• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jambu Biji Merah

Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu dan bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara tahun 1887 – 1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Australia. (Parimin, 2005).

Jambu biji termasuk buah-buahan yang bernilai komoditas tinggi dan salah satu buah yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam bahasa inggris disebut Lambo guava. Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava.

Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu “psidium” yang berarti delima,

“guajava” berasal dari nama yang diberikan oleh orang Spanyol. Jambu biji (Psidium guajava) atau sering juga disebut jambu batu, jambu siki dan jambu klutuk adalah tanaman tropis yang berasal dari Amerika Tengah dan sebagian sumber menyebut dari Brazil, buah ini disebarkan ke Indonesia melalui Thailand. Jambu biji memiliki buah yang berwarna hijau (agak kekuningan jika telah matang) dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis. Di antara berbagai jenis buah, jambu biji mengandung vitamin C yang paling tinggi dan cukup mengandung vitamin A. Tanaman ini mampu menghasilkan buah sepanjang tahun dan tahan terhadap beberapa hama dan penyakit (Dasuki, 1992).

Dalam dunia tumbuh-tumbuhan, tanaman jambu biji merah diklasifikasikan sebagai berikut (Dasuki, 1992) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida Sub class : Rosidae

Ordo : Myrtales Famili : Myrtaceae Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava L.

Jambu biji merah merupakan buah klimaterik. Ciri buah klimaterik adalah adanya peningkatan respirasi yang tinggi dan mendadak (respiration burst) yang menyerupai atau mendahului pemasakan, melalui peningkatan CO2 dan etilen. Masa simpan buah klimaterik yang pendek menjadikan kerusakan pascapanen yang cepat (Widodo, 2009).

Jambu biji merah banyak mengandung kandungan gizi penting seperti vitamin C, A dan riboflavin. Protein, serat, serta mineral juga banyak terkandung dalam buah tersebut. Jambu biji merah dapat dikonsumsi segar ataupun diolah menjadi jus, pulps, selai, jelly, atau manisan buah kering (Cabral, dkk., 2007).

Daging buah jambu biji merah berwarna merah hingga merah muda dengan rasa yang lebih manis dan segar dibandingkan jambu biji putih. Kandungan vitamin C buah jambu biji merah dua kali lebih banyak daripada jeruk manis. Vitamin C sangat baik sebagai zat antioksidan. Kandungan vitamin C pada jambu biji merah yaitu 87,00 mg/100 g, vitamin A sebesar 400 mg/100g. Selain

8

itu, jambu biji merah juga merupakan buah yang memiliki kandungan serat yang tinggi, yaitu 5,60 mg/100 g (Wirakusumah, 1998). Kandungan gizi dalam 100 gram buah jambu biji merah adalah seperti yang tampak pada Tabel 1.

Tabel 1.Kandungan gizi buah jambu biji merah per 100 gram

Jenis zat gizi Banyaknya kandungan gizi

Energi (kal) 49,00 Protein (g) 0,90 Lemak (g) 0,30 Karbohidrat (g) 12,20 Kalsium (mg) 14,00 Fosfor (mg) 28,00 Serat (g) 5,60 Besi (mg) 1,10 Vitamin A (RE) 4,00 Vitamin C (mg) 87,00 Vitamin B1 (mg) 0,05 Vitamin B2 (mg) 0,04 Vitamin B3(mg) 1,10 Sumber : Wirakusumah (1998).

Perubahan Fisika dan Kimia Buah Selama Pematangan

Secara umum buah masak mengalami perubahan fisika dan kimia setelah panen. Sebagian besar perubahan fisika dan kimia yang terjadi berhubungan dengan metabolisme oksidatif, termasuk di dalamnya proses respirasi. Keadaan ini menentukan mutu buah yang akan dibeli oleh konsumen. Pemasakan adalah hasil dari perubahan yang kompleks, kebanyakan dari perubahan tersebut mungkin terjadi sendiri-sendiri bebas satu sama lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu pemasakan buah adalah pematangan biji, perubahan kecepatan respirasi, perubahan kecepatan produksi etilen, perubahan permeabilitas jaringan (tekstur atau kekerasan luar), perubahan komposisi senyawa pektin, karbohidrat,

asam organik, vitamin C, produksi cita rasa dan perkembangan lilin pada kulit (Zulfebriadi, 1988).

