• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pariwisata secara harafiah adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan wisatawan. Hal ini membuktikan bahwa ini erat hubungannya dengan Antropologi, dimana kita dituntut untuk belajar mengetahui apa yang diinginkan orang – orang sebagai calon wisatawan sebagai dasar atau awal usaha pemenuhan kebutuhan yang benar – benar mereka inginkan. Hal ini diciptakan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, yaitu mendatangkan banyak pengunjung atau wisatawan karena mereka berhasil dipuaskan kebutuhannya (Sukadijo, 1996 : 2).

Ada berbagai pendapat dalam mengidentifikasikan kata pariwisata tersebut, namun hal yang paling penting adalah cara memandang pariwisata secara menyeluruh berdasarkan scape (cakupan) atau komponen yang terlibat dan mempengaruhi pariwisata antara lain:

• Wisatawan: Setiap wisatawan ingin mencari dan menemukan pengalaman

fisik dan psikologis yang berbeda – beda antara satu wisatawan dengan wisatawan lainnya. Hal inilah yang membedakan wisatawan dalam memilih tujuan dan jenis kegiatan di daerah yang dikunjungi.

• Industri penyedia barang dan jasa: Orang – orang bisnis atau investor

melihat pariwisata sebagai suatu kesempatan untuk mendatangkan keuntungan dengan cara menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan wisatawan.

• Pemerintah lokal: Pihak yang memiliki wewenang secara struktural dalam

konteks pemerintahan maupun swasta berkaitan terhadap pengelolaan kawasan objek wisata hingga pada aspek pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung.

• Masyarakat setempat: Masyarakat lokal biasanya melihat pariwisata dari

faktor budaya dan pekerjaan karena hal yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat lokal adalah bagaimana pengaruh interaksi wisatawan dengan masyarakat lokal baik pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa pariwisata merupakan gabungan dari sejumlah fenomena yang muncul dari interaksi antara wisatawan,

idustri penyedia barang dan jasa, pemerintah lokal dan masyarakat setempat dalam sebuah proses untuk menarik dan melayani wisatawan.3

1. Wisata budaya : ini dimaksudkan agar perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ketempat lain atau keluar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan adat istiadat mereka. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek wisata dan daya tarik wisata. Objek wisata dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Sementara wisatawan sendiri adalah orang – orang yang melakukan perjalanan wisata (Pendit, 2003 : 14). Adapun jenis – jenis pariwisata sederhana, menurut Nyoman S Pendit (2003 : 14) dapat dikategorikan sebagai berikut:

2. Wisata maritim atau bahari: jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan kegiatan olahraga air, lebih – lebih di danau, bengawan, pantai, teluk, atau laut lepas, seperti memancing, berlayar, menyelam sambil melakukan pemotretan, kompetisi berselancar dll.

3. Wisata cagar alam (Taman Konservasi): Untuk wisata jenis ini banyak diselenggarakan oleh agen atau biro perjalanan yang mengkhususkan usaha – usahanya dengan jalan mengatur wisata ketempat daerah cagar alam, hutan lindung, hutan daerah pegunungan, dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh undang – undang.

3

(Mc.Intosh & Shashikant gupta dalam http: //madebayu.com/search/label/defenisi pariwisata dan wisatawan)

4. Wisata konvensi: Berbagai negara dewasa ini membangun wisata konvensi dengan menyediakan fasilitas bangunan beserta ruangan – ruangan tempat bersidang bagi para peserta konfrensi, musyawarah, konvensi atau pertemuan lainnya baik yang bersifat internasional maupun nasional.

5. Wisata pertanian: adalah pengorganisasian perjalanan yang dilakukan proyek – proyek pertanian, perkebunan, ladang pembibitan dan sebagainya dimana wisatawan rombongan dapat mengadakan kunjungan dan peninjauan untuk tujuan studi maupun melihat – lihat sambil menikmati segarnya tanaman beraneka warna dan suburnya pembibitan berbagai jenis sayur mayur dan palawija disekitar perkebunan yang dikunjungi.

6. Wisata buru: Jenis ini banyak dilakukan di negeri – negeri yang memiliki daerah atau hutan tempat berburu yang dibenarkan oleh pemerintah dan digalakkan oleh agen atau biro perjalanan.

