• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pegagan

Pegagan (Centella asiatika) termasuk salah satu tumbuhan yang paling banyak dipakai sebagai bahan ramuan obat tradisional. Cantella asiatika berasal dari daerah Asia tropik dan tumbuh bear di berbagai Negara seperti Filipina, Cina, India, Sri Langka, Madagaskar, Afrika, dan Indonesia. Di Indonesia tumbuhan ini dikenal dengan berbagai macam nama sesuai dengan daerah tempat tumbuhnya. Di Jakarta misalnya tumbuhan ini disebut pegagan, di Sunda antanan, di Sumatra daun kaki kuda, di Madura tikusan, di Jawa gagan-gagan dan di Bali piduh (Santa dan Prajogo 1992). Gambar 1 menunjukkan gambar tanaman pegagan.

Gambar 1 Tanaman Pegagan

Pegagan termasuk tanaman tahunan daerah tropis yang berbunga sepanjang tahun. Tanaman ini tumbuh menjalar di atas permukaan tanah. Bentuk daunnya seperti ginjal, bertangkai panjang dan tepinya bergerigi. Pegagan menyukai tanah yang lembab dan cukup sinar matahari atau tempat teduh (Sa’adah 2007). Menurut Januwati dan Yusron (2005), pegagan tumbuh dengan baik yang ditandai dengan daunnya yang besar dan tebal karena ditanam pada tempat yang intensitas cahayanya 30-40%.

Sa’adah (2007) menyatakan bahwa pegagan banyak ditemukan tumbuh liar di tepi kebun, padang rumput, tepi sawah atau di pekarangan rumah, sedangkan menurut Winarto dan Surbakti (2005), pegagan tumbuh di daerah dengan ketinggian lebih dari 500 m dpl dengan kelembapan udara yang diinginkan 70-90%, memiliki temperatur udara antara 20-250C dan tingkat keasaman tanah netral (pH) antara 6-7.

Mutu hasil panen pegagan dapat ditentukan berdasarkan derajat kematangan pada waktu pemanenan. Pemanenan pegagan dapat dilakukan setelah pegagan berumur 3-4 bulan dengan cara memangkas bagian batang daun dan batang daunnya (Dalimartha 1999).

Kandungan Gizi Pegagan

Pegagan mengandung berbagai zat kimia yang bermanfaat bagi manusia. Berbagai kandungan kimia yang sudah diketahui antara lain asiaticoside, thankuside, isothankuside, madecassiside, brahmaside, brahmic acid, modasiatic acid, meso-inosetol, centellose, carotenoids, garam K, Na, Ca, Fe, vellarine, tannin, mucilage, resin, pectin, gula, protein, fosfor, dan vitamin B. Pegagan juga mengandung sedikit vitamin C dan sedikit minyak atsiri (Winarto & Surbakti 2005). Tabel 1 menunjukkan kandungan gizi yang terdapat dalam 100 gram pegagan.

Tabel 1 Kandungan zat gizi pegagan dalam 100 gram

Zat gizi Jumlah

Proksimat (per 100 g berat segar):

Energi (Kal) 34 Kadar air (g) 89,3 Protein (g) 1,6 Lemak (g) 0,6 Serat (g) 2,0 Kadar abu (g) 1,6 Karbohidrat (g) 6,9 Sumber: Pramono (1992)

Menurut Mahendra dan Rachmawati (2007), pegagan memiliki fungsi sebagai anti infeksi, anti racun, penurun panas, peluruh air seni (diuretikum), antilepra, antisifilis, dan sekaligus merevitalisasi sel kulit. Winarto dan Surbakti (2005) menambahkan bahwa pegagan dapat digunakan sebagai brain tonic atau obat antilupa bagi orang dewasa dan manula (manusia usia lanjut). Hal ini sesuai dengan penelitian Annisa (2006) bahwa ekstrak daun pegagan dapat meningkatkan fungsi kognitif pada hewan coba. Meskipun demikian, dalam hal ini pegagan hanya berfungsi sebagai penunjang. Tubuh tetap perlu mengonsumsi makanan yang sehat dan sempurna untuk menjaga stamina tubuh dan membentuk jaringan otak agar tetap pintar.

