• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kefir

Menurut Ide (2008) dalam Aristya, dkk., (2013) pada fermentasi kefir terjadi simbiosis mutualisme antara Lactobacillus acidophilus dan Sacharomyces cereviceae, yang menyebabkan penurunan pH dan kenaikan nilai total asam

tertitrasi yang merubah laktosa menjadi glukosa dan asam laktat. Asam tersebut akan dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi alkohol dan CO2 serta zat untuk mendukung kehidupan BAL. Nilai asam tertitrasi kefir berkisar antara 0,85-1%.

Standar kefir menurut Codex Standard (2001) ialah kefir harus mengandung protein ≥ 2,8 %, lemak <10 %, total asam (% asam laktat) ≥ 0,6 %, jumlah bakteri asam laktat ≥ 107 (cfu/g) dan khamir ≥ 104 (cfu/g). Kefir merupakan pangan fungsional yang mengandung bakteri baik atau yang biasa disebut probiotik, dengan kandungan bakteri baiknya kefir dapat bertindak sebagai probiotik pada usus dengan mengurangi jumlah bakteri patogen yang ada pada usus. Kefir memiliki segudang manfaat bagi kesehatan tubuh diantaranya adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kanker pada usus, mencegah pembesaran sel tumor, memperkecil jumlah kolestrol di dalam darah, hingga

mampu memicu terbentuknya sistem kekebalan tubuh yang baru (Julianto, dkk., 2016).

Kefir adalah salah satu pangan fungsional yang mengandung probiotik, yang berbahan dasar susu fermentasi dan penambahan biji kefir. Kefir grains memiliki setidaknya 40 jenis mikroba yang bermanfaat. Kefir memiliki kemiripan

68

dengan yoghurt, namun kefir memiliki viskositas yang lebih encer dengan gumpalan susu yang lebih lembut. Kefir mengandung senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Selama inkubasi dihasilkan peptida dan eksopolisakarida yang mengandung zat bioaktif (Wisudanti, 2017). Adapun standar mutu kefir bisa dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Standarii mutuii kefirii

Komposisiii Kefirii

Proteinii (% m/m) Minimal 2,7

Lemakii (% m/m) Kurang dari 10,0

Totalii asamii (% m/m) Minimal 0,6 Etanol (% vol/w) Minimal 0,5 Jumlahii mikroorganismeii (cfu/g) Minimal 107 Jumlahii yeastii (cfu/g) Minimal 104

Sumberii: CODEXii Standarii Forii Fermentedii Milkii (CODEXii Stanii 243ii-2003ii)

Menurut Mubin dan Zubaidah, (2016) dalam Kinteki, dkk., (2018), kefir memiliki banyak manfaat dalam bidang kesehatan, contohnya seperti kefir lebih efektif dibanding yoghurt untuk memperlambat perkembangan sel tumor, dapat memelihara kesehatan saluran gastrointestinal dari serangan mikroorganisme yang merugikan, memelihara fungsi metabolisme dan imun tubuh, dan menjaga kadar kolesterol darah. Dari segi organoleptik kefir mirip dengan yoghurt, tetapi kefir memiliki ciri khas yang membedakannya dari yoghurt seperti gumpalan susu lebih halus, viskositas kefir yang lebih encer dan baunya mirip dengan tape.

Mikroorganisme yang digunakan untuk menghasilkan yoghurt hanya berupa L. bulgaricus dan S. thermophilus. Selama pertumbuhan terjadi simbiosis antara kedua strain yang menyebabkan asidifikasi dan fermentasi. Didalam kefir sendiri terdiri dari bakteri dan khamir yang bersimbiosis menghasilkan zat berupa asam yang menurunkan pH dan menghasilkan alkohol serta CO2, zat-zat ini yang kemudian akan menghasilkan cita rasa yang unik pada kefir (Hidayat, dkk., 2006)

