OLIVIA MIAN ARTHANIKA B04080164
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan... 24 Saran... 24
DAFTAR PUSTAKA... 25 LAMPIRAN... 28
1 Rimpang Temulawak ... 5 2 Tanaman Meniran ... 6 3 Tanaman Sambiloto ... 8 4 Temu Ireng... 9 5 Ayam broiler ... 10 6 Skema perlakuan... 16 7 Histopatologi bursa Fabricius ... 20
1 Kelompok perlakuan... 15 2 Rasio total luasan folikel terhadap luasan plika... 22
Halaman 1 Diagram alir tahapan perlakuan ... 28 2 Hasil uji analisis ragam rasio total luasan folikel terhadap luasan plika ... 29 3 Hasil uji lanjut Duncan rasio total luasan folikel terhadap luasan plika... 29
Latar Belakang
Peternakan di Indonesia sejauh ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat terutama di bidang peternakan ayam. Pertumbuhan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun terus diimbangi dengan kesadaran akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Ayam sebagai penyedia sumber gizi berupa protein hewani cukup digemari karena mudah didapatkan dan harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Secara ekonomi, pengembangan usaha peternakan ayam di Indonesia memiliki prospek yang menguntungkan karena permintaan selalu bertambah (Mahya 2008). Permasalahan yang sering dihadapi yang mengakibatkan tidak terpenuhinya permintaan akan ayam dapat diakibatkan oleh manajemen peternakan yang tidak baik dan terjadinya wabah penyakit yang dapat menurunkan produksi. Contoh praktik manajemen peternakan yang tidak baik diantaranya pemilihan bibit ayam yang tidak berkualitas, tidak tersedianya pakan yang baik, dan sistem perkandangan dan sanitasi yang buruk.
Wabah penyakit virus pada unggas merupakan faktor yang dapat menyebabkan penurunan terhadap permintaan ayam dan menimbulkan kerugian bagi peternak. Menurut Syahroni et al. (2005), dari sekian banyak penyakit virus unggas, penyakit Gumboro atau Infectious Bursal Disease(IBD) merupakan salah satu penyakit yang masih sulit diberantas. Penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat imunosupresif karena penyakit ini menimbulkan gangguan atau kerusakan pada organ pembentuk kekebalan terutama bursa Fabricius sehingga mengalami penghambatan dalam membentuk zat kebal. Pada kasus penyakit IBD, kerusakan yang terjadi kebanyakan pada limfosit B yang merupakan salah satu sel imun (Indranata 2011).
Penanganan terhadap kejadian wabah penyakit pada unggas sampai saat ini belum terpecahkan karena sulitnya dilakukan pengobatan dan kegagalan vaksinasi. Penyebab kegagalan vaksinasi diduga disebabkan oleh virus yang digunakan sebagai vaksin mempunyai perbedaan antigenik dengan virus lapangan yang mudah mengalami mutasi sehingga dapat dipahami bahwa meskipun dalam
suatu peternakan telah rutin dilaksanakan vaksinasi namun wabah masih dapat terjadi bilastrain virus vaksin yang digunakan tidak sesuai dengan strainvirus di lapangan (Wahyuwardaniet al.2011).
Menurut Sufiriyanto dan Indradji (2005), faktor manajemen yang dapat dilakukan oleh peternak adalah mempersiapkan ayam agar mencapai tingkat kekebalan optimal dengan pemberian vitamin atau obat-obatan tradisional (herbal medicine). Secara umum, di dalam tanaman obat (rimpang, daun, batang, akar, bunga, dan buah) terdapat senyawa aktif seperti alkaloid, fenolik, triterpenoid, minyak atsiri, glikosida, dan sebagainya yang bersifat sebagai antiviral, antibakteri serta imunomodulator yang berperan dalam sistem imun tubuh (Zainudin 2006). Sistem imun dapat dipandang sebagai sistem adaptasi dimana tubuh berupaya untuk mempertahankan homeostasis antara lingkungan internal dan lingkungan eksternal tubuh (Sriningsih dan Wibowo 2006).
Tanaman obat seperti Temulawak, Sambiloto, Meniran, dan Temu Ireng secara umum dapat dimanfaatkan sebagai feed supplement dan feed additive
dalam ransum ternak unggas. Bahan-bahan tanaman obat tersebut dapat berupa sediaan dalam bentuk simplisia atau sediaan yang diminum (peroral). Secara umum manfaat penggunaan tanaman obat bagi manusia maupun hewan adalah untuk peningkatan daya tahan tubuh (imunostimulan), pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan (Zainuddin 2006).