Mikroenkapsulasi

Yoshizawa (2002) dalam Wawensyah (2006) menyatakan bahwa mikroenkapsulasi adalah tekhnik yang digunakan untuk membungkus suatu senyawa dengan menggunakan bahan penyalut dengan ukuran yang sangat kecil dengan diameter rata-rata 15-20 mikron atau kurang dari setengah diameter rambut manusia. Menurut Rosenberg et al. (1990) mikroenkapsulasi adalah proses penyalutan atau pembungkusan suatu bahan baik itu padatan atau cair dengan menggunakan suatu bahan pengkapsul khusus yang membuat partikel- partikel inti mempunyai sifat kimia dan fisika seperti yang dikehendaki. Bahan yang disalut tersebut umunya disebut sebagai bahan-bahan inti atau bahan aktif, sedangkan struktur yang menyelimuti bahan inti disebut dinding yang berguna melindungi inti dari kerusakan dan pelepasan inti dari penyalut (Young et al. 1993).

King (1995) menyatakan bahwa apabila ukuran partikel >5000 µm disebut makrokapsul, untuk ukuran partikel antara 0,2 sampai 5000 µm disebut mikrokapsul, sedangkan bila ukuran partikel <0,2 µm disebut nanokapsul. Struktur dan ukuran mikrokapsul yang dihasilkan tergantung kepada teknik pembuatannya, jenis bahan inti dan polimer (bahan penyalut) yang digunakan (Jackson & Lee 1991).

Kegunaan dari menggunakan teknik ini antara lain untuk mengendalikan pelepasan senyawa, membuat senyawa aktif menjadi lebih mudah dan aman untuk digunakan, melindungi senyawa yang peka terhadap lingkungan dan mengubah senyawa dari cair menjadi padat (Yoshizawa 2002 dalam Wawensyah 2006). Menurut Koswara (1995) keuntungan yang dapat diperoleh dengan proses mikroenkapsulasi ini antara lain adalah mudah dalam pengolahan lanjutan, mudah digunakan dalam pencampuran produk, bebas dari mikroba dan serangga, berkadar air rendah, flavor terlindungi dari perubahan destruktif (penguapan) dalam masa penyimpanan yang lama, serta dapat menghasilkan produk dengan kualitas flavor yang distandarisasi. Mikroenkapsulasi dilakukan diantaranya untuk melindungi inti dari degradasi dengan mengurangi reaksi inti dengan lingkungan luar, mengurangi laju evaporasi atau laju transfer inti ke lingkungan luar serta karakteristik bahan asal dapat dimodifikasi dan menjadi bahan yang mudah ditangani.

Mikroenkapsulasi biasa digunakan pada berbagai aplikasi, umumnya dalam menspray makanan. Risch (1995) menyatakan bahwa mikroenkapsulasi

banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipid, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, pewarna dan garam.

Bakan (1973) dalam Desmawarni (2007) menyatakan bahwa keberhasilan suatu mikroenkapsulasi dari sifat mikrokapsul yang dihasilkan dipengaruhi oleh parameter penting, yakni:

a) Bahan inti yang disalut, yaitu berwujud padat atau cair b) Bahan pengkapsul yang digunakan

c) Prinsip proses mikroenkapsulasi yang digunakan (fisika atau kimia) d) Tahapan proses mikroenkapsulasi

e) Struktur dinding mikrokapsul.

Tahapan mikroenkapsulasi secara umum melalui tiga tahap (Bakan 1973 diacu dalam Desmawarni 2007), yaitu:

a) Bentuk tiga fase kimia yang belum dicampur, yaitu fase pembawa (air), fase material inti yang akan dilapisi dan fase pengkapsul.

b) Penempelan bahan pengkapsul pada permukaan bahan inti. Umumnya tahapan ini terjadi karena bahan pengkapsul diadsorbsikan diantara permukaan yang berbentuk yaitu materi inti dan bahan cair.

c) Pemadatan pelapis untuk membentuk mikroenkapsul yang biasanya terjadi akibat adanya panas.

Metode-metode mikroenkapsulasi yang sudah dievaluasi dan dikomersilkan untuk penggunaan pada bahan makanan yaitu metode spray drying, penyalutan dengan suspense udara, extrusion, dan spray cooling/spray chilling (Dzizeak 1988).