68

Kefir berbeda dengan yoghurt terutama pada jenis mikroorganisme yang dibutuhkan selama proses inkubasi. Bakteri pada yoghurt hanya bersifat sebagai prebiotik dengan cara menjaga sistem pencernaan tetap steril dari mikroorganisme kontaminan dan memberikan asupan bagi mikroorganisme yang dibutuhkan pada pencernaan. Namun kefir mampu untuk secara aktif membersihkan saluran usus dimana yoghurt tidak mampu melakukannya. Kefir mengandung strain bakteri seperti Lactobacillus, Leuconostoc, Streptococcus yang tidak dapat ditemukan didalam yoghurt. Di dalam kefir terdapat yeast yang bermanfaat, yaitu Sacharomyces yang mendominasi, mengontrol dan menghilangkan patogen pada

saluran pencernaan. Kefir bersifat sebagai minuman probiotik karena mengandung bakteri aktif didalamnya sedangkan yoghurt hanya sebagai minuman prebiotik yang merangsang pertumbuhan bakteri baik (Buckle, dkk., 2010).

Tanaman Kelor

Menurut Tilong (2012) dalam Aminah, dkk., (2015) Moringa oleifera adalah nama latin tanaman kelor yang hidup pada wilayah tropis. Tanaman kelor merupakan keluarga perdu dengan ketinggian hingga 7-11 meter dan dapat berkembang dengan baik pada dataran rendah hingga 700 mdpl. Tanaman kelor bisa hidup dengan baik di kondisi cuaca kering dengan ketahanan kekeringan sampai 6 bulan.

Tanaman kelor memiliki daun yang berbentuk bundar dengan pinggiran daun kelor rata dan kecil serta tersusun majemuk pada satu batang. Bagian daun pada tanaman moringa memiliki warna hijau terang dan berubah semakin gelap seiring pertambahan usianya. Daun muda bertekstur lembut, sedangkan daun yang berusia lebih lama memiliki tekstur keras dan lebih kaku. Tepung daun moringa

68

biasanya dibuat dari bahan baku daun moringa yang sudah berusia lebih lama (Aminah, dkk., 2015).

Tanaman kelor memiliki bunga berwarna kuning pucat dengan penutup pelepah berwarna hijau. Tanaman moringa dijuluki sebagai tanaman yang memiliki keajaiban karena mengandung segudang gizi seperti, vitamin esensial, mineral, asam amino, anti aging dan anti radang. Daun moringa sering dimanfaatkan untuk pengobatan alternatif di beberapa negara, dan terbukti mampu untuk menghalangi lebih dari 300 penyakit. Tanaman moringa sendiri dapat digunakan sebagai stimulan jantung dan peredaran darah, anti tumor, antipiretik, anti epilepsi, anti inflamasi, anti maag, diuretik, anti hipertensi, penurun

kolesterol, anti jamur, anti diabetes, anti bakteri dan antioksidan (Putra, dkk., 2016).

Berbagai daerah di Indonesia kelor memiliki beragam nama, seperti dari Lampung sampai Bali menyebutnya dengan kelor, sedangkan di daerah Madura disebut dengan maronggih, moltong di Flores, dan barunggai di daerah Sumatera.

Tanaman kelor termasuk dalam familia monogenerik yaitu Moringaceae yang sering dikembangbiakan, dimana tanaman ini berasal dari negara asia selatan seperti Pakistan (Isnan, dan Nurhaedah, 2017). Pada Gambar 1 menunjukkan gambar tanaman kelor.

68

Gambar 1. Tanaman kelor

(Sumber: Isnan, W, dan Nurhaedah, M. 2017)

Menurut Hidayat (1991) dalam Aminah, dkk., (2005) klasifikasi kelor (Moringa oleifara Lamk) ialah:

Kingdomii : Plantaeii Divisiii : Spermatophytaii Subdivisiii : Angeospermaeii Klasii : Dicotyledoneaeii Ordoii : Brassicalesii Familiaii : Moringaceaeii Genusii : Moringaii

Spesiesii : Moringaii oleiferaii Lamkii

Adapun kandunganii nilaiii giziii daunii kelorii segarii danii keringii dapat diamati padaii Tabelii 2.

Tabelii 2. Kandunganii nilaiii giziii daunii kelorii segarii danii keringii

Komponenii giziii Daunii segarii Daunii keringii

Kadar air (%) 75,00 7,50

Protein (%) 11,90 27,20

Lemak (%) 1,10 7,10

Kadar abu(%) 2,30 3,87

Karbohidrat (%) 13,40 38,20

Sumber: Rachmawati dan Suraiwati, (2019)

68

Adapun komponen amino acid/100 g daun kelor dapat diamati padaii Tabelii 3.