Secara biokimia aktivitas imunostimulan yang ditimbulkan oleh tanaman obat seperti Temulawak diduga disebabkan oleh kandungan antioksidan yang terdapat pada kurkumin yang berperan sebagai pemicu sistem imunitas (Wardani 2009). Bursa Fabricius merupakan organ limfoid primer pada unggas. Organ ini berfungsi untuk menghasilkan imunitas pada unggas. Mengingat pentingnya organ bursa Fabricius pada unggas maka perlu dilakukan pengamatan untuk mengetahui efek dari kombinasi tanaman obat terhadap organ tersebut.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh formulasi ekstrak 4 tanaman obat (Temulawak, Sambiloto, Temu Ireng, dan Meniran) terhadap gambaran histopatologi bursa Fabricius ayam broiler.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai formulasi 4 tanaman obat (Temulawak, Sambiloto, Temu Ireng, dan Meniran) asal Indonesia terhadap sistem pertahanan tubuh khususnya gambaran histopatologi bursa Fabricius ayam broiler.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan jenis tumbuh-tumbuhan herba yang batang pohonnya berbentuk batang semu dan tingginya dapat mencapai dua meter. Daunnya berbentuk lebar dan setiap helaian dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun yang agak panjang (Mahendra 2005). Diantara tanaman obat yang berasal dari suku Zingiberaceae, simplisia Temulawak merupakan bahan yang paling banyak digunakan di dalam negeri untuk pabrik jamu dan obat tradisional. Penyebaran tanaman Temulawak di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Bali. Selain digunakan di dalam negeri, simplisia ini juga diimpor ke Singapura, Jerman, dan Taiwan (Syukur dan Hernani 2002).
Bagian tanaman yang berkhasiat adalah rimpang Temulawak. Bentuk rimpang Temulawak bercabang-cabang, bagian luarnya berwarna kuning muda, bagian dalam berwarna kuning (Gambar 1), berbau tajam dan rasanya pahit. Menurut Afifah (2003), rimpang Temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak (fixed oil), selulosa, dan mineral. Komponen tersebut yang paling banyak kegunaannya adalah pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri. Pati Temulawak berwarna putih kekuningan karena mengandung kurkuminoid; sedangkan minyak atsiri terdiri dari mirsen, p-toluil metil karbinol, kurkumin, desmetoksi kurkumin, bidesmetil kurkumin, felandren, sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, artumeron, ksantorizol, dan germakron.
Penelitian Wardani (2009) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol Temulawak dapat menghambat terjadinya involusi dan atrofi folikel bursa Fabricius sehingga bursa Fabricius dapat bertahan lebih lama dan berfungsi secara optimal sebagai organ limfoid primer. Menurut Sufiriyanto dan Indradji (2007), ekstrak Temulawak bersifat sebagai imunostimulan dan memiliki efek konstruktif yaitu mampu memperbaiki jaringan dan kelenjar yang rusak.
Taksonomi Temulawak menurut Rukmana (2006) adalah sebagai berikut; kingdom : Plantae
divisi : Spermatophyta sub divisi : Angiospermae
kelas : Monocotyledonae
ordo : Zingiberales
famili : Zingiberaceae
genus :Curcuma
spesies :Curcuma xanthorrizaRoxb.
Gambar 1 Rimpang Temulawak
Meniran
Meniran (Phyllanthus niruri L.) merupakan tanaman herba dengan tinggi mencapai 50 cm. Seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Banyak tumbuh liar pada tempat yang lembab dan berbatu. Daunnya tunggal, letaknya berseling, bentuk bulat telur sampai bulat memanjang, bagian ujung tumpul atau runcing (Gambar 2). Permukaan daun bagian bawah berbintik-bintik. Batang berwarna hijau pucat untuk Phyllanthus niruri atau hijau kemerahan untuk Phyllanthus urinaria(Wijayakusuma dan Dalimartha 2005).
Kandungan zat aktif yang terdapat dalam tanaman adalah lignans phyllanthin dan hypophyllanthin sebagai kandungan utama. Nyrphylline (lignan),
phyllnirubin (neolignan), dan tanin seperti phyllanthusin D, amariin, amarulone
epibubbialine sebagai kandungan lain (Daniel 2006). Hariana (2007) menambahkan beberapa bahan kimia yang terkandung dalam Meniran diantaranya saponin, flavonoid, filantin, hipofilantin, kalium, damar, dan tanin.
