga cara yakni intersepsi akar, pergerakan massa dan difusi. Intersepsi akar pada akhirnya akan dipengaruhi oleh bobot tanah yang tersedia, pada bobot yang lebih kecil akar menggenggam tanah dengan teguh mengakibatkan tingkat kepadatan tanah semakin tinggi. (Suyitno, 2006).

Bedasarkan publikasi dengan faktor pot dan volume media tanam menunjukkan volume media tanam yang digunakan mempengaruhi pertumbuhan tanaman baik pembibitan maupun tanaman menghasilkan. Pada pembibitan kelapa sawit volume media tanam berpengaruh pada nilai ekonomi kebutuhan media pembibitan dan biaya transportasi bibit. Bar Yosef (1988) menyatakan bahwa volume media mendapat perhatian khusus di bidang kehutanan dan hortikultura, dimana perusahaan komersial banyak menggunakan volume kecil dalam meghasilkan pembibitan.

Aplikasi mikroorganisme pada media tanam dalam menunjukkan efektivitasnya dipengaruhi juga oleh volume media tanam yang digunakan. Koide (1991) menyatakan bahwa tingkat infeksi fungi mikoriza arbuskula biasanya meningkat pertumbuhan dan koloninya pada ketersedian nutrisi

Komoditas perkebunan merupakan andalan bagi pendapatan nasional dan devisa negara Indonesia, pada tahun 2013 total ekspor perkebunan mencapai US$ 29.476 milyar atau setara dengan Rp. 383.188 triliun (asumsi 1 US$ = Rp.13.000). Kontribusi sub sektor perkebunan terhadap

perekonomian nasional diharapkan dapat memperkokoh pembangunan perkebunan secara merata. Salah satu tanaman yang mempunyai peranan bagi sub sektor perkebunan adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit masuk dalam strategi perekonomian nasional dan fokus kebijakan pemerintah dalam konstribusi besar dalam perekonomian Indonesia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).

Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) pertanian tahun 2014 menunjukkan dalam 30 tahun terakhir sektor kelapa sawit Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan ini meliputi tiga aspek yakni luas total lahan yang digunakan, total produksi CPO ( Crude Palm Oil ) maupun tingkat produktivitas.

Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2015 adalah 11.444.408 ha dengan produksi 30.984.931 ton CPO meningkat 1.67% dari produksi di tahun 2014. Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan industri sawit setiap tahunnya, luas areal perkebunan sawit di Sumatera Utara tahun 2014 adalah 1.392.532 ha meningkat menjadi 1.444.687 ha pada tahun 2015 dengan produksi pada tahun 2014 adalah 4.753.488 ton CPO meningkat menjadi 4.959.128 ton CPO pada tahun 2015 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).

Perluasan areal kelapa sawit yang pesat memerlukan teknologi pembibitan yang efektif dengan kualitas yang baik namun ramah lingkungan. Pertumbuhan

awal bibit akan menentukan keberhasilan tanaman dan memegang peranan penting untuk menunjang intensifikasi dan produktivitas. Tantangan dan masalah yang dihadapi pelaku kelapa sawit baik smallholder maupun perusahaan berasal dari penyakit dan iklim. Beberapa perusahaan besar hingga saat ini masih aktif mengembangkan riset untuk mendapatkan benih dan bibit sawit tahan penyakit serta mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.

Perusahaan penyedia benih dan dan bibit kelapa sawit dunia, saat ini memproduksi produk perlindungan tanaman berbasis pupuk hayati dengan bahan aktif beberapa jenis mikroorganisme seperti mikoriza, bakteri panambat nitrogen dan bakteri pelarut fosfat. Pupuk hayati mengandung mikroorganisme hidup yang secara lansung dapat memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah serta tanaman. Pupuk hayati dapat dijadikan alternatif perlindungan tanaman dan penyedia hara masa depan demi terciptanya standar budidaya yang diusung oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berimbas pada pengurangan penggunaan pestisida, serangan penyakit, dan kemampuan adaptasi pada tanaman kelapa sawit.

FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) merupakan jamur yang mampu bersimbiosis pada akar tanaman dengan membentuk hifa eksternal yang berperan dalam membantu meningkatkan daya absorbsi hara, air dan dan agregasi tanah.

Azotobacter spp. mampu menghasilkan zat pengatur tumbuh pada tanaman dan biokontrol pada perkembangan serta kesehatan akar tanaman (Hasibuan, 2012).

Bakteri pelarut fosfat (BPF) bersifat menguntungkan karena mampu mengeluarkan berbagai macam asam organik. Asam - asam organik ini akan membentuk khelat dengan kation Al, Fe atau Ca yang mengikat P, sehingga ion H2Po4- menjadi bebas dari ikatannya dan tersedia bagi tanaman. Menurut Rodriquezz dan Fraga 1999 Pseudomonas spp. merupakan strain bakteri yang mempunyai kemampuan tinggi dalam melarutkan fosfat (Dewi, 2007).

