• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vanili

Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae (anggrek- anggrekan), yang merupakan famili terbesar dalam tanaman berbunga. Vanili mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al. 1981). Dari sekian banyak jenis, jenis yang mempunyai nilai ekonomi yaitu V. planifolia, V. pompona, dan V. tahitensis. Di antara ketiga jenis tersebut, V. planifolia atau dikenal pula dengan V. fragnans Salisba Mens. mempunyai produksi yang lebih tinggi dan lebih bermutu karena kadar vanillinnya yang lebih tinggi. V. planifolia

juga paling banyak dijumpai di Indonesia (Hadisutrisno 2005). Kedudukan tanaman ini dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Orchidales Famili : Orchidaceae Genus : Vanili Species : Vanili spp.

Keadaan iklim yang diperlukan oleh tanaman vanili adalah suhu udara 25- 38oC, kelembaban udara sekitar 80%, dan hujan berulang-ulang tetapi tidak banyak. Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki adalah 6-7 dengan drainase yang baik. Di Indonesia dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun pada ketinggian 400-800 m di atas permukaan laut, tanaman vanili tumbuh dan berproduksi dengan baik (Salim 1993). Tanaman vanili mulai berbunga setelah dua tahun, mulai berbuah setelah 3 tahun dan mencapai hasil maksimal dalam 10- 12 tahun (Heath dan Reineccius 1986).

Buah vanili berbentuk kapsul (polong), bersudut tiga, bertangkai pendek, panjang 10-25 cm, diameter 5-15 mm, dan permukaannya licin. Buah vanili akan cukup masak dalam waktu 8-9 bulan setelah pembuahan. Buah muda berwarna hijau, bila sudah masak warnanya menjadi kekuning-kuningan. Biji buahnya

banyak, berwarna hitam, dan berukuran rata-rata 0,2 mm (Rismunandar dan Sukma 2003). Buah vanili segar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Buah vanili segar.

Richard (1991) menyatakan bahwa waktu panen adalah faktor penting yang harus diperhatikan untuk mendapatkan kualitas vanili yang baik. Buah hendaknya dipanen pada saat yang tepat (cukup masak), jangan terlalu awal (kurang masak) atau terlalu masak. Buah yang dipanen tepat waktu, kandungan vanillinnya di atas 2,2%, berwarna hitam, berminyak, dan mengkilat. Bila dipanen kurang masak, buah terlalu kaku dan flavornya kurang sempurna karena kadar vanillinnya rendah. Sedangkan bila dipetik terlalu masak, buah akan pecah, sehingga harganya akan rendah. Buah vanili yang dipanen sekitar umur 240 hari (8 bulan) setelah penyerbukan akan menghasilkan kadar vanillin tertinggi, yaitu 2,95% (Salim 1993). Komposisi kimia buah vanili segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia buah vanili segar Komposisi Kimia Kandungan (%) Air Karbohidrat Lemak Kalium Kalsium Klor Nitrogen Magnesium 78 – 82 8 – 20 4 -15 0.005 0.003 0.0024 0.004 0.0015 Sumber : Purseglove et al. (1981)

Pengolahan Vanili (Curing)

Buah vanili diperdagangkan tidak dalam bentuk mentah, oleh karena itu memerlukan proses lebih lanjut. Vanili kering merupakan produk buah vanili yang paling banyak permintaannya di pasar (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Proses pengolahan buah vanili dikenal dengan istilah curing. Dalam proses

curing, terjadi proses biokimia yang menyebabkan perubahan-perubahan pada buah vanili. (Kantor Pusat BRI 1986).

Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa buah vanili yang memasuki perdagangan internasional adalah dalam bentuk cured vanili dari V. fragnans, V. tahitensis, dan V. pompona. Di pasaran internasional, vanili Indonesia dikenal dengan sebutan Java Vanilla Beans (Ruhnayat 2004). Penentu kualitas utama dari

cured vanili adalah karakter aroma atau flavornya. Faktor-faktor lain yang juga turut menentukan kualitas cured vanili adalah penampakannya secara umum (terutama warna), fleksibilitas, panjang, kadar air dan kandungan vanillinnya (Purseglove et al. 1981; Heath dan Reineccius 1986). Kandungan vanillin yang tinggi diinginkan akan tetapi nilai ini tidak secara langsung sebanding dengan kualitas aroma atau flavor dari buah vanili.

