• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Anggrek Dendrobium Secara Umum

Anggrek memiliki morfologi tanaman yang sama dengan jenis tanaman yang lain yaitu terdiri dari batang, akar, daun, dan bunga. Sutiyoso dan Sarwono (2002) menyatakan bahwa batang anggrek terdiri dari dua macam tipe pertumbuhan yaitu monopodial dan simpodial. Anggrek monopodial memiliki batang utama yang ujungnya terus tumbuh dan tidak terbatas panjangnya seperti anggrek jenis Vanda, Phalaenopsis, Renanthera, dan Arachnis. Berbagai jenis anggrek yang termasuk batang simpodial yaitu Dendrobium, Cattleya, dan

Oncidium. Gunawan (2006) menyatakan bahwa anggrek sympodial yaitu anggrek

dengan pertumbuhan ujung batang terbatas. Batang ini tumbuh terus akan berhenti setelah mencapai batas maksimum. Pertumbuhan ini akan dilanjutkan oleh anakan baru (pseudobulb) yang tumbuh disampingnya.

Akar pada tanaman anggrek memiliki ciri-ciri yaitu lunak, mudah patah, agak licin, dan lengket. Akar anggrek ini dapat berfungsi untuk fotosintesis karena mengandung klorofil. Bunga anggrek terdiri dari dua tipe yaitu tumbuh di ujung

tanaman (Acranthe) dan tumbuh diantara helai daun (Pleuranthe) (Redaksi Agromedia, 2006). Subhan (2011) menyatakan bahwa bunga

Dendrobium terdiri dari (Gambar 1):

 Sepal (kelopak bunga) berjumlah 3 helai, berbentuk lanset, meruncing, bulat dengan ukuran bervariasi tergantung spesiesnya. Sepal tengah disebut dengan

sepallum dorsalis atau kelopak punggung. Sementara dua sepal samping

disebut sepallum lateralis atau kelopak samping.

 Petal (mahkota bunga) berjumlah tiga helai. Petal ke tiga di bagian tengah adalah bagian yang menyatu dan membentuk bibir bunga. Warna petal hampir sama dengan sepal, kecuali petal ketiga warnanya lebih cerah.

 Pollinia atau polen (alat kelamin jantan) berjumlah 4, tersusun dalam 2 rostellum kecil dan berbentuk bulat dengan ukuran beragam mulai besar, kecil bahkan sangat halus, berwarna kuning pucat hingga kuning cerah.

Gymnostemium atau putik (alat kelamin betina), putik berada dibalik dalam

Ovary (bakal buah).

 Bibir (labellum) bagian ini merupakan perkembangan dari petal ke tiga. Pada beberapa spesies ukuran bibir biasanya membesar dan berwarna lebih cerah.

Gambar 1. Struktur Bunga Anggrek Dendrobium

Daun anggrek muncul pada ruas-ruas batang dengan posisi berhadapan atau berpasangan. Bentuk daun anggrek ada yang berukuran kecil memanjang dan bulat lebar. Anggrek dengan daun lebar lebih cepat berbunga karena fotosintesis berlangsung lebih cepat (Redaksi Agromedia, 2006).

Purwantoro et al. (2005) menyatakan bahwa variasi pada anggrek

merupakan salah satu keunggulan yang memungkinkan untuk dibuat hibrida-hibrida baru. Variasi yang ada pada anggrek terletak pada bentuk bunga,

ada yang mirip kalajengking (Arachnis), kupu-kupu (Phalaenopsis) dan kantung

(Paphiopedilum), selain itu jumlah kuntum, ukuran dan warna kuntum juga

memperlihatkan keragaman yang cukup banyak.

Botani dan Syarat Tumbuh

Setiawan (2005) menyatakan bahwa Dendrobiumberasal dari kata dendro

yang artinya pohon dan bios yang berarti hidup. Subhan (2011) menyatakan bahwa Dendrobium adalah jenis anggrek yang memiliki tidak kurang dari 1 700 spesies, menyebar dari Jepang dan sebagian Cina, India, Semenanjung Malaka, Papua Nugini, Australia sampai Selandia Baru. Dendrobium banyak ditemukan di

Indonesia di hampir semua pulau-pulau besar, Papua menyimpan kurang lebih 450 species dan Kalimantan 150 species.

