• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Hayati

Menurut Huffaker & Messenger (1976), istilah pengendalian hayati pertama kali digunakan oleh Smith (1919) untuk menunjukkan pentingnya penggunaan musuh-musuh alami untuk mengontrol hama serangga. Pengendalian hayati melibatkan penggunaan populasi musuh alami untuk menekan populasi hama hingga kepadatan yang lebih rendah, baik secara permanen maupun secara sementara (Driesche et al. 2008). Sedangkan Norris et al. (2003) mendefinisikan pengendalian hayati sebagai penggunaan parasitoid, predator, pathogen, antagonis atau populasi kompetitor untuk menekan populasi hama, membuat hama menjadi lebih sedikit kelimpahannya dan lebih sedikit merusak daripada seharusnya bila agens hayati tidak ada.

Ruang lingkup pengendalian hayati telah meluas dari pemanfaatan serangga entomophagus untuk mengendalikan hama-hama serangga ke arah pemanfaatan keseluruhan rangkaian organism untuk menendalikan serangga- serangga, tungau, keong, vertebrata, dan tanaman. Organisme-organisme yang telah digunakan untuk pengendalian hayati meliputi virus, bakteri, fungi, nematoda, keong, serangga, tungau dan berbagai jenis vertebrata (Huffaker & Messenger 1976).

Norris et al. (2003) menjelaskan beberapa keuntungan penggunaan pengendalian hayati dibandingkan teknik pengendalian lainnya, yaitu pertama, bila populasi agens pengendalian hayati dapat menetap di suatu area, maka secara esensial tidak ada biaya lebih lanjut. Kelebihan kedua yaitu untuk program pengendalian hayati yang telah mapan dan sukses, maka hama tidak akan pernah melebihi economic injury level. Bila populasi hama mulai meningkat, agens pengendali hayati meningkat dan mengurangi tingkat pertumbuhan populasi hama. Kelebihan ketiga adalah pengendalian hayati tidak meninggalkan residu pestisida yang mampu mengkontaminasi tanaman atau lingkungan. Kelebihan keempat adalah pengendalian hayati dapat menjadi sangat efektif pada ekosistem ekstensif yang permanen. Kelebihan kelima adalah tidak seperti pestisida dan teknik fisik, pengendalian hayati tidak mengganggu kegiatan pengendalian hama

5

yang lainnya. Kelebihan keenam adalah teknik pengendalian hayati secara tradisional telah diakui tidak mengganggu ekosistem. Pada beberapa hal, bagaimanapun pelepasan musuh alami di daerah yang baru mungkin terdapat pengaruh-pengaruh yang tak diharapkan pada non-target.

Menurut Waterhouse (1993), terdapat empat cara utama bagaimana pengendalian hayati diterapkan, yaitu pertama adalah memasukkan musuh alami dari luar ke negara yang baru, kedua adalah memelihara secara massal musuh alami dan melepaskannya, merupakan pendekatan yang disebut sebagai metode inundasi. Metode ketiga adalah memelihara secara masal musuh alami yang telah ada tetapi tidak efektif pada saat tersebut karena jumlahnya yang rendah, pendekatan ini disebut juga metode augmentasi. Keempat adalah metode manajemen.

Studi dan penelitian mengenai pengendalian hayati di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para ahli terutama di tingkat laboratorium dan rumah kaca. Pada tingkat penerapan di lapangan, baru sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan. Terdapat beberapa hal yang sering menjadi kendala dalam penerapan teknik pengendalian hayati, antara lain adalah perlunya berbagai penelitian mendasar untuk mengetahui peranan agens hayati secara pasti, diperlukan fasilitas-fasilitas untuk mendukung penelitian mulai dari eksplorasi hingga sumberdaya manusia, serta petani sudah terbiasa dengan cara pengendalian yang memberikan hasil cepat sehingga tidak tertarik dengan cara pengendalian hayati yang baru memberikan hasil dalam jangka waktu yang relatif lama (Abdurrahman 2011).