Proses curing buah vanili terdiri dari beberapa tahap berikut : 1. Pelayuan (wilting treatment/killing/scalding)

Pelayuan bertujuan untuk mematikan sel-sel kulit bagian luar buah, dan memberikan jalan untuk bekerjanya enzim serta membantu mempermudah proses pengeringan (Nurdjanah dan Rusli 1998; Purseglove et al. 1981). Mula-mula, air dimasak dalam wadah atau drum

yang terbuat dari besi atau stainless steel. Setelah suhu air mencapai 63- 65oC, polong vanili dicelupkan menggunakan wadah yang terbuat dari pelat besi berlubang atau anyaman kawat atau keranjang bambu (Ruhnayat 2004). Polong yang tua dicelup selama 3 menit karena lebih tebal dan padat, sedangkan polong yang muda atau terlalu tua cukup 1.5-2 menit. Pencelupan yang terlalu lama akan melembekkan serat sehingga dapat menurunkan kualitas, sedangkan pencelupan yang terlalu cepat tidak dapat memacu kerja enzim secara maksimal (Hadisutrisno 2005). Proses pelayuan yang sempurna ditandai oleh perubahan warna buah menjadi

coklat (Purseglove et al. 1981). Disamping pencelupan dalam air panas, pelayuan dapat dilakukan dengan cara penghamparan dan penggoresan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

2. Pemeraman (sweating)

Setelah dilayukan, polong vanili ditiriskan dan diperam selama 24 jam dalam tempat pemeraman. Tempat pemeraman terbuat dari peti kayu yang berdinding ganda. Di antara kedua dinding tersebut dimasukkan sabut kelapa atau serbuk gergaji yang berfungsi sebagai isolator agar suhu dapat dipertahankan antara 38-40oC. Untuk meningkatkan daya isolator dan menyerap air yang keluar dari polong vanili, bagian dalam kotak harus dilapisi dengan kain yang agak tebal. Jika suhu polong vanili yang sudah ditiriskan kurang dari 38-40oC, perlu dilakukan penjemuran atau pemanasan awal selama 3 jam sebelum diperam. Setelah itu, polong vanili dibungkus dengan kain hitam (Ruhnayat 2004).

Pemeraman bertujuan agar terjadi reaksi enzimatis dalam polong vanili, dimana enzim β-glukosidase akan mengubah glukovanillin menjadi vanillin dan glukosa (Purseglove et al. 1981; Ruhnayat 2004; Hadisutrisno 2005). Pada proses pemeraman ini terjadi perubahan secara biokimiawi dan enzimatik yang dapat menimbulkan aroma khas vanili (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Tujuan lain dari pemeraman adalah untuk memperoleh tekstur dan fleksibilitas tertentu (Kantor Pusat BRI 1986). Vanili yang berubah warna menjadi kecoklatan (sawo matang), lentur (lemas), dan berminyak menunjukkan bahwa fermentasi telah berjalan sempurna. 3. Pengeringan (drying)

Setelah pemeraman selesai, polong dikeluarkan dari kotak dan langsung dijemur. Penjemuran dilakukan di atas kawat kasa yang telah dialasi kain hitam. Penjemuran bertujuan untuk menurunkan kadar air dari 70% menjadi 40-42%. Polong yang tua memerlukan waktu penjemuran hingga 15-20 hari, sedangkan polong muda sekitar 10-14 hari. Penjemuran dilakukan pada pukul 08.00-10.00. Setelah itu, kain hitam ditutup untuk menghindari polong dari terik matahari. Pada pukul 14.00-16.00 kain kembali dibuka. Setelah pukul 16.00, kain ditutup kembali dan kotak kasa

