• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. LOGAM BERAT

Logam berat biasanya didefinisikan berdasarkan sifat-sifat fisiknya dalam keadaan padat. Sifat-sifat fisik tersebut antara lain memiliki: 1) daya pantul cahaya yang tinggi, 2) daya hantar listrik yang tinggi dan 3) daya hantar panas (Darmono, 1995). Istilah logam berat menunjuk pada logam yang mempunyai berat jenis lebih tinggi dari 5 atau 6 g/cm3. Beberapa logam berat tersebut adalah As, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, Ni dan Zn (Wild, 1995). Beberapa logam berat seperti Cu, Zn, Fe, Ni, Mn dan Co merupakan logam yang diperlukan dalam konsentrasi rendah untuk proses metabolisme. Pada konsentrasi tinggi, logam berat bersifat toksik karena sukar terurai. Apabila logam berat masuk perairan, akan terakumulasi terutama dalam sedimen dan terikat sebagai senyawa organik dan anorganik (Gadd, 1990).

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup telah mengelompokkan sifat toksisitas logam berat dalam tiga kelompok, yaitu (1) bersifat toksik tinggi yang terdiri unsur-unsur Hg, Pb, Cd, Cu dan Zn, (2) bersifat toksik menengah yang terdiri atas unsur -unsur Cr, Ni dan Co, dan (3) bersifat toksik sangat rendah yang terdiri atas unsur-unsur Mn dan Fe.

Kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan masalah besar dunia saat ini. Persoalan keberadaan logam berat di lingkungan terutama karena akumulasinya hingga pada rantai makanan dan keberadaannya di alam, serta meningkatnya sejumlah logam berat yang menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara dan air (Suhendrayatna, 2001).

Manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap peningkatan mobilisasi dan akumulasi logam berat di lingkungan. Melalui berbagai kegiatan industri misalnya, logam berat masuk ke atmosfer, tanah dan perairan melebihi kemampuan alamiah untuk memprosesnya. Bahan-bahan demikian dikenal sebagai Bahan-bahan xenobiotik. Logam berat tersebut masuk ke ekosistem tanah dalam bentuk organik maupun inorganik (Nugroho, 2001).

1 Toksisitas Logam Berat

Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat terbagi ke dalam dua jenis yaitu: pertama logam berat esensial dimana keberadaanya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, seperti antara lain, seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), kobalt (Co) dan mangan (Mn), serta logam berat tidak esensial atau beracun, dimana keberadaan dalam tubuh organisme hidup hingga saat ini masih belum diketahui manfaatnya bahkan justru dapat bersifat racun, seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb) dan kromium (Cr) (Nugroho, 2001).

Secara umum, logam-logam esensial diperlukan sebagai katalis enzim, transpor molekul, struktur protein dan mengontrol tekanan osmotik sel (Roane dan Pepper, 2000). Menurut Darmono (1995), urutan toksisitas teringgi sampai terendah dari logam berat bagi manusia adalah sebagai berikut: Hg2+>Cd2+>Ag2+>Ni2+>Pb2+>As2+>Cr2+>Sn2+>Zn2+.

Logam berat dapat menyebabkan toksik pada organisme hidup, karena dapat berkompetisi, mengganti atau menempati ion-ion logam-logam esensial metabolisme (Wong et al. 2002; Roane dan Pepper, 2000). Pada umumnya, mikroorganisme menggunakan jalur transpor yang spesifik untuk membawa logam-logam esensial masuk ke dalam sitoplasma dengan melintasi membran sel. Demikian juga logam-logam toksik dapat juga melintasi membran melalui difusi (Roane dan Pepper, 2000).

Merkuri (Hg) adalah unsur logam yang berbentuk cair pada suhu kamar dan mempunyai titik beku -39 0C, mempunyai kecenderungan menguap lebih besar, mudah dicampur dengan logam lain dan mudah mengalirkan arus listrik (Darmono, 1995). Merkuri banyak digunakan pada industri alat listrik, industri cat, industri farmasi dan pada bidang pertanian merkuri digunakan untuk membasmi jamur (fungisida) (Suhendrayatna , 2001).