Anggrek Dendrobium ‘Woxinia’ adalah jenis bunga yang banyak dimanfaatkan sebagai bunga potong, dengan karakteristik bunga berwarna putih batang daunnya yang kuat. Berikut taksonomi anggrek Dendrobium sp. menurut Sutiyoso dan Sarwono (2002) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Family : Orchidaceae Subfamily : Epidendroideae

Tribe : Epidendrae dendrobieae Subtribe : Dendrobiinae

Genus : Dendrobium sp.

Anggrek dapat tumbuh pada berbagai ketinggian tempat. Kencana (2007)

menyatakan bahwa anggrek Dendrobium dapat tumbuh pada ketinggian 0-650 mdpl (meter di atas permukaan laut), dengan suhu siang 26-30ºC dan suhu

malam 21ºC. Anggrek Dendrobium termasuk jenis epifit, dengan intensitas cahaya matahari berkisar 50-60%. Anggrek Dendrobium memerlukan kelembaban sekitar 50% (Redaksi Agromedia, 2006).

Ashari (1995) menyatakan bahwa berdasarkan tempat tumbuhnya, anggrek dibagi menjadi dua jenis yaitu epifit dan terestrial. Anggrek epifit yaitu anggrek yang tumbuh menumpang pada batang tanaman lainnya tetapi tidak merugikan pada tanaman yang ditumpanginya. Genus anggrek yang termasuk epifit adalah

Aerides, Angraecum, Cattleya, Brassavola, Dendrobium, Epidendrum, Laelia,

Odontoglossum, Oncidium, Phalaenopsis, dan Vanda. Terestrial yaitu anggrek

yang seluruh perakarannya berkembang di dalam tanah, rawa atau daratan. Genus anggrek yang termasuk terrestrial adalah Arachnis, Arundina, Calanthe,

Bahan Organik

Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur-unsur yang dapat digunakan oleh tanaman. Bahan organik dapat berasal dari limbah tanaman, hewan, dan beberapa biota laut (Redaksi Agromedia, 2007b).

Sutanto (2002) menyatakan bahwa bahan organik yang berada di dalam tanah seperti mikroorganisme tanah (fungi, aktinomisetes dan bakteri) bertanggungjawab dalam proses dekomposisi residu organik. Tanah yang kaya bahan organik lebih sarang sehingga aerasi tanah lebih baik dan tidak mudah mengalami pemadatan, warna tanah lebih kelam, serta sedikit hara yang terfiksasi mineral tanah.

Ma’shum et al. (2003) menyatakan bahwa bahan organik dapat berasal dari jaringan tanaman dan binatang. Bahan organik yang berasal dari jaringan binatang lebih mudah terdekomposisi daripada yang berasal dari jaringan tanaman disebabkan karena perbedaan komposisi bahan penyusun sel masing-masing organisme. Sel binatang mengandung senyawa N tinggi sehingga mudah terdekomposisi, sedangkan pada sel tanaman tersusun atas senyawa karbon dalam bentuk selulosa, hemisellulosa, lignin, dan kandungan protein 10 %.

Chitosan

Sugita et al. (2009) menyatakan bahwa chitosan adalah poli-(2-amino-2- deoksi-B-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)nyang dapat

diperoleh dari deasetilasi kitin. Chitosan diperoleh secara komersial melalui proses deasetilasi kitin, yang merupakan elemen struktur dalam exoskeleton krustasea (kepiting, udang dll).

Kadar kitin dalam berat udang berkisar 60-70% dan bila diproses menjadi

chitosan menghasilkan 15-20%. Chitosan mempunyai bentuk mirip selulosa, dan

bedanya terletak pada gugus rantai C-2. Ma’shum et al. (2003) menyatakan bahwa selulosa adalah senyawa penyusun dinding sel tumbuhan. Proses utama dalam pembuatan chitosan meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam.

