• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Gender Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin

Menurut Handayani dan Sugiarti (2008), gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum tertentu baik laki-laki maupun perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial dan budaya. Perbedaan sifat pada kaum laki-laki dan perempuan tersebut menimbulkan perbedaan fungsi, peran, dan kedudukan dalam berbagai bidang kehidupan. Perbedaan gender yang dikonstruksikan secara turun temurun menjadikan perempuan memiliki fungsi, peran, dan kedudukan yang berbeda dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor sosial, geografis dan kebudayaan pada masyarakat. Perbedaan gender ini berhubungan dengan sifat fisik yang dimiliki oleh masing-masing. Pada laki-laki yang mempunyai ciri-ciri fisik seperti memiliki penis, suara besar, berkumis, dada datar, otot yang besar, jakun, sehingga diidentikan sebagai sosok yang kuat, agresif dan rasional. Pada perempuan yang mempunyai ciri-ciri fisik seperti memiliki rahim, suara yang bening, dada yang menonjol, pinggul yang lebih lebar sehingga diidentikan sebagai sosok yang lemah, kurang agresif, subjektif dan lebih emosional.

Pengertian gender berbeda dengan seks (jenis kelamin). Fakih dalam Hasanudin (2009) mengemukakan bahwa pembagian jenis kelamin (seks) ditentukan oleh organ biologis yang melekat secara permanen dan fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan pada bagian anatomi dan genital eksternal antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan antara jenis kelamin (seks) dan gender secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan jenis kelamin (seks) dan gendera

Karakteristik Jenis Kelamin (Seks) Gender Sumber Pembeda Tuhan Manusia (Masyarakat)

Visi, misi Kebiasaan Kesetaraan

Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Sosiologis (Tingkah Laku) Sifat Kodrat, tertentu, tidak

dapat dipertukarkan

Harkat, martabat, dapat dipertukarkan

Dampak Terciptanya nilai-nilai

(kesempurnaan,

kenikmatan, kedamaian) sehingga menguntungkan kedua belah pihak

Terciptanya norma-norma atau ketentuan tentang kepantasan, seringkali merugikan salah satu pihak dan biasanya adalah perempuan

Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal

pembedaan kelas

Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas a

5 Peranan Gender

Pendapat Moser seperti yang dikutip dalam Mugniesyah (2007) mengemukakan tiga kategori peranan gender, yaitu:

1. Peranan produktif, yaitu peranan yang dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan untuk memperoleh upah, bayaran secara tunai atau sejenisnya. Kegiatan di dalamnya meliputi produksi pasar dengan suatu nilai tukar, produksi rumah tangga subsisten dengan suatu nilai guna dan juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya adalah aktivitas bekerja baik pada sektor formal maupun informal.

2. Peranan reproduktif, yaitu peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga. Contohnya adalah aktivitas melahirkan, memelihara, mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjahit baju dan lain sebagainya.

3. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, dibedakan ke dalam dua kategori berikut:

a. Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial) yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat sukarela dan tanpa upah. b. Peranan pengelolaan politik (kegiatan politik) yang mencakup

peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar dan meningkatkan kekuasaan atau status.

Perbedaan fungsi, peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan menyebabkan timbulnya ketimpangan gender. Mitos-mitos dan kepercayaan yang selama ini ada di masyarakat menunjukkan adanya dominasi laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga. Dominasi kaum laki-laki ini memunculkan budaya patriarki, yaitu konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting yang ada pada masyarakat baik dalam pendidikan, pekerjaan, pemerintahan, agama dan lain sebagainya. Pada akhirnya ketimpangan gender tersebut menjadi suatu kebiasaan dan dianggap merupakan suatu kodrat yang diterima masyarakat secara umum.

Bentuk ketimpangan gender dapat dilihat dari pembagian peran dan kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya persentase perempuan yang bekerja di sektor publik (produktif) daripada laki-laki karena peran produktif yang dilakukan oleh perempuan seringkali kurang diakui dibandingkan laki-laki. Perempuan selalu dikaitkan dengan pekerjaan domestik (reproduktif) yang perannya seringkali tidak diperhitungkan. Pada rumah tangga, peran-peran reproduktif seperti memasak, menyusui, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak dan mempersiapkan keperluan keluarga sehari-hari sepenuhnya dimainkan oleh perempuan sehingga, perempuan tidak dimungkinkan untuk berperan secara produktif bahkan seringkali pada perempuan yang ekonomi rumah tangganya rendah, mereka memainkan peran produktif dan reproduktif tersebut secara bersamaan.

