• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah merupakan anak yang sudah memasuki sekolah dasar yang berusia enam hingga dua belas tahun. Masa ini ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Label yang sering dipergunakan orangtua, yaitu usia yang menyulitkan, usia tidak rapih, dan usia bertengkar. Label yang dipergunakan para pendidik, yaitu usia sekolah dasar dimana anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang penting untuk kehidupannya kelak. Sedangkan, para ahli psikologi menyebut masa ini dengan sebutan usia berkelompok, usia penyesuaian diri, usia kreatif, dan usia bermain (Hurlock 1980). Anak usia sekolah memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang dibagi ke dalam karakteristik fisik-motorik dan karakteristik psikologis.

Karakteristik Fisik-Motorik

Fisik. Karakteristik fisik dan motorik anak akan semakin berkembang sesuai dengan bertambahnya usia. Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar, perkembangan fisiknya mulai tampak benar-benar proporsional. Pertumbuhan dan perkembangan fisik pada masa sekolah akan mengalami proses percepatan pada umur 10-12 tahun. Salah satunya adalah pertumbuhan berat badan dan tinggi badan, dimana penambahan berat badan per tahun akan mencapai 2,5 kilogram dan ukuran panjang tinggi badan hingga 5 sentimeter pertahunnya (Brisbane 1965, Hurlock 1980, Syah 2003, Hidayat 2004).

Perkembangan fisik yang lainnya yaitu pertumbuhan gigi. Sejak usia enam tahun, gigi susu akan mulai tanggal dan digantikan dengan gigi permanen hingga usia tiga belas tahun saat gigi permanen sudah mencapai 28 gigi. Perkembangan fisik lain yang dapat dilihat yaitu perbandingan tubuh dan perbandingan otot lemak. Meskipun kepala masih terlampau besar, namun perbandingan wajah yang sebelumnya kurang baik menghilang, badan memanjang dan lebih langsing, bagian tubuh lainnya tumbuh memanjang serta membesar (Brisbane 1965, Hurlock 1980, Syah 2003, Hidayat 2004).

Motorik. Perkembangan fisik anak tidak dapat dipisahkan dari perkembangan motoriknya. Aktifitas fisik pada anak yang semakin tinggi akan memperkuat kemampuan motoriknya. Perkembangan motorik merupakan proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik anak. Pada anak usia sekolah, kekuatan, kecepatan,

ketahanan, koordinasi, kontrol, keakuratan, dan ritme gerak akan menjadi lebih matang. Permainan anak berkembang, dari hanya sekedar petak umpat kepada permainan yang menggunakan bola atau alat permainan lainnya. Selain itu, keterampilan tangan seperti menulis, menggambar, melukis, menjahit, dan memainkan alat musik pun berkembang. Terdapat empat faktor yang mendorong kelanjutan perkembangan keterampilan motorik anak, yaitu pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf, pertumbuhan otot-otot, perkembangan dan pertumbuhan fungsi kelenjar endokrin, serta pertumbuhan struktur jasmani (Brisbane 1965, Syah 2003).

Karakteristik Psikologis

Selain karakteristik fisik dan motorik, anak usia sekolah juga memiliki karakteristik psikologis. Karakteristik psikologis ini terdiri dari karakteristik kognitif, emosi, sosial, dan moral.

Kognitif. Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak usia sekolah yang berumur antara 7-12 tahun berada dalam tahap konkrit operasional. Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget Tahap

Perkembangan

Umur Perilaku

Sensorimotor 0-2 tahun Kecerdasan motorik berkembang, belum mampu berpikir secara kompleks, tidak perhatian penuh pada objek nyata pada awal perkembangan, membangun pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensoris dengan tindakan fisik. Praoperasional 2-7 tahun Berpikir secara egosentrik, mampu

memberikan alasan menurut persepsi dan memberikan solusi secara intuisi tidak logis, mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Konkrit Operasional 7-11 atau 12

tahun

Mampu berpikir angka, berpikir secara konkrit, pemikiran sudah mulai berkembang, mampu menggolongkan benda ke dalam kelompok yang berbeda-beda.