Taksonomi Meniran menurut Soenanto (2009) adalah sebagai berikut; kingdom : Plantae
divisi : Spermatophyta sub divisi : Magnoliophyta
kelas : Rosidae
ordo : Euphorbiales
famili : Euphorbiacea
genus :Phyllanthus
spesies :Phyllanthus niruriLinn.
Penelitian klinis ekstrak Meniran terhadap penderita TBC, menunjukkan bahwa pemberian kombinasi antara obat anti tuberkulosis dan ekstrak Meniran mampu menurunkan kadar interleukin-10 pada fase intensif. Efek imunomodulator ekstrak Meniran disebabkan oleh kandungan senyawa golongan flavonoid (Sriningsih dan Wibowo 2006). Uji preklinis membuktikan bahwa herba Meniran berkhasiat meningkatkan kekebalan tubuh atau imunostimulator (Mursito 2002).
Sambiloto
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) tergolong herba semusim, tumbuh tegak, tingginya sekitar 50 cm dan memiliki rasa yang sangat pahit. Batang Sambiloto berpangkal bulat, berbentuk segi empat saat muda dan bulat setelah tua. Daun Sambiloto tunggal, bertepi rata, dan berpangkal daun tajam dan runcing (Mahendra 2005) (Gambar 3). Tanaman Sambiloto mudah berkembang biak dan banyak terdapat dari dataran rendah sampai 700 m dpl (di atas permukaan laut) dan banyak tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Taksonomi Sambiloto menurut Prapanza dan Irianto (2003) adalah sebagai berikut;
kingdom : Plantae
divisi : Angiospermae
kelas : Dicotyledonae
sub kelas : Gamopetalae
ordo : Personales
famili : Acanthaceae
sub famili : Acanthoidae
genus :Andrographis
spesies :Andrographis paniculataNees.
Gambar 3 Tanaman Sambiloto
Sambiloto memiliki rasa yang pahit. Herba ini mengandung laktone dan flavonoid. Laktone diisolasi dari daun dan percabangannya yaitu
deoxyandrographolide, andrographolide (zat pahit), neonandrographolide, 14-deoxy-11, 12-didehydroandrographolide, dan homoandrographolide. Flavonoid diisolasi dari akar yaitu polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-o-methylwithin, dan apigenin-7,4-dimethyl ether. Selain mengandung lakton dan flavonoid, herba ini juga mengandung keton, aldehid, dan mineral seperti kalium, natrium, kalsium, dan asam kersik (Wijayakusuma dan Dalimartha 2005).
Pada kasus kanker yang disertai dengan peradangan, herba Sambiloto efektif untuk mengatasi infeksi dan merangsang fagositosis. Selain itu, juga merusak trofosit dan trofoblas dan berperan pada kondensasi sitoplasma dari sel tumor, serta menghancurkan inti sel (Wijayakusuma 2005). Sambiloto juga dapat menurunkan kontraksi usus, menambah nafsu makan, menurunkan tekanan darah, melindungi kerusakan hati dan jantung, dan memiliki aktifitas imunomodulator (Setyawati 2009).
Temu Ireng
Temu Ireng (Curcuma aeruginosaRoxb.) merupakan semak dengan tinggi mencapai 1.5 m, berumbi batang serta berbatang semu yang terdiri atas pelepah daun yang tegak dan membentuk rimpang dengan warna batang hijau. Daun berbentuk bulat telur, tepi daun rata, ujung runcing, pangkal tumpul, pertulangan menyirip, serta berwarna hijau dan memiliki garis-garis coklat membujur. Bunga majemuk dan berwarna kuning, kelopak berbentuk silindris, dan pangkal daun pelindung berwarna putih. Ciri utama rimpang Temu Ireng adalah bagian dalam berwarna agak kebiruan, kulit luar berwarna kuning mengkilat, dan ujungnya berwarna merah muda (Gambar 4). Bagian yang digunakan adalah rimpang (Utami 2008).
Temu Ireng berkhasiat untuk menambah nafsu makan, menyembuhkan kecacingan, mengatasi perut kembung, mempercepat masa nifas dan penyembuhan luka, obat batuk, asma, kudis, encok, dan menaikkan kontraksi uterus. Ekstrak Temu Ireng juga bersifat sebagai antibakteri dimana memiliki kemampuan dalam menghambat aktivitas bakteri gram negatif sepertiEscherichia coli(Philipet al. 2009).