disimpan di dalam ruangan yang bersih dan berventilasi baik. Keesokan harinya, kotak kasa berisi vanili dibawa keluar untuk dijemur kembali (Hadisutrisno 2005). Proses pengeringan dan pemeraman dilakukan berselang-seling selama 5-7 hari, sampai buah vanili berwarna hitam (atau hitam kecoklat-coklatan) mengkilat, cukup kering, dan lentur (lemas). Menurut Rismunandar dan Sukma (2003), pengeringan dapat dilakukan menggunakan alat pengering pada suhu 60-65oC selama 3 jam.

Kadar air yang telah mencapai 40-42% diturunkan lagi menjadi 22- 25% (Hadisutrisno 2005). Menurut Arana (1943) diacu dalam Purseglove

et al. (1981), kadar air optimum untuk cured vanili adalah 30-35%. Dengan turunnya kadar air, aroma vanili semakin muncul. Caranya dengan pengeringan secara lambat yang dilakukan di dalam ruangan yang kering bersih, sejuk, dengan ventilasi yang baik, dengan suhu ruang sekitar 28- 29oC dan kelembaban udara 70-80%. Polong diletakkan di atas rak tripleks yang disusun dengan jarak 6 cm. Selama pengeringan, vanili harus terus dipantau karena rawan terhadap cendawan. Bila terdapat jamur, polong harus segera dibersihkan dengan air dingin atau air panas bila cendawannya banyak, bahkan dapat menggunakan alkohol 70% bila sangat parah. Lalu, polong tersebut dijemur kembali. Polong basah ini dipisahkan dari polong yang kering. Pengeringan telah selesai bila polong berwarna coklat kemerahan hingga kehitaman, beraroma tajam, dan lentur. Bila dililitkan pada jari akan kembali seperti semula. Dalam keadaan seperti ini atau kadar air 22-25%, polong dapat disimpan hingga 1-2 tahun (Hadisutrisno 2005). Menurut Ruhnayat (2004), pengeringanginan dilakukan dalam ruangan selama 30-45 hari. Pengeringanginan ini dapat dikombinasikan dengan oven yang bersuhu 50oC selama 3 jam setiap hari. Mutu vanili yang dihasilkan dengan cara kombinasi tersebut jauh lebih baik dan waktu yang diperlukan lebih singkat, yaitu sekitar 10 hari.

4. Penyimpanan (Conditioning)

Conditioning bertujuan untuk menyempurnakan atau memantapkan aroma vanili (Heath dan Reineccius 1986; Richard 1991). Polong-polong vanili diikat dengan tali sebanyak 50-100 polong per ikat. Kemudian

masing-masing ikatan dibungkus dengan kertas minyak, kertas perkamon (parafin) atau plastik. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam peti yang dilapisi kertas minyak. Peti tersebut kemudian disimpan di ruangan yang sejuk dan kering (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Penyimpanan ini dilakukan selama 2-3 bulan atau lebih lama untuk menyempurnakan perkembangan aroma dan flavor yang dikehendaki (Purseglove et al. 1981). Secara rutin dilakukan pemeriksaan untuk melihat adanya serangan jamur. Polong yang terserang jamur segera dibersihkan dengan kapas atau kain halus yang dibasahi alkohol. Polong yang kurang atau tidak keluar aromanya dijemur dan diperam kembali (Ruhnayat 2004). Menurut Purseglove et al. (1981),

conditioning normalnya dilakukan pada suhu ruang. Buah vanili kering hasil proses curing dapat dilihat pada Gambar 2.

Setiap negara penghasil vanili mengembangkan proses curing dengan cara yang berbeda-beda, akan tetapi secara umum terdapat empat tahap utama yaitu

killing, sweating, drying dan conditioning (Purseglove et al. 1981; Heath dan Reineccius 1986; Dignum et al. 2002). Kesalahan dalam proses pengolahan buah vanili akan mengakibatkan turunnya mutu vanili (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Pada tahap awal killing dan sweating, hanya 40% glukovanillin yang terhidrolisis menjadi vanillin (Odoux 2000).