Timbal (Pb) adalah logam yang mempunyai titik lebur rendah sehingga mudah digunakan, mudah dibentuk karena lunak, kepadatannya melebihi logam yang lain dan digunakan untuk melapisi logam supaya tidak terjadi pengkaratan (Darmono, 1995). Penggunaan terbesar timbal adalah dalam

industri baterai kendaraan bermotor, industri cat, pestisida dan bahan anti letup kendaraan bermotor (Ambarwati, 2002).

Elemen seng (Zn) dan besi (Fe) banyak digunakan pada pembuatan baja, produksi logam campuran dan pelapis logam. Seng biasanya dijumpai pada tanah dengan konsentrasi 10-300 ppm dan banyak terdapat pada limbah industri pertambangan logam (Suhendrayatna, 2001). Besi tersebar luas di alam dengan konsentrasi sekitar 50000 ppm (Darmono, 1995).

2. Akumulasi Logam Berat Pada Mikroorganisme

Logam berat dapat diakumulasikan oleh sel mikroba hidup dengan berbagai cara baik fisikokimia maupun biologi (Suhendrayatna, 2001; Gadd, 1992; Roane dan Pepper, 2000). Jika akumulasi ion-ion logam tersebut tergantung pada fenomena akumulasi sel maka direferensikan sebagai bioakumulasi. Sedangkan fenomena yang memanfaatkan adsorpsi sel permukaan sel disebut biosorpsi. Namun kadang-kadang kedua fenomena direferensikan sebagai akumulasi (Marwati, 2005).

Bioremoval didefinisikan sebagai terakumulasi dan terkonsentrasinya zat polusi dari suatu lingkungan oleh material biologi, selanjutnya material ini dapat dibuang sehingga ramah terhadap lingkungan. Berbagai jenis mikroorganisme dapat digunakan untuk tujuan ini. Proses bioremoval berpotensi tinggi dalam kontribusinya untuk mengurangi kadar logam berat (Suhendrayatna, 2001). Mekanisme utama dalam imobilisasi atau memindahkan logam dari larutan dapat melalui volatilisasi dan akumulasi atau terikat pada permukaan sel (Ford dan Mitchel, 1992).

Mekanisme penjebakan pada permukaan kapsul atau dinding sel pada umumnya melalui spesifik grup kation komplek seperti gugus karboksil atau protein spesifik. Mekanisme penjebakan dengan protein seperti metalothionein juga dapat terjadi secara intraseluler (Roane dan Pepper, 2000). Metalothionein merupakan protein pengikat logam yang disintetis mikroba. Protein spesifik binding ini telah berhasil dikarakterisasi yakni mempunyai berat molekul rendah, berisi kaya sistein, miskin senyawa aromatik dan mempunyai afinitas terhadap logam Ag, Cd, Hg, Zn, Cu dan Co

(Roane dan Pepper, 2000). Metalothionein ini dapat ditemukan pada beberapa mikroorganisme, antara lain P. Aeruginosa (Qureshi et al., 2001) dan Saccharromyces cerevisiae (Gadd, 1990)

Bakteri umumnya dapat memproduksi ekstraseluler polimer yang sebagian besar komposisinya terdiri dari karbohidrat, polisakarida, asam nukleat dan asam lemak. Komponen ekstraselular tersebut dapat menangkap ion-ion logam toksik melalui berbagai reaksi kimia seperti kompleksasi, binding kovalen dan ion exchange (Gadd, 1990; Roane dan Pepper, 2000).

Menurut Atlas dan Bartha (1998), komponen-komponen ekstraseluler atau ligan-ligan yang terikat pada dinding sel dapat menangkap logam toksik dan masuk melewati dinding sel dengan lambat. Logam selanjutnya di lepas ke dalam sel dan bergabung dalam lintasan biokimia atau terperangkap dalam bentuk inaktif yang berikatan komplek dengan ligan-ligan afinitas tinggi.