Rimpang mengandung minyak atsiri, alkaloida, zat pahit, saponin, pati, damar, dan lemak (Syukur dan Hernani 2002). Menurut Nugrahaningtyas et al.
(2005) Temu Ireng mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol, dan minyak atsiri.
Taksonomi Temu Ireng menurut Kurniawan (2011) adalah sebagai berikut; divisi : Spermatophyta subdivisi : Angiospermae kelas : Monocotyledonae ordo : Zingiberales famili : Zingiberaceae genus :Curcuma
spesies :Curcuma aeruginosaRoxb.
Gambar 4 Rimpang Temu Ireng
Ayam Broiler
Ayam pedaging atau yang disebut juga ayam broiler adalah ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi, dengan ciri khas sebagai penghasil daging (Gambar 5). Pertumbuhannya cepat dengan konversi pakan yang irit, dan siap dipotong pada usia yang relatif muda, yaitu hanya 5-6 minggu sudah bisa dipanen, dengan berat badan antara 1.2-1.9 kg/ekor. Ayam pedaging yang baik yaitu ayam yang sehat berbulu baik, perbandingan antara tulang dan daging seimbang (proporsional). Jenis ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa ayam yang memiliki
produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Ayam broiler baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an, dan saat ini telah dikembangkan dengan sangat pesat di hampir setiap negara termasuk di Indonesia (Mulyantini 2011).
Taksonomi ayam menurut Mulyantini (2011) adalah sebagai berikut; kingdom : Animalia filum : Chordata subfilum : Vertebrata kelas : Aves subkelas : Neornithes ordo : Galliformes genus :Gallus
spesies :Gallus domesticus
Gambar 5 Ayam broiler
Imunomodulator
Imunomodulator adalah bahan (obat) yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Cara kerja imunomodulator meliputi mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu (imunrestorasi), memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi) dan menekan respons imun (imunosupresi). Imunomodulator digunakan terutama pada penyakit imunodefisiensi, infeksi kronis dan kanker. Dalam ilmu kedokteran, imunitas pada mulanya berarti resistensi relatif terhadap suatu mikroorganisme. Resistensi terbentuk berdasarkan
respons imunologik. Selain membentuk resistensi terhadap suatu infeksi, respons imun juga dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit seperti penyakit autoimun. Pada saat ini arti respons imun sudah lebih luas, yang pada dasarnya mencakup pengobatan maupun pencegahan suatu penyakit yang disebabkan oleh pengaruh faktor dari luar tubuh atau zat asing (Chairul 2011).
Aktivitas sistem imun dapat menurun karena berbagai faktor, diantaranya karena usia atau penyakit. Adanya senyawa-senyawa kimia yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun sangat membantu untuk mengatasi penurunan sistem imun dan senyawa-senyawa tersebut dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Saat ini terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dideteksi berkhasiat sebagai imunomodulator, antara lain: Andrographis paniculata N., Curcuma xanthorriza,Phyllanthus niruriL.(Chairul 2011; Sriningsih dan Wibowo 2006).
Imunomodulator dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh alamiah, sehingga besar kemungkinan unggas dapat terhindar dari beberapa penyakit sepertiNewcastle Diseasesatau tetelo, flu burung, dan Mareks. Adanya kekebalan tubuh yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas dan memacu pertumbuhan ternak. Cara kerja dari imunomodulator yang pertama dengan meningkatkan proses pematangan sel-sel yang berperan dalam respons imun. Kedua, meningkatkan proses proliferasi sel, sehingga jumlah antigen yang dapat diproses meningkat lebih banyak dan titer antibodi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Ketiga, mengaktifkan komplemen sehingga eliminasi antigen dalam sel menjadi lebih efektif (Mulyantini 2010).
Bursa Fabricius
Bursa Fabricius adalah organ imun yang berperan dalam kekebalan unggas. Bursa Fabricius pada ayam memiliki bentuk bulat dan letaknya berada diantara kloaka dan sacrum. Bursa terdiri dari sel limfoid yang terbalut dalam jaringan epitelial yang diduga berasal dari endodermal pada masa embrional. Bursa mencapai ukuran maksimum pada usia 8-10 minggu dan kemudian mulai mengalami involusi. Pada usia 6-7 bulan hampir seluruh bagian bursa mengalami involusi atau atrofi fisiologis (Davidsonet al. 2008).
