• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salak

Salak (Salacca edulis) merupakan buah asli Indonesia yang tersebar di berbagai daerah. Ada berbagai jenis salak yang disebut berdasarkan daerah asalnya yaitu salak Condet, salak Madura, salak Padangsidimpuan, salak Pondoh, salak Bali, salak Manonjaya, salak Bangkok, dan salak Hutan. Selain disebut berdasarkan daerah asalnya salak juga disebut berdasarkan rasanya seperti salak Gula Pasir, salak Nangka, salak Nenas, dan salak Madu. Berdasarkan bentuk tanaman, buah, dan rasa Salacca edulis dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu salak Padangsidimpuan, salak Bali, dan salak Madura (Anarsis, 1999).

Salah satu salak yang produksinya tinggi dan telah dipasarkan ke berbagai daerah adalah salak Padangsidimpuan. Buah ini memiliki bentuk yang besar, kulit coklat kehitaman sampai kekuning-kuningan, sisik kulit buah yang besar dan jarang serta mudah patah. Daging buahnya berwarna putih, putih krem atau putih kemerah-merahan, dan berwarna merah bila belum tua. Rasa buahnya dicirikan dengan rasa sepat dan bila masih muda rasa pahitnya dominan (Anarsis, 1999). Adapun komposisi buah salak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai gizi dan komposisi salak per 100 gram bagian yang dapat dimakan

Jenis Kandungan Jumlah

Kalori (kal) 77,0 Air (g) 69,69 Karbohidrat (g) 20,9 Protein (g) 0,4 Vitamin C (mg) 2,15 Kalsium (mg) 28 Vitamin B1 (mg) 0,04 Fosfor (mg) 18

Buah salak bersifat mudah rusak jika tidak dilakukan penanganan yang tepat, kerusakan salak ditandai dengan bau busuk dan daging buah berwarna kecoklatan serta menjadi lembek. Setelah pemanenan, buah ini masih terus melakukan proses fisiologi seperti perubahan warna, respirasi, proses biokimia ataupun perombakan fungsional akibat pembusukan oleh mikroba. Diperlukan penanganan pascapanen yang tepat untuk mempertahankan kualitas dan kesegarannya serta memperpanjang masa simpannya (Ristek, 2009).

Penyimpanan salak pada suhu kamar akan mengakibatkan salak lebih mudah busuk, hal ini karena kandungan air yang cukup tinggi yaitu sebesar 78% dan kandungan karbohidrat 20,9%. Masa simpan salak pada suhu kamar hanya ±7 hari. Salah satu penanganan pascapanen yang dapat dilakukan pada salak yaitu pelapisan. Pelapisan akan memperlambat proses respirasi dan transpirasi pada buah salak (Manurung, dkk., 2014).

Selain dikonsumsi dalam bentuk segar, salak dapat diolah menjadi berbagai produk seperti keripik salak, dodol salak, manisan salak, kurma salak, dan selai salak. Pengolahan ini dilakukan untuk mengatasi masalah daya simpan salak yang rendah dan untuk mengurangi rasa sepat yang kurang disukai konsumen (Noerhartati, dkk., 2010).

Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang dijadikan sebagai makanan pokok di daerah tertentu. Di Indonesia umumnya ada empat jenis ubi jalar yang dikelompokkan berdasarkan warnanya yaitu ubi jalar putih, ungu, oranye, dan kuning. Ubi jalar ungu memiliki warna ungu pekat karena mengandung pigmen

antosianin, sedangkan ubi jalar kuning dan oranye mengandung karotenoid (Juanda dan Cahyono, 2000).

Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 2.386.729 ton/tahun, khususnya di Sumatera Utara mencapai 146.622 ton/tahun (BPS, 2014). Ubi jalar dijadikan sebagai bahan pangan

alternatif pengganti beras di daerah yang produksinya tinggi karena mengandung kalori dan karbohidrat yang tinggi (Juanda dan Cahyono, 2000).

Ubi jalar ungu jenis Yamagawamurasaki dan Ayamurasaki dimanfaatkan sebagai pewarna alami pangan pada pengolahan mie, jus, roti, selai, dan minuman fermentasi. Kandungan nutrisi ubi jalar ungu yaitu vitamin A, C, serat pangan, zat besi, potasium dan protein (Mais, 2008). Komposisi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia ubi jalar ungu

Komposisi kimia Jumlah

Air (%) 70,46 Abu (%) 0,84 Pati (%) 12,64 Protein(%) 0,77 Gula reduksi(%) 0,3 Serat kasar(%) 3 Lemak(%) 0,94 Vitamin C (mg/100 g) 21,43

Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1996.