Perubahan kekerasan

Kekerasan buah setelah dipanen dan disimpan akan mengalami penurunan, baik kulit maupun dagingnya. Pemecahan polimer karbohidrat, khususnya senyawa pektin dan hemiselulosa, menyebabkan dinding sel dan daya ikat kohesif menjadi lemas sehingga kekerasan akan semakin berkurang (Wills, dkk.,1981).

Tekstur buah bergantung pada ketegangan, ukuran, bentuk, keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang, dan susunan tanamannya. Selain itu, tekstur buah sangat bervariasi dan tergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan total zat padat, dan kandungan pati. Selama penyimpanan, turunnya ketegangan disebabkan oleh pembongkaran protopektin yang tak larut menjadi asam pektat dan pektin yang lebih mudah larut dalam air (Pantastico, 1986).

Menurut Apandi (1984) perubahan tekstur yang terjadi pada buah yaitu dari keras menjadi lunak sebagai akibat terjadinya proses kelayuan akibat respirasi dan transpirasi. Proses kalayuan ini merupakan masa senescence atau penuaan yang disusul dengan kerusakan buah. Adanya proses respirasi dan transpirasi menyebabkan buah dan sayur kehilangan air akibat berkurangnya karbon dalam proses respirasi.

Perubahan total gula

Total gula pada buah-buahan selalu meningkat karena terjadinya degradasi dari karbohidrat dan menurun pada hari tertentu karena gula digunakan untuk proses respirasi akan diubah menjadi senyawa lain. Total gula tersebut selanjutnya

10

digunakan untuk melakukan aktifitas seluruh sisa hidup dari buah tersebut (Winarno dan Aman, 1981).

Menurut Rachmawati (2010), degradasi pati menjadi gula sederhana menyebabkan terjadinya peningkatan total gula dan selanjutnya terjadi penurunan total gula disebabkan sebagian gula digunakan dalam proses respirasi atau diubah dalam senyawa lain.

Perubahan asam organik

Umumnya yang menyebabkan asam organik pada buah menurun selama pematangan dikarenakan sebagian asam organik tersebut digunakan untuk mendukung proses respirasi atau dalam aktifitas metabolik, serta sebagai sumber energi (Wills, dkk., 1981).

Selama pematangan biasanya asam-asam organik pada buah menurun karena menjadi substrat respirasi atau dikonversi menjadi gula untuk aktivitas metabolik buah. Asam dapat dianggap sebagai sumber energi cadangan pada buah. Pengecualian untuk buah pisang dan nenas, pada tahap matang penuh kandungan asamnya tetap tinggi (Hartanto, 2002).

Perubahan vitamin C

Asam askorbat atau vitamin C dalam jaringan disintesis dari heksosa. Kandungan heksosa akan meningkat selama masa penyimpanan, akibatnya asam askorbat akan mengalami peningkatan pula (Suharto, 1991). Penurunan kadar vitamin C dalam buah diakibatkan terjadinya proses oksidasi spontan baik oleh suhu, cahaya maupun udara sekitar yang menyebabkan vitamin C terdegradasi sehingga terjadi penurunan jumlah vitamin C di dalam buah. Mekanisme oksidasi spontan terjadi sebagai berikut : monoanion asam askorbat merupakan sasaran

penyerangan oksidasi oleh molekul oksigen menghasilkan radikal anion askorbat dan H2O yang diikuti pembentukan dehidro asam askorbat dan hidrogen peroksida. Dehidro asam askorbat (asam L-dehidroaskorbat) merupakan bentuk oksidasi dari asam L-askorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Namun asam L-dihidroaskorbat bersifat sangat labil dan mengalami perubahan menjadi 2,3-L-diketogulonat (DKG). DKG yang terbentuk sudah tidak mempunyai keaktifan vitamin C lagi sehingga jika DKG tersebut sudah terbentuk maka akan mengurangi bahkan menghilangkan vitamin C yang ada dalam produk (Andarwulan dan Sutrisno, 1992).