Tabelii 3. Komponen amino acid/100 g daunii kelorii

Komponenii asamii aminoii Daunii segar Daunii keringii

Arginin (mg) 406,6 1.325

Histidin (mg) 149,8 613

Isoleusin (mg) 299,6 825

Leusin (mg) 492,2 1.950

Lisin (mg) 342,4 1.325

Metionin (mg) 117,7 350

Penilalanin (mg) 310,3 1.388

Treonin (mg) 117,7 1.188

Triptopan (mg) 107,0 425

Sumber: Aminah, dkk., (2015)

Menurut Fatimah dan Wardani (2014) daun kelor memiliki aroma langu yang cukup kuat, namun aroma tersebut dapat diminimalisir dengan pemetikan berkala dan dibersihkan kemudian disimpan di suhu 30-32ºC. Daun kelor memiliki enzim protease yang menyebabkan aromanya langu. Enzim pada daun kelor segar dapat juga diminimalisir dengan cara lain yaitu dengan memblansir

daun kelor 5 menit yang menginaktivasi enzim protease. Menurut Khasanah dan Astuti, (2019) penyebab lain daun kelor memiliki aroma yang

kurang sedap adalah karena daun kelor mengandung enzim lipoksidae dimana enzim bekerja dengan menghidrolisis senyawa pada asam lemak membentuk senyawa lain yang menyebabkan bau langu, dimana senyawa tersebut masuk dalam golongan heksanal 7 dan heksanol.

Antioksidan

Pengujian antioksidan daun moringa menggunakan uji (DPPH). Radikal bebas DPPH dengan elektron tunggal akan tampak ungu. Ketika elektron berikatan maka warnanya menjadi kuning. Transformasi warna ungu ini

68

disebabkan senyawa difenil pikril hidrazin yang terbentuk dari reaksi antara DPPH dan H+ dari senyawa sampel, hingga mengubah warna ungu DPPH menjadi kuning. Spektrofotometer UV-Vis akan menangkap perubahan tersebut sehingga terjadi perubahan serapan pada spektrum max DPPH, yang menyebabkan aktivitas perendaman DPPH direpresentasikan dengan IC50 (Inhibitory concentration) dapat diketahui. IC50 diartikan banyaknya senyawa uji yang mampu mereduksi DPPH hingga 50%. Kemampuan antioksidan untuk meredam radikal bebas berbanding terbalik dengan IC50 (Rizkayanti, dkk., 2017). Adapun reaksi senyawa antioksidan dan molekul DPPH bisa diketahui padaii Gambarii 2.

Gambarii 2. Reaksiii senyawa antioksidan dan molekulii DPPHii

(Sumber: Prakash, (2011) dalam Rizkayanti, dkk., (2017))

Radikal bebas adalah molekul dengan elektron tunggal pada orbital terluar yang memiliki reaktivitas yang tinggi. Radikal bebas menghasilkan reaksi berantai ketika terjadi di dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan secara terus menerus. Secara alami sebenarnya tubuh mempunyai kemampuan untuk menangkal radikal bebas dengan membentuk antioksidannya secara alami yang disebut dengan antioksidan endogen yaitu enzimii superoksidaii dismutase, katalasei, dan glutationii peroksidaseii. Molekul radikalii bebasii dalam tubuh bisa meningkat karena faktor dari luar seperti aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tubuh membutuhkan antioksidan yang sifatnya dari luar yang disebut

68

antioksidan eksogen sehingga mampu membentengi tubuh dari bahaya radikal bebas (Wahdaningsih, dkk., 2011).

Hasil dari penelitian menunjukkan komponen metabolitii sekunder misalnya alkaloid, tanin, steroid, terpenoid, flavonoid, saponin, quinon, dan alkaloid mampu berperan menjadi antioksidan untuk menghadang radikal bebas sehingga bisa digunakan sebagai obat-obatan. Daun kelor sendiri mempunyai komponen antioksidan yang jumlah nya lebih banyak dibanding vitamin C hingga 7 kali (Yati, dkk., 2018). Berikut merupakan hasil uji skriningii fitokimiaii dariii ekstrakii asetonii daunii kelorii yang dapatii diamati di Tabelii 4.