Musuh alami merupakan sumber daya yang fundamental bagi pengendalian hayati. Untuk serangga hama, parasitoid biasanya merupakan musuh alami yang paling efektif. Musuh alami dapat berupa parasitoid maupun predator. Predator merupakan spesies yang membunuh dan memakan hewan-hewan hidup untuk perkembangan, makanan dan reproduksi. Tidak seperti parasitoid, serangga predator biasanya lebih besar daripada mangsanya dan membutuhkan lebih dari satu mangsa untuk melengkapi perkembangannya (Driesche et al. 2008).

Parasitoid

Menurut Godfray (1994), larva parasitoid makan di dalam tubuh arthropoda lain yang menjadi inang sehingga menyebabkan kematian inangnya. Parasitoid hanya memerlukan satu inang untuk menyelesaikan perkembangannnya dan sering kali sejumlah parasitoid berkembang secara berkelompok dalam satu inang yang sama. Semua stadia hidup serangga dapat diparasitisasi (Drieasche et al. 2008). Menurut Godfray (1994), kelebihan parasitoid dibanding musuh alami yang lain adalah parasitoid mampu mengendalikan hama secara spesifik, populasinya di lapang relatif cukup tinggi dan mampu menekan populasi serangga hama secara signifikan. Elzinga (2004) juga menyebutkan beberapa kelebihan penggunaan parasitoid, yaitu agens hayati ini biasanya sangat selektif, resistensi serangga lebih sedikit terjadi dibandingkan pada penggunaan pestisida, pengaruh terhadap ekosistem lebih sedikit dan parasitoid lebih tidak berbahaya pada manusia dibandingkan penggunaan pestisida.

Berdasarkan tempat perkembangan larvanya, parasitoid dibagi menjadi endoparasitoid dan ektoparasitoid. Driesche et al. (2008) menjelaskan bahwa parasitoid yang larvanya berkembang di dalam inangnya disebut endoparasitoid, sedangkan yang berkembang di luar tubuh inangnya disebut ektoparasitoid. Parasitoid terbagi menjadi dua kelompok, yaitu koinobiont dan idiobiont. Parasitoid yang inangnya tidak berkembang lebih jauh setelah terparasit termasuk ke dalam kelompok idiobiont, sedangkan parasitoid yang inangnya tetap melanjutkan perkembangan paling tidak selama beberapa waktu setelah terparasit termasuk kelompok koinobiont. S. manilae termasuk ke dalam kelompok koinobiont karena larva inang tetap melanjutkan perkembangannya selama beberapa waktu setelah terparasit hingga larva parasitoid keluar untuk berpupa. Kelompok koinobiont biasanya menyerang larva, lebih sering instar-instar awal (Quicke 1997).

Parasitoid juga dapat dibedakan menjadi parasitoid soliter dan parasitoid gregarius. Driesche et al. (2008) menjelaskan bahwa bila hanya satu individu parasitoid yang dapat berkembang menuju dewasa per individu inang maka disebut parasitoid soliter, sedangkan bila beberapa individu parasitoid dapat berkembang menuju dewasa per individu inang maka disebut parasitoid gregarius.

7

Berdasarkan proses pematangan telur, parasitoid terbagi menjadi dua kelompok yaitu synovigenic dan pro-ovigenic. Menurut Quicke (1997), serangga

synovigenic melakukan pematangan telur selama sebagian atau seluruh masa hidup dewasanya, sedangkan serangga pro-ovigenic muncul menjadi dewasa dengan telur yang sudah matang. Driesche et al. (2008) juga menjelaskan bahwa spesies yang muncul menjadi imago dengan suplai telur seumur hidup tersedia, memungkinkan serangan yang cepat pada banyak inang. Sebaliknya, telur spesies

synovigenic berkembang secara teratur selama masa hidup imago betina. Parasitoid-parasitoid synovigenic membutuhkan protein untuk mematangkan telur. Beberapa parasitoid synovigenic memakan nectar atau embun madu, tetapi ada beberapa yang memakan haemolimph inang. Namun Quicke (1997) juga menyatakan diantara kedua kelompok tersebut terdapat kelompok yang disebut

pro-synovigenic yaitu serangga yang muncul menjadi dewasa dengan sejumlah telur yang sudah matang tetapi dapat melakukan pematangan telur lebih banyak lagi saat pasokan asli telur mereka habis.

