• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beras

Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama di dunia. Sentral produksi padi adalah Cina dan India, berturut-turut sebesar 35% dan 20% dan total produksi dunia. Beras merupakan bagian dari tanaman padi (Oryza sativa L.). Buah padi atau gabah yang dikupas akan menghasilkan beras pecah kulit (brown rice). Apabila beras pecah kulit tersebut disosoh maka akan diperoleh beras gilling (milled rice).

Biji padi terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang dapat dimakan (rice caryopsis) dan kulit (hull or husk) yang disebut sekam. Beras pecah kulit yang telah dihilangkan kulit atau sekamnya terdiri dari perikap (1 – 2%), aleuron dan testa (4 – 6%), lembaga (2 – 3%) dan endosperm (89 – 94%) (Juliano 1972). Struktur biji padi disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.

Beras merupakan produk pengolahan biji padi (gabah) melalui tahap pengupasan dan penyosohan. Pengupasan gabah dengan alat pemecah kulit menghasilkan sekam dan beras pecah kulit yang berwarna kecoklatan (brown rice). Secara keseluruhan, sekam tersusun atas lemma, palea, lemma steril dan rachilla. Beras pecah kulit tersusun atas beberapa bagian yaitu pericarp, seed-coat,

nucellus, lembaga dan endosperm. Penyosohan terhadap beras pecah kulit menghasilkan bekatul dan beras giling atau yang lazim disebut beras. Pada Tabel 1 dapat dilihat standar beras berdasarkan panjang dan bentuk biji.

Tabel 1 Standar beras berdasarkan panjang dan bentuk biji. Skala USDA Ukuran

Beras pecah kulit Beras giling Panjang (mm) • Sangat Panjang • Panjang • Sedang • Pendek 7,50 6,61 – 7,5 5,51 – 6,60 5,51 7,00 6,00 – 6,99 5,50 – 5,99 5,00 Bentuk (Panjang : Lebar)

• Sangat Panjang • Panjang • Sedang Pendek 3,00 2,10 – 3,00 2,10 --- 3,00 --- 2,00 – 3,00 2,00 Sumber : Haryadi (2006)

Beras merupakan salah satu jenis serealia yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk dunia sebagai sumber karbohidrat. Karbohidrat adalah zat gizi yang paling banyak terkandung dalam beras. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi gizi beras adalah varietas, kesuburan, cara bercocok tanam dan pengolahan pascapanen. Pada Tabel 2 dapat dilihat jenis beras dan karakteristiknya.

Tabel 2 Jenis beras dan karakteristiknya.

Pendek Sedang Panjang

Kultivar Var. Japonica, Sicia Var. Javanica Var. Indica

Kadar amilosa 12 – 15% 15 – 21% 23 – 27%

Asal Jepang, Cina, Korea Jawa-Indonesia India, ASEAN

Tekstur Pulen Tekstur antara Pera/Lepas

Komposisi kimia beras sangat bervariasi tergantung faktor genetika varietas padi dan pengaruh lingkungan. Rata-rata beras mengandung 80% pati, 7,5% protein, 0,5% abu dan 12% air. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu : 1). Kandungan amilosa tinggi 25 – 33%, 2). Kandungan amilosa menengah 20 – 25%, 3). Kandungan amilosa rendah 9 – 20% dan 4). Kandungan amilosa sangat rendah < 9%. Semakin kecil amilosanya semakin lekat nasi tersebut. Beras ketan praktis tidak mengandung amilosa (1 – 2%), sedangkan beras yang mengandung amilosa lebih besar dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan (Winarno 1992). Komposisi kimia beras pecah kulit dan beras giling dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia beras pecah kulit dan beras giling.