Formal Operasional 11 atau 12-14 atau 15 tahun

Berpikir secara menyeluruh dan proporsional, mampu berhipotesis, idealisme berkembang

Dalam periode konkrit operasional, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan ini bermanfaat bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Pada periode ini anak sudah dapat mengambil kesimpulan dengan menghubungkan semua aspek, bukan hanya fokus pada satu aspek saja seperti pada periode praoperasional. Anak usia sekolah dapat berpikir lebih logis dibandingkan dengan anak yang lebih muda usianya (Papalia & Olds 1986, Syah 2003).

Emosi. Karakteristik psikologis berikutnya yaitu karakteristik emosi. Perilaku emosi menjadi lebih individual seiring bertambahnya usia. Seseorang yang lebih dewasa akan lebih mampu menyembunyikan perasaannya. Mereka mulai belajar bagaimana mengendalikan respon emosional. Anak mulai mengerti bahwa ungkapan emosi, terutama yang kurang baik, secara sosial tidak diterima oleh teman-teman sebayanya sehingga anak memiliki keinginan kuat untuk dapat mengendalikan emosinya. Perasaan takut akan beberapa hal sudah mulai berkurang. Perhatian yang berlebihan dari orangtua dianggap kekanak- kanakkan. Anak dapat lebih meredam kemarahan dan kecemburuan dalam keluarga semakin berkurang dengan meningkatnya usia sekolah (Brisbane 1965, Hurlock 1980).

Ungkapan emosional pada akhir masa kanak-kanak merupakan ungkapan yang menyenangkan. Walaupun ungkapan emosional ini dirasa kurang matang untuk orang dewasa, namun hal ini menandakan bahwa anak bahagia dan dapat menyesuaikan diri (Hurlock 1980). Usia tujuh hingga dua belas tahun adalah masa naik turunnya emosi. Secara umum, anak usia tujuh tahun menjadi lebih resisten dibanding usia enam tahun, pada usia delapan tahun anak terkadang lebih bossy namun tetap bersahabat, pada usia sembilan tahun anak menjadi lebih menyukai dan disukai orang-orang di sekelilingnya, pada usia sepuluh dan sebelas tahun (masa pubertas) anak mengalami perubahan emosi, dan pada usia dua belas tahun anak menjadi lebih pandai mengatur emosi dan menjadi lebih peduli pada orang lain (Brisbane 1965).

Sosial. Karakteristik psikologis berikutnya adalah karakteristik sosial. Perilaku sosial pada akhir masa kanak-kanak ditandai dengan minat individu terhadap aktivitas teman-teman dan adanya keinginan untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok. Anak cenderung memilih untuk berada bersama teman-teman kelompoknya dibanding berada di rumah atau bermain dengan

anggota keluarganya. Anak menyukai berkelompok bersama lebih dari dua atau tiga orang agar memiliki cukup teman untuk bermain dan berolahraga serta memberikan kegembiraan. Hal ini akan mencapai puncaknya pada usia delapan tahun dan berlangsung hingga usia pubertas (Brisbane 1965, Hurlock 1980).

Perkembangan psikososial juga termasuk ke dalam karakteristik sosial. Hidayat (2004) menyatakan bahwa perkembangan psikososial anak merupakan perkembangan anak yang ditinjau dari aspek psikososial. Konsep perkembangan ini dikemukakan oleh Erik Erikson, yaitu bahwa anak dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan sosial untuk mencapai kematangan kepribadian anak. Tahapan perkembangan psikososial anak dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2 Tahap perkembangan psikososial Erik Erikson

Tahap perkembangan Periode perkembangan

Kepercayaan versus

ketidakpercayaan Masa bayi (tahun pertama)

Otonomi versus malu dan ragu-

ragu Masa bayi (1-3 tahun)

Inisiatif versus rasa bersalah Masa kanak-kanak awal (tahun pra- sekolah, 3-5 tahun)

Rajin versus rendah diri Masa kanak-kanak tengah dan akhir

(usia SD, 6 tahun-remaja) Identitas versus kebingungan

identitas Masa remaja (10-20 tahun)

Keintiman versus isolasi Masa dewasa awal (20-an, 30-an)