7. Wisata pilgrim: Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat – istiadat, kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat. Banyak dilakukan oleh rombongan atau perorangan ketempat – tempat suci, kemakam orang – orang besar, atau pemimpin yang diagungkan. 8. Wisata kesehatan: Perjalanan wisatawan dengan tujuan tersebut untuk

menukar keadaan dan lingkungan tempat sehari – hari dimana dia tinggal demi kepentingan beristirahat baginya dalam arti jasmani dan rohani, dengan mengunjungi tempat peristirahatan seperti mata atau air panas yang dapat menyembuhkan, tempat yang mempunyai iklim udara menyehatkan atau tempat – tempat yang menyediakan fasilitas kesehatan lainnya.

9. Wisata olahraga: Ini dimaksudkan wisatawan – wisatawan yang melakukan perjalanan dengan tujuan berolahraga atau memang sengaja bermaksud mengambil bagian aktif dalam pesta olahraga di suatu tempat atau negara seperti Olimpiade, Asian Games, Thomas Cup, dan lain – lain. 10.Wisata komersial: Dalam jenis ini termasuk perjalanan untuk mengunjungi

pameran – pameran dan pekan raya yang bersifat komersil, seperti pameran industri, pameran dagang, dan sebagainya.

11.Wisata politik: Perjalanan yang dilakukan untuk mengunjungi atau mengambil bagian secara aktif dalam peristiwa kegiatan politik seperti: ulang tahun negara, penobatan Ratu Inggris, dan sebagainya dimana fasilitas akomodasi, sarana pengangkutan dan atraksi aneka warna diadakan secara megah dan meriah bagi pengunjung, baik dalam maupun luar negeri.

12.Wisata sosial: Pengorganisasian suatu perjalanan murah serta mudah untuk memberikan kesempatan bagi golongan ekonomi lemah (atau dengan kata lain mampu untuk membayar sesuatu yang bersifat lux, untuk mengadakan perjalanan).

13.Wisata bulan madu: Menyelenggarakan perjalanan bagi pasangan – pasangan pengantin baru menikah.

14.Wisata petualangan: Seperti masuk hutan belantara yang tadinya belum pernah dijelajah, penuh binatang buas, mendaki tebing terjal, masuk goa penuh misteri, dan lain sebagainya.

15.Wisata Industri: Perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau mahasiswa, atau orang – orang awam kedalam suatu kompleks atau daerah

perindustian dimana terdapat pabrik atau bengkel besar dengan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau penelitian.

Kajian dalam pengembangan lokasi pariwisata terikat tiga hal penting agar dapat menarik dan banyak dikunjungi wisatawan. Menurut Oka A Yoeti (1985) karakteristik pengembangan lokasi wisata dirumuskan sebagai:

• Something to see: Artinya ditempat tersebut harus ada objek wisata dan

atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki daerah lain. Dengan kata lain, daerah itu harus mempunyai daya tarik khusus dan unik.

• Something to do: Artinya ditempat tersebut selain banyak yang disaksikan,

harus disediakan pula fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di tempat itu.

• Something to buy: Artinya ditempat tersebut harus ada fasilitas untuk

berbelanja, terutama barang – barang souvenir, dan kerajinan tangan rakyat sebagai oleh – oleh untuk dibawa pulang.

Selain karakteristik dalam pengembangan lokasi pariwisata, juga diperlukan adanya syarat agar suatu objek wisata dapat dikembangkan, dengan syarat sebagai berikut (Syamsuridjal dalam Lusianna M. E. Hutagalung, 2009) yaitu:

• Attraction (atraksi): Adalah segala sesuatu yang menjadi ciri khas atau

keunikan dan menjadi daya tarik wisatawan agar mau datang berkunjung ke tempat wisata tersebut. Atraksi wisata terdiri dari dua yaitu: a. Site attraction, yaitu daya tarik yang dimiliki objek wisata semenjak objek itu ada. b. Event attraction, yaitu daya tarik yang dimiliki suatu objek wisata setelah dibuat manusia.

• Accessbility: Kemudahan cara untuk mencapai tempat wisata tersebut. • Amenity: Yaitu fasilitas yang tersedia didaerah objek wisata seperti

akomodasi dan restoran.

• Institution: Yaitu lembaga atau organisasi yang mengolah objek wisata

tersebut.