Tabelii 4. Hasilii uji skriningii fitokimiaii dari ekstrakii aseton daunii kelorii

No. Jenis Pemeriksaanii Hasilii

1. Alkaloidii +

2. Flavonoidii +

3. Taninii +

4. Saponinii -

5. Steroidii +

6. Triterpenoidii -

Keteranganii: (+) : Mengandungii senyawaii, (−) : Tidakii mengandungii senyawaii

Sumber: Meigaria, dkk., (2016)

Susu Kambing

Susu adalah bahan pangan yang bergizi serta lezat dengan nutrisi yang memadai. Susu memiliki komponen yang dibutuhkan tubuh diantaranya adalah vitamin, karbohidrat, lemak, mineral dan protein. Karena komponen nutrisi di susu menjadi lingkungan yang tepat bagi pertumbuhan mikroorganisme sehingga susu memerlukan perlakuan khusus seperti pemanasan atau pasteurisasi sehingga mikroba penyebab kerusakan pada susu menjadi inaktif (Ratya, dkk., 2017).

Menurut Yudiawan (2006) dalam Sutrisna, dkk., (2014) konsumsi susu kambing di Indonesia masih lebih sedikit dibanding konsumsi susu sapi, nyatanya susu dari indukan kambing mengandung komposisi kimia yang lebih unggul

68

daripada susu sapi dimana susu kambing memiliki protein sebesar 4,3% dan lemak sebesar 2,8% sedangkan protein susu sapi hanya 3,8% dengan persentase lemak yang lebih tinggi yaitu 5,0%.

Menurut Noor (2002) dalam Sawitri (2011) keunggulan susu kambing lain diantaranya yaitu protein pada susu kambing memiliki 10 asam amino essensial, kadar laktosanya kecil 4,1% sedangkan sapi 4,7%, hal ini memberikan efek baik bagi para penderita Lactose intolerance. Kelebihan lainnya yang dimiliki susu kambing yaitu susu kambing mempunyai kecepatan terdispersi lebih cepat jika dibanding dengan susu dari sapi, sebaran susunya lebih merata dan globula asam lemak lebih kecil dengan ukuran 3,49 mm dibanding molekul lemak susu sapi sebesar 4,55 mm.

Berdasarkan penelitian Zakaria, dkk., (2011) susu kambing hasil sterilisasi selama 3-6 detik memiliki protein content sekitar 4,72-4,73% dan rata–rata 4,73%. Sementara kadar lemak susu kambing yang disterilisasi dengan suhu dan waktu tersebut berkisar 2,08-3,57% dan rata-rata 3,32%. Nilai pH susu kambing dengan perlakuan diatas berkisar antara 6,09-6,36 dengan rata-rata 6,26. Hasil rataan jumlah mikroba susu kambing berkisarii antaraii 0,96 – 1,09 denganii rata-rata 1,02. Adapun kualitasii susuii kambingii segarii dapat diamati padaii Tabelii 5.

Tabelii 5. Kualitasii susuii kambingii segarii

No. Parameter Pengujian Jumlah (%)

1. Water content 84,47

2. Ash content 0,97

3. Protein content 4,36

4. Fat content 2,50

5. Crude fibercontent 0,85

6. Carbohydrat content 6,86

Sumber:Arief, dkk., (2018)

68

Lama Fermentasi

Menurut Susanti dan Utami, (2014) dalam Kinteki (2018) faktor utama yang harus dipertimbangkan pada waktu pembuatan kefir ialah waktu inkubasi, dimana dengan inkubasi 1 hari memiliki protein tertinggi. Bila waktu fermentasi terlalu panjang akan menyebabkan total BAL terlalu tinggi atau jumlahnya menurun.

Berdasarkan penelitian Haryadi, dkk., (2013) kefir susu kambing yang diinkubasi 24 jam dan konsentrasi gula 7,5% memiliki pH terendah yaitu 3,77 namun pH yang paling tinggi ada pada fermentasi 12 jam dan penambahan gula 7,5% yaitu 5,59. Semakin lama fermentasi menyebabkan pembentukan asam laktat dari laktosa semakin bertambah sehingga pH menurun dan menyebabkan produk berasa asam. Total BAL terbanyak pada waktu inkubasi 16 jam dan penambahan gula 10% yaitu sebesar 20,33108 CFU/g, namun total BAL terkecil

pada kefir tanpa penambahan gula dan waktu fermentasi 20 jam yaitu 0,53 108 CFU/g. Jumlah BAL yang untuk dikonsumsi berkisar antara 107-109.