Generatifitas versus stagnasi Masa dewasa tengah (40-an, 50-an) Integritas versus keputusasaan Masa dewasa akhir (> 60 tahun)

Sumber : Santrock (2007)

Tahap rajin versus rendah diri (industry versus inferiority) terjadi pada usia sekolah (6-12 tahun). Tahap ini ditandai dengan perkembangan anak yang selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan atau prestasi. Oleh karena itu, pada usia ini anak rajin dalam melakukan sesuatu, tetapi apabila harapannya tidak tercapai, maka kemungkinan besar anak akan merasa rendah diri (Hidayat 2004). Para pendidik memandang periode ini sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, yaitu suatu masa dimana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses. Tingkat perilaku untuk berprestasi pada masa anak-anak mempunyai korelasi yang tinggi dengan perilaku berprestasi pada masa dewasa (Hurlock 1980).

Moral. Karakteristik psikologis berikutnya adalah karakteristik moral. Setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral, yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma- norma yang berlaku di masyarakat. Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun, konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Anak sudah mulai mengerti salah dan benar. Bila berbohong selalu dianggap buruk oleh anak lima tahun, lain halnya dengan anak yang lebih besar, yang sadar dalam beberapa situasi berbohong dapat dibenarkan, karenanya berbohong tidak selalu buruk. Kode moral pada akhir masa kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh standar moral dari kelompok tempatnya bergabung (Hurlock 1980, Papalia & Olds 1986, Syah 2003).

Secara khusus, perkembangan anak pada masa ini adalah anak banyak mengembangkan kemampuan interaksi sosial, belajar tentang nilai moral dan budaya dari lingkungan keluarganya, serta mulai mencoba mengambil bagian dari kelompok untuk berperan. Selain itu terjadi perkembangan secara lebih khusus lagi, terjadi perkembangan konsep diri, keterampilan membaca, menulis, berhitung, dan juga belajar menghargai di sekolah (Hidayat 2004).

Sesuai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada anak usia sekolah terdapat dorongan untuk berprestasi yang cukup besar. Salah satu prestasi yang ingin dicapai anak adalah prestasi belajar.

Prestasi Belajar Siswa

Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang utama dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah yang bertujuan menghasilkan perubahan- perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, daya analisis, sintesis, dan evaluasi. Prestasi belajar merupakan output sekolah yang sangat penting dan merupakan alat pengukur kemampuan kognitif siswa. Lebih lanjut dikatakan, prestasi belajar menggambarkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan (Opit 1996, Hawadi 2001).

Menurut Hawadi (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dapat berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi:

Kemampuan intelektual. Dari beberapa penelitian, ditemukan adanya korelasi positif dan cukup kuat antara taraf intelegensi dengan prestasi seseorang, yaitu berkisar 0,70.

Minat. Seseorang akan merasa senang melakukan sesuatu jika sesuai dengan minatnya.

Bakat. Bakat merupakan kapasitas untuk belajar dan karena itu baru terwujud jika sudah mendapat latihan.

Sikap. Seseorang akan menerima atau menolak sesuatu berdasarkan penilaiannya terhadap objek yang dinilainya berguna atau tidak.

Motivasi berprestasi. Semakin tinggi motivasi berprestasi seseorang, maka akan semakin baik prestasi yang akan diraihnya.

Konsep diri. Konsep diri menunjukan bagaimana seseorang memandang dirinya serta kemampuan yang dimiliki. Siswa dengan konsep diri positif akan lebih berhasil di sekolah.

Sistem nilai. Sistem nilai merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang tentang cara bertingkah laku dan kondisi akhir dari yang diinginkannya. Sistem nilai yang dianut dapat mempengaruhi dan menentukan motivasi, gaya hidup, dan tindakan seseorang.

Faktor eksternal meliputi:

Lingkungan sekolah. Hal-hal yang mempengaruhi prestasi siswa di sekolah adalah keadaan fisik sekolah, fisik ruangan, kelengkapan alat pelajaran, disiplin sekolah, metode belajar mengajar, serta hubungan antara siswa dengan guru.