Bursa dikelilingi oleh lapisan otot polos yang tebal berbentuk seperti organ berongga. Beberapa peneliti mempelajari bahwa mantel otot dan kontraktilitas tidak dipertimbangkan dalam fungsi bursa. Setiap folikel tersusun atas dua lapisan yang dipisahkan oleh stuktur yang terdiri dari arteri, vena, dan jaringan ikat sehingga folikel berhubungan dengan aliran darah dan aliran limfatik didalam lumen bursa. Pada daerah ventral dari lumen bursa terbentuk jaringan limfoid (Davidsonet al.2008).
Perkembangan bursa secara anatomi dan fisiologi dapat dipengaruhi oleh lingkungan seperti stres, higiene yang buruk, vaksinasi, dan keadaan patologi akibat penyakit. Bobot organ limfoid seperti bursa Fabricius dapat diukur dan mencerminkan kemampuan tubuh untuk menghasilkan sel-sel limfoid pada reaksi tanggap kebal (Tabeekh dan Mayah 2009).
Bursa Fabricius berfungsi untuk menghasilkan limfosit-B dan menyalurkannya ke germinal centre pada penyimpanan limfoid. Organ ini merupakan organ limfoid primer yang menghasilkan immunoglobulin pada ayam muda (Wardani 2009).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai Desember 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ayam broiler strain Coob
sebanyak 25 ekor yang dibagi kedalam 5 kelompok perlakuan, vaksin ND live
(Lasota ), CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccine Medivac®, Larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, etanol dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, etanol absolut, xylene, parafin, pewarna jaringan Hematoksilin Eosin, aquades, kebutuhan harian ayam seperti air minum, pakan (Sinta®), sekam sebagai alas kandang, formulasi 4 tanaman obat Indonesia : F1: Temulawak, Meniran, Sambiloto, dan Temu Ireng; F2: Temulawak, Meniran, dan Temu Ireng; F3: Temulawak dan Temu Ireng; F4: Meniran dan Sambiloto.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pemeliharaan dan perlakuan ayam seperti 5 petak kandang, timbangan untuk mengukur bobot badan, tempat pakan dan air minum, lampu, spuit dengan jarum untuk vaksinasi, spuit1 ml tanpa jarum untuk mencekok ekstrak, alat nekropsi seperti scalpel, gunting, pinset, wadah atau botol plastik untuk fiksasi jaringan, alat untuk pembuatan sediaan histopatologi seperti gelas ukur, tissue cassette, tissue basket, tissue tang, Parrafin Embedding Console, object glass, cover glass, automatic tissue processor, microtome, staining system, alat untuk pengamatan sediaan histopatologi seperti alat photomicrograph, mikroskop cahaya, dan software MacBiophotonicImageJ® (Rasban 2006).
Metode Penelitian
Persiapan Kandang Penelitian
Kandang ayam dibuat menurut sistem lantai (floor) atau litter dengan panjang 110 cm, lebar 40 cm dan tinggi 45 cm. Dinding dan lantai ruangan percobaan diberi kapur dengan kapur tembok berwarna putih, didesinfeksi dengan desinfektan kelompok fenol sintetik dan difumigasi dengan gas formalin 5% v/v sehari sebelum ayam percobaan dimasukkan.
Penyediaan Ekstrak
Pembuatan ekstrak dan formulasi tanaman obat dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor. Ekstraksi tanaman Temulawak, Sambiloto, dan Temu Ireng menggunakan pelarut etanol dan Meniran menggunakan pelarut air.
Pencekokan Ekstrak
Penyajian ekstrak untuk tiap kelompok perlakuan dilakukan dengan melarutkan ekstrak yang sudah jadi menggunakan aquades. Dosis yang ditentukan dibagi dengan hasil rataan bobot badan ayam masing-masing kelompok sehingga untuk ayam pada tiap kelompok perlakuan dipakai dosis yang seragam.
Tiap kelompok ayam dicekok dengan masing-masing formulasi tanaman obat menggunakan spuit tanpa jarum yang dimasukkan ke mulut ayam dan disemprot langsung ke tembolok. Aturan pencekokan adalah satu kali setiap hari pada pukul 16.00 selama 28 hari sebanyak 1 ml.