B. MINYAK BUMI

Perkembangan industri minyak begitu pesat, produksi minyak bumi di dunia lebih dari tiga miliar ton per tahun. Wilayah perairan menjadi rawan timbulnya pencemaran minyak karena separuh dari seluruh produksi tersebut diangkut melalui laut oleh kapal tanker sehingga kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan tercecernya minyak di la ut hampir tidak dapat dielakkan (Fahruddin, 2004).

Tabel 3. Komposisi Minyak Bumi

Komponen % Bobot Karbon Hidrogen Belerang Nitrogen Oksigen Logam 83.9 – 86.8 11.4 – 14.0 0.06 – 8.00 0.11 – 1.70 + 0.50 + 0.03 Sumber : Oetomo (1997)

Minyak bumi maupun produknya merupakan campuran senyawa organik yang terdiri atas senyawa hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa

hidrokarbon merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi (lebih dari 90%) sedangkan sisanya berupa senyawa nonhidrokarbon. Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa organik yang terdiri atas karbon dan hidrogen. Senyawa-senyawa non hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang, oksigen dan logam (Cookson, 1995).

Batu bara dan minyak merupakan bahan bakar yang banyak digunakan dalam pembangkit tenaga listrik, bahan bakar kendaraan, bahan bakar untuk mesin di pabrik dan lain-lain. Akan tetapi limbah yang dihasilkan cukup berbahaya bagi mahluk hidup, karena biasanya mengandung logam-logam berat seperti arsen (As), kadmium (Cd), timah hitam (Pb) dan merkuri (Hg) (Darmono, 1995). Walaupun logam berbahaya tersebut kandungannya sangat kecil dalam bahan bakar minyak dan batu bara, tetapi kekuatan untuk menyebabkan keracunan sangat besar. Kandungan logam dalam batu bara dan minyak bumi, seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan As, Cd, Pb, dan Hg dalam Batu Bara dan Minyak Mentah (ug/g).

Logam Batu bara (ug/g) Minyak mentah (ug/g)

As Cd Pb Hg 0.34-130 0.01-300 0.70-220 0.01-1.6 0.0024-1.63 0.0300-2.10 0.0010-0.31 0.0140-30.0 Sumber: Darmono (1995)

1. Jenis Hidr okarbon Dalam Minyak Bumi a. Hidrokarbon Alifatik

Hidrokarbon alifatik atau disebut juga parafin adalah senyawa yang mempunyai rantai atom terbuka. Ikatan antar atom-atom yang menyusun senyawa ini, dapat berupa rantai lurus dan rantai bercabang. Senyawa parafin yang didapatkan dari minyak bumi mengandung 1 sampai lebih dari 78 atom C. Wujud parafin dengan jumlah atom kurang dari 5 adalah bentuk gas. Jumlah atom C dari 5 sampai dengan 16 adalah berbentuk cair

dan jumlah atom lebih dari 16 adalah bentuk padat atau semi padat. Terdiri dari alkana dengan rumus molekul CnH2n+2, alkena dengan rumus molekul CnH2n dan alkuna dengan rumus molekul CnH2 n-2 (Udiharto, 1996 dan Oetomo, 1997).

b. Hidrokarbon alisiklik

Hidrokarbon alisiklik atau disebut juga naftena adalah senyawa yang umumnya berbentuk cincin dan tidak mempunyai ikatan ganda. Hidrokarbon alisiklik terdiri atas sikloalkana dengan rumus molekul CnH2n, sikloalkena dengan rumus molekul CnH2n-2 dan sikoalkuna dengan rumus molekul CnH2 n-4 (Udiharto, 1996).

c. Hidrokarbon aromatik

Dalam minyak bumi senyawa hidrokarbon aromatik terdiri atas senyawa aromatik tanpa subtitusi, sebagai contoh benzena, te rdiri dari enam atom karbon yang berikatan ganda atau tunggal dan senyawa aromatik tersubtitusi seperti toluene, fenol dan xilen (Udiharto, 1996). 2. Minyak Diesel

Produk-produk turunan minyak bumi antara lain adalah sebagai berikut Tabel 5. Minyak bumi dan Turunannya

Produk turunan minyak bumi Rantai karbon Gas Bensin Minyak tanah Minyak diesel Pelumas Aspal C1 – C5 C6 – C10 C1 1 – C1 2 C1 2 – C2 5 C2 6 – C3 8

Senyawa polisiklik berat

Sumber : Crawford (1996).