Lingkungan keluarga. Hal-hal yang mempengaruhi prestasi siswa dari keluarga adalah hubungan siswa dengan anggota keluarganya, ukuran besar keluarga, bentuk keluarga, pendidikan orangtua, dan keadaan ekonomi keluarga.

Lingkungan masyarakat. Hal ini berupa kegiatan-kegiatan yang diikuti oleh siswa seperti klub olahraga, karang taruna, dan sebagainya (Hawadi 2001).

Pengukuran kecerdasan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran secara langsung dilakukan dengan menggunakan tes psikologi yang menghasilkan taraf kecerdasan yang dikenal dengan IQ, sedangkan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan cara memonitor prestasi belajar murid, salah satunya dengan melihat nilai yang diperolehnya (Opit 1996).

Pencapaian prestasi belajar pada seorang anak akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor individunya sendiri, faktor keluarga, dan juga

faktor sekolah. Ketiga faktor ini akan bekerja sama membentuk seorang anak untuk berprestasi di sekolahnya.

Faktor Individu

Faktor individu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adalah faktor pengaruh yang berasal dari dalam diri individu, yaitu karakteristik individu, potensi akademik, dan motivasi belajar. Karakteristik individu dalam penelitian ini adalah keadaan contoh yang meliputi jenis kelamin, usia, dan urutan kelahiran.

Karakteristik Individu

Jenis kelamin. Karakteristik anak seperti jenis kelamin akan memberi reaksi yang berbeda terhadap pengasuhan. Jenis kelamin anak akan menjadi pertimbangan orang tua dalam berinteraksi dengan anak. Dalam menghadapi anak laki-laki dan perempuan, praktik pengasuhan akan berbeda karena pertumbuhan fisik, perkembangan mental, dan sosial anak (Gottman & Declaire 1998).

Gottman & Declaire (1998) dalam studinya menyatakan bahwa wanita jauh lebih leluasa dalam mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dalam kata-kata, ungkapan-ungkapan wajah, dan bahasa tubuh. Sedangkan kaum pria lebih cenderung menahan diri, menutup-nutupi, dan meremehkan perasaan- perasaan mereka. Hal ini terjadi karena, kaum pria lebih cenderung menahan diri, menutup-nutupi, dan tidak mempedulikan perasaan mereka.

Usia. Bertambahnya usia anak akan menjadikan lingkup sosial anak semakin luas. Pada masa tersebut, pengaruh teman sebaya dan lingkungan luar semakin kuat, sedangkan pengaruh keluarga semakin berkurang. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2001), perlakuan yang diberikan orangtua harus sesuai dengan tingkat kematangan anak. Dengan demikian, anak diharapkan siap menerima apa yang ingin ditanamkan orangtua, sehingga akan tersimpan dan menjadi bagian dari kepribadiannya.

Urutan kelahiran. Urutan kelahiran dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini dapat dilihat pada aspek perkembangan anak pertama atau tunggal yang secara umum kemampuan intelektualnya lebih menonjol karena sering berinteraksi dengan orang dewasa. Akan tetapi, kadang-kadang perkembangan motoriknya terlambat karena tidak ada stimulasi yang biasanya dilakukan saudara kandungnya. Demikian juga pada

anak kedua atau anak tengah, orangtua cenderung merasa biasa dalam merawat anak sehingga menjadi lebih percaya diri. Hal ini mengakibatkan kemampuan anak untuk beradaptasi lebih cepat dan mudah, namun dalam perkembangan intelektual terkadang kurang apabila dibanding dengan anak pertamanya (Hidayat 2004).

Potensi Akademik

Faktor individu selanjutnya yang dilihat dalam penelitian ini yaitu potensi akademik. Potensi akademik terkait dengan kemampuan kognitif seseorang. Kemampuan kognitif merupakan suatu keseluruhan kemampuan individu untuk melakukan tindakan yang bertujuan, berpikir secara rasional, dan untuk menghadapi lingkungan secara efektif. Kecerdasan kognitif adalah suatu kemampuan yang melibatkan proses berpikir dan mengamati, yang terbentuk melalui dua proses, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi merupakan proses dimana seseorang menghubungkan satu ide dengan ide lainnya, sedangkan adaptasi merupakan proses dimana seseorang memperoleh pengalaman baru yang dapat digunakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Riley 1992 dalam Latifah dan Dina 2002).