Sejumlah metode dilakukan untuk proses mikroenkapsulasi. Beberapa teknik enkapsulasi yang telah dilakukan yaitu koaservasi, kokristalisasi, spray dring, fluid bed drying, ekstrusi dan inklusi molekuler. Spray drying merupakan metode yang paling umum digunakan karena teknik ini ekonomis, fleksibel, peralatan mudah tersedia dan menghasilkan produk berkualitas tinggi (Madene et al. 2006).

Mikroenkapsulasi dengan metode spray drying terdiri dari tiga tahap yaitu, persiapan bahan emulsi, homogenisasi, dan penyemprotan emulsi ke dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan) (Dziezak 1988).

Suhu udara inlet berhubungan erat dengan kecepatan pengeringan dan kemampuan untuk mengeringkan produk dan memperoleh struktur granula

dengan kandungan air yang cocok untuk stabilitas produk mikrokapsul. Ketika suhu udara inlet rendah, kemampuan evaporasi tidak cukup untuk membentuk membran kapsul yang baik. Produk yang dihasilkan memiliki kandungan air yang tinggi dan memiliki fluiditas rendah sehingga mudah lengket. Sebaliknya, ketika suhu inlet tinggi, evaporasi yang tinggi dapat menyebabkan keretakkan dalam membran maupun kehilangan komponen flavour melalui penguapan dan terdekomposisinya komponen sensitif panas dan suhu inlet tinggi (Liu et al. 2001).

Suhu udara outlet memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar air produk dan struktur mikrokapsul. Suhu udara inlet dan outlet harus dikontrol. Suhu udara outlet tinggi akan membentuk suatu kesatuan dan struktur dinding yang padat serta meningkatkan pengaruh pengeringan. Apabila suhu udara outlet terlalu tinggi, produk akan retak karena overheating (Liu et al. 2001). Scanning Electron Microscope

Scanning Electron Microscope (SEM) bekerja berdasarkan prinsip scan sinar electron pada permukaan sampel, selanjutnya informasi yang diperoleh diubah menjadi gambar. Cara terbentuknya gambar SEM dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut discan dengan sinar electron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi, kemudian sinyalnya diperkuat, bersar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap terang pada layar monitor CTR (cathode ray tube) (Utami 2007). SEM dapat digunakan untuk melihat mikrostruktur pada mikrokapsul. Hal hal yang diperhatikan pada mikrostrustur mikrokapsul adalah ada tidaknya keretakan, bentuk serta ukuran dari mikrokapsul tersebut.

Pangan Fungsional

Pangan fungsional menurut American Dietetic association (1999) adalah pangan yang tidak hanya pangan alamiah tetapi juga pangan yang telah difortifikasi/diperkaya dan memberikan efek potensial bermanfaat untuk kesehatan jika dikonsumsi sebagai bagian dari menu pangan yang bervariasi secara teratur pada dosis yang efektif. Hartoyo (2003) menyatakan bahwa pada prinsipnya, makanan fungsional merupakan makanan yang dirancang secara khusus dengan memanfaatkan senyawa bioaktif tertentu yang mempunyai peran dalam mencegah penyakit tertentu.

Hartoyo (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional yaitu: (1) harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet atau bubuk) yang berasal dari bahan alami mengandung senyawa bioaktif tertentu, (2) dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari, (3) mempunyai fungsi tertentu setelah dikonsumsi.

Roti Bagelen

Roti adalah produk yang diperoleh dari adonan tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan dipanggang dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01- 3840-1995). Produk roti merupakan makanan yang dihasilkan dari proses pengadonan, fermentasi, dan pemanggangan dari tepung terigu yang ditambah air, yeast, gula, garam, dan mentega atau shortening (Matz 1972 dalam Hidayanti 2003).

Menurut Ahza (1983) dalam Hidayanti (2003), secara garis besar proses pembuatan roti meliputi proses pencampuran (mixing), pengadonan (kneading), fermentasi, pencetakan (rounding), dan pemanggangan (roasting). Menurut Charley (1982), tahap pencampuran dan pengadonan, adonan akan menjadi kuat dan elastic karena adanya penekanan-penekanan pada adonan. Waktu pencampuran bervariasi dengan jenis tepung, suhu adonan, konsistensi adonan dan alat pencampur. Kelebihan waktu pencampuran dapat mengakibatkan berkurangnya elastisitas dan ekstensibilitas adonan (Pomeranz & Shellenberger 1971).

