• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.2. Good Corporate Governance

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan good corporate governance sebagai sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Good corporate governance dalam penelitian ini merupakan mekanisme corporate governance seperti kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, dan ukuran komite audit.

Pada tanggal 16 Agustus 2007, pemerintah telah mengesahkan peraturan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 2007. Keberadaan Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut diharapkan mampu menjamin terselenggaranya iklim usaha yang kondusif, dimana Perseroan Terbatas sebagai suatu pilar pembangunan perekonomian perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional. Pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 ini salah satunya adalah untuk mendukung implementasi dari good corporate governance.

Tujuan good corporate governance pada intinya adalah menciptakaan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (Arifin, 2005). Pihak-pihak tersebut adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor, kreditur, pemerintah, masyarakat dan pihak pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Dalam praktiknya good corporate governance ini berbeda di setiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menimbulkan beberapa versi yang menyangkut

prinsip-prinsip good corporate governance, namun demikian pada dasarnya adalah mempunyai banyak kesamaan.

Menurut Organization for Economic Corporation and Development (OECD), prinsip dasar good corporate governance adalah: kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), dan responsibilitas (responsibility). Prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk mengukur seberapa jauh good corporate governance telah diterapkan dalam perusahaan. Adapun, penjelasan untuk ke empat prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kewajaran (fairness). Prinsip kewajaran menekankan pada adanya perlakuan dan jaminan hak-hak yang sama kepada pemegang saham minoritas maupun mayoritas, termasuk hak-hak pemegang saham asing serta investor lainnya. Praktik kewajaran juga mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak. Prinsip kewajaran ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang timbul dari adanya hubungan kontrak antara pemilik dan manajer karena diantara kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda (conflict of interest) salah satu cara mengatasinya adalah dengan memberikan saham kepada manager.

2. Akuntabilitas (accountability). Prinsip akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan antara unit-unit pengawasan yang ada di perusahaan. Akuntabilitas dilaksanakan dengan adanya dewan komisaris dan direksi independen, dan komite audit. Akuntabilitas

diperlukan sebagai salah satu solusi mengatasi agency problem yang timbul antara pemegang saham dan direksi serta pengendaliannya oleh komisaris.

3. Transparansi (transparency). Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang sama. Dengan kata lain prinsip transparansi ini menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam penyajian (disclosure) informasi yang dimiliki perusahaan. Transparansi dilaksanakan dengan adanya kepemilikan institusi.

4. Responsibilitas (responsibility). Responsibilitas diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku serta pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Responsibilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai yaitu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lainnya. Prinsip

responsibility ini penekanannya diberikan kepada kepentingan stakeholders perusahaan.

Sebagian penelitian yang bersifat akademis telah membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara struktur dan mekanisme corporate governance dan kinerja keuangan perusahaan atau nilai perusahaan (Black dkk 2002, Garay dan Gonzales 2008, Dharmapala dan Khana 2008, Silveira dan Barros 2007).

Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Murwaningsari, (2009) kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan deviden yang akan diterima. Dengan peningkatan kepemilikan managerial yang lebih baik dapat menyelaraskan kepentingan manajer dan pemegang saham, sehingga dapat meningkatkatkan nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial berpengaruh pada nilai perusahaan (Nurlela dan Islahuddin, 2008).

Kepemilikan institusional dalam proporsi yang besar juga mempengaruhi nilai perusahaan. Nilai perusahaan dapat meningkat jika lembaga institusi mampu

menjadi alat pemonitoran yang efektif. Hasil penelitian Bjuggren et al. (2007) menemukan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan. Komisaris independen mempunyai akuntabilitas yang tinggi didalam melakukan pengawasan, semakin baik pengawasan sebuah perusahaan semakin baik kualitas pengungkapan informasi yang disampaikan. Penelitian Rustiarini (2010) menunjukkan bahwa komisaris independen berpengaruh positif pada nilai perusahaan.