Sugita et al. (2009) menyatakan bahwa dalam bidang pertanian chitosan dapat digunakan untuk pestisida, herbisida, deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Chitosan dapat larut pada berbagai asam organik diantaranya HCl (konsentrasi 0.15%-1.1%), HNO3 (0.15%-1.1%), asam asetat 10%.

Nurrachman (2004) menyatakan bahwa pelapisan chitosan 1.5% dapat memberikan hasil yang terbaik dalam mempertahankan kualitas apel dan memperpanjang masa simpan buah. Suzatmika (2008) menyatakan bahwa aplikasi

chitosan 2% memberikan mortalitas rendah dibandingkan 4 dan 6% dengan

persentase rata-rata mortalitas rayap Coptotermes curvignathus yang tinggi dan meningkatkan ketahanan pada kayu P. merkusii. Boonlertnirun et al. (2008) menyatakan bahwa aplikasi chitosan polimer 80 ppm, dengan merendam benih sebelum penanaman diikuti dengan aplikasi tanah selama empat kali pada seluruh musim tanam, dapat merangsang pertumbuhan dan hasil padi secara signifikan.

Pupuk

Hadisuwito (2007) menyatakan bahwa pupuk merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Penggolongan pupuk didasarkan pada sumber bahan yang digunakan, cara aplikasi, bentuk, dan kandungan unsur haranya.

Gunawan (2006) menyatakan bahwa pupuk menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk majemuk yang dibutuhkan oleh anggrek mengandung 10% N, 4% P, 6% K, 15% S, dan 7% Ca. Pertumbuhan anggrek muda lebih baik diberikan pupuk N lebih tinggi misalnya pupuk daun dengan komposisi unsur hara 30-10-10 selama 6 bulan sampai 1 tahun. Setelah tanaman berbunga untuk kesinambungan kesehatan tanaman dan bunga, pupuk yang diberikan adalah pupuk yang mengandung N, P, dan K seimbang misalnya pupuk daun dengan komposisi unsur hara 20-20-20.

Pupuk Guano

Hadisuwito (2007) menyatakan bahwa berdasarkan bentuknya pupuk organik dibagi menjadi dua, yakni pupuk cair dan padat. Pupuk cair merupakan larutan yang mudah larut berisi satu atau lebih pembawa unsur yang dibutuhkan

oleh tanaman. Kelebihan dari pupuk cair adalah dapat memberikan hara sesuai dengan kebutuhan tanaman, pemberiannya lebih merata dan kepekatannya dapat diatur sesuai dengan kebutuhannya.

Pupuk guano yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk guano dalam bentuk cair. Sugianto (2010) menyatakan bahwa pupuk guano merupakan pupuk yang berasal dari kotoran kelelawar, sudah mengendap lama di dalam gua dan telah bercampur dengan tanah dan bakteri pengurai. Pupuk Guano mengandung nitrogen, fosfor dan kalium yang sangat bagus untuk mendukung pertumbuhan, merangsang akar serta kekuatan batang tanaman. Komposisi unsur hara yang terkandung dalam pupuk guano adalah 0.93% N, 2.13% P, 2.80% Ca, 1.73% Mg, 1.11% K. Suwarno dan Idris (2007) menyatakan bahwa komponen utama guano adalah unsur N, P, Ca dan komponen tambahannya K, Mg, serta S.

Manfaat pupuk guano menurut Seta (2009) adalah aktifator pembuatan kompos, mengendalikan nematoda yang ada di dalam tanah, kaya unsur makro fosfor (P) dan nitrogen (N), mengandung mikrobiotik flora dan bakteri yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman, memperbaiki struktur tanah, fungisida alami, daya kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi sehingga tanaman mudah menyerap unsur hara, mengoptimalkan pertumbuhan daun muda, dapat digunakan pada semua jenis tanaman yang berada di dalam atau di luar ruangan, produk pupuk ramah lingkungan, baik digunakan untuk pertumbuhan rumput, rendah kandungan mercuri dan zat berbahaya lain.