Kecerdasan kognitif seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor keturunan/genetik (internal) dan faktor lingkungan (eksternal). Lingkungan merupakan tempat dimana seseorang memperoleh rangsangan sosial ekonomi yang dapat menunjang kecerdasan kognitif. Rangsangan sosial ekonomi dapat diperoleh melalui proses pembelajaran (Riley 1992 dalam Latifah dan Dina 2002). Sukmadinata (2003) mengatakan, sejak seseorang lahir di dunia ada ciri- ciri, sifat, potensi, dan kecerdasan yang sudah tertanam dalam setiap individu. Hal inilah yang kemudian disebut dengan potensi akademik.

Menurut Riley (1992), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kemampuan kognitif dapat digolongkan menjadi visual processing

(selektifitas melihat), auditory processing (keakuratan pendengaran), verbal processing (kemampuan verbal), kinesthetic processing (kemampuan mengkoordinasikan kegiatan visual dan motorik), dan thinking logically

(kemampuan logika).

Visual processing (selektifitas melihat) berkaitan dengan pemahaman anak akan urutan peristiwa yang dilihat secara rasional dan kemampuan anak untuk dapat menyebutkan kembali urutan peristiwa tersebut. Auditory processing

(keakuratan pendengaran) berkaitan dengan pemahaman anak akan informasi yang didengar dan kemampuan anak untuk dapat menyebutkan kembali urutan informasi tersebut. Verbal processing (kemampuan verbal) berkaitan dengan kekayaan kosakata yang dimiliki oleh anak. Kinesthetic processing (kemampuan mengkoordinasikan kegiatan visual dan motorik) berkaitan dengan kemampuan anak untuk mengkoordinasikan apa yang dilihat dengan kecepatan motoriknya.

Thinking logically (kemampuan logika) berkaitan dengan kemampuan anak dalam berhitung dan membuat kata dari huruf-huruf yang disediakan (Riley 1992).

Motivasi Belajar

Selain potensi akademik, seorang anak memiliki motivasi yang akan mempengaruhi pencapaian prestasi belajarnya yaitu motivasi belajar. Motivasi belajar merupakan kebutuhan, keinginan, dorongan atau gerak hati dalam diri individu untuk menerima dan memahami pelajaran di sekolah. Pada anak yang masih sekolah, umum didengar keluhan bahwa mereka malas atau kurang bergairah untuk belajar. Banyak siswa yang malas mengerjakan PR dari gurunya dan cenderung acuh pada pelajaran yang diberikan di sekolah. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya motivasi belajar. Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan untuk mencapai suatu tujuan yang dapat memberikan kepuasan apabila berhasil dicapai. Dengan motivasi belajar yang baik maka diharapkan prestasi akademik siswa pun akan baik. Motivasi memberi arah dan tujuan pada kegiatan belajar, mempertahankan perilaku berprestasi, serta mendorong siswa untuk memilih dan menyukai kegiatan belajar (Hawadi 2001).

Menurut Sardiman (2006), dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar, dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai. Siswa dengan motivasi kuat akan memiliki banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Seorang siswa dengan intelegensi yang cukup tinggi akan gagal jika kekurangan motivasi. Hasil belajar akan optimal dengan motivasi yang tepat. Hal penting untuk diketahui adalah bagaimana menciptakan kondisi tertentu agar siswa selalu butuh dan ingin terus belajar karena hasil belajar akan menjadi optimal jika ada motivasi.

Hawadi (2001) dan Sardiman (2006) menyatakan dua bentuk atau ragam motivasi belajar, yaitu:

a. Motivasi belajar yang datang dari luar diri (ekstrinsik), artinya motivasi belajar yang muncul karena faktor di luar dirinya, baik dari lingkungan rumah maupun sekolah. Motivasi ekstrinsik dapat dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.

b. Motivasi belajar yang berasal dari dalam diri (intrinsik), artinya motivasi belajar yang muncul tanpa dorongan dari pihak luar. Siswa belajar karena kesadaran atau keinginannya untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, berpengetahuan, dan ahli dalam bidang studi tertentu.