Perilaku Reproduksi Parasitoid

Prabowo (1996) menyatakan masa pra oviposisi imago betina S. manilae

cukup singkat, yaitu kurang dari satu hari. Masa pra oviposisi adalah waktu sejak imago keluar hingga saat pertama kali meletakkan telur. Imago betina dapat meletakkan telur dan mempunyai keturunan sejak hari pertama pemunculannya. Selain itu imago jantan dan betina yang keluar pada waktu yang bersamaan dapat segera melakukan kopulasi.

Kebanyakan parasitoid melakukan pematangan telur selama masa hidup dewasanya atau disebut synovigenic (Godfray 1994). Flanders (1950 dalam

Quicke 1997) menyebutkan bahwa ada hubungan yang kuat antara menjadi

synovigenic dan oosorption. Oosorption adalah penyerapan kembali telur yang telah matang. Hal ini diketahui terjadi paling tidak pada beberapa anggota dari tujuh ordo, yaitu Thysanura, Dermaptera, Orthoptera, Heteroptera, Diptera, Coleoptera, dan Hymenoptera (Bell & Bohm 1975 dalam Quicke 1997).

Oosorption terjadi dalam beberapa hari pematangan telur bila tidak tersedia inang (Quicke 1997). Pada parasitoid yang bersifat synovigenic, diketahui bahwa jumlah

telur akan meningkat pada permulaan kondisi ketiadaan inang kemudian menurun setelahnya akibat terjadinya penyerapan kembali telur (Drost & Carde 1992).

Ketiadaan Inang

Populasi inang di alam tidak menentu, banyak faktor yang mempengaruhi sehingga populasinya berfluktuasi. Ketersediaan inang dapat mempengaruhi produksi telur parasitoid. Penyerapan kembali telur adalah mekanisme yang memungkinkan imago betina untuk mendaur ulang nutrisi yang tersimpan di dalam telur-telur mereka untuk pemeliharaan somatik pada saat terjadi stress ketika makanan atau inang berkurang di alam (Jervis & Kidd 1986 dalam

Hougardy et al. 2005) atau untuk memelihara pasokan telur matang yang baru secara konstan hingga imago betina dapat melanjutkan oviposisi ketika inang menjadi sedikit (Rivero-Lynch & Godfray 1997 dalam Hougardy et al. 2005). Menurut Hougardy et al. (2005), pemberian inang pada imago betina sebelum pelepasan di lapangan dalam beberapa kasus memberi dampak positif terhadap potensi reproduksi di masa depan karena dapat merangsang oogenesis dan kemampuan menemukan inang. Namun pemberian inang segera setelah imago muncul, walaupun hanya untuk beberapa hari, dapat menurunkan kapasitas reproduksi yang tersisa secara dramatis. Dalam kondisi lapangan, Mastrus ridibundus (Hymenoptera: Ichneumonidae) mungkin secara teratur memiliki pengalaman-pengalaman bahwa ketiadaan inang sementara memberikan imago betina waktu untuk mengisi kembali ovariolnya dengan telur-telur matang yang baru dan hal ini dapat menjelaskan terjadinya tingkat serangan terhadap inang yang rendah. Namun Hougardy et al. (2005) juga dalam penelitiannya menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya penyerapan kembali telur pada imago betina M. ridibundus yang tidak diberi inang.