Antara pariwisata dengan kebudayaan memiliki hubungan yang dapat dijelaskan berdasarkan dari cerita. (Pendit, 2003 : 15) menjelaskan bahwa hubungan antara pariwisata dan kebudayaan berawal dari rasa ingin tahu seseorang dimana perasaan ini menjadi faktor yang mendorong orang untuk melakukan perjalanan (berwisata). Lebih lanjut dilakukan penyimpulan bahwa makin banyak orang melakukan perjalanan, makin bertambah pula pengalaman serta pengetahuannya, kemudian berlanjut pada bertambahnya keberanian.

Hubungan antara Antropologi dan dunia pariwisata adalah untuk membahas aspek – aspek budaya masyarakat sebagai aset dalam dunia pariwisata. Kajian teori dan konsep –konsep Antropologi terutama dalam melestarikan aspek budaya masyarakat dan sekaligus mengkaji aspek tersebut sebagai aset pariwisata dalam upaya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak makna dan nilai aspek budayanya.

Antropologi pariwisata memiliki fokus intens pada masalah pariwisata dari segi sosial budaya. Adapun sosial budaya dan hal ini adalah sistem sosial, dan sistem budaya yang berkembang dalam konteks pariwisata. Pariwisata merupakan pertemuan antara berbagai sistem sosial dan sistem budaya yang saling mempengaruhi. Pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan meliputi sistem ide atau gagasan yang

terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari – hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda – benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda – benda yang bersifat nyata, misalnya pola – pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lain – lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Tujuh unsur kebudayaan sebagaimana diungkapkan oleh (Koentjaraningrat 1996) menyatakan bahwa kebudayaan terdiri atas tujuh aspek penting yang saling berkaitan satu sama lain, adapun unsur – unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi, religi, kesenian, sistem organisasi sosial, dan mata pencaharian. Penelitian ini menggunakan beberapa bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang telah dijelaskan sebelumnya, adapun beberapa bagian tersebut adalah system pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat di Daerah Tujuan Wisata yang pada akhirnya berhubungan dengan sistem mata pencaharian masyarakat setempat sebagai pengelola objek wisata tersebut yang berkaitan dengan penanganan kebersihannya.

Koentjaraningrat (1996 : 75) juga mengistilahkan tiga wujud kebudayaan, yaitu:

• Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks bersumber dari ide – ide,

nilai – nilai, peraturan, gagasan – gagasan, norma – norma, dan sebagainya.

• Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan,

• Wujud kebudayaan berupa benda – benda hasil karya manusia.

Pemahaman tiga wujud kebudayaan diterapkan dalam penelitian ini berupa ide atau gagasan mengenai konsepsi wisata pemandian yang dimiliki di Nagori Karang Anyar serta pendayagunaan potensi wisata didaerah tersebut. Selanjutnya pada wujud perilaku, dimanifestasikan pada bentuk kegiatan – kegiatan yang dilakukan wisata pemandian serta dalam bentuk hasil karya manusia hal ini dapat diperoleh dari berbagi hasil penanganan kebersihan yang dapat meningkatkan potensi wisata itu sendiri bagi masyarakat.

Lingkungan bersih sebagai pendorong peningkatan kunjungan ke Daerah Tujuan Wisata (DTW) merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia atau masyarakat. Sedangkan derajat kesehatan masyarakat pada hakekatnya merupakan kontribusi penting bagi kualitas sumber daya manusia, sehingga ada keterkaitan antara mutu lingkungan hidup dengan SDM itu sendiri.

Melihat keterkaitan tersebut, sudah selayaknya bila perhatian dan kepedulian terhadap lingkungan patut mendapat prioritas. Bukan hanya untuk mencari sebuah kondisi lingkungan yang ideal, akan tetapi lebih jauh lagi pada upaya peningkatan produktivitas sumber daya manusia. Kondisi ini dapat tercapai bila masyarakat semakin meningkatkan kepeduliannya akan kebersihan dan kesehatan lingkungan, dan ini memerlukan faktor-faktor penting yang dapat membangkitkan bentuk kepedulian tersebut khususnya di daerah tujuan wisata.