Pati Ubi Jalar Ungu

Pati tergolong kelompok polisakarida yang merupakan cadangan karbohidrat dan ditemukan dalam banyak tanaman. Dalam organ tanaman pati berbentuk granula atau serbuk. Sifat fungsional yang dimiliki pati menjadi faktor utama penggunaannya sebagai ingridient dalam pengolahan pangan. Pati biasanya digunakan sebagai pengental, penstabil, pembentuk gel, dan pembentuk

film. Untuk memperoleh pati murni dapat dilakukan ekstraksi dari beberapa sumber yaitu serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian, dan buah-buahan (Kusnandar, 2010).

Prinsip utama ekstraksi pati didasarkan pada sifat granula pati yang tidak larut dalam air sehingga pada tahap pengendapan pati akan terpisah dari komponen lainnya. Jika pati akan diaplikasikan dalam produk sebagai pembentuk gel atau film edibel maka yang diperlukan adalah pati dengan kadar amilosa yang lebih tinggi. Sedangkan bila akan digunakan sebagai pengental maka yang sebaiknya digunakan adalah pati yang mengandung amilopektin tinggi (Kusnandar, 2010).

Penggunaan pati sebagai pelapis edibel banyak dikembangkan karena sumber pati yang melimpah dan harganya murah. Pati memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk dijadikan bahan pelapis edibelkarena dapat membentuk lapisan yang kuat (Winarti, dkk., 2012). Pati ubi jalar memiliki sifat yang berbeda dengan pati kentang, pati jagung atau tapioka. Ukuran granula pati ubi jalar 2-25 µm yang berbentuk poligonal yang terdiri dari 20% amilosa dan 80% amilopektin. Lapisan (film) akan terbentuk jika pati tergelatinisasi sebagian karena perubahan pada amilosa dan amilopektin granula pati (Swinkels, 1985).

Aplikasi tapioka dengan konsentrasi 2% dan 3% terbukti mampu memperpanjang masa simpan lempok durian (Santoso, dkk., 2004). Pelapis edibel dari pati biji nangka dengan konsentrasi 3% dapat mencegah penurunan gula reduksi buah salak selama penyimpanan (Santosa dan Wirawan, 2015). Pelapis komposit yang terbuat dari tapioka 4% dan kitosan dapat menurunkan susut bobot buah stoberi selama penyimpanan (Rokhati, dkk., 2015).

Pengolahan Minimal Buah-buahan

Teknologi olah minimal merupakan salah satu teknik pengawetan

yang dapat mempertahankan mutu gizi dan sensori bahan pangan (Ohlsson, dkk., 2002). Buah atau sayuran segar yang diolah minimal

diberi berbagai perlakuan yang umumnya meliputi trimming, pengupasan, pemotongan, pencucian, pengemasan dan penyimpanan pada suhu dingin. Metode penanganan dan penyimpanan terhadap buah atau sayuran terolah minimal berbeda dengan yang masih segar. Kerusakan jaringan saat pengolahan ini akan mengakibatkan penurunan masa simpan (Hong dan Kim, 2004).

Dalam pengolahan ini, buah dan sayur diproses tanpa mengakibatkan perubahan yang mencolok terhadap kesegarannya. Ciri utama dari komoditas yang diolah minimal adalah kesegaran yang masih terjaga, praktis dan tidak ada proses pengawetan. Aplikasi pengolahan minimal berbeda pada setiap komoditas yang disesuaikan dengan karakteristiknya. Beberapa perlakuan dalam pengolahan minimal adalah pencucian, pemotongan, dan pengemasan (Ragaert, dkk., 2004).

Pemotongan buah atau sayur akan mengakibatkan kerusakan sel dan produk mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme karena kontak langsung dengan udara. Produk terolah minimal tidak diberi perlakuan panas sehingga harus disimpan pada suhu rendah untuk mencegah kerusakan mikrobiologis. Penyimpanan pada suhu rendah juga akan menurunkan aktivitas metabolisme produk (Antara, 2007).