Ketiadaan inang dapat menyebabkan penurunan jumlah telur, terutama disebabkan oleh penyerapan kembali dan kehilangan telur serta hasil dari penurunan keperidian secara umum (Fleury & Bouletreau 1993; Navasero & Elzen 1992 dalam Hougardy et al. 2005). Namun Vinson (1985 dalam Ratna, 2008) menyebutkan bahwa kecenderungan imago betina parasitoid meningkatkan oviposisi terjadi bila sediaan jumlah inang terbatas dalam jangka waktu yang

9

relatif lama. Selain itu Hougardy et al. (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa imago betina M. ridibundus yang tidak diberi inang Cydia pomonella L. (Lepidoptera: Tortricidae) memiliki sediaan telur yang yang lebih banyak dibandingkan imago betina yang terus menerus diberi inang. Imago betina yang tidak diberi inang dapat segera menggunakan telur-telur yang ada di dalam ovariolnya, bahkan setelah 6 hari tidak diberi inang. Oviposisi mencapai puncaknya pada hari pertama inang tersedia, dengan jumlah telur yang diletakkan meningkat seiring dengan tingkat ketiadaan inang. Juga diluar hari pertama reproduksi, tingkat oviposisi harian dan serangan terhadap inang menurun sebagai akibat dari ketiadaan inang dan secara keseluruhan, imago betina tersebut memiliki keperidian seumur hidup yang lebih rendah dan menyerang lebih sedikit inang daripada imago betina yang secara berkelanjutan diberi inang. Peningkatan lama ketiadaan inang tidak mempengaruhi keberhasilan M. ridibundus dalam pencarian inang walaupun tidak mendapat inang hingga 9 hari (Hougardy & Mills 2007).

Hegazi et al. (2007) dalam penelitiannya pada Microplitis rufiventris

(Hymenoptera: Braconidae) menyebutkan bahwa pola reproduksi telur pada M. rufiventris bergantung pada ketersediaan inang untuk melakukan parasitisasi. Telur-telur yang matang akan diakumulasi dalam oviduct ketika inang tidak tersedia, pematangan telur berlanjut hingga daya dukung dukung oviduct tercapai. Ketiadaan inang juga mengubah fisiologi internal imago betina dan menyebabkan terjadinya modifikasi produksi telur dan lama hidup imago.Salah satu akibat dari ketiadaan inang adalah penipisan jumlah telur dalam oviduct yang sering diinterpretasikan sebagai bukti terjadinya oosorption (Labeyrie 1959a, 1960; King 1963 dalam Hegazi et al. 2007).

Studi mengenai hubungan antara ketiadaan inang dengan penyerapan kembali telur juga telah dilakukan oleh Carbone et al. (2008) pada parasitoid telur

Anaphes nitens (Hymenoptera: Mymaridae) yang merupakan parasitoid soliter. Diketahui bahwa imago betina A. nitens melakukan penyerapan kembali telur untuk menghemat energi di bawah kondisi stress seperti suhu rendah dan kekurangan makanan. Selain itu diketahui juga bahwa imago betina A. nitens pada perlakuan ketiadaan inang tidak menyerap kembali telur lebih banyak daripada

yang diberi inang. Lama hidup A. nitens meningkat secara signifikan pada perlakuan ketiadaan inang dengan pemberian makanan, hal ini dapat disebabkan tidak adanya energi yang digunakan untuk reproduksi, ketersediaan makanan dan adanya penyerapan kembali telur. Hal yang sebaliknya terjadi pada parasitoid

Venturia canescens (Hymenoptera: Ichneumonidae) dalam penelitian yang dilakukan oleh Eliopoulos et al. (2005). Imago yang diberi makanan namun tidak diberi inang tidak secara signifikan hidup lebih lama dibandingkan imago yang diberi makanan dan inang.