Roti bagelen adalah produk olahan roti yang berupa roti kering yang banyak disukai. Roti bagelen didapatkan dengan cara memanggang kembali roti yang sudah jadi sehingga tercipta roti yang kering seperti yang diinginkan.

Bahan Pembuat Roti

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yang diperlukan terdiri dari tepung terigu, air, ragi roti (yeast), dan garam. Bahan tambahan yang digunakan antara lain gula, susu skim, shortening, kuning telur, dan bread improver.

a. Tepung Terigu

Tepung merupakan bahan dasar yang paling penting dalam pembuatan roti. Tepung yang biasanya digunakan untuk membuat roti adalah jenis tepung gandum kuat yang memiliki kadar protein minimal 12% (Paran 2009). Fungsi

tepung terigu adalah membentuk jaringan dan kerangka roti karena adanya pembentukan gluten (Paran 2009).

b. Air

Air merupakan bahan yang berperan penting dalam pembuatan roti, antara lain gluten dengan adanya air. Banyaknya air yang digunakan akan menentukan mutu roti yang dihasilkan. Air juga berfungsi sebagai pelarut bahan seperti garam, gula, susu dan mineral sehingga bahan tersebut dapat terdispersi secara merata dalam adonan (Subarna 1992).

c. Ragi

Ragi roti atau yeast adalah mikroorganisme (Saccharomyces cerevisiae) yang memfermentasi adonan untuk menghasilkan gas karbondioksida yang dapat mengembangkan adonan.

Proses fermentasi yang tekendali akan menghasilkan roti dengan volume dan tekstur yang baik, serta cita rasa dan aroma yang lezat. Selain itu ragi roti juga berfungsi memperlunak gluten dengan asam yang dihasilkan (Paran 2009). d. Garam

Garam dalam pembuatan roti berperan menambah rasa gurih pada makanan. Garam dapat menghambat fermentasi, tetapi hal ini bisa diimbangi dengan penambahan ragi (Paran 2009). Garam juga berfungsi membangkitkan rasa bahan-bahan lainnya, mengontrol waktu fermentasi, menambah keliatan gluten (menguatkan gluten/mengenyalkan adonan), mengatur warna kulit roti agar tidak pucat, membantu mengahindari pertumbuhan bakteri-bakteri dalam adonan, menjadikan adonan roti tidak lengket, dan menjadikan roti tidak mudah 9emps setelah dipanggang.

e. Gula

Gula yang diberikan pada pembuatan roti merupakan makanan untuk yeast di dalam proses fermentasi selain nitrogen. Gula bersifat higroskopis (memiliki kemampuan untuk menahan air) sehingga dapat memperbaiki umur simpan dari roti. Gula memiliki berbagai macam fungsi dalam pembuatan roti yaitu sebagai sumber energi bagi ragi, member rasa manis, menambah nilai gizi, member warna kecokelatan, melembutkan gluten sehingga roti lebih empuk, menahan keempukan lebih lama, memperpanjang umur simpan, menambah keempukan roti, dan menyerap air (Chan 2008).

f. Lemak

Lemak merupakan bahan pelengkap dalam pembuatan roti. Lemak dalam pembuatan roti berfungsi sebagai pengempuk produk. Penggunaan lemak juga dapat menjaga kelembaban roti karena mampu menahan air, membantu menahan gas hasil fermentasi, memperbaiki remah roti dan teksturnya. Selain itu, penggunaan lemak juga dapat mempermudah pengirisan produk. Lemak yang dapat digunakan untuk membuat roti antara lain mentega, lemak hewani, minyak nabati yang telah mengalami proses hidrogenasi (margarin, mentega putih), campuran lemak hewan dan lemak nabati, minyak mentega dan minyak nabati (Muchtadi 1992).

g. Bread Improver

Bread improver merupakan campuran bahan yang dapat memodifikasi sifat gluten sehingga terjadi perubahan sifat adonan dan memperbaiki mutu roti. Selain itu, juga bisa mempercepat kematangan (maturating) adonan roti. Bahan ini sangat efektif pada konsentrasi rendah. Bread improver bisa digunakan dengan cara mencampurkannya bersama bahan pengisi. Bread improver bermanfaat untuk menguatkan jaringan gluten sehingga roti yang dihasilkan memiliki volume lebih besar, tekstur roti lebih halus dan putih, serta tetap empuk dalam waktu lebih lama (Chan 2008).