Kulit Ubi Kayu

Menurut sejarahnya tanaman ubi kayu yang ada di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi pada tahun 1852 Kebun Raya Bogor mendatangkan bibit ubi kayu dari Suriname. Setelah itu bibit-bibit tersebut diperbanyak, dan pada tahun 1854 dikirim ke semua keresidenan di seluruh pulau Jawa. Akibat berkobarnya Perang Dunia I dan macetnya impor beras, penanaman ubi kayu diperluas dengan cepat, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya kekurangan bahan pangan (Sosrosoedirjo, 1992). Berikut di bawah ini merupakan klasifikasi dari tanaman ubi kayu (Steenis, 2005) :

Division : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub Diviso : Angiospermae (berbiji tertutup) Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Euphorbiales Familia : Euphorbiacee Genus : Manihot

12

Spesies : Manihot utilissima Pohl., Manihot esculenta Crantz sin.

Ubi kayu (Manihot utilssima Pohl.) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, ubi kayu, atau kasape. Ubi kayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brasil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok. Ubi kayu diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Hambali, dkk., 2007).

Kulit umbi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Cranz atau Manihot utilissma Pohl) merupakan limbah utama pangan di negara-negara berkembang. Semakin luas areal tanaman ubi kayu diharapkan produksi umbi yang dihasilkan semakin tinggi yang pada gilirannya semakin tinggi pula limbah kulit yang dihasilkan. Setiap kilogram ubi kayu biasanya dapat menghasilkan 15-20% kulit umbi. Kandungan pati kulit ubi kayu yang cukup tinggi, memungkinkan digunakan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme (Muhiddin, dkk., 2000). Kulit ubi kayu mempunyai komposisi yang terdiri dari karbohidrat dan serat. Menurut Grace (1977), persentase kulit ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 8-15% dari berat umbi yang dikupas, dengan kandungan karbohidrat sekitar 50% dari berat kulit. Berikut di bawah ini gambar ubi kayu beserta struktur bagiannya (Gambar 1).

Gambar 1. Ubi kayu dan struktur bagiannya

Menurut data BPS (2015) produktivitas ubi kayu di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 23.436.384 ton, dan diramalkan produksi pada tahun 2015 sebesar 23.969.869 ton. Limbah kulit ubi kayu yang dihasilkan adalah sebesar 16% dari bobot tersebut (Hidayat, 2009). Ubi kayu dipanen pada umur 6-8 bulan untuk varietas Genjah dan 9-12 bulan untuk varietas Dalam (Prihatman, 2000). Kulit ubi kayu merupakan limbah berupa kupasan hasil pengolahan gaplek, tapioka, tape, dan panganan berbahan dasar ubi kayu lainnya. Potensi kulit ubi kayu di Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah satu penghasil ubi kayu terbesar di dunia dan terus mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya. Berikut disajikan kandungan yang terdapat pada kulit ubi kayu pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kandungan kulit ubi kayu per 100 gram

Komposisi Kulit ubi kayu

Kalori (kkal) 157 Protein (g) 8,11 Lemak (g) 1,29 Karbohidrat (g) 74,73 Serat kasar (mg) 15,20 Air (g) 17,00 Sumber : Rukmana (1997).

14

Kulit ubi kayu juga mengandung kadar asam biru atau asam sianida (HCN). Kandungan asam sianida dalam kulit ubi kayu dapat dikurangi melalui beberapa perlakuan tertentu agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Dilaporkan oleh Cuzin dan Labat (1992) bahwa total kandungan asam sianida pada kulit ubi kayu berkisar antara 150 sampai 360 mg HCN per kg berat segar. Namun kandungan asam sianida ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong (De Bruijn, 1973). Richana (2012) mengatakan bahwa asam sianida mudah hilang selama diproses seperti dalam perendaman, pengeringan, perebusan, dan fermentasi.

Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik dan disusun oleh unit D-glukopiranosa, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian dan umbi-umbian. Pati ini sendiri tidak memiliki sifat yang sama antara satu dengan yang lainnya tergantung dari panjang rantai karbonnya, lurus atau bercabang (Jane, 1995; Koswara, 2006; Winarno, 2008). Bentuk pati ini sendiri berupa butiran-butiran kecil yang biasa disebut sebagai granula pati. Bentuk dari granula pun bermacam-macam tergantung jenis pati. Pati tersusun dari tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan lain seperti, protein dan lemak. Umumnya pati mengandung 15–30% amilosa, 70–85% amilopektin dan 5–10% bahan antara. Struktur dan jenis bahan antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Amilosa merupakan fraksi yang larut dalam air (suhu ruang) sedangkan amilopektin tidak larut. Amilosa memiliki struktrur lurus yang dominan dengan ikatan α -(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin tersusun dari struktur lurus α-(1,4)-D-glukosa dan

mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Greenwood dan Munro, 1979; Winarno 2008).

Pati alami umumnya memiliki jumlah amilopektin yang lebih banyak dibandingkan amilosa, karena itu molekul pati tidak mudah larut air dingin. Amilosa memiliki sifat sangat hidrofilik karena banyak mengandung gugus hidroksil dibandingkan dengan amilopektin. Molekul amilosa cenderung membentuk susunan paralel melalui ikatan hidrogen. Kumpulan amilosa dalam air (air panas) sulit membentuk gel, meski konsentrasinya tinggi. Berbeda dengan amilopektin yang strukturnya bercabang, pati akan mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air panas (Winarno, dkk.,1980).

Edible Coating

Menurut Gennadios, dkk. (1990), edible coating merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode pencelupan (dipping) merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama pada sayuran, buah daging dan ikan, di mana produk dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating.

Edible coating dapat membentuk suatu pelindung pada bahan pangan karena berperan sebagai barrier yang menjaga kelembapan, bersifat permeable

terhadap gas-gas tertentu, dan dapat mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan perubahan komposisi nutrisi. Edible coating

digunakan pada buah-buahan dan sayuran untuk mengurangi terjadinya kehilangan kelembapan, memperbaiki penampilan, sebagai barrier untuk

16

pertukaran gas dari produk ke lingkungan atau sebaliknya, serta sebagai antifungal dan antimikroba (Krochta, dkk., 1994).

Komponen utama penyusun edible coating terdiri atas tiga kategori, yaitu hidrokoloid, lipid, dan komposit (campuran). Hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai penyusun edible coating adalah protein (gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung, dan gluten gandum) dan polisakarida (pati, alginat, pektin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya). Sedangkan lipid yang dapat digunakan sebagai bahan penyusun edible coating adalah lilin, bees wax, gliserol, dan asam lemak. Sering juga ditambahkan bahan baku seperti antimikroba, antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer dalam pembuatan coating (Kroctha, dkk., 1994).

Edible coating yang terbuat dari hidrokoloid memiliki beberapa kelebihan di antaranya baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, lipid, serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kekurangannya adalah coating dari polisakarida kurang baik digunakan untuk mengatur migrasi uap air, sedangkan coating dari protein biasanya sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Edible coating yang dibuat dari lipid memiliki beberapa kelebihan, di antaranya baik digunakan untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk konfeksionari. Kekurangannya adalah kegunaannya dalam bentuk murni sebagai

coating terbatas, karena cukup banyak kekurangan integritas dan ketahanannya (Donhowe dan Fennema,1993, diacu dalam Krochta, dkk.,1994).

Beberapa keuntungan yang diperoleh apabila produk dikemas dengan

edible coating yaitu: (1) menurunkan aw permukaan bahan sehingga kerusakan oleh mikroorganisme dapat dihindari; (2) memperbaiki struktur permukaan bahan

sehingga permukaan menjadi mengkilat; (3) mengurangi terjadinya dihidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah ; (4) mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi dapat dihindari (ketengikan dapat dihambat); (5) sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami perubahan; dan (6). memperbaiki penampilan produk (Santoso, dkk., 2004).

Respirasi

Setelah pemanenan, buah dan sayuran masih melangsungkan kegiatan metabolisme. Selama kegiatan terjadi degradasi komponen di dalam buah dan sayur menjadi komponen yang lebih sederhana. Proses tersebut terus berlangsung hingga akhirnya buah dan sayur menjadi layu dan busuk. Aktivitas metabolisme adalah respirasi atau pernapasan, di mana terjadi penyerapan oksigen (O2) dan pelepasan karbondioksida (CO2) melalui pemecahan komponen-komponen yang terkandung di dalam buah dan sayur tersebut. Selain itu, terjadi juga transpirasi (pelepasan uap air) melalui pori-pori permukaan buah dan sayur. Transpirasi yang terus-menerus terjadi, pada akhirnya akan menyebabkan buah dan sayur menjadi layu (Wulandari, 2006).

