• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Reformasi Perpajakn

Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan, reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan Negara lain. Tentu saja dengan memperhatian prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan

equality, kesederhanaan, simplicity, keadilan (fairness), sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Gunadi (2002:3) berpendapat bahwa “tujuan umum reformasi pajak adalah meningkatkan responsivitas dan stabilitas penerimaan, meningkatkan keadilan mengurangi inefisiensi dan distorsi ekonomi, penyederhanaan administrasi dan struktur pajak, mengurangi biaya kepatuhan dan peningkatan kesadaran masyarakat, mengurangi dorongan penghindaran dan penyelundupan pajak. Dalam hal ini reformasi perpajakan akan menjadikan sistem yang berlaku menjadi lebih sederhana, yang mencakup penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak, dan pembayaran pajak.

Secara lebih lengkap Gill (2003 1) menyatakan suatu sistem Penerimanaan Negara yang mengurusi masalah pajak perlu direformasikan

dengan empat alasan utama. Pertama, ketika hukum dan kebijakan pajak menciptakan potensi peningkatan penerimaan pajak, jumlah aktual pajak yang mengalir ke kas Negara tergantung pada efisiensi dan efektivitas administrasi penerimaan Negara. Kedua, kualitas dari administrasi penerimaan pajak mempengaruhi iklim investasi dan pengembangan sektor swasta. Ketiga, administrasi perpajakan secara rutin muncul dalam daftar teratas organisasi dengan kasus korupsi tertinggi. Keempat, reformasi perpajakan diperlukan untuk memungkinkan sistem perpajakan mengikuti perkembangan terbaru dalam aktivitas bisnis dan pola penhindaran pajak yang semakin canggih.

Adapun langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain, meliputi:

1. langkah langkah pembaruan kebijakan (tax policy reform) melalui perubahan UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, Perubahan UU PBB, perubahan UU Bea Materai, serta UU kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya paket amandemen undnag-undang perpajakan ini lebih dititik beratkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

2. langkah langkah pembaharuan administrasi perpajakan (tax administrative reform) meliputi:

a. Penyempurnaan peraturan pelaksanaan undang undang perpajakan;

b. Pembentukan dan perluasan kantor pelayanan Pajak (KPP) khusus wajib pajak (WP) besar (large Taxpayer Office, LTO) diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi dan impelementasi dari prinsip prinsip

Good Corporate Governance;

c. Pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online

d. Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak

e. Peningkatan efektivitas penerapan kode etik dijajaran Direktorat Jenderal Pajak dan komisi Ombudsman Nasional.

2.1.2 Sejarah reformasi Perpajakan di Indonesia

Langkah perubahan yang dilakukan pemerintah terhadap undang undang perpajakan telah mencapai lima kali. Liberty (2002:3) mengatakan bahwa “perubahan undang undang perpajakan diakibatkan oleh cepatnya terjadi perubahan yang bersifat fundamental baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik perubahan ini dipengaruhi oleh faktor internal didalam negeri dan faktor eksternal dari luar negeri.

Adapun perkembangan reformasi perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah atas undang undang perpajakan adalah sebagai berikut:

1. Reformasi Perpajakan (Tax Reform) tahun 1983

Reformasi pajak (tax reform) atau pembaharuan perpajakan, telah dilakukan sejak tanggal 1 januari 1984. Bersamaan dengan

dikeluarkannya serangkaian undang undang yaitu UU nomor 6 tahun 1983. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). UU Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua undang undang tersebut berlaku sejak 1 januari 1984. UU nomor 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), direncanakan diberlakukan tahun 1984 juga, tetapi karena masih ada sesuatu yang harus dipersiapkan lebih matang maka undang undang tersebut diperlakukan mulai 1 April 1985. UU No. 12 Tahun 1985 dan undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan diubah dengan undang-undang No.7 Tahun 1991.

2. Reformasi Pajak (Tax Reform) Tahun 1994

Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi terus dilakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan perubahan sistem perekonomian. Pada tahun 1992, perubahan pertama dilakukan terhadap pajak penghasilan. Kemudian pada tahun 1994, setelah satu dasawarsa peraturan pajak dilaksankan diadakan lagi serangkaian perubahan terhadap peraturan perpajakan. Undang- undang pajak yang dikeluarkan adalah:

a. UU Nomor 9 Tahun 1994 Tentang perubahan Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),

b. UU Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1991

c. UU Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertumbuhan Atas Barang Mewah (PPN/PPnBM),

d. UU Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selanjutnya tahun 1997 dikeluarkan lagi serangkaian undang-undang baru untuk melengkapi undang-undang-undang-undang yang telah ada.

Selanjutnya tahun 1997 dikeluarkan lagi serangkaian undang-undang baru untuk melengkapi undang-undang-undang-undang yang telah ada, yaitu:

1. UU Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sangketa Pajak,

2. UU Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

3. UU Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa,

4. UU Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak,

5. UU Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

3. Reformasi Pajak (Tax reform) Tahun 2000

Pada tahun 2000 seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi, pemerintah kembali mengeluarkan serangkaian undang- undang untuk mengubah undamg-undang yang telah ada, yaitu:

a. UU Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),

b. UU Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh),

c. UU Nomor 18 Tahun 2000 Tahun Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambaha Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, d. UU Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa

e. UU Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah atau Bangunan,

f. UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas UU Nomr 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 4. Reformasi Pajak (Tax Reform) 2008

Pada tahun 2008, terjadi perubahan undang-undang dan disahkan UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Serta UU No 36/2008 Tentang Pajak Penghasilan.

2.1.3 Undang- Undang No 36 Tahun 2008

Berdasarkan pertimbangan Presiden Republik Indonesia dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi maka dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang- Undang No 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan.

Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 36 Tahun 2008 adalah:

1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Penurunan tarif PPh ini untuk mengimbangi tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip

kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.

d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.

f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

2. Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang telah mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga

memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP

a. Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21.

b. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 23. c. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non

NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 22

5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan

sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.

a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial

b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.

c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

6. Pengecualian dari objek PPh

a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.

b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.

c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak

7. Penegasan surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam

bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP OP) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.

UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 berlaku efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh Badan menggunakan tarif tunggal 28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1 huruf b) dan berubah menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)).

Sesuai Pasal 31E ayat (1) menyatakan bahwa : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif

sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

2.1.4 Pajak Penghasilan (PPh) Badan 2.1.4.1 Subjek Pajak Badan

Subjek pajak PPh badan bukan hanya perusahaan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan comanditer, perseroan lainnya BUMN, BUMD dengan nama bentuk apapun, termasuk firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik atu organisasi sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan bentuk badan lainnya.

Subjek PPh badan dibedakan menjadi subjek PPH badan dalam negeri dan subjek Pajak Badan Luar Negeri. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di

Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik melalui BUT maupun tidak. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat menjalankan usaha melalui BUT atau pada saat menerima dan memperoleh penghasilan. Sedangkan berakhirnya pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.

Badan yang dikecualikan sebagai subjek PPh (pasal 3 UU PPh) adalah :

1. Badan Perwaiklan Negara Asing (Kedutaan Besar),

2. Organisasi- organisasi Internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :

a. Indonesia menjadi organisasi tersebut;

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota. Contoh : UNESCO, UNICEF, WHO, dan lain- lain.

3. Unit tertentu badan pemerintah yang memenuhi kriteria : a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang- undangan

yang berlaku;

b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN dan APBD;

c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah;

d. Pembukuannya diperiksan oleh Aparat Pengawasan Fungsional Negara.

2.1.4.2 Objek Pajak Badan

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan,

2. Penghasilan dari modal (bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta),

3. Penghasilan lain- lain (pembebasan hutang, hadiah, laba selisih kurs).

Objek Pajak Badan yaitu : 1. Laba Usaha,

2. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyerta modal;

b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota yang diperoleh perseroan , persekutuan , dan badan lainnya;

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecaha, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun;

d. Keuntungan karena pengalihan harta.

3. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak,

4. Bunga termasuk premium diskonto, 5. Dividen,

6. Royalti atau imbalan atas penggunaan harta,

7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,

8. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, 9. Keuntungan karena pembebasan hutang,

10. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing, 11. Keuntungan karena penilaian kembali aktiva,

12. Premi asuransi, 13. Imbalan bunga.

Tidak semua penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak adalah objek PPh, pasal 4 ayat 3 UU PPh mengatur penghasilan yang tidak menjadi objek pajak, antara lain :

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia;

2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana maksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagi pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 3. Pengganti atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau

jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan;

4. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :

a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan;

b. Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor.

5. Beasiswa yang diberikan kepada warga negara Indonesia dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri dengan syarat penerimaan beasiswa tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi, pengurus wajib pajak yang memberikan beasiswa;

6. Iuran yang diterima atau diperoleh dan pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik dibayar pemberi kerja maupun pegawai;

7. Penghasilan yang diberikan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan comanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham- saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak invetsasi kolektif;

9. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan tersebut :

a. Memperoleh perusahaan mikro, kecil, menegah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor- sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.

10. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

11. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

12. Bantuan atau sumbangan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu.

2.1.5 Analisis Kinerja Keuangan Bank

Kinerja keuangan bank merupakan bagian dari kinerja bank secara keseluruhan yang dicapai bank dalam operasinya, baik menyangkut aspek keuangan, pemasaran, penghimpunan dan penyaluran dana, teknologi maupun sumber daya manusia. Sawir ( 2005:1) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan “kinerja keuangan adalah ukuran mengenai seberapa jauh perusahaan- perusahaan berada dari batas normal agar perusahaan dapat dikatakan sehat dan berjalan baik sehingga dapat memenuhi kewajiban dan menghasilkan keuntungan dimasa yang akan datang.”

Dari penjelasan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan mengenai arti kinerja keuangan yaitu keadaan atau potensi keuangan yang dimiliki oleh perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Kinerja keuangan dapat dilihat dan diukur melalui laporan keuangan. Laporan keuangan dapat dijadikan jendela untuk melihat kondisi atau aktivitas yang telah dijalankan perusahaan. Dengan menilai dan menganalisa laporan keuangan tersebut akan ditemukan tanda- tanda permasalahan dan kondisi perusahaan secara lebih spesifik mengenai kinerja perusahaan.

Langkah- langkah dalam penghitungan tingkat kesehatan bank adalah :

2. Menghitung besarnya nilai kredit (credit point) untuk masing- masing komponen CAMELS;

3. Mengalikan nilai kredit (credit point) tersebut dengan bobot masing- masing komponen CAMELS;

4. Menjumlah seluruh nilai komponen CAMELS;

5. Memperhitungkan nilai keseluruhan berkaitan dengan pemberian batas kredit;

6. Menetapkan kategori kesehatan bank.

2.1.6 Laporan Keuangan Bank

2.1.6.1 Pengertian Laporan Keuangan

Untuk mengetahui perkembangan suatu perusahaan, maka perlu mengetahui keadaan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Keadaan keuangan suatu perusahaan perusahaan dapat diketahui dari laporan keuangan.

Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi mengeai posisi keuangan dan hasil yang telah dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan. Laporan

Dokumen terkait