h. Susu

Susu yang digunakan dalam pembuatan roti dapat berupa susu bubuk dan atau susu cair. Penggunaan susu dalam pembuatan roti dapat meningkatkan nilai gizi produk. Susu juga berperan dalam memperbaiki rasa, warna kulit, dan remah roti, meningkatkan rendemen produk, masa simpan serta volume roti (Muchtadi 1992).

i. Telur

Penggunaan telur dalam pembuatan roti dapat meningkatkan volume, memperbaiki penampakan dan sebagai sumber lesitin (emulsifier). Telur yang digunakan dalam pembuatan roti harus baik dari citarasa dan aromanya (Muchtadi 1992).

Metode Conventional Straight Dough

Metode conventional straight dough adalah salah satu metode yang digunakan dalam pembuatan roti. Pada metode ini semua bahan dicampur menjadi satu, diadon kemudian difermentasi bersama-sama. Tahapan pengadukan adonan metode ini adalah sebagai berikut:

1) Semua bahan ditimbang dengan tepat sesuai formula

2) Semua bahan kering dicampur dalam alat pengaduk dengan kecepatan rendah

3) Air ditambahkan dan kecepatan pengadukan tetap rendah

4) Lemak ditambahkan dan pengadukan dilakukan pada kecepatan sedang. Menurut Muchtadi (1992) metode ini memberikan kelebihan sebagai berikut:

1) Waktu fermentasi relatif singkat 2) Lebih sedikit tenaga kerja

3) Volume produksi lebih banyak karena waktu fermentasi singkat 4) Lebih sedikit memerlukan tempat untuk fermentasi.

Adapula kelemahan pada metode ini adalah 1) Toleransi waktu lebih singkat

2) Sifat pengolahannya jelek

3) Sulit dilakukan koreksi jika terjadi kesalahan 4) Cita rasa roti yang dihasilkan kurang memuaskan

Lansia (Lanjut Usia)

Lanjut usia (lansia) menurut Depkes (2000) adalah individu yang berusia di atas 60 tahun. Departemen Kesehatan (1991) membuat pengelompokkan usia lanjut menjadi:

1. Kelompok pertengahan umur ialah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut, yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun).

2. Kelompok usia lanjut dini ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun).

3. Kelompok usia lanjut ialah kelompok dalam masa senium (65 tahun ke atas).

Batasan umur lansia berdasarkan kronologisnya menurut Bumside (1979) adalah sebagai berikut: (a) young-old (60-69 tahun), (b) middle age old (70-79 tahun), old-old (80-89 tahun), dan very old-old (lebih atau sama dengan 90 tahun.

Pada proses penuaan akan terjadi secara alamiah, pada proses ini akan terjadi penurunan sel-sel yang rusak, mati dan terbuang sehingga tubuh menjadi rentan atau peka terhadap penyakit (Nasoetion & Briawan 1993). Menurut Wirakusumah (2000) pada proses ini terjadi perubahan komposisi tubuh yang meliputi dua hal yaitu peningkatan dan penurunan fungsi organ. Peningkatan yang terjadi adalah peningkatan jumlah lemak, sedangkan penurunan penurunan

yang terjadi adalah kekuatan otot, jumlah total air tubuh, penciuman, perasa, produksi asam lambung dan enzim pencernaan, lapisan otot halus, fungsi hati, sistem kekebalan, kerja jantung, fungsi paru-paru, dan penurunan kemampuan otak.

Menurut Nugroho (1995), penyakit pada lansia di Indonesia meliputi penyakit-penyakit system pernapasan (TBC, Bronkitis, radang paru-paru), penyakit-penyakit kardiovaskuler dan pembuluh darah (jantung koroner, stroke), penyakit system urogenital (peradangan kandung kemih, peradangan ginjal), penyakit yang disebabkan karena proses keganasan (kanker), penyakit gangguan metabolic/endokrin (diabetes mellitus, gout), penyakit pada persendian dan tulang (osteoporosis), dan penyakit-penyakit lainnya (kepikunan).

Dokumen terkait