Komposisi Satuan Beras pecah kulit Beras giling

Kadar Air (%) 14.0 14.0 Kalori (kkal/100 g) 352 354 Protein (g/100 g) 8.3 7.1 Lemak (g/100 g) 1.9 0.5 Karbohidrat (g/100 g) 74.9 77.8 Serat kasar (g/100 g) 0.7 0.4 Abu (g/100 g) 1.1 0.6 Kalsium (mg/100 g) 9 8 Fosfor (mg/100 g) 183 104 Riboflavin (mg/100 g) 0.07 0.05 Besi (mg/100 g) 1.6 1.2 Thiamin (mg/100 g) 0.29 0.10 Niacin (mg/100 g) 3.9 2.3

Sumber : Juliano (1976) dalam Kusumaningtyas (2004)

Beras Pratanak

Beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang dihasilkan (Haryadi 2006)

Pembuatan beras pratanak merupakan proses unik, karena tahap pengolahan dimulai pada saat beras masih berbentuk gabah (Garibaldi 1974). Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (steeping), pengukusan (steaming) dan

pengeringan (drying). Gabah tersebut kemudian digiling hingga diperolah beras pratanak. Proses pratanak berpengaruh lebih nyata terhadap sifat fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Poweel et. al. 2002).

Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses gelatinisasi pati terjadi pengembangan granula secara irreversibel dan kompaknya granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30 – 35% dan panas kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi 1974). Pada Tabel 4 berikut ini dapat dilihat terjadinya perubahan zat gizi pada proses pratanak.

Tabel 4 Kandungan zat gizi beras (100 g) hasil berbagai cara pengolahan. Jenis Beras Air

(g) Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)

Beras pecah kulit 13 335 7.4 1.9 76.2

Beras Setengah giling 12 353 7.6 1.1 78.3

Beras giling 13 360 6.8 0.7 78.9

Beras parboiled 12 364 6.8 0.6 80.1

Sumber : Damarjati (1981)

Pada zaman dahulu proses pratanak ini sebetulnya dilakukan untuk mendapatakan kondisi gabah yang lebih mudah dikupas sekamnya. Perubahan sifat lainnya pada hasil akhir merupakan suatu penyimpangan yang tidak berarti, maka proses pratanak padi bukannya tetap statis, tetapi berkembang di dalam aspek ekonomi, nutrisi dan praktis dalam rangka modifikasi hasil berasnya. Menurut Ciptadi dan Nasution (1976) dalam Burhanudin (1981), dunia penelitian proses pratanak dimulai dengan timbulnya isu dari media masa, yaitu bahwa orang yang makan beras pratanak akan terhindar dari penyakti beri-beri, penyakit ini disebabkan oleh kekurangan vitamin B1 (thiamin).

Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Beras pratanak memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan beras

biasa serta kandungan minyak dan lemak yang rendah dibadingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak lebih tahan lama untuk disimpan (Nuraheni 1980).

Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler dari sel-sel pati endosperm dan sebagian air di serap oleh sel-sel pati tersebut sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (De Datta 1981). Selama perendaman gabah harus benar-benar terendam air. Perendaman umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu perendaman dengan menggunakan air bersuhu kamar dan perendaman menggunakan air panas (Nuraheni 1980).

Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pemasakan dilakukan agar gelatinisasi pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah.

Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna prosuk hasil akhir (Garibaldi 1974). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan. Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga warna menjadi gelap. Penundaan pengeringan juga menyebakan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai oleh mikroba, terutama kapang dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak (cracking).

Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan memalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi (Damarjati 1981).

Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan pertama pada suhu 100 °C sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu 60 °C sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100 °C) karena kadar air gabah yang tinggi (dapat mencapai 45%) dan tekstur butir yang berbeda akibat

pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan (De Datta 1981). Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena pada kadar air 14% merupakan kondisi optimum untuk digiling.

Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan, yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak. Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses penggilingan.

Indeks Glikemik

Para ilmuwan awalnya berpendapat bahwa makanan-makanan yang mengandung karbohidrat komplek lebih lambat untuk dicerna dan diserap tubuh sehingga memiliki efek glikemik yang rendah. Namun beberapa makanan yang tergolong mengandung karbohdirat kompleks seperti kentang rebus dan roti ternyata memiliki kecepatan untuk dicerna dan diserap hampir sama dengan maltosa. Oleh karena itulah konsep indeks glikemik mulai diperkenalkan untuk melihat gambaran tentang hubungan karbohdirat dalam makanan dengan kadar glukosa darah.

Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan menurut efeknya (immediate effect) terhadap kadar gula darah. Pangan menaikkan gula darah dengan cepat, memiliki kadar indeks glikemik tinggi, sebaliknya yang menaikkan gula darah dengan lambat, memiliki indeks glikemik rendah. Indeks glikemik pangan menggunakan indeks glikemik glukosa murni sebagai pembandingnya (IG glukosa murni adalah 100) (Rimbawan dan Siagian 2004)

Indeks glikemik juga dapat didefinisikan sebagi rasio antara luas kurva respon glukosa makanan yang mengandung karbohidrat total setara dengan 50 gram terhadap luas kurva respon glukosa setelah makan 50 gram glukosa, pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama. Kedua tes tersebut dilakukan pada pagi hari setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula ditentukan selama 2 jam. Dalam hal ini, glukosa atau roti tawar sebagai standar (nilai 100) dan nilai makanan yang diuji merupakan persen terhadap standar tersebut (Truswell 1992).

Pengenalan karbohidrat berdasarkan efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan yang memiliki IG rendah membantu orang untuk mengendalikam rasa lapar, selera mkanan dan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian 2004).

Berbagai faktor dapat menyebabkan IG pangan yang satu berbeda dengan pangan lainnya. Bahkan, pangan dengan jenis yang sama bila diolah dengan cara berbeda dapat memiliki IG yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan stuktur dan komposisi kimia pangan. Varietas tanaman yang berbeda juga menyebabakan perbedaan pada IG. Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan, adalah proses pengolahan, perbandingan amilosa dan amilopketin, kadar gula, daya osmotik pangan, kadar serta, lemak, protein serta antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian 2004).

Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya rantai sakarida, melainkan oleh ukuran partikel (Ludwig 2000). Karbohidrat sederhana tidak semuanya memiliki IG lebih tinggi daripada karbohidrat kompleks. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki IG sangat kecil (IG = 23), sedangkan sukrosa memiliki IG sedang (IG = 65). Selain itu, kehadiran gula di dalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi oleh enzim sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat menyebabkan IG pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan dan Siagian 2004).

Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa terikat lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya, mempunyai struktur yang lebih krtistalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrodagasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Meyer 1973).

Amilopektin mempunyai struktur cabang, ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna (Rimbawan dan Siagian 2004).

Jenis serat berpengaruh terhadap indeks glikemik pangan. Dalam bentuk utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya IG cendrung lebih rendah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan lebih rendah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serar kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Serat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah menjadi rendah. Selain menurunkan IG pangan, serat juga dapat mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung dan penyakit saluran pencernaan (Rimbawan dan Siagian 2004).

Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju penggosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenisnya, berlemak rendah. Menurut Ludwig (2000), laju penyerapan karbohdirat dan indeks glikemik akan meningkat setelah mengkonsumsi makanan rendah lemak.

Setiap jenis makanan memiliki IG yang berbeda-beda. Makanan yang memiliki IG rendah akan menghasilkan kenaikkan dan penurunan kadar gula darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetobolisme oleh tubuh. Metode perhitungan nilai indeks glikemik pangan uji yaitu dengan mengaggap nilai indeks glikemik pangan acuan adalah 100. Menurut Miller (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004) berdasarkan respon glikemiknya, pangan dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu: 1). Bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55), 2). Bahan pangan dengan nilai IG sedang (55-70) dan 3). Bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70)

Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikkan akan terjadi sekitar 15 – 45 menit setelah konsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan

karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal setalah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjer Langerhans pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju perubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlaw 1999)

Kadar glukosa darah normal menurut Sardesai (2003) berkisar antara 55 – 140 mg/dl. Kadar glukosa darah minimum sebesar 40 – 60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat, yang memerlukan glukosa sebagai sumber energi utama. Otot dan jaringan adiposa juga menggunakan glukosa sebagai energi utama. Hormon yang berperan dalam meningkatkan kadar glukosa darah adalah hormon adrenalin dan glukagen. Kedua hormon ini dihasilkan di kelenjer adrenal (Wardlaw 1999)

Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti obesitas, diabetes dan penyakit jantung koroner. Menurut Jones (2002), pangan yang memiliki IG tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikkan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukkan lemak pada jaringan adiposa dan tubuh. Penderita diabetes (baik tipe I maupun tiep II) dianjurkan untuk mengkosumsi makanan yang mengandung IG rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi makanan yang memiliki IG rendah akan meningkatkan sensitivitas insulin dalam pangkreas (Ragnhild et. al. 2004)

Dokumen terkait