Selain ketersediann hara, bibit yang berkualitas merupakan tahapan pertama dalam pengelolaan tanaman yang dibudidayakan. Upaya lain untuk mendapatkan bibit yang baik adalah dengan pemilihan media tanam berupa volume tanah yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan bibit. Untuk mengahsilkan bibit yang baik tetapi penggunaan tanah lebih efesien dapat dilakukan dengan mengurangi volume media yang diisikan kedalam polibek pembibitan. Selain efesien, upaya ini dapat memangkas nilai ekomomis kebutuhan tanah sebagai media pembibitan.

Volume media tanam yang digunakan juga menjadi faktor keberhasilan pindah tanam bibit kelapa sawit dari pembibitan awal ke pembibitan utama hingga siap untuk ditanam ke lapangan. Pembentukan dan pertumbuhan akar dalam menyerap air dan mengabsorsi hara erat hubungannya dengan luas areal resapan air dan sediaan sumber daya hara pada media tanam. Berdasakan pernyataan Poorter, et al., 2012 sistem perakaran dalam volume rooting mempengaruhi

mekanisme fotosintesis pada tanaman, morfologi dan fisiologi akar, biomassa tanaman, efektifivitas mikroorganisme didalam tanah. Berdasarkan pemaparan dan latar belakang diatas penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Dengan Pupuk Hayati Pada Perbedaan Volume Media Tanam”.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pertumbuhan bibit

kelapa sawit dengan pemberian pupuk hayati pada perbedaan volume media tanam.

Hipotesa Penelitian

Terdapat peningkatan pertumbuhan bibit kelapa sawit akibat pemberian pupuk hayati dan volume media tanam yang berbeda serta interaksi dari kedua faktor tersebut.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini juga diharapkan berguna untuk pihak yang berkepentingan didalam pembibitan kelapa sawit dan sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.

Hayati Pada Perbedaan Volume Media Tanam. Dibimbing oleh CHAIRANI HANUM dan JONIS GINTING .

Perluasan perkebunan kelapa sawit yang pesat berbanding lurus dengan kuantitas kebutuhan bibit yang baik namun tetap ramah lingkungan. Pertumbuhan awal bibit memegang peranan penting dalam menunjang intensifikasi dan produktivitas. Tantangan dan masalah yang dihadapi para pelaku sawit baik smallholder dan perusahaan adalah penyakit dan iklim. Penggunaan pupuk hayati diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman, demi terciptanya standar budidaya yang diusung oleh RSPO (Roundtable on Suistainable Palm Oil). Volume media tanam yang digunakan

juga menjadi faktor keberhasilan pindah tanam bibit hingga siap ditanam ke lapangan. Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara dengan ketinggian tempat ± 32 meter dpl dari bulan Mei sampai September 2016, menggunakan Rancangan Acak Kelompok

dengan 2 Faktor perlakuan. Faktor pertama adalah pupuk hayati dengan

3 jenis yaitu tanpa pupuk hayati (H0); FMA + Azotobacter crooccum (H1); FMA + Pseudomonas flourescens (H2) dan faktor kedua yaitu perbedaan volume

media tanam dengan 4 taraf yaitu 0.5 kg/polibek (V1); 1 kg/polibek (V2); 1.5 kg/polibek (V3); 2 kg/polibek (V4). Parameter yang diamati adalah tinggi

bibit, lilit batang, jumlah daun, total luas daun, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk, dan derajat infeksi akar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pupuk hayati berpengaruh

nyata terhadap semua parameter tinggi bibit, lilit batang, jumlah daun, total luas daun, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, bobot

kering tajuk, dan derajat infeksi akar. Interaksi antara perlakuan pupuk hayati dengan perbedaan volume media tanam berpengaruh nyata terhadap lilit batang 14-18 MST, total luas daun, bobot kering akar, dan derajat infeksi akar.

Kata Kunci : pupuk hayati, volume media tanam, kelapa sawit

ABSTRACT

EKA SETYA WULANDARI: The Growth of Oil Palm Seedlings of Biofertizer on the

Difference of Planting Media Volume . Supervised by CHAIRANI HANUM and

JONIS GINTING.

The expansion of oil palm plantation was equal with the quantity of good seedling need yet it is enviromentally friendly.The early growth held vital role in encouraging intensification and productivity. The challenge and problem that faced by oil palm offender either smallholders and company were disease and climate. The use of biofertilizer is expected to repairing and increase soil and plant fertility in order to create the standart cultivation which carried by RSPO (Roundtable on Suistanable Palm Oil). The volume of planting media which was used also became the factor of success seedling planting switch until it was ready to be planted on the field. This research was conducted in Agriculture Faculty, Sumatera Utara University with altitude ± 32 meters above sea surface began from Mei to September 2016. This research used factorial randomized block design with two factors. The first factor was biofertilizer is without biofertiliizer

(H0);FMA + Azotobacter crooccum (H1); FMA + Pseudomonas flourescens (H2) and the second factor was difference of planting media volume with four degree is 0.5 kg/polybag (V1); 1 kg/polybag (V2);1.5 kg/polybag (V3); 2 kg/polybag (V4). Parameter observed was seddling’s height; steem’s girth;

number of leaf; total leaf area; wet root weight; wet shoot weight; dry root weight; dry shoot weight and degree root infection.

The result of this research showed that biofertilizer were significantly

Dokumen terkait