Berdasarkan penelitian Yusriyah dan Agustini (2014) kefir yang ditambah grain 1% dan diinkubasi selama 24 jam memiliki kadar alkohol 10,404 mg/mL, sedangkan yang diinkubasi 2 hari dan konsentrasi starter 3% kadar alkoholnya 7,913 mg/mL. Selama proses fermentasi 24 sampai 72 jam, Lactobacillus bulgaricus yang menghasilkan total asam yang tinggi menyebabkan terhambatnya

khamir Candida kefir, sehingga alkohol yang dihasilkan berkurang selama waktu inkubasi 24 jam sampai 72 jam. Inkubasi selama 24 jam dan konsentrasi sebesar 1, 3, 5% menghasilkan degradasi proteolitik sebesar 5,23%, 5,84%, 6,46%.

Peningkatan degradasi proteolitik selama waktu fermentasi disebabkan aktivitas

68

enzim proteolitik pada BAL yang bekerja menguraikan protein dan menghasilkan protein terlarut, asam amino, dan peptida.

Lama fermentasi pada kefir akan mempengaruhi sifat organoleptik pada kefir. Menurut Kinteki, dkk., (2018) faktor lama inkubasi tidak berpengaruh pada jumlah lemak yang menyebabkan tidak terjadinya perubahan warna, namun menghasilkan pengaruh signifikan pada aroma kefir susu kambing. Perubahan aroma terjadi karena degradasi yang dilakukan oleh yeast sehingga menimbulkan bau alkohol yang tajam. Penambahan waktu fermentasi akan mempengaruhi rasa kefir sehingga meningkatkan pembentukan asam-asam organik.

Penelitian Sebelumnya

Kelor adalah satu diantara jenis tanaman yang memiliki banyak nutrisi seperti kaya akan protein, antioksidan, mineral dan berbagai asam amino namun masih jarang dimanfaatkan. Berdasarkan teori Diantoro, dkk., (2015) daun kelor pada yoghurt akan mempengaruhi nilai organoleptik dan kandungan gizi yoghurt yang dihasilkan. Penambahan ekstrak daun kelor dengan presentase 3, 5, dan 7%

memberikan pengaruh terhadap rasa, aroma, warna, dan kekentalan produk.

Perlakuan terbaik dari penelitian tersebut diperoleh pada ekstrak daun kelor sebanyak 5%.

Berdasarkan penelitian Haryadi, dkk., (2013) semakin lama waktu fermentasi akan menyebabkan nilai pH kefir susu kambing mengalami penurunan.

Sedangkan total BAL meningkat seiring dengan peningkatan waktu fermentasi.

Waktu inkubasi akan mempengaruhi sifat fisikokimia dan organoleptik kefir.

Menurut Kinteki, dkk., (2018) waktu inkubasi berpengaruh tidak nyata pada warna kefir, tetapi berpengaruh pada aroma dan rasa kefir.

68

Menurut Safitri dan Swarastuti (2013) pemberian konsentrasi starter 2,5:

5: 7,5% dan lama fermentasi 8, 16, 24 jam berpengaruh pada total mikroba, tetapi tidak ada pengaruh pada interaksi keduanya, lama inkubasi berpengaruh pada kekentalan kefir namun konsentrasi starter tidak berpengaruh pada kekentalan kefir. Perlakuan kedua faktor diatas juga tidak mempengaruhi nilai organoleptik pada kefir.

BAHANii DANii METODEii

Waktuii danii Tempatii Penelitianii

Pengambilan data berlangsung padaii Februari 2020 hingga Novemberii 2020 di Laboratorium Teknologi Pangan, Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, dan Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahanii Penelitianiiii

Bahanii yangii dipakai adalah daun kelor, starter kefir, dan susu kambing berasal dari peternakan asam kumbang, Medan.