6

Teknik Analisis Gender

Perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang mengarah pada praktik ketimpangan gender dapat diidentifikasi dengan melihat keterlibatan peran antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas, akses dan kontrol dalam rumah tangga. Menurut Handayani dan Sugiarti (2002), teknik analisis gender dapat mengidentifikasi berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungannya. Analisis gender tidak hanya melihat peran dan aktivitas, akan tetapi mencakup hubungan dalam hal “siapa mengerjakan apa, siapa yang membuat keputusan, siapa yang membuat keuntungan dan siapa yang menggunakan sumber daya”.

Gender framework analysis technic atau yang lebih dikenal dengan teknik analisis Harvard merupakan salah satu teknik analisis gender dengan melihat profil gender suatu kelompok sosial melalui interrelasi antara tiga komponen, yaitu profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt et al. dalam Handayani dan Sugiarti 2008)

1. Profil aktivitas merujuk pada pembagian kerja (peran) gender yang meliputi peran produktif, reproduktif dan sosial-politik-keagamaan.

2. Profil akses merujuk pada peluang atau kesempatan laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh atau menikmati sumber daya produktif. 3. Profil kontrol merujuk pada kekuasaan laki-laki maupun perempuan

untuk mengambil keputusan terkait kendali terhadap sumber daya dan manfaat.

Akses dan Kontrol

Pengertian akses menunjuk pada kesempatan atau peluang yang bisa diraih oleh individu untuk memperoleh beragam sumber daya, seperti memperoleh informasi, pendidikan, modal (kredit), teknologi dan kesempatan berusaha, bekerja dan lain-lain. Pengertian kontrol menunjuk pada aspek kekuasaan (pengaruh) yang dimiliki seseorang untuk menentukan segala sesuatu yang menyangkut berbagai kepentingan termasuk memperoleh beragam sumber daya bagi dirinya. (Nuraeni dalam Meliala 2006)

Handayani dan Sugiarti (2008) mengemukakan akses dan kontrol terhadap sumber daya dalam keluarga maupun masyarakat umumnya dapat dilihat dari profil peluang dan penguasaan terhadap sumber daya dan manfaat. Akses yang dimaksud adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dari hasil sumber daya tersebut atau diartikan bahwa seseorang yang mempunyai akses belum tentu selalu mempunyai kontrol. Pola pengambilan keputusan dalam rumah tangga sangat berguna untuk mengidentifikasi bagaimana struktur kekuasaan dalam rumah tangga.

7 Sajogyo (1981) mengemukakan bahwa pola pengambilan keputusan atau kontrol dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi lima kategori:

1. Keputusan dibuat oleh perempuan seorang diri tanpa melibatkan laki-laki (isteri).

2. Keputusan dibuat bersama oleh laki-laki dan perempuan tetapi pengaruh isteri lebih besar (isteri).

3. Keputusan dibuat bersama (setara).

4. Keputusan dibuat bersama oleh laki-laki dan perempuan tetapi pengaruh suami lebih besar (suami).

5. Keputusan dibuat oleh laki-laki seorang diri tanpa melibatkan perempuan (suami).

Konsep Rumah Tangga Buruh Tani

Terdapat berbagai macam definisi mengenai konsep rumah tangga petani dan buruh tani yang ada saat ini. Menurut Nurhilailah dalam Pratiwi (2007) rumah tangga pertanian didefinisikan sebagai rumah tangga yang sekurang- kurangnya satu anggota rumah tangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak atau unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri.

Sajogyo (1981) mendefinisikan petani kecil sebagai rumah tangga yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari 0.50 ha. Data Survei Pertanian tahun 2003 menyebutkan bahwa 57 persen petani kecil di Indonesia memiliki lahan seluas kurang dari 0.50 ha atau tanpa lahan. Petani kecil dapat dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu:

1. Petani kecil dalam pengertian petani dengan luas tanah garapan kurang dari 0.50 ha, yang memanfaatkan lahan kosong di pinggiran atau tanah tepian sekitar kawasan perumahan yang terletak di wilayah tertentu, baik melalui sewa atau sekedar izin dari pemilik tanah, atau pun memanfaatkan lahan kosong tanpa izin dari pemilik tanah.

2. Buruh tani yang diupah oleh petani untuk mengusahakan lahan kosong petani pemilik lahan yang terletak di wilayah tertentu.

Berdasarkan definisi ahli dan peneliti yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa rumah tangga buruh tani adalah rumah tangga yang sekurang-kurangnya salah satu anggota rumah tangganya bekerja sebagai buruh tani, yaitu orang yang diupah oleh petani pemilik lahan untuk mengusahakan lahan pertaniannya dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan.