Superparasitisme

Godfray (1994) menjelaskan bahwa superparasitisme adalah peletakkan telur pada inang yang telah terparasit oleh spesies parasitoid yang sama. Collins & Dixon (1986 dalam Hougardy 2005) juga menyebutkan bahwa ketiadaan inang berkepanjangan dapat meningkatkan superparasitisme. Ratna (2008) menyatakan bahwa efisiensi parasitisasi bagi parasitoid soliter seperti S. manilae dapat ditunjukkan melalui data tingkat parasitisasi optimal yaitu keberadaan larva terparasit oleh hanya satu telur. Sebaliknya superparasitisme merupakan pengurangan tingkat efisiensi pemarasitan. Kejadian superparasitisasi ini mengakibatkan ketidakefektifan parasitisasi karena dapat mengurangi tingkat keberhasilan hidup parasitoid yang berkembang dalam tubuh inang. Di dalam tubuh inang akan terjadi kompetisi nutrisi antar larva parasitoid yang berhasil menetas dari telur, menyebabkan kedua larva mati atau satu individu dapat berkembang dengan pertumbuhan tidak optimal sehingga terjadi penurunan kebugaran parasitoid yang berhasil menjadi imago (Godfray 1994).

Studi mengenai superparasitisme telah banyak dilakukan. Fenlon et al. (2009) dalam penelitiannya terhadap parasitoid Aphidius colemani (Hymenoptera: Braconidae) menyebutkan bahwa tingkat superparasitisme menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan populasi inang. Hal penting yang menentukan terjadinya superparasitisme adalah kemampuan parasitoid untuk mendiskriminasi inang. Mehrnejad & Copland (2007) dalam studinya mengenai endoparasitoid

Psyllaephagus pistaciae (Hymenoptera: Encyrtidae) menyebutkan bahwa kemampuan mendiskriminasi inang menurun seiring berjalannya waktu, yang

11

mungkin disebabkan oleh pengaruh penanda internal maupun eksternal yang ditinggalkan oleh imago betina yang melakukan oviposisi sebelumnya. Selain itu juga sekresi dari kelenjar Dufour berperan penting sebagai bahan kimia penanda inang yang telah diparasit. Superparasitisme juga menyebabkan peningkatan kematian inang oleh karena itu dalam pengendalian hayati, diharapkan parasitoid yang efektif memiliki kemampuan untuk menemukan inang dengan cepat dan mampu mendiskriminasi inang (Mehrnejad & Copland 2007).

Spodoptera litura (Fabricius)

Spodoptera litura merupakan serangga hama tanaman yang bersifat polifag. Kisaran inangnya sangat luas mencakup tanaman budidaya maupun tanaman non-budidaya. Menurut Kalshoven (1981), tanaman inang S. litura di Indonesia diantaranya tembakau, kentang, kedelai, jagung, ubi jalar, kakao, kacang tanah, jarak, pisang, bayam, gandum, kangkung, bawang merah, babadotan, dan tanaman hias. Hill (1983 dalam Waterhouse & Norris 1987) menyebutkan S. litura merupakan hama utama pada tanaman kapas, padi, tomat, dan tembakau. Selain itu juga menyerang jeruk, kakao, karet, legume, sorgum, jagung, dan jarak.

S. litura sering juga disebut dengan nama ulat grayak. Serangga ini termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, Famili Noctuidae. S. litura menjadi hama pada saat memasuki stadia larva. S.litura mungkin merupakan hewan asli India dan Asia Tenggara (Waterhouse & Norris 1987). Serangga ini tersebar di daerah Asia dan Kepulauan Pasifik. Waterhouse & Norris (1987) menyebutkan S. litura

tersebar di Korea, Jepang, Filipina, Indonesia, Australia, Papua Nugini, Selandia Baru, Hawaii serta negara-negara kepulauan pasifik seperti Fiji, Vanuatu, Toga, Guam, Kepulauan Solomon, dan Kaledonia Baru.