Sasmito (2007) menyatakan bahwa aplikasi pupuk guano pada konsentrasi 2.5 % (w/w), 5% (w/w), dan 10% (w/w) berturut-turut dapat meningkatkan tinggi tanaman, pembungaan, mempercepat peningkatan buah pada tomat. Hal lain dikemukakan oleh Munawaroh (2010) bahwa pemberian Plant Growth Promoting

Rizhobacteria (PGPR), khamir antagonis, dan pupuk guano dengan dosis 10 ml/l

dapat menekan keparahan penyakit karat putih dan meningkatkan pertumbuhan tinggi pada tanaman krisan.

Media Tanam

Darmono (2007) menyatakan bahwa media tumbuh yang baik untuk anggrek adalah media yang tahan lama, tidak menjadi sumber penyakit, aerasi dan

drainase baik, mampu menyimpan dan mengikat hara dengan baik. Media yang berongga menyimpan banyak oksigen yang diperlukan untuk proses respirasi. Jenis media tanam yang dapat digunakan untuk menanam anggrek antara lain moss, pakis, sabut kelapa, dan pecahan arang (Redaksi Agromedia, 2007a).

Gunawan (2006) menyatakan bahwa moss adalah media tanam yang berasal dari akar paku-pakuan. Media ini mempunyai banyak rongga sehingga akar anggrek tumbuh dan berkembang dengan lebih leluasa. Sifat moss adalah tidak cepat lapuk, mempunyai aerasi dan drainase yang baik, daya mengikat dan menyimpan air yang baik.

Media tanam yang digunakan untuk Dendrobium adalah media tanam pakis Alsophilaglauca. Pakis tersebut memiliki daya mengikat air, aerasi, dan drainase yang baik (Redaksi Agromedia, 2007a). Gunawan (2006) menyatakan bahwa media tanam sabut kelapa mempunyai daya simpan air yang baik, mudah lapuk, perlu disterilkan sebelum digunakan agar tidak ditumbuhi mikroorganisme, dan busuk, sehingga dikhawatirkan menyebabkan busuk akar terutama di musim penghujan. Media tanam arang memiliki sifat-sifat antara lain tahan lama, tidak mudah ditumbuhi fungi dan bakteri, cocok untuk daerah yang kelembaban tinggi tetapi kurang mampu mengikat air.

Metabolisme Asam Crassulacean (CAM)

Lakitan (2004) menyatakan bahwa anggrek termasuk jenis tanaman CAM. Tumbuhan CAM umumnya merupakan tumbuhan jenis sukulen yang tumbuh di daerah kering. Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa mekanisme masuknya unsur hara melalui daun berhubungan dengan menutup dan membukanya stomata. Pupuk yang diaplikasikan pada saat stomata banyak terbuka, akan lebih meningkatkan efektivitas pemupukan.

Fitriansyah (2011) menyatakan bahwa berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu C3, C4, dan CAM. Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering dibandingkan dengan tumbuhan C3, tetapi tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian, seperti gandum, kentang,

Lakitan (2004) menyatakan bahwa tanaman yang membuka stomata pada malam hari sedangkan menutup stomata pada siang hari mempengaruhi metabolisme CO2, sehingga CO2 akan diserap pada malam hari disebut dengan

Metabolisme Asam Crassulacean (CAM). Contoh tanaman yang termasuk CAM seperti Cactaceae, Orchidaceae, Bromeliaceae, Liliaceae, dan Euphorbiaceae.