Komite audit yang bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen dengan cara mengawasi laporan keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal. Komite audit meningkatkan integritas dan kredibilitas pelaporan keuangan melalui: (1) pengawasan atas proses pelaporan termasuk sistem pengendalian internal dan penggunaan prinsip akuntansi berterima umum, dan (2) mengawasi proses audit secara keseluruhan. Hasilnya mengindikasikan bahwa adanya komite audit memiliki konsekuensi pada laporan keuangan yaitu: (1) berkurangnya pengukuran akuntansi yang tidak tepat, (2) berkurangnya pengungkapan akuntansi yang tidak tepat dan (3) berkurangnya tindakan kecurangan manajemen dan tindakan ilegal.

Komite audit juga berpengaruh pada nilai perusahaan (Black et al. 2002; Siallagan dan Machfoedz, 2006).

2.1.3. Profitabilitas

Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial menurut Belkaoui dan Karpik (1989) paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Bucholdz (1978) dalam Belkaoui dan Karpik (1989) bahwa manajemen yang sadar dan memperhatikan masalah sosial juga akan mengajukan kemampuan yang diperlukan untuk menggerakkan kinerja keuangan perusahaan. Konsekuensinya, perusahaan yang mempunyai respon sosial dalam hubungannya dengan pengungkapan tanggung jawab sosial seharusnya menyingkirkan seseorang yang tidak merespon hubungan antara profitabilitas perusahaan dengan variabel akuntansi seperti tingkat pengembalian investasi dan variabel pasar seperti differensial return harga saham (Sembiring, 2003).

Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham (Heinze, 1976 dalam Hackston dan Milne, 1996). Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial (Bowman dan Haire, 1976 dan Preston, 1978 dalam Hackston dan Milne

1996). Hackston dan Milne (1996) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial. Belkaoui dan Karpik (1989) mengatakan bahwa dengan kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable. (Anggraini, 2006).

Rasio profitabilitas adalah sekelompok rasio yang menunjukkan gabungan pengaruh dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada hasil operasi (Brigham & Houston, 2010). Rasio yang biasa digunakan untuk mengukur dan membandingkan kinerja profitabilitas adalah gross profit margin, operating profit margin, net profit margin, return on equity dan return on assets (Syamsudin, 1985:55, dalam Ahmar dan Kurniawan, 2007).

Gross profit margin merupakan rasio profitabilitas yang menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Gross profit margin merupakan presentase dari laba kotor dibandingkan dengan sales. Operating profit margin adalah rasio yang menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sebelum adanya pajak dan bunga dari penjualan yang dilakukan. Rasio ini menggambarkan apa yang biasanya disebut "pure profit" yang diterima atas setiap rupiah dari penjualan yang dilakukan. Operating profit disebut murni (pure) dalam pengertian bahwa jumlah tersebut yang benar-benar diperoleh dari hasil operasional perusahaan dengan mengabaikan kewajiban-kewajiban finansial berupa bunga serta kewajiban terhadap pemerintah berupa pembayaran pajak. Net profit margin adalah rasio

profitabilitas yang menghitung sejauh mana perusahaan dalam menghasilkan laba setelah dipotong pajak dan bunga dari penjualan yang dilakukan. Semakin tinggi net profit margin, maka makin baik profitabilitas suatu perusahaan. Return on equity (ROE) menunjukkan kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola modal yang tersedia untuk mendapatkan net income yang tersedia bagi pemegang saham. Semakin tinggi return adalah semakin baik karena berarti dividen yang dibagikan atau ditanamkan kembali sebagai retained earning juga akan makin besar. Return on assets (ROA) menunjukkan kemampuan manajemen perusahaan dalam menghasilkan income dari pengelolaan aset yang dimiliki untuk menghasilkan laba. Rasio ini menunjukkan seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan asetnya. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin efektif penggunaan aktiva tersebut. Kelima rumus rasio untuk menghitung profitabilitas ini dicantumkan pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Rumus Rasio - Rasio Profitabilitas Profitabilitas

Rasio Rumus

Gross Profit Margin (GPM)

Sales

Sales – Cost Of Good Sales Operating Profit Margin (OPM)

Sales Operating Profit Net Profit Margin (NPM)

Sales

Net Profit After Tax Return On Equity (ROE)

Stockholder Equity Net Profit After Tax Return On Asset (ROA)

Total Assets Net Income

Dokumen terkait