Telur S. litura berbentuk bulat, berwarna putih kekuningan dengan permukaan yang halus. Telur diletakkan secara berkelompok dalam jumlah besar pada permukaan daun. Kelompok telur ini biasanya diselimuti oleh rambut- rambut halus berwarna kecoklatan. Menurut Waterhouse & Norris (1987), rambut-rambut halus tersebut berasal dari imago betina dan berfungsi sebagai penghalang untuk menghambat oviposisi parasit telur. Telur diletakkan pada

malam hari dalam kelompok yang terdiri dari 200 sampai 300 butir (Waterhouse & Norris 1987). Lama stadium telur adalah tiga hari (Tampenawas 1981). Menurut Kalshoven (1981) total telur yang dapat diproduksi oleh imago S. litura

adalah 2000-3000 telur.

Kalshoven (1981) menyebutkan larva menetas setelah tiga sampai lima hari dan hidup secara gregarius. Setelah beberapa hari larva-larva tersebut akan menyebar. Menurut Tampenawas (1981), stadia larva terdiri dari enam instar. Larva instar satu mempunyai kepala hitam dan tubuh berwarna hijau kekuningan. Larva instar dua mempunyai kepala berwarna cokelat muda, warna tubuh mula- mula hijau kekuningan kemudian menjadi hijau cokelat. Larva instar tiga variasi warnanya lebih jelas. Warna dasar hijau cokelat dengan garis-garis putih dan cokelat sepanjang tubunya. Larva instar empat mempunyai warna dasar abu-abu dan pada bagian dorsal terdapat tiga garis kning memanjang. Larva instar lima berwarna hitam, garis kuning pada bagian dorsal berubah menjadi agak jingga. Larva instar enam mempunyai bentuk yang sama dengan instar lima hanya ukuran tubuh yang menjadi lebih besar. Pada saat stadia larva, S. litura memakan bagian daun tumbuhan inangnya dan merupakan hama utama beberapa tanaman budidaya.

Kalshoven (1981) menyebutkan stadia pupa terjadi di dalam tanah pada sel sederhana yang terbuat dari tanah. Menurut Tampenawas (1981), larva yang akan memasuki masa pra pupa ukuran tubuh mengecil dan berusaha mencari tempat persembunyian. Pupa berwarna cokelat. Stadia pupa terjadi selama 8 sampai 9 hari. Imago S. litura adalah ngengat yang termasuk serangga nokturnal, yaitu hanya aktif pada malam hari sedangkan pada siang hari bersembunyi. Menurut Tampenawas (1981), tubuh imago berwarna cokelat muda dengan panjang tubuh berkisar antara 15-20 mm. Lama siklus hidup S. litura adalah 27 hari. Imago betina kawin beberapa kali (Kalshoven 1981).

Snellenius manilae

Snellenius manilae Ashmead tergolong ke dalam Ordo Hymenoptera, Famili Braconidae dan Subfamili Microgasterinae. Menurut Clausen (1940), Hymenoptera merupakan ordo yang dominan diantara serangga-serangga

13

entomophagus, baik dalam jumlah spesies yang memiliki perilaku entomophagus, juga dalam frekuensi dan efektivitas dimana mereka menyerang serangga hama tanaman pertanian. Quicke (1997) menyebutkan bahwa delapan puluh persen spesies parasitoid adalah anggota ordo Hymenoptera. Famili yang paling penting dan paling sering ditemui memiliki perilaku sebagai parasit adalah Ichneumonidae dan Braconidae, yang menyerang berbagai macam ulat, larva dan imago kumbang, dan lain-lain (Clausen 1997).

Beberapa spesies dari famili Braconidae memiliki nilai yang cukup besar dalam pengendalian hayati serangga-serangga hama. Driesche et al. (2008) menyebutkan bahwa family Braconidae telah digunakan secara luas dalam pengendalian hayati, terutama untuk melawan aphid, Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera. Menurut Clausen (1940), perilaku hiperparasitisme lebih sedikit berkembang pada famili Braconidae daripada famili Ichneumonidae dan hampir seluruh famili Braconidae menguntungkan. Parasitisme oleh famili Braconidae dapat terjadi secara internal ataupun eksternal dan modifkasi perilaku berhubungan dengan perilaku stadia inang yang menjadi sasaran serangan. Sejumlah besar spesies dari famili Braconidae dapat melakukan oviposisi langsung pada hari kemunculan imago betina dari pupa.