Apabila persediaan oksigen menipis maka buah-buahan cenderung untuk melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Senyawa organik yang biasa digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah glukosa yang akan menghasilkan beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol, atau asam. Bila buah-buahan melakukan fermentasi, maka energi yang diperoleh lebih sedikit per satuan substrat dibandingkan dengan cara pernapasan (respirasi). Oleh karena itu, bila buah-buahan melakukan proses fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energi, diperlukan substrat (glukosa) dalam jumlah yang banyak sehingga dalam

18

waktu yang singkat persediaan substrat akan habis dan akhirnya buah tersebut akan mati dan busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

Gliserol

Aplikasi edible coating polisakarida sering dikombinasikan dengan beberapa pangan fungsional seperti resin, plasticizer, surfaktan, minyak, lilin (waxes), dan emulsifier yang memiliki fungsi memberikan permukaan yang halus dan mencegah kehilangan uap air (Kroctha, dkk., 1994). Menurut Banker (1966),

plasticizer merupakan substansi tidak mudah menguap (non volatile), memiliki titik didih yang tinggi, dan bila ditambahkan ke dalam suatu materi dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik materi tersebut. Plasticizer dapat mengurangi gaya intermolekul sepanjang rantai polimer, sehingga mengakibatkan fleksibilitas edible film meningkat, dan mengakibatkan naiknya permeabilitas film

tersebut. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible coating untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah (Kester dan Fennema,1989).

Salah satu plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible coating adalah gliserol. Gliserol efektif sebagai plasticizer karena kemampuannya mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekular sehingga dapat melunakkan struktur film. Gliserol bersifat humektan, di mana bagian dari aksi

plasticizing berasal dari kemampuannya untuk menahan air pada edible coating

tersebut (Lieberman dan Gilbert, 1973). Berikut struktur kimia gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur gliserol (Pixshark, 2015)

Carboxymethyl Cellulose (CMC)

Carboxymethyl cellulose (CMC) banyak digunakan sebagai bahan penstabil pada berbagai jenis makanan. Jenis CMC yang banyak dipakai pada industri makanan adalah garam Na carboxy methyl cellulose, atau disingkat CMC, yang dalam bentuk murninya disebut gum selulosa. CMC dapat dibuat dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na kloroasetat (Winarno, 1997). Struktur kimia CMC dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur CMC (Weikem, 2010)

CMC mempunyai sifat larut dalam air panas maupun dingin, tetapi tidak dapat larut dalam pelarut organik. CMC masih dapat larut dalam campuran air dan pelarut yang larut air seperti etanol dan aseton (Kroctha, dkk., 1994). Kekentalan larutan CMC dipengaruhi oleh pH larutan karena adanya gugus karboksil. Adapun

20

pH optimum CMC adalah 5 dan pada pH<3 CMC akan mengendap (Winarno, 1997).

CMC mampu bereaksi dengan gula, pati, dan hidrokoloid lainnya. Selain itu, CMC juga membantu melarutkan protein yang berada dalam bahan pangan seperti kasein, gelatin, dan protein kedelai. CMC jarang digunakan sebagai bahan dasar tunggal dalam pembuatan edible film. Akan tetapi kemampuannya dalam membentuk film yang kuat dan tahan minyak sangat baik diaplikasikan (Kroctha, dkk., 1994).

CMC banyak dimanfaatkan dalam formulasi coating untuk melapisi produk-produk segar maupun olahan karena fungsi yang dimilikinya. Beberapa fungsinya adalah untuk menjaga tekstur alami, kerenyahan dan kekerasan produk, menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, dan mengurangi penyerapan oksigen tanpa menyebabkan peningkatan karbondioksida pada jaringan buah-buahan (Kroctha, dkk., 1994).