Konsep Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu masalah sosial yang ditandai dengan ketidakmampuan masyarakat untuk mencapai suatu taraf kecukupan hidup. Lebih lanjut kemiskinan dipahami sebagai kekurangan materi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Tidak hanya mencakup hal tersebut, kemiskinan juga dimaknai sebagai ketidakmampuan suatu masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang layak. Badan Koordinasi

8

Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia dan Badan Penelitian SMERU 3 menggambarkan secara sederhana berbagai dimensi mengenai kemiskinan sebagai berikut:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar, seperti pangan, sandang, dan papan.

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya, seperti masalah kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi. 3. Tidak adanya jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk

pendidikan dan keluarga.

4. Kerentanan terhadap berbagai goncangan, baik individual maupun komunal.

5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam. 6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan pekerjaan dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, janda miskin, dan kelompok masyarakat marjinal lainnya.

Konsep kemiskinan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu konsep kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

1. Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi seseorang yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum sehari-harinya termasuk kebutuhan sandang, pangan, papan dan pendidikan. Kemiskinan absolut diukur dengan standar tertentu yang berlaku sama pada setiap masyarakat (Lorenzo dan Liberati 2005)4.

2. Kemiskinan relatif adalah suatu kondisi seseorang yang mungkin telah hidup di atas garis kemiskinan tetapi masih berada di bawah taraf hidup masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif diukur dari perbandingan antara tingkat pendapatan antara kelompok yang mungkin berada di atas garis kemiskinan dan kelompok yang lebih kaya (Pudjirahaju 1999)5. Sudharyanto (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan secara umum antara lain:

1. Kualitas sumber daya alam yang rendah dan rentan terhadap gangguan eksternal (geographical trap), ditandai dengan kualitas sumber daya alam yang rendah sehingga produktivitas pertanian dan pendapatan petani menjadi rendah.

2. Kebijakan pembangunan ekonomi yang belum memberikan prioritas pada wilayah miskin, ditandai dengan rendahnya intensitas kegiatan ekonomi untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada karena kebijakan pembangunan ekonomi yang belum sepenuhnya mendayagunakan sumber daya alam lokal.

3. Keterbatasan infrastruktur, ditandai dengan rendahnya kualitas infrastruktur sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas dan

3

  Diambil dari dokumen Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia dan Badan Penelitian SMERU

4

 Diambil dari buku Gold Standard dan Indikator Garis Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Subang oleh Nani Sufiani Suhanda, Leily Amalia, Dadang Sukandar dan Khairunisa (2009) 

5

9 kualitas produk pertanian, akses penduduk miskin terhadap peluang kegiatan ekonomi, akses penduduk miskin terhadap berbagai pelayanan publik.

4. Terbatasnya akses terhadap aset produktif, terutama lahan pertanian ditandai dengan rendahnya persentase kepemilikan lahan dan aset modal pada petani kecil dan buruh tani.

5. Tersisihkan karena aspek gender, etnis, dan cacat, ditandai dengan adanya kelompok masyarakat tertentu yang tidak dapat mengakses kegiatan ekonomi produktif.

6. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM), ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan yang berdampak pada produktivitas pertanian, akses terhadap kesempatan kerja, kredit dan berbagai pelayanan publik.

Indikator dan Garis Kemiskinan

Dalam mengukur tingkat kemiskinan suatu kelompok masyarakat diperlukan indikator-indikator tertentu yang telah teruji validitasnya. Indikator yang sering digunakan dalam mengukur suatu tingkat kemiskinan biasanya didasarkan pada (a) konsep produksi yang didasarkan pada perkiraan hasil-hasil produksi usaha tani, (b) konsep pendapatan yang didasarkan pada penerimaan masyarakat berupa upah, gaji maupun sewa, (c) konsep pengeluaran yang didasarkan pada inventarisasi pengeluaran pada rumah tangga, (d) konsep alokasi merujuk pada alokasi produk pada suatu rumah tangga berupa proporsi secara keseluruhan.

Beberapa garis kemiskinan absolut yang sering digunakan adalah:

1. Garis kemiskinan menurut World Bank6 yang ditetapkan pada tahun 1990. Suatu kelompok masyarakat dikategorikan miskin apabila pendapatan per harinya kurang dari US$50 per bulan (Daerah Pedesaan), kurang dari US$75 per bulan (Daerah Perkotaan).

2. Garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS)7 yang menetapkan kriteria rumah tangga miskin berdasarkan jumlah uang (rupiah) yang dibelanjakan untuk kebutuhan minimum pangan dan non-pangan per kapita per bulan. Komoditas pangan yang dipilih terdiri dari 52 jenis dan non-pangan terdiri dari 27 jenis untuk daerah perkotaan dan 26 jenis untuk daerah pedesaan

3. Garis kemiskinan Prof. Dr. Sajogyo8 yang mengkonversikan seluruh pengeluaran pangan maupun non-pangan ke dalam bentuk pengeluaran beras selama satu bulan pada masyarakat di daerah perkotaan maupun pedesaan. Sajogyo membedakan tingkat kecukupan beras untuk daerah perkotaan dan pedesaan sebagai berikut:

a. Daerah pedesaan

1) Sangat miskin sekali, apabila pengeluaran beras ekuivalen setiap individu dalam satu tahun kurang dari 180 kg.

6

Diambil dari situs web http://mamujukab.bps.go.id/index.php/blokberita/159-kemiskinan 7 Diambil dari situs web http://www.bps.go.id/getfile.php?news=901

8

Diambil dari buku Gold Standard dan Indikator Garis Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Subang oleh Nani Sufiani Suhanda, Leily Amalia, Dadang Sukandar dan Khairunisa (2009)

10

2) Sangat miskin, apabila pengeluaran beras ekuivalen setiap individu dalam satu tahun di atas 180 kg hingga 240 kg.

3) Miskin, apabila pengeluaran beras ekuivalen setiap individu dalam satu tahun di atas 240 kg hingga 320 kg.

b. Daerah perkotaan

1) Sangat miskin sekali, apabila pengeluaran beras ekuivalen setiap individu dalam satu tahun kurang dari 270 kg.

2) Sangat miskin, apabila pengeluaran beras ekuivalen setiap individu dalam satu tahun di atas 270 kg hingga 360 kg.

3) Miskin, apabila pengeluaran beras ekuivalen setiap individu dalam satu tahun di atas 360 kg hingga 480 kg.

Ketiga garis kemiskinan tersebut muncul karena ada beberapa faktor- faktor penyebab suatu kelompok masyarakat berada dalam kondisi miskin. Susanto (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan untuk memahami fenomena kemiskinan sebagai berikut.

Pendekatan pertama melalui 3 teori (mazhab) yaitu teori dualisme- difusionis, teori kolonialisme-internal dan teori pembangunan tidak seimbang (unbalanced development). Teori dualisme-difusionis pada dasarnya melihat adanya perbedaan antara pusat dan pinggiran (perkotaan dan pedesaan). Menurut teori ini, masyarakat pedesaan yang masih memiliki kultur tradisional dianggap sebagai penyebab terjadinya kemiskinan karena mereka cenderung berpegang erat dengan nilai-nilai lokal dan mengabaikan perubahan-perubahan pada masyarakat modern yang lebih progresif. Teori kolonialisme-internal menyatakan bahwa kesenjangan dsitribusi kekuasaan dan kepentingan pusat menyebabkan timbulnya ketidakmerataan distribusi akses pada sumber daya modal, pasar maupun informasi diduga sebagai penyebab kemiskinan. Teori pembangunan tidak seimbang (unbalanced development) melihat adanya kesenjangan penguasaan terhadap pusat-pusat kegiatan yang berujung pada kesenjangan distribusi kekayaan antar kelas masyarakat dan menimbulkan ketergantungan daerah pinggiran pada daerah pusat yang menjadi penyebab timbulnya kemiskinan.

Pendekatan kedua melihat aspek kemiskinan yang didasarkan pada sisi ekonomi, politik dan sosial budaya. Pada sisi ekonomi, untuk memahami terjadinya proses kemiskinan, kita perlu memperhatikan faktor apa saja yang diduga telah mempengaruhi kegiatan sosial ekonomi suatu masyarakat yang kemudian akan mempengaruhi kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan dasar. Pada sisi politik, kemiskinan dilihat sebagai suatu hal yang berkaitan dengan masalah distribusi kekuasaan, kepentingan dan alokasi sumber daya (akses). Pada sisi sosial budaya, kemiskinan dipandang sebagai suatu budaya atau cara yang dipakai oleh orang miskin untuk beradaptasi pada posisi mereka yang marjinal dalam masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Pendekatan ketiga melihat kemiskinan sebagai suatu hal yang multi- dimensional. Dalam hal ini kemiskinan dapat dilihat melalui dua sisi, yaitu kemiskinan wilayah dan kemiskinan individu yang disebabkan oleh adanya 5 aspek ketidak-beruntungan (ketidakberdayaan, kerentanan, kelemahan fisik, kemiskinan dan isolasi). Lima aspek ketidakberuntungan menjadi lingkaran penyebab kemiskinan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.