Menurut Clausen (1940), pemilihan inang subfamili Microgasterinae terbatas terutama pada larva ordo Lepidoptera. Genus yang dominan adalah

Apanteles, Microgaster dan Microplitis. Genus-genus tersebut sangat umum dijumpai. Menurut Prabowo (1994), parasitoid ini merupakan endoparasitoid larva

Spodoptera litura yang bersifat koinobiont. Koinobiont adalah parasitoid yang inangnya tetap hidup setelah terparasitisasi dan selama perkembangan parasitoid (Quicke 1997).

Telur dan larva S. manilae berkembang di dalam tubuh larva S. litura

hingga larva S. manilae siap berpupa. Prabowo (1996) menyatakan bahwa S. manilae merupakan parasitoid soliter. Setiap kali menusukkan ovipositor, parasitoid hanya meletakkan satu butir telur. Parasitoid keluar dari tubuh inang ketika telah menyelesaikan perkembangan larva dan membentuk kokon yang biasanya menempel pada ujung posterior abdomen inang. Stadia telur terjadi

selama dua hari. Inang yang terparasit akan mati satu sampai dua hari setelah parasitoid keluar dari inang (Prabowo 1996).

Stadia larva terjadi di dalam tubuh inang hingga inang siap untuk berpupa. Larva berkembang di dalam haemosel inang. Menurut Prabowo (1996), stadia larva terdiri dari empat instar. Larva instar I ditemukan pada 48 jam setelah peletakkan telur, sedangkan larva instar IV ditemukan pada 168 jam setelah peletakkan telur. Stadia pupa terjadi di luar tubuh inang. Larva parasitoid akan keluar dari tubuh inang ketika telah siap untuk berpupa. Stadia pra pupa parasitoid

S. manilae terdiri dari dua tahap, yaitu eonymph dan pronymph. Pupa parasitoid bertipe eksarata dengan embelan tubuh bebas dan tampak jelas. Pupa terbentuk dalam kokon yang berwarna cokelat (Prabowo 1996).

Lama hidup imago S. manilae yang diberi makan madu mampu hidup selama 9 hari, sedang yang diberi air hanya mampu hidup selama 4 sampai 5 hari. Imago S. manilae sulit dibedakan karena sangat mirip. Imago jantan dan betina dapat dibedakan secara langsung dengan melihat bagian metasoma dan panjang antena. Metasoma imago jantan dari arah ventral terlihat lebih langsing daripada imago betina dan pangkal metasoma betina relatif lebih terang daripada imago jantan. Pada imago jantan antena terlihat lebih panjang daripada panjang badannya daripada imago betina. Rata-rata panjang ovipositor pada imago betina adalah 0,15 mm (Prabowo 1996).

Ratna (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa parasitoid S. manilae memilih oviposisi pada larva inang S. litura instar III diikuti instar II. Jervis & Copland (1996 dalam Ratna 2008) menyebutkan bahwa parasitoid S. manilae diduga termasuk serangga synovigenic, yaitu telur yang berkembang di dalam alat reproduksinya tidak seluruhnya matang dan siap untuk diletakkan, dan sebagian telur-telur tersebut perlahan berkembang selama hidup imago.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Musuh Alami, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Januari – Juni 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serangga inang

Spodoptera litura, parasitoid larva Snellenius manilae, daun talas yang digunakan untuk pakan larva S. litura, madu 20% untuk pakan imago S. litura dan S. manilae, dan daun kedelai yang digunakan untuk meletakkan larva S. litura saat

Dokumen terkait