Hal yang menjadi pertimbangan utama dalam produksi buah dan sayuran terolah minimal yaitu mempertahankan mutu khususnya kesegaran serta aspek sensori lainnya, mempertahankan nilai gizi, mencegah pembusukan oleh

mikroorganisme serta menjamin keamanannya (Pardede, 2009). Kelemahan buah terolah minimal yaitu lebih cepat rusak dan masa simpannya lebih pendek dibandingkan dengan buah utuh pada suhu penyimpanan yang sama. Kerusakan yang sering terjadi yaitu pencoklatan, penyimpangan flavor, pelunakan dan kontaminasi pada permukaan buah sehingga buah terolah minimal tidak layak konsumsi (Ahmad, dkk.,2010).

Produk terolah minimal dapat mengalami kerusakan karena terjadinya perubahan sifat fisik akibat berbagai perlakuan yang diberikan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan. Kombinasi dengan penyimpanan pada suhu rendah dan pengemasan termodifikasi merupakan cara yang umumnya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut (Corbo, dkk., 2006).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan dan memperpanjang masa simpan buah terolah minimal yaitu aplikasi pelapis edibel, penyimpanan pada suhu rendah, penggunaan zat aditif, dan pengemasan dengan modifikasi atmosfer. Beberapa aplikasi lapisan edibel pada produk terolah minimal yaitu pelapisan apel dengan wax, pelapisan alpukat dengan metilselulosa, dan pelapisan wortel kupas dengan kitosan (Nasution, dkk., 2012).

Pelapis Edibel

Pelapis edibel atau edible coating merupakan lapisan tipis yang dapat memberikan penahanan yang selektif terhadap massa. Film edibelberbeda dengan pelapis edibel, dimana film edibel merupakan lapisan tipis yang diaplikasikan dalam bentuk lembaran, sedangkan pelapis edibel diaplikasikan langsung pada permukaan bahan pangan. Dua jenis kemasan ini merupakan kemasan primer

yang ramah lingkungan dan aman dikonsumsi. Pelapis edibel dapat dibuat dari polisakarida (karbohidrat), protein, lipid, dan komposit (Winarti, dkk., 2012).

Polisakarida banyak diaplikasikan sebagai bahan pelapis edibel pada buah dan sayur karena dapat berperan sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas CO2 dan O2 sehingga laju respirasi akan menurun. Pelapis edibel jenis ini dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, pencoklatan pada permukaan, menurunkan laju respirasi, memperbaiki flavor, warna, dan tekstur, serta memperbaiki penampilan dan mencegah pembusukan. Adapun kelemahannya yaitu mudah rusak karena resistensi yang rendah terhadap air serta sifat penahan uap air yang rendah karena pati yang bersifat hidrofilik (Winarti, dkk., 2012).

Beberapa keuntungan aplikasi pelapis edibel pada produk yaitu aw

permukaan bahan menurun sehingga mencegah kerusakan oleh mikroorganisme, permukaan bahan menjadi mengkilat, menurunkan susut bobot karena mengurangi dehidrasi, mencegah oksidasi, mempertahankan flavor, dan memperbaiki penampilan produk (Santoso, dkk., 2004). Metode aplikasi pelapis edibel pada buah dan sayuran yaitu pencelupan, pembusaan, penyemprotan, penuangan dan penetesan terkontrol. Pada buah, sayuran, daging, dan ikan yang paling banyak digunakan adalah metode pencelupan, dimana bahan dicelupkan ke dalam larutan pelapis. Pelapis edibel berperan sebagai pengemas primer pada produk tersebut (Miskiyah, dkk., 2011).

Selain berfungsi sebagai pengemas, pelapis edibel juga dapat berperan sebagai bahan pembawa senyawa-senyawa seperti antimikroba, antioksidan, flavor maupun zat warna. Pelapis ini juga dapat menghambat terjadinya oksidasi

sehingga akan mencegah terjadinya penurunan kualitas serta memperpanjang umur simpan. Senyawa antimikroba yang biasanya ditambahkan pada pelapis edibel adalah minyak atsiri dan kitosan (Huri dan Nisa, 2014).

Gliserol

Plasticizer merupakan bahan tambahan dalam pembuatan lapisan (film)

yang berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas dengan cara menurunkan gaya intermolekuler sepanjang rantai polimernya sehingga film menjadi lentur. Jenis dan konsentrasi pemlastis akan mempengaruhi karakteristik film yang terbentuk.