Campbell et al. (2002) menyatakan bahwa selama malam hari ketika stomata tumbuhan ini terbuka, tumbuhan ini mengambil CO2 dan memasukannya

ke dalam berbagai asam organik. Sel mesofil tumbuhan CAM menyimpan asam organik yang dibuatnya selama malam hari di dalam vakuolanya hingga pagi, ketika stomata tertutup. Pada siang hari, ketika reaksi terang dapat memasok ATP dan NADPH untuk siklus Calvin, CO2 dilepas dari asam organik yang dibuat pada

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Green House University Farm, Cikabayan, dan Laboratorium Pasca Panen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga Agustus 2011.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain timbangan, gelas ukur, ruang asam, thermo-hygrometer, labu takar, spatula, penggaris, spayer dan pot. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman anggrek Dendrobium ‘Woxinia’ yang berumur ± 1.5 tahun, media tanam (campuran pakis dan arang sekam), chitosan, pupuk guano (0.93% N, 2.13% P, 2.80% Ca, 1.73% Mg, 1.11% K), pestisida (Curacron), fungisida (Dithane-M45), bakterisida (Plantomycin), Dekastar (18:9:10), Hyponex merah (25:5:20), Hyponex biru (10:40:15), dan asam asetat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu pemberian chitosan yang terdiri atas tiga taraf yaitu konsentrasi 0, 10 dan 20 ppm/tanaman. Faktor kedua yaitu pupuk guano dengan 3 taraf yaitu konsentrasi 0, 10 dan 20 ml/ l air, dengan demikian terdapat 9 kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 27 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 2 tanaman contoh sehingga terdapat 54 tanaman contoh.

Model linier aditif yang digunakan sebagai berikut : Yijk = µ +αi + ßj + (α )ij + k+ εijk

Yijk = Pengamatan pada perlakuan konsentrasi chitosan ke-i, pupuk guano ke-j, dan kelompok ke-k

µ = rataan umum

αi = Pengaruh konsentrasi chitosan ke-i, i = 1,2,3 ßj = Pengaruh konsentrasi pupuk guano ke-j, j = 1,2,3

(α )ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan konsentrasi chitosan ke-i, pupuk guanoke-j, dan kelompok ke-k

k = Pengaruh kelompok ke- k, k = 1,2,3

εijk = Galat pada perlakuan konsentrasi chitosan ke-i, pupuk guano ke-j, dan kelompok ke-k

Data dianalisis dengan sidik ragam, pada pengaruh yang nyata maka uji dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Khusus untuk peubah generatif karena tidak semua tanaman berbunga, maka analisis data untuk beberapa parameter pengamatan menggunakan uji t-student.

Pelaksanaan Percobaan

Tahap persiapan dimulai dengan menyiapkan bahan tanaman. Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman berumur sekitar 1.5 tahun ditanam dengan menggunakan pot tanah liat berukuran 15 cm, dengan media tanam yaitu arang sekam dan pakis (1:2 v/v). Tanaman diperoleh dari Kelompok Tani Anggrek di Gunung Sindur, Parung Bogor. Tanaman dipilih dengan ukuran yang seragam dan dikelompokkan (dilihat dari jumlah pseudobulb dan berbunga atau tidak berbunga). Green House yang digunakan sebagai tempat penanaman anggrek menggunakan paranet 55%, dilengkapi dengan meja besi, lantai disemen,

dan tempat irigasi. Pot diletakkan di atas meja besi di dalam ruangan

Green House. Pot diberi label sesuai kombinasi perlakuan. Tanaman

diadaptasikan selama 4 minggu sebelum perlakuan.

Pembuatan larutan chitosan dilakukan dengan melarutkan chitosan bentuk lembar tipis dalam asam asetat untuk membantu kelarutan dan dibuat stok

chitosan dengan konsentrasi pemberian chitosan 10 dan 20 ppm sesuai dengan

kebutuhan perlakuan. Pemberian chitosan dilakukan setiap 1 minggu sekali selama penelitian. Pemberian chitosan diberikan dengan cara menyemprotkan ke seluruh daun dan media tanam, dengan volume semprot sekitar 55 ml/tanaman atau 70 kali semprotan per pot tanaman, menggunakan hand sprayer.

Pupuk guano dalam bentuk cair dilarutkan dalam air sesuai konsentrasi 10 dan 20 ml/l dengan jumlah sesuai kebutuhan perlakuan. Pemberian guano dilakukan satu minggu dua kali selama 5 bulan dengan waktu pemberian 3 hari setelah perlakuan chitosan. Pemberian pupuk guano diberikan dengan cara menyemprotkan ke seluruh daun dan media tanam, dengan volume semprot sekitar 55 ml/tanaman atau 70 kali semprotan per pot tanaman, menggunakan

hand sprayer.