Supaya mempunyai nilai bagi pengembangan pariwisata haruslah bertujuan untuk rekreasi dan berlibur agar dapat memelihara semangat kerja dengan melihat pemandangan alam, khazanah budaya, dan sekaligus dapat

memperkaya ilmu pengetahuan. Dilihat dari alasan kenapa orang pergi bertamasya dari segala aspek adalah untuk menghilangkan stress, supaya pikiran tenang, kesehatan dan lain sebagainya, yang penting bagaimana mereka dengan keluarga bisa bersenang-senang. Untuk itu bagi pelaku pariwisata terutama bagi pemandu wisata sudah seharusnya memahami keadaan yang demikian, pengunjung yang datang ingin menikmati sesuatu dengan rasa kasih sayang dan dihormati, agar mereka betah untuk berlama-lama di lokasi wisata.

Lingkungan bersih memiliki tiga faktor yang perlu mendapat perhatian adalah lingkungan fisik, biologis dan sosial. Lingkungan fisik ini menyangkut air bersih, udara, limbah cair dan padat, kotoran serta polutan lain yang umumnya dapat dilihat. Selain udara yang tercemar oleh polutan, limbah padat (sampah) juga menjadi masalah kesehatan lingkungan yang rawan, terutama di Daerah Tujuan Wisata (DTW). Sampah merupaka setelah berakhirnya suat dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh berbagai organisasi dan lembaga formal, dengan tujuan untuk mempengaruhi nasib dan perilaku orang banyak, baik melalui implementasi dari keputusan tersebut maupun melalui rewards dan sanction yang diterapkan terhadap pihak yang kena dampak. Seperti yang disebutkan oleh Amri Marzali 4

4

Amri Marzali, Antropologi dan kebijakan publik hal 30 - 31

“Policy = Culture” bahwa mau tidak mau pada akhirnya setiap kegiatan Antropologi terapan yang berkaitan dengan bidang di luar Antropologi tentu akan melibatkan kebijakan publik yang secara umum konsep pokoknya adalah culture (budaya), maka dalam antropologi terapan konsep policy (kebijakan) adalah sama utamanya dengan konsep culture.

Dikatakan oleh Chambers bahwa:

“…The idea of policy is as central to the development of applied anthropology as the concept of culture has been to the anthropological profession as awhole”.

“…Ide dari kebijakan sebagai pusat pengembangan Antropologi diterapkan sebagai konsep budaya yang telah menjadi dasar pemikiran profesi Antropologi secara keseluruhan. (Chambers, 1989:37 – 38).

Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan dalam menangani kebersihan sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir. Secara garis besar, kegiatan di dalam penanganan kebersihan meliputi pengendalaian timbulan sampah, pengumpulan sampah, transfer dan transport, pengolahan dan pembuangan akhir (Kartikawan, 2007) sebagai berikut:

Penimbulan sampah (solid waste generated). Dari defenisinya dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sampah itu tidak diproduksi, tetapi ditimbulkan (solid waste is generated, not produced). SK SNI S-04-1993-03 tentang spesifikasi timbulan sampah untuk kota sedang adalah sebesar 2,75 – 3,25 liter/ orang/hari atau 0.7-0,8/orang/hari.

1. Penanganan di tempat (on site handling). Penanganan sampah pada sumbernya adalah semua perlakuan terhadap sampah yang dilakukan sebelum sampah di tempatkan di tempat pembuangan. Kegiatan ini bertolak dari kondisi dimana suatu material yang sudah dibuang atau tidak dibutuhkan, seringkali memiliki nilai ekonomis.

2. Pengumpulan (collecting). Adalah kegiatan pengumpulan sampah dan sumbernya menuju lokasi TPS. Umumnya dilakukan dengan menggunakan gerobak dorong dan rumah – rumah menuju lokasi TPS. 3. Pengangkutan (transfer and transport). Adalah kegiatan pemindahan

sampah dan TPS menuju lokasi pembuangan pengolahan sampah atau lokasi pembuangan akhir.

4. Pengolahan (treatment). Bergantung dari jenis komposisinya, sampah dapat diolah. Berbagai alternatif yang tersedia dalam pengolahan sampah, diantaranya adalah:

• Transformasi fisik, meliputi pemisahan komponen sampah (shorting)

dan pemadatan (compacting).

• Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah yang

dapat mengubah sampah menjadi bentuk gas, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Meski merupakan teknik yang efektif, tetapi bukan teknik yang dianjurkan. Sebab teknik tersebut sangat berpotensi untuk menimbulkan pencemaran udara.

• Pembuatan kompos (composting). Kompos adalah pupuk alami

(organik) yang terbuat dari bahan – bahan hijauan dan bahan organik lainnya yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, biasa ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea (Wied, 2004).