11

Sumber: Susanto (2006)

Gambar 1 Lingkaran penyebab kemiskinan

Ketiga pendekatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi dalam melihat sebab-sebab terjadinya kemiskinan, yaitu dimensi kultural dan struktural.

Dimensi kultural yang dikemukakan oleh Oscar Lewis mengatakan bahwa kemiskinan muncul karena adanya “budaya kemiskinan” pada masyarakat tersebut. Budaya kemiskinan ini berkaitan erat dengan struktur kebudayaan, hubungan interpersonal, kebiasaan-kebiasaan, sistem-sistem nilai, dan orientasi terhadap masa depan yang diwariskan secara turun-temurun. Secara umum, terdapat empat aspek dalam budaya kemiskinan yaitu, (a) sifat kemasyarakatan kaum miskin (b) sifat keluarga dan sikap-sikap (c) nilai-nilai, dan (d) karakter individual. Keempat aspek dalam budaya kemiskinan ini berpengaruh pada pola tingkah laku dan mindset yang tertanam dalam kelompok masyarakat miskin sehingga mereka merasa nyaman dengan kehidupan mereka sebagai “orang miskin”.

Dimensi struktural lebih melihat adanya pengaruh faktor eksternal yang memberikan tekanan kepada seseorang maupun sekelompok orang dan membuatnya menjadi tidak berdaya (miskin). Pola ini dapat dilihat pada hubungan patron-klien yang eksploitatif antara petani pemilik lahan dan penggarap.

Berdasarkan survey BPS9, terdapat 14 kriteria untuk menentukan suatu keluarga atau rumah tangga tergolong miskin, yaitu:

1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah atau bambu atau kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu atau rumbia atau kayu berkualitas

rendah atau tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tidak terlindung atau sungai atau air hujan.

9

Diambil dari situs web http://www.dinsos.pemda-diy.go.id/index.php?option=content&task=view&id= 118&Itemid=46 Kemiskinan Kelemahan Fisik Kerentanan Ketidakberdayaan Isolasi MISKIN

12

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar atau arang atau minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging atau susu atau ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10.Hanya sanggup makan hanya satu atau dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik. 12.Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500 m2,

buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600 000 (enam ratus ribu rupiah) per bulan.

13.Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak bersekolah atau tidak tamat SD atau hanya SD.

14.Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai

minimal Rp500 000 (lima ratus ribu rupiah), seperti sepeda motor kredit atau non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Kemiskinan Rumah Tangga Buruh Tani

Konsep kemiskinan pada rumah tangga buruh tani dapat dilihat dari keterbatasan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan terkait dengan sandang, pangan dan papan. Rusastra dan Napitupulu dalam Sudharyanto (2009) mengemukakan bahwa rumah tangga miskin di pedesaan memiliki karakteristik sebagai berikut: memiliki jumlah anak yang banyak; pekerjaan utama di sektor pertanian; pendidikan sebagian besar tidak tamat SD; sebagian besar pengeluaran rumah tangga untuk pangan; dan memiliki tingkat pelayanan kesehatan yang rendah.

Karakteristik sosial ekonomi yang dimiliki oleh rumah tangga buruh tani miskin dapat menunjukkan tingkat kemiskinan pada rumah tangga buruh tani. Tingkat kemiskinan yang dimaksud adalah penggolongan rumah tangga buruh tani ke dalam beberapa strata untuk menunjukkan “seberapa miskin” rumah tangga tersebut. Tingkat kemiskinan pada rumah tangga buruh tani ini berkorelasi secara positif dengan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan pada rumah tangga buruh tani.

Sumber Daya Nafkah Rumah Tangga

Sumber daya nafkah (livelihood capital) dapat berarti anugrah atau sokongan dari berbagai macam sumber daya seperti sumber daya alam (natural capital) yang ada untuk dapat hidup. Sumber daya nafkah juga dapat berupa kemampuan material (physical capital), kemampuan finansial (financial capital), kemampuan dari tiap anggota keluarga atau pengalaman (human capital), dan relasi atau hubungan dengan komunitas yang ada disekitarnya (social capital) (Fine dalam Muta’ali 2012).

Hubungan kelima sumber daya nafkah dapat digambarkan pada sebuah pentagram untuk dapat mempermudah dalam menganalisis keberlangsungan hidup baik dalam tingkat rumah tangga maupun dalam tingkatan wilayah seperti di bawah ini.

13

Sumber: Development of international development dalam Muta’ali (2012)

Dokumen terkait