Pemberian pupuk lepas lambat (slow release) Dekastar (18:9:10) dilakukan satu kali selama penelitian dengan dosis 5 g/tanaman. Pemberian pupuk daun Hyponex merah (25:5:20) dan Hyponex biru (10:40:15) dengan konsentrasi 2 g/l dengan cara penyemprotan pada tajuk dan akar tanaman yang dilakukan seminggu sekali pada pagi hari. Penyemprotan pupuk daun dilakukan pada hari yang berbeda dengan perlakuan chitosan dan pupuk guano.

Pengendalian gulma dilakukan setiap minggu, dengan cara mencabut gulma dari pot hingga ke akar-akarnya. Pengendalian hama dilakukan satu minggu sekali, yaitu dengan menyemprotkan larutan insektisida Curacron 2 ml/l. Pengendalian penyakit dilakukan satu minggu sekali, yaitu dengan menyemprotkan larutan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 1.5 g/l, dan pemberian chitosan dengan konsentrasi 1 dan 1.5% pada 1-9 MSP yaitu setiap seminggu sekali yang diberikan ke semua tanaman. Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama dan penyakit adalah membuang bagian daun tanaman yang terkena hama dan penyakit.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada awal dan selanjutnya setiap satu minggu sekali selama 5 bulan.Peubah yang diamati adalah:

1. Tinggi Tanaman

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu, dimulai saat kondisi awal sebelum perlakuan hingga minggu akhir pengamatan. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga titik tumbuh tanaman.

2. Jumlah daun

3. Panjang dan lebar daun

Panjang daun diukur pada daun yang sudah berkembang sempurna (3 daun terbesar) dan pertambahan panjang atau lebar daun diamati pada daun yang paling atas yang baru muncul.

4. Jumlah pseudobulb yang baru terbentuk

Jumlah pseudobulb yang baru terbentuk dihitung pada tanaman setiap minggu. 5. Tinggi pseudobulb yang baru terbentuk

Tinggi pseudobulb yang baru terbentuk diukur dari permukaan tanah hingga titik tumbuh tanaman setiap minggu.

6. Jumlah daun pseudobulb yang baru terbentuk

Jumlah daun pseudobulb yang baru terbentuk dihitung pada tanaman setiap minggu.

7. Panjang dan lebar daun pseudobulb yang baru terbentuk

Panjang daun pseudobulb yang baru terbentuk diukur pada daun yang sudah berkembang sempurna (3 daun terbesar) dan pertambahan panjang atau lebar

daun pseudobulb yang baru terbentuk diamati pada daun yang paling atas yang

baru muncul.

8. Waktu muncul tunas bunga dan panjang tangkai bunga. Dihitung pada saat tunas bunga pertama muncul sekurang-kurangnya berukuran 0.5 cm. Panjang tangkai bunga diukur dari dasar tangkai hingga ujung tangkai bunga setiap minggu.

9. Jumlah kuntum bunga per tangkai. 10.Jumlah kuntum bunga yang mekar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian ini dilakukan di dalam Green House kebun percobaan Cikabayan Darmaga Bogor dengan ketinggian sekitar 250 mdpl. Data iklim diperoleh dari Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor. Kondisi iklim pada bulan Februari-Mei 2011 merupakan musim hujan. Kondisi iklim rata-rata dengan suhu maksimum 32ºC, minimum 22.6ºC, kelembaban berkisar antara 82-84%, intensitas cahaya matahari 282-254 cal/cm²/menit, lama penyinaran 3.84-5.36 jam, curah hujan sebesar 86-361.7 mm/bulan. Kondisi iklim pada bulan Mei- Agustus 2011 merupakan bulan pergantian musim, dari musim hujan menjadi kemarau. Kondisi iklim (Juni-Agustus) adalah suhu maksimum sebesar 32.5ºC dan minimum sebesar 21.2ºC, kelembaban berkisar antara 76-80% dengan intensitas penyinaran matahari 253-368 cal/cm²/menit (Lampiran 1).