Beberapa jenis plasticizer yang biasa digunakan untuk lapisan edibel yaitu

gliserol, sorbitol, dan asam stearat (Yulianti dan Ginting, 2012).

Gliserol merupakan plasticizer dengan titik didih tinggi, larut dalam air, polar, dan non volatile yang bersifat hidrofilik dan mudah masuk ke dalam rantai protein. Penggunaannya sebagai pemlastis lebih baik daripada sorbitol karena berbentuk cair, mudah tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air sedangkan sorbitol berbentuk bubuk, sulit bercampur dan mudah mengkristal pada suhu ruang (Awwaly, dkk., 2010). Penambahan gliserol 1,5% pada pati garut

butirat memberikan lapisan yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan

sorbitol dan sirup glukosa (Damat, 2008).

Penggunaan gliserol dalam pembuatan pelapis edibel akan menghasilkan

edibel yang lebih fleskibel dan halus (Mulyadi, dkk., 2007). Gliserol juga

berfungsimeningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air, dan gas terlarut serta

mengurangi kerapuhan. Pada pembuatan pelapis edibel dari pati penambahan gliserol akan membantu kelarutan pati dimana akan terbentuk ikatan hidrogen antara gugus OH pati dan gugus OH gliserol. Peningkatan jumlah gliserol dalam

campuran pati-air mengurangi nilai tegangan dan perpanjangan (Winarti, dkk., 2012).

Carboxyl Methil Celulose (CMC)

CMC merupakan senyawa aditif yang berfungsi sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel dan pengemulsi. Senyawa ini bersifat mudah larut dalam air dingin maupun panas, dapat membentuk lapisan, stabil terhadap lemak, dan tidak larut dalam pelarut organik. Penggunaan CMC sebagai senyawa aditif berkisar 0,5-3,0% untuk memperoleh hasil optimum (Kamal, 2010). CMC adalah turunan selulosa yang bersifat mengikat air dan digunakan untuk membentuk tekstur halus(Indriyanti, 2006).

Dalam pembuatan pelapis edibel CMC berperan sebagai emulsifier yang

akan menghasilkan lapisan yang lebih stabil dan kuat. CMC juga berfungsi

menghambat penguapan air (Santoso, dkk., 2004). Berdasarkan hasil penelitian

Mardiana (2008) penggunaan CMC 1% pada pelapis edibel gel lidah buaya dapat

memperpanjang masa simpan buah belimbing sampai 21 hari.

Asam Askorbat

Asam askorbat atau vitamin C merupakan senyawa yang larut dalam air dan dapat menghambat aktivitas enzim polifenolase. Senyawa ini berwujud kristal putih kekuningan dan tidak berasa sehingga tidak mempengaruhi produk akhir. Asam ini berperan sebagai antioksidan dalam reaksi pencoklatan enzimatis yang menghasilkan oksigen pada permukaan (Robinson dan Eskin, 1991).

Antioksidan yang sering digunakan dalam pembuatan pelapis edibel adalah asam sitrat dan asam askorbat yang bersifat mudah larut dalam air, mudah

dicerna, tidak beracun, dan harganya murah. Mekanisme asam askorbat sebagai antioksidan yaitu dengan menangkap radikal bebas dan memutus reaksi radikal (Santoso, dkk., 2007).

Pada pembuatan pelapis edibel penambahan asam askorbat bertujuan untuk menurunkan laju degradasi vitamin C pada bahan yang dilapisi. Pelapis edibel yang mengandung antioksidan mampu memperpanjang masa simpan produk (Miskiyah, dkk., 2011). Penambahan senyawa antioksidan pada lapisan edibel memiliki dua fungsi, yaitu mencegah terjadinya oksidasi pada produk yang

dilapisi dan menangkal radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh (Huri dan Nisa, 2014).

Penyimpanan Buah Pada Suhu Rendah

Pendinginan merupakan teknik pengawetan pangan yang didasarkan pada prinsip pengambilan panas dari bahan yang menyebabkan suhu bahan menurun. Hal ini mengakibatkan reaksi biokimia dan perubahan akibat pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan menurun sehingga masa simpan akan lebih panjang. Semakin lama penyimpanan yang diinginkan maka suhu yang dibutuhkan semakin rendah (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Suhu penyimpanan dingin untuk setiap buah dan sayuran berbeda-beda, tergantung jenis dan karakteristiknya. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan sedangkan suhu yang rendah akan menghambat metabolisme. Penyimpanan diatas suhu pembekuan juga dapat mengakibatkan kerusakan dingin seperti chilling injury (Desrosier, 2008).