Menurut Environtmental Technology Centre, Canada, minyak diesel mengandung hidrokarbon jenuh, hidrokarbon aromatik dan resin. Hidrokarbon alifatik memiliki komponen terbesar (79%) sedangkan hidrokarbon aromatik

sebesar 19% dan sisanya resin sebesar 2%. Minyak diesel juga mengandung sejumlah VOCs seperti benzena, toluena, etilbenzena dan xilena.

Merujuk pada Udiharto (1996) mengenai jenis produk minyak bumi dan komposisinya, maka yang digolongkan sebagai minyak diesel adalah produk minyak bumi dengan jumlah rantai karbon antara 12-25. Minyak diesel dengan rantai karbon antara 12-18 disebut minyak diesel ringan, sedangkan untuk rantai karbon yang lebih panjang disebut minyak diesel berat yang juga digunakan sebagai minyak lumas ringan.

Minyak diesel terdiri atas komponen minyak dan bahan aditif. Komponen minyak dari bahan ini sebagian besar merupakan hidrokarbon, yaitu normal alkana atau n-parafin, isoalkana atau isoparafin, sikloalkana atau naftalena, olefin dan campuran aromat dengan olefin. Senyawa hidrokarbon merupakan komponen terbesar dari produk minyak bumi (lebih dari 90%), sedangkan komponen sisanya berupa senyawa non-hidrokarbon yaitu senyawa organik yang mengandung belerang, nitrogen dan oksigen (Udiharto, 1996). Beberapa senyawa polutan hasil pembakaran minyak diesel adalah hidrokarbon, oksida nitrogen, partikulat, benzena dan karbon monooksida. Hidrokarbon minyak diesel sebagian besar berupa n-alkana sederhana tidak bercabang, dengan kandungan senyawa poliaromatik kurang dari 4%.

C. BIOREMEDIASI

Bioremediasi menurut Citroreksoko (1996) diartikan sebagai proses pendegradasian bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti CO2, metan dan air. Proses ini didasarkan pada siklus karbon di mana bentuk senyawa organik dan anorganik didaur ulang melalui reaksi reduksi dan oksidasi. Menurut Crawford dan Crawford (1996) bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksifikasi polutan yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.

Menurut Sa’id dan Fauzi (1996), bioremediasi merupakan proses penyehatan (remediasi) secara biologis terhadap komponen lingkungan, tanah, dan air yang telah tercemar oleh bahan pencemar yang biasanya merupakan

senyawa xenobiotik (asing di alam) dan bersifat rekalsitran (sulit terdegradasi).

Reaksi oksidasi dan reduksi pada senyawa polutan bisa berlangsung dengan adanya katalis berupa enzim-enzim mikrobial yang disekresi oleh mikroorganisme pendegradasian alami. Pada mulanya, mikroorganisme pendegradasi tidak memiliki kemampuan dala m mendegradasi senyawa -senyawa polutan yang belum dikenal sebelumnya karena tidak memiliki enzim pendegradasi yang dibutuhkan. Sa’id dan Fauzi (1996) menjelaskan bahwa dalam evolusi kehidupannya mikroorganisme tersebut akan mengalami proses diagenesis, yaitu proses perubahan kimiawi, biokimia dan fisika sehingga lambat laun mikroorganisme-mikrooganisme tersebut dapat beradaptasi dan melakukan pendegradasian.

Mikroorganisme aerob dan reaksi aerob terjadi pada suatu lingkungan tersedia cukup oksigen yang bertindak sebagai akseptor elektron. Reaksi tersebut dikenal sebagai respirasi. Hasil akhir yang diperoleh merupakan campuran dari produk yang lebih teroksidasi atau lebih tereduksi dibandingkan substrat awalnya. Tergantung pada jenis mikroorganismenya, produk akhir tersebut berupa asam, alkohol, keton dan gas-gas (Cookson, 1995).