Penambahan CMC dalam pembuatan film bertujuan untuk memperbaiki penampakan, kekompakan, kekuatan, laju transmisi zat, serta mempercepat pembentukan matrik film. Pembentukan film akan memerlukan energi yang cukup besar dan waktu yang cukup lama bila tidak ditambahkan CMC, bahkan film yang dihasilkan kurang cerah, rapuh, dan kurang kompak (Hikmat, 1997).

Antioksidan

Antioksidan merupakan semua bahan yang dapat menghambat oksidasi tanpa memperhatikan mekanismenya (Fennema, 1996). Penambahan antioksidan pada bahan pangan ditujukan agar bahan pangan tersebut tetap dapat dikonsumsi untuk periode penyimpanan yang lebih panjang (Coppen, 1989). Menurut Ketaren

(1985), antioksidan yang digunakan dalam bahan pangan seharusnya mempunyai beberapa sifat, yaitu aman bila digunakan, tidak menimbulkan perubahan-perubahan bau dan warna, efektif dalam konsentrasi rendah, mampu bertahan dalam proses pemasakan, dan memiliki harga yang murah. Efektifitas antioksidan terhadap kecepatan atau tingkat oksidasi dipengaruhi oleh struktur antioksidan, kondisi oksidasi, dan jenis sampel yang teroksidasi.

Antioksidan dibagi menjadi dua kategori, yaitu antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer berfungsi dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal dengan cara melepaskan atom hidrogen, seperti tokoferol, sesamol, asam askorbat, butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluena (BHT), dan

propyl galate (PG). Antioksidan ini dapat bereaksi dan menstabilkan radikal lipid (Winarno, 1997).

Antioksidan sekunder (pelindung) berfungsi dalam mereduksi kecepatan rantai inisiasi melalui berbagai mekanisme. Mekanisme antioksidan dapat terjadi melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan (scavenger) oksigen, dan dekomposisi hidroperoksida menjadi produk non radikal. Beberapa contoh senyawa antioksidan sekunder adalah turunan asam fosfat, asam askorbat, senyawa karoten, sterol, fosfolipid, dan produk reaksi Maillard. Fungsi utama antioksidan sekunder adalah mencegah terbentuknya radikal yang paling berbahaya, yaitu radikal hidroksil (Taher, 2003).

Penambahan antioksidan dalam edible coating berfungsi untuk meningkatkan stabilitas dan menjaga nilai gizi dan warna produk makanan dari ketengikan oksidatif, degradasi, dan penurunan mutu warna. Adapun jenis antioksidan tersebut adalah asam (baik dalam bentuk garam maupun ester) dan

22

komponen fenolik (Sherwin, 1990). Asam yang dapat digunakan berupa asam sitrat, asam askorbat dan esternya, yang berfungsi untuk mengkelat logam atau bersifat sinergis ketika digunakan sendiri maupun kombinasi keduanya. Komponen fenolik yang dapat digunakan sendiri antara lain : butyl hidroksi toluene (BHT), butyl hidroksi anisol (BHA), tetra butirat hidroksi kuinon

(TBHQ), propil galat, dan tokoferol yang berfungsi untuk menghambat oksidasi yang berhubungan dengan lemak dan minyak makanan (Kroctha, dkk., 1994) Asam Askorbat

Asam askorbat (vitamin C) merupakan vitamin yang bersifat larut dalam air. Vitamin C dapat berbentuk sebagai asam askorbat dan asam L-dehidroaskorbat dan keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam askorbat bersifat sangat mudah teroksidasi secara reversible (reaksi balik) menjadi asam L-dehidroaskorbat. Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi (Winarno, 1997).

Asam askorbat memiliki rumus empiris C6H8O6 yang dalam bentuk murninya berupa kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau, dan mencair pada suhu 190-192 ºC. Asam askorbat bersifat reduktor kuat dan berasa asam, sangat mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan tidak larut dalam benzene,

eter, kloroform, minyak, dan sejenisnya (Andarwulan dan Sutrisno, 1992).

Asam askorbat dalam bahan pangan berfungsi sebagai penangkap oksigen sehingga mencegah proses oksidasi, mendegenerisasi fenolik atau antioksidan

Dokumen terkait