• Energy recovery, yaitu transformasi sampah menjadi energi, baik

dikembangkan di negara – negara naju yaitu pada instalasi yang cukup besar.

5. Pembuangan akhir. Pada prinsipnya, pembuangan akhir sampah harus memenuhi syarat – syarat kesehatan dan kelestarian lingkungan. Teknik yang saat ini dilakukan adalah dengan open dumping, dimana sampah yang ada hanya ditempatkan ditempat tertentu, hingga kapasitasnya tidak lagi memenuhi. Teknik ini sangat berpotensi untuk menimbulkan gangguan terhadap lingkungan (Kartikawan, 2007). Fikarwin (2008 : 7), ada banyak faktor, dan tidak semata – mata hanya bersifat teknis yang berpengaruh dalam proses berjalannya operasi pengelolaan sampah. Pemekaran wilayah Kabupaten/Kota pun ikut mempengaruhi jalannya operasi pengelolaan sampah. Sentimen kedaerahan paska penerapan UU otonomi daerah juga menambahkan persoalan penanganan sampah di suatu Kabupaten/Kota menjadi berat.

2. Sampah

Dalam istilah lingkungan sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembuatan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembuatan manufaktur atau materi berlebihan atau ditolak atau buangan. Permasalahan sampah pada masyarakat sudah lama menjadi sorotan, terutama menyangkut pada human action. Seperti yang dijabarkan Suparlan (2004 : 31) mengenai kebudayaan dan fase luminal. Konsep kebudayaan yang berbeda mengenai sampah oleh masing – masing individu. Fase luminal ini adalah suatu proses kebudayaan dimana kebudayaan yang lama (tradisional) telah ditinggalkan, sedangkan yang baru (modern) belum

sepenuhnya diterima, terutama bagi para pendatang. Hal tersebut berpengaruh dalam kelakuan dan tindakan mereka atas sampah. Mereka itu adalah masyarakat yang konsumer seperti manusia modern lainnya namun bertindak gegabah dalam hal sampah layaknya masyarakat tradisional: dibuang jauh – jauh, segera, dengan cara mudah (“yang kita sebut sembarangan”)

Dalam buku Amri Marzali yang berjudul Kebijakan Publik ada tiga pendekatan yang dipakai dan akan saya gunakan untuk menganalisis kebijakan yakni:

• Pendekatan sistemis – holisti. Dalam pendekatan ini setiap kebijakan

selalu dilihat kaitannya dengan konteks masyarakat secara keseluruhan, dengan kebijakan – kebijakan yang dibuat dalam bidang kehidupan lain, dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial, dengan nilai dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Tidak ada kejadian yang berdiri sendiri, yang terjadi tanpa ada kaitannya dengan kejadian – kejadian lain dalam masyarakat secara keseluruhan.

• Pendekatan emic, yaitu melihat segala sesuatu dari sudut pandang

masyarakat lokal, atau dengan istilah populernya the native’s point of view. Dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan perlu mendengarkan kebutuhan dan keberatan dari masyarakat lokal tersebut. Suatu kebijakan yang didapat dari pendekatan bottom – up.

• Pendekatan komunitas lokal, dalam hal ini Antropologi memusatkan

perhatian pada kehidupan komunitas lokal. Meskipun kebijakan dibuat pada organisasi formal tingkat atas seperti birokrasi, povinsi, dan kabupaten, namun implementasinya yaitu pada tingkat masyarakat luas di

komunitas – komunitas pedesaan dan kelurahan.5 Pengelolaan merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan dukungan kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem. Dalam proses pengolahan tersebut berperan sistem pengetahuan yang merupakan unsur kebudayaan yang muncul dari pengalaman – pengalaman individu yang satu dengan yang lainnya dalam menanggapi lingkungan sekitarnya. Pengalaman dari individu – individu itu diabstraksikan menjadi konsep – konsep pendirian atau pedoman – pedoman dari individu atau masyarakat (Lamech 1995 :1). Kebudayaan merupakan pengetahuan yang diyakini kebenarannya yang dapat menyelimuti perasaan dan emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian terhadap suatu yang baik dan yang buruk, atau suatu yang bersih atau kotor karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai – nilai moral (Suparlan, 1983 : 2). Adapun pengertian nilai itu sendiri konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang buruk (Soekamto, 1988 : 6 – 8).

Dokumen terkait