Flavor Vanili

Flavor vanili terbentuk dari sejumlah komponen aromatik yang dihasilkan selama proses curing, dimana vanillin adalah komponen flavor yang paling dominan. Flavor vanili dari berbagai belahan dunia bervariasi bergantung pada iklim, tanah, derajat polinasi, tingkat kematangan pada saat panen dan metode

curing yang digunakan (Purseglove et al. 1981).

Pembentukan aroma dan flavor selama proses curing merupakan akibat dari proses fermentasi. Cured vanili mengandung vanillin, asam-asam organik (p- hydroxy benzoic acid dan p-coumaric-acid), wax, gum, resin, tanin, pigmen, gula, selulosa dan mineral (Purseglove et al. 1981; Farrel 1990). Flavor vanili yang kaya dan lengkap mengandung lebih dari 200 senyawa volatil dan sebagian besar senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan, akan tetapi hanya 26 senyawa yang ditemukan dalam konsentrasi lebih dari 1 ppm. Senyawa yang paling besar adalah 4-hydroxy-3-metoxybenzaldehide (vanillin) yaitu 2-2,8%, p-hydroxybenzaldehyde 0,2%, asam vanillat 0,2%, dan p- hydroxybenzylmethyl eter 0,02% dan asam asetat sekitar 0.02% (Anklam 1993; Klimes dan Lamparsky 1976, diacu dalam Anklam et al. 1997).

Vanillin hanya merupakan salah satu diantara sekian banyak komponen yang menyusun karakter aroma, akan tetapi kadar vanillin masih menjadi indikator/parameter penting untuk menilai kualitas cured vanili (Purseglove et al. 1981; Anklam et al. 1997). Beberapa komponen non-volatil kemungkinan juga memegang peranan penting dalam memodifikasi persepsi flavor. Sebagai contoh, resin tidak mempunyai aroma, akan tetapi mempunyai taste yang menyenangkan, sehingga secara keseluruhan juga menguntungkan dalam memantapkan komponen volatil aromatik dalam larutan ekstrak (Purseglove et al. 1981).

Terdapat tiga jenis glukosida yang menghasilkan vanillin dan komponen- komponen fenol lainnya sebagai hasil pemecahan hidrolitik. Glukosida terbanyak diidentifikasi sebagai glukovanillin, sementara itu glucovanillyl alkohol ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil. Glukosida ketiga adalah ptotocatechuic acid (3,4-dihydroxy benzoic acid) (Heath dan Reineccius 1986). Vanillin terbentuk dari prekursor glukovanillin yang kemudian terhidrolisis selama proses

Arana 1943, diacu dalam Ruiz-Teran et al. 2001). Hidrolisis dari glukosida- glukosida lainnya menghasilkan komponen-komponen volatil lain yang berkontribusi pada terbentuknya aroma dan flavor secara keseluruhan. Perubahan lebih lanjut dari vanillin yang dibebaskan dan substrat-substrat lainnya terjadi melalui aksi enzim-enzim oksidasi dan selama tahap conditioning perubahan non- enzimatik memegang peranan penting dalam pembentukan aroma (Purseglove et al. 1981).

Modifikasi Proses Curing Vanili

Modifikasi atau perbaikan dalam teknologi proses curing dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia. Setyaningsih et al. (2003) telah melakukan modifikasi ini, yaitu dengan penambahan perlakuan sebelum tahap killing (pelayuan). Perlakuan tersebut dilakukan dengan cara penyayatan buah (straching) dan perendaman buah vanili dalam aktivator enzim β-

glukosidase untuk memacu dan meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase endogenus. Penyayatan dimaksudkan untuk memudahkan masuknya aktivator enzim β-glukosidase ke dalam jaringan vanili.