Reagensia

Reagensia yang dipakai pada penelitian ialah NaOH 0,1 N, indikator phenolptalein, MRS Broth, PDA, heksan, kalium oksalat jenuh, DPPH, etanol 96%, formalin 40%, dan aquadest.

Alat Penelitian

Alat-alat yang dibutuhkan selama penelitian ialah panci stainless steel, gelas ukur, kain saring, baskom, tirisan, timbangan, sendok pengaduk, blender, sendok stainless steel, beaker glass, erlenmeyer, gelas ukur, labu tera, cawan petridish, corong, hotplate, pH meter, tabung reaksi, inkubator, colony counter, buret, bulb, pipet volume, stirrer, blender, aluminium foil, cling warp, refrigerator, vortex, spektrofotometer, dan tisu.

68

Metode Analisis Data

Analisis data dengan Rancanganii Acakii Lengkapii (RAL) faktorialii denganii duaii faktor, yaituii:

Faktorii Iii : Lamaii fermentasiii (S) S1ii = 12 jamii

S2ii = 16 jamii S3ii = 20 jamii

Faktor II : Persentase penambahan ekstrak daun kelor (P) P1ii = 2,5 %

P2ii = 5 % P3ii = 7,5 %

Jumlah treatmentii combinationii (Tc) ialah 3 x 3 = 9, sehingga banyaknya minimal ulanganiiii (n) ialah:

Tc (n-1) ≥ 15 9 (nii-1) ≥ 15 9 n ≥ 27 n ≥ 2,67

Akurasi penelitianii didapatkan denganii 3 kali ulangan jadi total nya ialah 27 sampel.

Modelii Rancanganii

Model Penelitian adalahii Rancangan Acak Lengkap (RAL) factorial yangii tersusunii atasii duaii faktorii, yaituii:

Ŷijk= µ + αi + βj+ (αβ)ij + εijk

Dimanaii:

68

Ŷij : Hasil pengamatan dari faktor S (taraf ke-i) dan faktor P (taraf ke-j) di ulangan ke-k

µ : Efek nilai tengah

αi : Efek faktor S pada taraf ke-i βj : Efek faktor P pada taraf ke-j

(αβ)ij : Efek interaksi faktor S pada taraf ke-i dan faktor P pada taraf ke-j

εij : Efek galat dari faktor S (taraf ke-i) dan faktor P (taraf ke-j) di ulangan ke-k

Uji Least Significant Range (LSR) dilakukan bila hasilii signifikan daniisangat signifikan.

Tahapan Penelitianiiii

Pembuatan ekstrak daunii kelor

Daunii kelor diekstrak dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Musfiroh, dkk., (2017) pertama daun kelor dipetik, lalu daun kelor dicabut dari ranting kemudian daun kelor dicuci agar kotoran yang menempel pada daun hilang. Setelah itu ditimbang daun kelor sebanyak 100 gr dan diblansir sewaktu 5 menit kemudian ditiriskan kemudian dihancurkan dengan blender dan ditambah air sebanyak 1:3. Kemudian untuk menghasilkan ekstrak, daun kelor dihancurkan dan disaring dengan kain. Dilakukan analisis protein dan antioksidan. Skema pembuatan ekstrak daun kelor ditampilkan pada Gambar 3.

Pembuatan kefir

Kefir susu kambing dibuat menggunakan teknik yang dimodifikasi dari Haryadi, dkk., (2013), susu kambing sebanyak 6 liter dipanaskan 15 detik dengan suhu 71°C, lalu didinginkan hingga suhu ruang. Disediakan botol berukuran 200

68

mL yang kemudian diisi dengan susu kambing. Kemudian ditimbang starter kefir sebanyak 0,08 gram lalu ditambah gula sebanyak 6% dan dimasukkan kedalam susu lalu ditambahkan lagi ekstrak daun kelor dengan presentase sebanyak 2,5%;

5%; dan 7,5% untuk P1; P2; serta P3. Selanjutnya, semua sampel difermentasi dengan suhu 35°C selama 12, 16, dan 20 jam untuk S1; S2; dan S3.

Analisa yang dilakukan pada kefir berupa analisa organoleptik, yaitu warnaii, aromaii, rasaii, danii teksturii dari kefir. Dilanjutkan denganii uji kadarii airii, proteinii, lemakii, pH, bakteri asam laktat, total yeast, total asam, dan antioksidan.