Menurut Cookson (1995) kebutuhan dasar dari proses biologis yaitu : a. Kehadiran mikroorganisme dengan kemampuan untuk mendegradasi

senyawa atau senyawa target.

b. Keberadaan substrat yang dikenali dan dapat digunakan sebagai sumber energi dan karbon.

c. Kondisi lingkungan yang sesuai untuk reaksi dan pH yang mendukung. d. Ketersediaan nutrien untuk mendukung pertumbuhan sel mikrobial dan

produksi enzim.

e. Suhu yang mendukung aktivitas mikrobial.

f. Ketiadaan bahan atau substansi beracun terhadap mikroorganisme tersebut.

Tanpa adanya enzim yang mengkatalis reaksi degradasi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan lama. Enzim mempercepat proses

tersebut dengan cara menurunkan energi aktivasi, yaitu energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi. Produksi enzim dipicu oleh kehadiran substrat yang berfungsi sebagai sumber energi. Substrat tersebut bisa jadi merupakan senyawa polutan atau pun bukan polutan. Supaya mikroorganisme bisa memperoleh energi dari substrat tersebut, maka bahan tersebut harus masuk ke dalam membran sel dan melewati serangkaian transpor elektron selama respirasi seluler berlangsung. Bila substrat potensial terlalu besar untuk bisa menembus membran sel maka sel akan mengekskresi eksoenzim dan mencerna substrat di luar sel. Tingkat produksi enzim-enzim ektraseluler ini relatif rendah, sehingga degradasi makromolekul membutuhkan waktu aklimatisasi yang relatif lama dengan tingkat degradasi yang rendah (Cookson, 1995).

Terdapat beberapa mekanisme penghambatan enzim. Salah satunya, yang membuat produksi enzim terhenti adalah represi katabolit. Mekanisme ini terjadi bila metabolit dari degradasi menghambat produksi enzim atau tetap mempertahankan ikatan kompleknya dengan enzim. Mekanisme lain adalah penghambatan kompetitif, yang terjadi bila terdapat substrat lain yang lebih mudah dimetabolisme oleh sel (Cookson, 1995).

Kometabolisme merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung yang berupa interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di lingkungannya dalam mengoptimalkan aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi. Proses ini bisa berlangsung karena enzim yang dihasilkan mikroorganisme untuk mendegradasi substrat tertentu ternyata juga bisa bermanfaat bagi proses degradasi senyawa lain yang tidak ada hubungannya dengan proses produksi energi, asimilasi karbon, maupun proses lain yang berkaitan dengan pertumbuhan sel mikroorganisme tersebut. Proses ini hanya bisa berlangsung bila tersedia substrat lain yang bertindak sebagai sumber karbon bagi metabolisme mikroorganisme (Cookson, 1995).

1. Faktor Fisiko Kimia Dalam Bioremediasi

Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim

pendegradasi hidrokarbon, perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Perlu diperhatikan faktor -faktor lingkungan yang meliputi kadar air, pH, temperatur, oksigen, dan nutrien yang tersedia.

a. Kadar air

Kadar air merupakan salah satu faktor penting dalam proses bioremediasi. Mikroorganisme membutuhkan air untuk tumbuh dan berkembang biak. Kandungan air sangat penting untuk aktivitas metabolik mikroorgansime. Tanpa air mikroorganisme tidak dapat hidup dalam limbah minyak, karena mikroorganisme tumbuh aktif pada antar muka minyak dan air (Udiharto, 1996).

b. Temperatur

Dalam suatu proses degradasi, temperatur akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia komponen-komponen kimia, kecepatan degradasi oleh mikroorganisme dan komposisi komunitas mikroorganisme. Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30-40oC. Pada temperatur rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Efek penghambatan tersebut juga disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim mikrobial (Leahy dan Colwell, 1990).

c. Oksigen

Proses dasar degradasi minyak bumi adalah oksidasi. Langkah awal katabolisme senyawa hidrokarbon oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Fungsi utama oksigen adalah sebagai akseptor elektron pada

respirasi aerob. Jika transpor oksigen tidak dipelihara, keberadaan oksigen dapat menjadi komponen pembatas (Oetomo, 1997).

d. Nutrien

Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energi, dan keseimbangan metabolisme sel. Hidrokarbon minyak bumi akan dikonsumsi oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon. Proses biodegradasi minyak bumi oleh mikroorganisme akan berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya lebih meningkat dengan penambahan nitrogen dan fosfor (Leahy dan Colwell, 1990).