Perlakuan Penelitian
Penelitian ini menggunakan broiler strain Coob yang berumur 1 hari dengan bobot badan yang seragam. Sebelum perlakuan dimulai, diadakan masa adaptasi selama 4 hari untuk mengembalikan kondisi ayam dari stres karena pemindahan dan transportasi. Sebelum dibagi dalam kelompok perlakuan, dilakukan penimbangan terhadap ayam pada tiap kelompok perlakuan untuk mendapatkan hasil rataan bobot badan sehingga dosis pemberian formula tanaman
obat dapat dihitung. Sebanyak 25 ekor ayam dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan seperti disajikan pada Tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1 Kelompok perlakuan
Perlakuan Keterangan
Kontrol 5 ekor ayam divaksin menggunakan vaksin ND live
(Lasota ), CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccineMedivac®, dan diberi aquades sebanyak 1 ml.
F1 5 ekor ayam divaksin menggunakan vaksin ND live
(Lasota ), CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccine Medivac®, dan diberi formula Temulawak, Meniran, Sambiloto, dan Temu Ireng sebanyak 1 ml.
F2 5 ekor ayam divaksin menggunakan vaksin ND live
(Lasota ), CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccine Medivac®, dan diberi formula Temulawak, Meniran, dan Temu Ireng sebanyak 1 ml.
F3 5 ekor ayam divaksin menggunakan vaksin ND live
(Lasota ), CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccine Medivac®, dan diberi formula Temulawak dan Temu Ireng sebanyak 1 ml.
F4 5 ekor ayam divaksin menggunakan vaksin ND live
(Lasota ), CAPRIVAC IBD-Inter® live vaccine, AI killed vaccine Medivac®, dan diberi formula Meniran dan Sambiloto sebanyak 1 ml.
Skema perlakuan ditunjukkan pada Gambar 6 berikut :
Gambar 6 Skema perlakuan pemberian vaksin dan pemberian formula ekstrak 4 tanaman obat.
Nekropsi dan Pengambilan Sampel Organ
Semua ayam dinekropsi pada akhir penelitian untuk mengambil bursa Fabricius yang terletak di dorsal kloaka. Bursa Fabricius diambil dan dimasukkan ke dalam wadah/botol plastik yang berisi larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin
(BNF) 10% untuk disimpan selama kurang lebih 48 jam dan setelah itu diproses untuk pembuatan sediaan histopatologi.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Potongan bursa dengan ketebalan kurang lebih 3 mm, dimasukkan ke dalam tissue cassete untuk dilakukan tindakan dehidrasi dengan merendam sediaan tersebut secara berurutan ke dalam etanol 70%, 80%, 90%, 96%, etanol absolut I, etanol absolut II selama 2 jam, xylene I, xylene II, xylene III, xylene IV selama 40 menit, parafin I, parafin II, parafin III, dan parafin IV selama 30 menit. Proses perendaman dilakukan secara otomatis dalamautomatic tissue processor
Sakura Tek®.
Jaringan terhidrasi dimasukkan ke dalam cetakan dan diisi parafin cair. Letak jaringan diatur agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai mengeras.
Jaringan dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 5 µm. Hasil potongan dimasukkan ke waterbath (45ºC) untuk menghilangkan lipatan akibat
pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan object glasskemudian dikeringkan dalam inkubator 60ºC. Deparafinasi dilakukan dengan cara memasukkan sediaan ke dalam xylene sebanyak dua kali selama 2 menit. Proses dilanjutkan dengan rehidrasi jaringan, dimulai dari pencelupan jaringan ke dalam etanol absolut, sampai ke etanol 80% secara berurutan selama 2 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan.
Pewarnaan sediaan dilakukan dengan menggunakan pewarna Mayer s Hematoksilin selama 3 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan Lithium Karbonat selama 10 detik, dan dibilas dengan air mengalir lagi. Selanjutnya jaringan dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama 4 menit. Sediaan dicuci dengan celupan etanol 90% sebanyak 10 kali celupan, etanol absolut I 10 kali celupan, etanol absolut II selama 2 menit, xylene I selama 2 menit, xylene II selama 2 menit. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan menutup sediaan menggunakan cover glass yang ditetesi perekat PermountTM. Sediaan yang telah jadi diamati menggunakan mikroskop untuk melihat gambaran histopatologinya..
Pengamatan Histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan dengan mikroskop cahaya dan
software MacBiophotonicImageJ®. Masing-masing bursa Fabricius difoto pada 2 plika menggunakan eye piece camera di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 40× untuk melihat luasan plika serta luasan folikel dalam plika. Luasan plika dan luasan folikel dalam plika dihitung dengan komputer menggunakansoftware MacBiophotonicImageJ® (mbf_imageJ).
Pengukuran persentase rasio total luasan folikel terhadap luasan plika.
Pada tiap preparat diambil sampel dua plika, kemudian tiap plika dihitung