Perlakuan scratching (penyayatan) ini telah dilakukan pula pada metode Guadeloupe (Purseglove et al. 1981). Adanya penyayatan memberikan hasil yang lebih baik, dimana tingkat pecahnya buah menjadi rendah, waktu untuk sweating

dan drying menjadi lebih pendek, serta kandungan vanillin dapat ditingkatkan. Akan tetapi, teknik ini menjadikan vanili lebih mudah terserang jamur dan mempunyai fleksibilitas dan penampakan yang lebih rendah daripada teknik yang umum dilakukan.

Pada modifikasi curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003), aktivator enzim yang berhasil meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase endogenus adalah butanol 0,3 M dan sistein 1 mM serta dithiotreinol 1 mM dan sistein 1 mM, dengan waktu perendaman vanili berturut-turut selama dua jam dan satu jam. Modifikasi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan pelayuan pada suhu 40oC selama 30 menit. Pada proses curing standar (metode Balitro II), pelayuan dilakukan pada suhu 60oC selama 3 menit. Suhu 40oC pada tahap

pelayuan modifikasi proses curing Setyaningsih et al. (2003) dipilih karena pada suhu tersebut enzim β-glukosidase menghasilkan aktivitas tertinggi.

Secara keseluruhan, pada proses modifikasi terdapat enam tahap pengolahan, yaitu penyayatan (statching), perendaman dalam aktivator enzim β-

glukosidase, pelayuan (killing), pemeraman (sweating), pengeringan (drying) dan

conditioning. Modifikasi proses curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003) ini menghasilkan peningkatan aktivitas enzim, kadar vanillin, dan kadar gula dibandingkan metode curing standar (metode Balitro II).

Penggunaan butanol sebagai aktivator enzim β-glukosidase dikarenakan enzim cenderung menggunakan alkohol dibandingkan dengan air sebagai penerima bagian glikosil sehingga dapat meningkatkan reaksi. Gugus hidroksil n- butanol akan terikat pada enzim β-glukosidase melalui ikatan hidrogen. Gugus hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air melalui sistem kopelarut satu fase. Sistem kopelarut adalah sistem yang melarutkan pelarut organik (butanol) pada larutan penyangga yaitu air dalam satu fase sehingga enzim masih dapat mengikat air. Adanya air menyebabkan struktur enzim menjadi lebih fleksibel sehingga lebih mudah berikatan dengan substrat (Setyaningsih 2006).

Adapun sistein termasuk asam amino non esensial dalam pertumbuhan sel dan mempunyai karakter berupa kristal putih, bersifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol. Sistein mempunyai gugus SH yang membantu kestabilan struktur enzim. Gugus SH adalah gugus yang mudah teroksidasi. Ketika ada reaksi oksidasi, gugus SH akan diserang terlebih dahulu sehingga enzim dapat terlindungi (Setyaningsih 2006).

Standar Mutu Vanili

Ekspor vanili Indonesia selama ini ditujukan ke pasar Amerika Serikat. Namun, perkembangan sepuluh tahun terakhir, selain Amerika Serikat, vanili Indonesia juga diekspor ke beberapa negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Perancis; Australia; dan beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea. Di pasar Amerika Serikat, vanili yang berkadar air rendah (20-25%) lebih disukai karena sebagian besar digunakan untuk keperluan industri ekstraksi. Untuk pasar

Perancis, Jerman, dan Jepang, dikehendaki vanili yang berpenampilan baik, berkadar vanillin tinggi, dan beraroma tajam. Ini disebabkan sebagian vanili di negara tersebut digunakan untuk konsumsi rumah tangga yang dipasarkan dalam kemasan glass tube (Risfaheri et al. 1998; Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Untuk menyeragamkan mutu vanili, Organisasi Standar Internasional (ISO) telah menetapkan spesifikasi komoditi vanili yang diperdagangkan di pasar dunia dengan menggunakan ISO 5565-1982. Semua negara produsen (termasuk Indonesia) maupun konsumen mengacu pada standar ISO tersebut (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Adapun di Indonesia, standar mutu vanili yang digunakan adalah berdasarkan SNI 01-0010-2002 yang merupakan hasil revisi pada rapat kaji ulang, prakonsensus dan konsensus nasional pada tanggal 17 Oktober 2002. Standar ini mengacu pada acuan normatif ISO 948:1980, tentang Spices and Condiments-Sampling.