Perubahan keasaman dapat terjadi selama penyimpanan yang sesuai dengan tingkat kemasakan dan suhu. Penyimpanan pada suhu 70 oF akan

mengakibatkan peningkatan keasaman. Bersamaan dengan perubahan pola klimakterik perubahan keasaman juga meningkat. Penggunaan suhu yang tinggi saat penyimpanan akan mengakibatkan penurunan asam askorbat lebih cepat (Pantastico, 1993).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buah-buahan merupakan bahan pangan yang menjadi sumber vitamin dan mineral yang bersifat mudah rusak jika tidak dilakukan penanganan yang tepat. Konsumsi buah-buahan dalam bentuk segar lebih disukai daripada olahan buah seperti manisan, fruit leather, ataupun sirup. Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup maka masyarakat cenderung menginginkan makanan yang praktis, tetapi tetap mempertimbangkan faktor gizi dan keamanannya. Pengolahan minimal merupakan salah satu upaya untuk menyediakan buah-buahan yang segar dan praktis bagi konsumen.

Buah salak merupakan buah asli Indonesia. Ada beberapa daerah penghasil salak di Indonesia yaitu Manonjaya (Jawa Barat), Padangsidimpuan (Sumatera Utara), Bali, Banjarnegara (Jawa Tengah), Sleman (Yogyakarta), dan Enrekang (Sulawesi Selatan). Salak Padangsidimpuan merupakan buah yang menjadi komoditi unggulan daerah yang berbeda dengan jenis salak lainnya karena rasanya yang manis asam, tekstur yang khas dan berwarna putih kemerahan.

Masa simpan buah salak segar hanya ±7 hari pada suhu kamar karena mengandung air yang cukup tinggi. Konsumsi buah salak dalam bentuk segar memerlukan waktu penyajian, dimana dalam tahapan tersebut perlu dilakukan pengupasan kulit salak yang bersisik dan tajam, terutama jika penyimpanan terlalu lama yang mengakibatkan kulit menjadi kering dan lebih sulit dikupas. Tahapan ini untuk sebagian orang kurang disukai karena tidak praktis, sehingga perlu

dilakukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan penerapan teknik olah minimal.

Teknik olah minimal merupakan perlakuan pada bahan pangan segar yang bertujuan untuk menghilangkan bagian yang tidak dapat dikonsumsi, memperkecil ukuran produk, dan mempercepat penyajian. Kelemahan pengolahan ini yaitu buah dan sayur menjadi cepat rusak atau umur simpannya singkat sehingga diperlukan tahap perlakuan selanjutnya yang dapat mempertahankan mutu serta memperpanjang masa simpan. Aplikasi pelapis edibel merupakan salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan tersebut.

Pelapis edibel atau edible coating adalah lapisan tipis yang bersifat alami, dibentuk secara langsung pada permukaan bahan pangan dan berfungsi sebagai kemasan. Kelebihan pelapis ini yaitu selain sebagai pelapis tipis bahan pangan, pengemas ini dapat dikonsumsi serta dapat terdegradasi secara biologis. Ada tiga jenis bahan yang dapat dijadikan sebagai pelapis edibel yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida), lipida, dan komposit. Salah satu jenis polisakarida yang dapat digunakan sebagai pelapis edibeladalah pati.

Sifat-sifat pati sesuai untuk pelapis edibel karena dapat membentuk film yang kuat. Pelapis edibel berbahan dasar polisakarida berperan sebagai lapisan pelindung yang selektif terhadap pertukaran gas O2 dan CO2 sehingga dapat menurunkan laju respirasi pada buah dan sayuran. Pelapis yang terbuat dari pati juga dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, dan pencoklatan pada permukaan.

Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk. Ada empat jenis ubi jalar yang dikelompokkan berdasarkan warnanya yaitu ubi jalar putih, ungu, oranye dan kuning. Sumatera Utara

merupakan salah satu provinsi penghasil ubi jalar terbesar setelah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Indonesia konsumsi ubi jalar umumnya dalam bentuk olahan primer seperti ubi rebus, ubi kukus, dan keripik, sedangkan produk ubi jalar seperti pasta, tepung, puree, dan pati diekspor ke berbagai negara.