Rosenberg dan Ron (1988) menyatakan bahwa secara teoritis jumlah nitrogen dan fosfor yang harus ditambahkan untuk mengkonversi 1 gram hidrokarbon menjadi material sel adalah 150 mg untuk nitrogen dan 30 mg untuk fosfat. Kebutuhan nitrogen dan fosfor untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimum dari mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon bisa dipenuhi dari penambahan kedua nutrien tadi dalam bentuk campurannya dengan garam lain seperti amonium sulfat, amonium nitrat, amonium klorida dan kalsium fosfat. Penggunaan garam amonia dari asam kuat akan mengakibatkan penurunan pH larutan, untuk menghindari hal tersebut maka sebagai sumber nitrogen bisa digunakan urea.

e. Surfaktan

Zat yang dapat menyatukan beberapa zat yang berbeda jauh kepolarannya sehingga apabila dilihat dari sifat zat-zat tersebut sebenarnya tidak dapat disatukan disebut surfaktan atau emulsifier. Menurut Karanth et al. (2005), surfaktan memiliki gugus polar dan gugus non polar sekaligus dalam satu molekulnya sehingga pada satu sisi ia akan mengikat minyak yang bersifat non polar dan di sisi lain ia juga akan mengikat air yang bersifat polar.

Biosurfaktan adalah surfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme yang tumbuh pada substrat tertentu. Biosurfaktan memiliki beberapa

kelebihan antara lain mudah didegradasi dan kandungan polutan rendah sehingga tidak mencemari lingkungan (Karanth et al., 2005).

e. pH

Tingkat keasaman adalah salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Sebagian besar bakteri mampu tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral antara 6,5-7,5 dan mampu bertahan pada kisaran pH 4-9 (Pelczar dan Chan, 1986). pH dapat berubah selama pertumbuhan mikroorganisme. Penurunan pH terjadi akibat terbentuknya asam-asam organik, sedangkan peningkatan pH terja di jika ada proses reduksi nitrat membentuk ammonia.

2. Degradasi Minyak Diesel

Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa degradasi hidrokarbon minyak diesel terjadi bila mikroorganisme menempel di permukaan butiran-butiran minyak karena enzim oksidase yang dibutuhkan untuk memecah rantai karbon yang sifatnya terikat pada membran sel. Dengan demikian degradasi minyak diesel dipengaruhi oleh bioavailabilitas komponen-komponennya di lingkungan.

Penghambatan degradasi bisa terjadi karena tumpahan minyak akan membentuk lapisan film di permukaan air yang menghambat difusi oksigen ke dalam air (Karanth et al., 2005). Untuk meningkatkan kontak antara bakteri dengan minyak yang tidak terlarut di dalam air dilakukan dengan dua cara, yaitu mekanisme adhesi atau adsorbsi spesifik serta dengan mengemulsi minyak.

Di dalam tanah, distribusi dan pergerakan minyak juga dipengaruhi oleh kehadiran partikulat tanah. Infiltrasi minyak ke dalam partikulat tersebut akan menghambat penguapan senyawa hidrokarbon volatil yang mungkin toksik bagi beberapa mikroorganisme tanah. Hidrokarbon yang tumpah ke tanah bisa menjadi residu persisten apabila terperangkap dalam matriks humik tanah (Leahy dan Colwell, 1990). Kendati demikian, secara umum campuran senyawa hidrokarbon merupakan senyawa yang siap terdegradasi di tanah,

terutama bila tersedia mikroorganisme pendegradasi yang melakukan kometabolisme terhadap komponen-komponennya.

Dokumen terkait