Tabel 2 Syarat umum vanili

No Jenis Mutu Persyaratan

1 Bau Bau khas vanilla

2 Warna Hitam mengkilat, hitam kecoklatan mengkilap, sampai coklat

3 Keadaan polong Penuh berisi sampai dengan kurang berisi, berminyak, lentur sampai dengan kaku

4 Benda-benda asing Bebas

5 Kapang Bebas

Sumber : SNI 01-0010-2002

Tabel 3 Syarat mutu vanili Indonesia

Persyaratan Jenis Mutu

Mutu 1A Mutu 1B Mutu II Mutu III

Bentuk Utuh Utuh Utuh/dipotong Utuh/dipotong

Ukuran polong utuh (cm)

Min. 11 Min. 11 Min. 8 Min. 8

Ukuran polong dipotong-potong

Tidak ada Tidak ada Tidak disyaratkan

Tidak disyaratkan %Polong utuh

yang pecah dan terpotong Maks. 5 Tidak disyaratkan Tidak disyaratkan Tidak disyaratkan

% kadar air Maks. 38 Maks. 38 Maks. 30 Maks. 25 % kadar vanilin Min. 2,25 Min. 2,25 Min. 1,50 Min. 1,00 % kadar abu Maks. 8 Maks. 8 Maks. 9 Maks. 10 Sumber : SNI 01-0010-2002

Keterangan :

1. Buah polong vanili yang cukup tua adalah yang hijau kekuning-kuningan dengan ujung yang menguning.

2. Polong utuh yang pecah adalah vanili yang disajikan dalam bentuk utuh, tetapi pecah lebih dari 4 cm ukuran panjangnya.

3. Benda asing adalah bahan-bahan bukan vanili, misalnya ranting, batu, tanah, bagian tubuh serangga dan lain-lainnya yang terikut dalam vanili. 4. Vanili yang ditumbuhi atau diserang oleh kapang dapat dilihat dengan

mata biasa

5. Polong utuh yang terpotong adalah polong vanili yang pada bagian ujungnya terpotong sebagian tapi persyaratan panjang minimumnya masih terpenuhi.

Pengeringan Vanili

Pengeringan didefinisikan sebagai proses pemberian panas di bawah kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang terkandung dalam bahan (Fellows 2000). Pengeringan merupakan metode tertua untuk tujuan preservasi (pengawetan) bahan (Edmont et al. 1957; Singh dan Heldman 2001). Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pengeringan diantaranya adalah kondisi proses (temperatur dan kelembaban udara), jenis bahan pangan yang dikeringkan dan desain alat pengering.

Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi karena perbedaaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan luar bahan (Fellows 2000). Pengeringan akan mengurangi massa dan volume produk dalam jumlah yang signifikan dan meningkatkan efisiensi untuk transportasi produk dan penyimpanan (Singh dan Heldman 2001). Secara umum, produk-produk hortikultura dikeringkan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami (sun- drying) dan pengeringan buatan (Edmont et al. 1957).

Pengeringan vanili dapat dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari atau menggunakan pengering buatan. Pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan menghamparkan vanili di atas lembaran kain hitam tebal berukuran kira-kira 1,5 m yang kurang lebih dapat membungkus 10- 15 kg buah vanili. Untuk memudahkan penjemuran, dapat dibuat para-para dari bambu setinggi 0,9 m, lebar 1,5 m, dan panjang 10-12 m (untuk menjemur 10 kg buah vanili). Di atas para-para ini dihamparkan kain katun sebagai alas vanili, yang dijemur selama 2-2,5 jam (tergantung dari panas teriknya matahari). Selama penjemuran ini, vanili tersebut dibungkus kembali menggunakan kain hitam dan dipanaskan lagi selama 2 jam (Kantor Pusat BRI 1996).