Anggrek Dendrobium pada umumnya memerlukan kelembaban sekitar 50% (Redaksi Agromedia, 2006). Gunawan (2006) menyatakan bahwa pada umumnya anggrek yang dibudidayakan memerlukan suhu 28±2ºC, suhu minimum 15ºC. Kencana (2007) menyatakan bahwa anggrek membutuhkan intensitas cahaya matahari berkisar 50-60%. Dengan demikian selamapenelitian ini kondisi lingkungan tidak mencapai kondisi optimal, karena suhu yang diterima relatif tinggi.

Anggrek Dendrobium ‘Woxinia’ diadaptasikan di dalam Green House

selama 4 minggu sebelum diberi perlakuan. Anggrek Dendrobium ‘Woxinia’

diletakkan pada meja besi disusun berdasarkan ulangan. Tanaman diberi naungan paranet 55% untuk menghindari sinar matahari yang berlebih, seperti terlihat pada Gambar 2. Widiastoety dan Bahar (1995) menyatakan bahwa pemberian intensitas cahaya 55%, dapat meningkatkan pertumbuhan lebar daun dan pembentukan tunas pada Anggrek Dendrobium sp.

Gambar 2. Anggrek Dendrobium‘Woxinia’ yang Diletakkan di atas Meja Besi di dalam Green House Berparanet 55%

Kondisi tanaman anggrek Dendrobium‘Woxinia’ pada awal penyimpanan

secara umum baik. Setelah 1 minggu adaptasi sekitar 20% pot tanaman anggrek terserang hama dan penyakit. Daun tanaman anggrek menguning, kemudian daun menjadi kering, mengakibatkan kerusakan yang parah. Hal ini disebabkan adanya penyakit berupa cendawan yaitu bercak kuning Phylostica, bercak kelabu cendawan Pestalotia sp., dan Curvularia palescens. Selain itu hama yang menyerang tanaman anggrek adalah gejala Red Spider (Tetranychus urlacae), dengan tingkat serangan yang rendah bila dibandingkan dengan cendawan. Pada 2 MSP ada beberapa tanaman anggrek terinfeksi bakteri. Bakteri yang menyerang pada daun dan batang tampak bercak kehitaman, mengeluarkan cairan berbau kurang sedap dan akhirnya mati.

Yudiarti (2007) menyatakan bahwa penyebab penyakit tanaman ada dua yaitu patogen dan non patogen. Patogen adalah organisme yang mempunyai kemampuan menyebabkan penyakit dan biasanya dalam bentuk organisme hidup (jamur, bakteri, virus, mikroplasma, spiroplasma, dan riketsia). Non patogen adalah penyebab penyakit yang tidak termasuk ke dalam jenis patogen, yaitu bukan dari jenis organisme hidup (kekurangan hara, penyakit akibat keracunan, penyakit karena pengaruh lingkungan). Gejala serangan hama dan penyakit antara lain terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Gejala Serangan Hama dan Penyakit pada Tanaman Anggrek

Dendrobium ‘Woxinia’ : (a) Cendawan Bercak Kuning Phylostica

(b) Bercak Kelabu Cendawan Pestalotia sp. (c) Curvularia palescens

(d) Erwinia carotovora (e) Gejala Serangan Red Spider

(Tetranychus urlacae)

Pengendalian cendawan Phylostica, bercak kelabu cendawan

Pestalotia sp., dan Curvularia palescens yaitu dengan menggunakan fungisida

Dithane M-45. Aplikasi Dithane M-45 dilakukan dua minggu sekali pada awal serangan dan ditingkatkan menjadi satu minggu sekali. Tingkat serangan cendawan meningkat pada 1 MSP mencapai 46.67%, kemudian diaplikasikan

chitosan dengan konsentrasi 1 dan 1.5% yang diberikan ke semua tanaman pada

Dokumen terkait