Pelapis edibel dapat dibuat dari berbagai jenis pati, seperti pati ubi kayu, pisang kepok, sukun, kentang, ubi jalar dan jagung. Pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati ubi jalar ungu. Rendemen pati ubi jalar ungu lebih tinggi daripada pati ubi jalar oranye dan kuning juga mengandung amilosa yang tinggi yaitu 30-40% sehingga cocok dijadikan sebagai bahan pelapis edibel. Pemanfaatan pati ubi jalar ungu di Indonesia sebagai kemasan belum banyak dikembangkan karena biasanya hanya dijadikan sebagai substitusi tepung terigu untuk pembuatan produk olahan seperti kue, mie, dan roti.

Penggunaan pati ubi jalar ungu sebagai bahan pelapis edibel akan menjadi salah satu upaya pemanfaatan dan peningkatan nilai ekonomisnya. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh Konsentrasi Pati Ubi Jalar pada Bahan Pelapis Edibel Terhadap Mutu Buah Salak Terolah Minimal Selama Penyimpanan”.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pati ubi jalar ungu sebagai bahan pelapis edibel terhadap mutu buah salak terolah minimal selama penyimpanan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana teknologi pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, mendapatkan formulasi pelapis edibelyang tepat untuk memperpanjang masa simpan buah salak terolah minimal.

Hipotesa Penelitian

Ada pengaruh pelapis edibel dari pati ubi jalar dan lama penyimpanan serta interaksinya terhadap mutu buah salak terolah minimal.

ABSTRAK

RIZKI ANNISA : Pengaruh Konsentrasi Pati Ubi Jalar pada Bahan Pelapis Edibel Terhadap Mutu Buah Salak Terolah Minimal Selama Penyimpanan dibimbing oleh ISMED SUHAIDI dan LASMA NORA LIMBONG

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pati ubi jalar ungu dan lama penyimpanan terhadap mutu salak terolah minimal yang dilapisi pelapis edibel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu konsentrasi pati (P) : (2%, 3%, 4%, 5%, dan 6%) dan lama penyimpanan (L) : (2 hari, 4 hari, dan 6 hari). Parameter yang dianalisa adalah susut bobot, total asam, kadar vitamin C, total padatan terlarut, kadar tanin, total mikroba, organoleptik warna, rasa, aroma, dan skor tekstur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi pati memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap susut bobot, total asam, kadar vitamin C, dan total padatan terlarut. Lama penyimpanan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap susut bobot, total asam, kadar vitamin C, total padatan terlarut, total mikroba, organoleptik warna, rasa, aroma, dan skor tekstur. Interaksi konsentrasi pati dan lama penyimpanan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap susut bobot, total padatan terlarut dan memberikan pengaruh nyata terhadap total asam dan kadar vitamin C. Pelapis edibel yang menghasilkan mutu buah salak terolah minimal terbaik adalah konsentrasi pati 5% dan lama penyimpanan 4 hari.

Kata kunci : lama penyimpanan, pati ubi jalar, pelapis edibel, salak.

ABSTRACT

RIZKI ANNISA : The Effect of Sweet Potato Starch Concentration as Edible Coating on Quality of

Minimally Processed Snake Fruit During Storage, supervised by ISMED SUHAIDI and

LASMA NORA LIMBONG

The objective of this research was to find out the effect of starch concentration and storage time on quality of minimally processed snake fruit coated with edible coating. Method used in this research was completely randomized design (CRD) with 2 factors, namely the concentration of starch (P) : (2%, 3%, 4%, 5%, and 6%) and storage time (L) : (2 days, 4 days, and 6 days). Parameters analyzed were weight loss, total acid, vitamin C content, total soluble solid, tanin content, total microorganism, organoleptic values of color, taste, flavor, and texture score.

The results showed that the starch concentration had highly significant effect on weight loss, total acid, vitamine C content, and total soluble solid. Storage time had highly significant effect on weight loss, total acid, vitamine C content, total soluble solid, total microorganism, organoleptic values of color, taste, flavor and texture score. The interaction of two factors had highly significant effect on weight loss and total soluble solid and had significant effect on total acid and vitamine C content. The starch concentration of 5% with storage time 4 days could better protect the quality of minimally processed snake fruit.

Dokumen terkait