Pengeringan buatan buah vanili telah banyak dipelajari untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul dalam pengeringan tradisional. Arana (1944)

diacu dalam Purseglove et al. (1981) membandingkan pengeringan tradisional dengan matahari dengan oven pada suhu 45oC dimana kelembaban dijaga tetap tinggi. Pemeraman dan pengeringan menggunakan oven dilaporkan menghasilkan keuntungan dimana tumbuhnya jamur dapat dikurangi dan waktu proses menjadi lebih singkat. Penggunaan lampu infra merah juga telah dipelajari oleh Cernuda dan Loustalot (1948) diacu dalam Purseglove et al. (1981), akan tetapi metode pengeringan ini dilaporkan tidak memberikan keuntungan (mahal) dan dapat memacu oksidasi yang pada akhirnya merusak cured vanili.

Widodo (1988) melakukan percobaan pengeringan vanili menggunakan alat pengering kabinet bertenaga listrik. Diperoleh hasil bahwa untuk menurunkan kadar air vanili dari 70,06% bb sampai kadar air 35,80% bb dibutuhkan waktu 48 jam dengan suhu pengeringan rata-rata 67,8°C. Energi yang dibutuhkan adalah sebesar 91.000 kJ. Percobaan ini juga memberikan informasi bahwa setelah pengujian mutu secara organoleptik, vanili hasil pengeringan tersebut lebih baik daripada mutu pengeringan hasil pengeringan dengan sinar matahari.

Pengeringan vanili menggunakan microwave oven dilakukan oleh Dewi (2005). Penelitian tersebut menyatakan bahwa pengeringan microwave dengan daya rendah yaitu 80 Watt menghasilkan kadar vanillin yang lebih baik daripada daya lebih tinggi. Semakin lama waktu pengeringan maka proses penurunan kadar air semakin cepat dan laju pengeringan semakin meningkat. Secara umum terjadi

penurunan kadar air dan peningkatan kadar vanillin selama proses pemeraman tetapi terjadi penurunan kadar vanillin selama proses pengeringan sebagai akibat suhu pemanasan yang tinggi sehingga merusak enzim.

Selama pengeringan, produk akan mengalami perubahan warna, tekstur, flavor dan aroma. Dinyatakan oleh Mazza dan LeMaguer (1980) diacu dalam

Fellows (2000), bahwa panas tidak hanya menguapkan air selama pengeringan, akan tetapi juga menyebabkan hilangnya komponen volatil dari bahan pangan dan sebagai akibatnya sebagian besar bahan pangan yang dikeringkan mempunyai flavor yang lebih rendah daripada bahan asalnya. Tingkat hilangnya komponen volatil bahan tergantung pada temperatur, kandungan air dalam bahan, tekanan uap komponen volatil dan solubilitas komponen volatil tersebut dalam uap air. Komponen volatil yang mempunyai volatilitas dan difusivitas relatif tinggi akan hilang pada tahap awal pengeringan. Bahan pangan yang mempunyai kandungan flavor dengan nilai ekonomi tinggi (misalnya herba dan rempah) hendaknya dipanaskan pada suhu yang rendah.

Menurut Fellows (2000), struktur porous yang terbuka dari produk yang dikeringkan kemungkinan akan terisi oleh oksigen, dan hal ini menjadi penyebab kedua terpenting dari hilangnya aroma karena terjadinya oksidasi komponen- komponen volatil dan lemak selama penyimpanan. Perubahan flavor dalam buah- buahan sebagai akibat oksidasi atau aktivitas enzim hidrolitik dapat dicegah dengan menggunakan sulfur dioksida, asam askorbat atau asam sitrat atau melalui pasteurisasi pada susu atau jus buah dan blanching pada sayur-sayuran. Pencegahan dapat pula dilakukan dengan penambahan enzim atau aktivasi enzim yang secara alami terkandung dalam bahan yang dikeringkan yang dapat menghasilkan flavor dari prekursor flavor dalam bahan pangan.

Dokumen terkait