Akan tetapi, pada kenyataannya ada siswa yang motivasi belajarnya lebih bersifat intrinsik, sedangkan siswa lain lebih bersifat ekstrinsik. Hal ini disebabkan adanya :

1. Faktor individual

Hasil penelitian Harter pada siswa berdasarkan dimensi intrinsik dan ekstrinsik, menunjukkan bahwa hanya siswa yang mempersepsikan dirinya untuk berkompetisi dalam bidang akademik yang mampu mengembangkan motivasi intrinsik. Siswa-siswa ini dikatakannya lebih menyukai tugas yang menantang dan selalu berusaha mencari kesempatan memuaskan rasa ingin tahunya. Sebaliknya, siswa dengan persepsi diri yang rendah lebih menyukai tugas sekolah yang mudah dan sangat tergantung pada pengarahan guru. Salah satu faktor individual antara lain pengaruh orangtua (Hawadi 2001). 2. Faktor situasional

Faktor situasional seperti besar kecilnya kelas berpengaruh terhadap pembentukan ragam motivasi siswa. Kelas besar cenderung bersifat formal, penuh persaingan dan kontrol dari guru. Dengan setting seperti ini, setiap siswa cenderung menekankan pentingnya kemampuan, bukan penguasaan bahan pelajaran. Sebaliknya, pada kelas kecil, siswa akan merasa leluasa mengatur dirinya. Kelas yang kecil terkesan tidak formal dan hal ini membuat siswa dapat membuat pilihannya sendiri (Hawadi 2001).

Peraturan ketat di sekolah, yang mengarah pada disiplin siswa, lingkungan belajar yang kondusif, sikap guru pada siswa yang mampu berperan sebagai motivator dan cara guru mengajar merupakan hal-hal yang mampu

meningkatkan prestasi belajar siswa. Tantangan bagi pihak sekolah yaitu bagaimana sekolah tidak hanya dilihat sebagai tempat menghadapi ulangan atau ujian dari bidang-bidang studi yang diajarkan, tetapi bagaimana siswa menguasai bidang studi tersebut dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan dirinya. Sehingga kemudian dapat diharapkan prestasi tinggi yang tidak sekadar berupa nilai rapor, tapi penguasaan ilmu itu sendiri (Hawadi 2001).

Faktor Keluarga

Selain faktor individu, faktor keluarga juga turut mempengaruhi prestasi belajar seorang anak. Faktor keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karakteristik keluarga (meliputi besar keluarga, usia orangtua, lama pendidikan orangtua, jenis pekerjaan orangtua, dan tingkat pendapatan orangtua) serta pola asuh belajar.

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga contoh yang meliputi besar keluarga, usia orangtua, lama pendidikan orangtua, jenis pekerjaan orang tua, dan tingkat pendapatan orangtua. Orangtua merupakan faktor utama dalam belajar anak. Penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bloom terhadap sejumlah profesional muda (usia 28-35 tahun) yang berhasil dalam kariernya dalam berbagai lapangan, menunjukkan ciri-ciri yang sama, yaitu keterlibatan langsung orangtua dalam belajar anak. Dorongan orangtua dilihat sebagai hal utama dalam mengarahkan tujuan. Salah satu ciri orangtua yang efektif adalah komunikasi yang terus-menerus dengan anak. Orangtua menanamkan tanggung jawab pada anak untuk masuk ke sekolah secara rutin, menyimak guru di kelas, dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah (Hawadi 2001).

Besar keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Faktor besar keluarga juga memberikan pengaruh terhadap interaksi antara anggota keluarga itu sendiri. Semakin besar jumlah anggota keluarga akan semakin banyak interaksi yang terjadi. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2001), perbedaan jenis kelamin, usia, karakter, dan pendidikan tiap anggota keluarga berpengaruh pada tugas dan kewajibannya. Perbedaan tersebut berpotensi menimbulkan konflik jika orangtua tidak pandai

Dokumen terkait