Skema pembuatan kefir susu kambing ditunjukkan pada Gambar 4.

Parameter Penelitian

Analisis kimia dan fisik kefir Kadarii airii

Pengujian denganii ovenii berdasarkan AOAC modifikasi (2005) yaituii cawanii bersih dioven 30 menit dengan suhu 100-105oC. Lalu didinginkan 15 menit di desikator lalu dihitung beratnya. Bahan ditimbang 10 gram di cawan (W1). Lalu dipanaskan di oven dengan suhu 100 – 105oC semasa 6 jam.

Kemudian dikeluarkan untuk dipindahkan ke desikator semasa 15 menit kemudian dihitung beratnya (W2). Langkah tadi diulang hingga bobotnya konstan. Rumus kadar airii, yaitu:

Kadarii Airii (%) = W1ii – (W2ii – W0 )

W1ii × 100%

Keterangan:

W0= berat cawan W1= berat bahan W2= berat akhir

68

Kadarii lemakii

Pengujian kadarii lemakii denganii metodeii AOAC, (1995). Pada kertas saring dimasukkan 5 g sampel, lalu diletakkan dalam soxhlet. Kemudian dirakit alat kondensor diatas soxhlet dan labu lemak dibawahnya. Labu lemak diisi dengan hexane, ditunggu selama ± 6 jam hingga heksan mengalami reflux dan warnanya jernih. Sisa heksan kemudian disuling untuk digunakan kembali. Lalu labu lemak yang digunakan dimasukkan ke oven dengan suhu 105oC sampai bobot konstan, lalu didinginkan 15 menit di desikator. Labu dan lemak ditimbang.

Rumus untuk menentukan kadar lemak, yatu :

Kadarii Lemakii (%ii) =Beratii akhirii (gii)−Beratii labuii kosongii (gii)

Beratii Sampel (gii) × 100%

Nilai pH

pH meter dibersihkan terlebihii dahuluii denganii akuades danii kemudian dilap menggunakanii tissueii. pHii meterii dikalibrasikan denganii larutanii bufferii pHii 4ii danii buffer pHii 7. Elektrodaii pada pH meter dicelupkanii keii dalamii bahan,

kemudianii ditunggu hingga nilai pH muncul pada layar pH-meter (Apriyantono, dkk., 1989).

Kadar protein

Kadar protein didapatkan dengan menggunakan teknik Sudarmadji, dkk., (1984). Pengukuran jumlah protein menggunakan titrasi formol.

Ditimbang bahan sebanyak 10 g dan ditambahkan 100 mL aquadest lalu dihomogenkan 15 menit dengan stirer. Ditambahkan aquadest ke dalam filtrat yang dihasilkan pada labu tera 100 mL dan diambil 10 mL sampel ditambahkan 20 mL aquadest, kemudian ditambahkan beberapa tetes fenolftalein 1% dan

68

kalium oksalat jenuh 0,4 mLii. Titrasiii denganii NaOHii 0,1ii Nii hinggaii merahii lembayung. Setelah di titrasi ditambahkan formalin 40% sebanyak 2 mL serta 3ii tetesii phenophtalein 1ii% lalu dititrasiii kembali menggunakan NaOHii 0,1i i. Dicatat volume NaOH dan dihitung kadar protein.

%ii Nii=Titrasiii formolii xii Nii NaOHii xii 14,008ii xii FPii

Beratii sampelii (gii) x 10 × 100%

FPii = Faktorii Pengencerii

Totalii asamii

Total asam didapatkan dengan metode Apriyantono, dkk., (1989).

Ditimbang 10 g sampel dalam beaker glass lalu masukkan aquadest 10 mL dan homogenkan. Letakkan dalam labu ukur 100 mL, tambahkan aquadest hingga tera dan saring bahan dengan kertas saring ke labu ukur lakukan hal yang sama

Ditimbang 10 g sampel dalam beaker glass lalu masukkan aquadest 10 mL dan homogenkan. Letakkan dalam labu ukur 100 mL, tambahkan aquadest hingga tera dan saring bahan dengan kertas saring ke labu ukur lakukan hal yang sama

Dokumen terkait