• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan di wilayah pesisir dan antara makhluk hidup itu sendiri, yang terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh dalam perairan asin/payau. Indonesia mempunyai luas hutan mangrove 25% dari luas hutan mangrove yang ada di dunia (Sanudin dan Harianja, 2009).

Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial ekonomi. Salah satu alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang merupakan batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota (flora dan fauna) di wilayah tersebut. Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka, yang dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut (Kawaroe, 2001).

Perlu diketahui bahwa hutan mangrove tidak hanya melengkapi pangan bagi biota aquatik saja, akan tetapi juga dapat menciptakan suasana iklim yang kondusif bagi kehidupan biota aquatik, serta memiliki kontribusi terhadap keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Kekhasan tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dan kondisi lantai hutan, kubangan serta alur-alur yang saling berhubungan merupakan perlidungan bagi larva berbagai biota laut (Pramudji, 2001).

Interaksi vegetasi mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan hidup beberapa organisme akuatik, sehingga dimana terdapat mangrove berarti di situ juga merupakan daerah perikanan yang subur. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Wei-dong, dkk. (2003), yang melaporkan bahwa jumlah spesies ikan di daerah mangrove dapat mencapai lebih dari 100 spesies.

Mangrove, dalam skala ekologis merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama karena daya dukungnya bagi stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Kestabilan ekosistem mangrove akan mempunyai pengaruh yang sangat luas tehadap kelestarian wilayah pesisir. Mangrove sebagai ekosistem hutan, memiliki sifat dan ciri yang sangat khas, tumbuh pada pantai berlumpur dan muara sungai (Karminarsih, 2007).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove di Indonesia sekitar 8,6 juta hektar, terdiri atas 3,8 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar atau 44,73 persen dan kerusakan di luar kawasan hutan 4,2 juta hektar atau 87,50 persen, antara tahun 1982-1993 telah terjadi pengurangan hutan mangrove seluas 513.670 ha atau 46.697 ha per tahunnya (Gunawan dan Anwar, 2005). Menurut Asian Wetland Bureau luas hutan mangrove Indonesia hanya tersisa 2,5 juta ha, dan untuk pemulihan fungsi hutan mangrove diperlukan rehabilitasi atau restorasi.

Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti

badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan dan Winarno, 2006).

Di lain pihak, ekosistem ini mengalami berbagai tekanan yang sangat berat akibat perluasan dari berbagai keinginan pemanfaatan lainnya. Seringkali pemikiran pemanfaatannya hanya didasarkan atas evaluasi ekonomi yang sempit, yang hanya terfokus pada satu penggunaan mangrove. Padahal jika dikaji secara luas, ekosistem mangrove memiliki fungsi dan peran yang sangat kompleks, yang meliputi fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi. Untuk itu perlu dilakukannya pengelolaan (Karminarsih, 2007).

Kekayaan sumberdaya alam mangrove berupa formasi vegetasi yang unik, satwa serta asosiasi yang ada di dalam ekosistem mangrove memiliki potensi yang dapat dijual sebagai obyek wisata, khususnya ekowisata. Sebagai sebuah kawasan ekowisata yang menawarkan konsep pendidikan dan konservasi sekaligus tempat rekreasi alternatif di alam terbuka, hutan mangrove harus bersaing dengan banyak kawasan yang lebih menarik. Dengan demikian pengembangan potensi wisata dilakukan melalui kemasan yang menarik, antara lain melalui pengembangan mangrove-resort yang memiliki peran wisata dalam kegiatan konservasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove (Wardhani, 2011).

Zonasi Mangrove

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi sesuai dengan faktor lingkungan yang mendukung mangrove untuk tumbuh

subur. Pada sebagian besar hutan mangrove yang sudah dipengaruhi kegiatan manusia (antropogenik) pada umumnya zonasi sulit ditentukan, selain itu zonasi mangrove juga bisa dipengaruhi tingginya sedimentasi dan perubahan habitat. Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove (Samsumarlin, dkk., 2015).

Banyak faktor lingkungan yang diduga sebagai pengendali zonasi mangrove. Namun faktor yang diduga dominan mengontrol zonasi vegetasi mangrove masih menjadi perdebatan para peneliti. Hasil penelitian pada komunitas mangrove di Pantai Napabalano Kabupaten Muna provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa pola zonasi mangrove berhubungan dengan panjang dan berat propagul. Individu yang mempunyai propagul lebih berat dan panjang akan menempati zona luar dan sebaliknya akan menempati zona yang lebih dalam (Jamili, dkk., 2009).

Peranan Ekosistem Mangrove

Peranan ekosistem mangrove yang unik dan penting sudah banyak diketahui orang. Mangrove dibagi menjadi dua bagian, dipandang dari sudut ekosistemnya dan dari sudut komponennya. Dari sudut ekosistem, dilihat kegunaan hutan secara utuh, termasuk daerah litoral dan pantai di sekitarnya, untuk berbagai keperluan dan kesejahteraan manusia dan lingkungan secara umum. Sedangkan dari sudut komponen, dilihat komponen biotik utama, terutama tumbuhan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan manusia (Wibowo dan Handayani, 2006).

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting di lingkungan pesisir, dan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisik adalah sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologis adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk bahan baku dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan menstabilkan ekosistem laut maupun daratan (Hiariey, 2009).

Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sediment trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Keberadaan hutan mangrove juga penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai (Rusdianti dan Sunito, 2012).

Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Bann (1998) membaginya kedalam 4 domain yaitu: (i) fungsi produksi yang berkelanjutan, (ii) fungsi pengatur lingkungan, (iii) fungsi konversi, dan (iv) adalah fungsi informasi.

Faktor Pertumbuhan Mangrove

a. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 ppt - 30 ppt. Salinitas yang tinggi akan berdampak pada tajuk mangrove semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang komposisi spesiesnya (Wantasen, 2013).

Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, mereka juga dapat bertahan hidup pada lingkungan pantai yang sering kali tidak digenangi oleh air. Avicennia sp. merupakan jenis yang paling memiliki kemampuan toleransi tinggi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis lainnya. Avicennia sp. mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati air tawar sampai dengan salinitas 90 ‰. Pada kondisi salinitas yang ekstrim ini, pohon tumbuh kerdil, dan kemampuan untuk menghasilkan buah menjadi hilang. Namun demikian, tumbuhan mangrove tidak dapat bertumbuh pada lingkungan yang benar-benar tawar (Noor, dkk., 2006).

b. Suhu

Suhu air sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang jatuh ke permukaan air yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian lagi diserap dalam bentuk energi panas. Pengukuran suhu sangat diperlukan untuk mengetahui karakteristik perairan. Suhu air merupakan faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan organisme perairan.

Penurunan biomassa dan keanekaragaman organisme ketika suhu air meningkat lebih dari 28o

Keadaan suhu yang baik, akan menentukan proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove, yaitu : Avicennia sp. tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rizhophora sp., Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa, pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera spp. 27 ºC, Xylocarpus granatum spp. berkisar antara 21-26 ºC dan X. granatum 28 ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal 20ºC. Temperatur rata-rata udara yang penting untuk pertumbuhan mangrove berkisar 20º-40ºC (Tomascik, dkk., 1997).

C (Barus, 2004).

c. pH

Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah. Apabila pH turun, maka yang akan terjadi antara lain: penurunan oksigen terlarut, konsumsi oksigen menurun, peningkatan aktivitas pernapasan, dan penurunan selera makan. Rentang toleransi pH sekitar 6,0-9,0, dan pH yang optimal sekitar 7,0-8,5. Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove (Wantasen, 2013).

pH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan melihat tingkat keasaman atau kebasaan air yang dikaji, terutama oksidasi sulfur dan nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi kalsium dan magnesium pada proses pembasaan. Besarnya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi

ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur-unsur hara yang amat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik (Asdak, 2007).

Nilai pH tanah dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6 – 6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (Arief, 2003).

d. Pasang surut

Faktor ombak yang kuat akibat tiupan angin yang cukup kencang, juga berpengaruh terhadap keberhasilan propagule menjadi semai. Di Pulau Kaledupa angin dengan kecepatan 20 knot/jam terjadi antara bulan Desember-Februari dan pada musim timur kecepatan angin 7-15 knot/jam. Aktivitas pasang surut mampu membawa propagule-propagule dari semua ukuran (dan spesies) ke semua bidang zona pasang surut. Di Pulau Kaledupa, pada surut terendah substrat di depan formasi mangrove terluar dapat mencapai kurang lebih 600 m ke arah laut (Jamili, dkk., 2009).

Aliran Energi pada Ekosistem Mangrove

Sebagai suatu ekosistem di wilayah pesisir, hutan Mangrove memiliki fungsi dalam menunjang perkembangan serta kelestarian potensi sumberdaya alam hayati lainnya. Hutan Mangrove dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota di perairan sekitarnya. Proses dekomposisi daun Mangrove menciptakan rantai makanan detritus yang kompleks, sehingga memperkaya produktivitas hewan bentos yang hidup di dasar perairan. Kehadiran organisme

dekomposer yang melimpah merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis larva ikan, udang, dan biota lainnya yang sudah beradaptasi sebagai pemakan dasar. Detritus yang dihasilkan tidak hanya menjadi dasar bagi pembentukan rantai makanan di ekosistem Mangrove, tetapi juga penting sebagai sumber makanan dan nutrien bagi biota di perairan pantai yang berada dekat dengan estuaria (Noer, 2009).

Hasil dari produksi serasah di mangrove berperan sebagai bahan makanan bagi makrobentos dan menyokong rantai makanan di hutan mangrove yang terdiri dari ikan, krustasea, dan invertebrata serta penghasil unsur hara bagi perairan sekitarnya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan sumber makanan bagi organisme laut. Besarnya sumbangan detritus dari ekosistem mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah dalam ekosistem mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup besar dapat dihasilkan (Muhammad, dkk., 2013).

Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut

Nilai ekonomi yang terkandung dalam ekosistem sumberdaya pada dasarnya terdiri atas nilai manfaat langsung (direct use value) dan nilai manfaat tidak langsung (indirect use value). Nilai manfaat langsung (direct use value) adalah output (barang dan jasa) yang terkandung dalam ekosistem yang secara langsung dapat dimanfaatkan, seperti ikan, udang, kepiting, dll. Nilai ini didapatkan dengan melakukan survey langsung ke masyarakat untuk mengetahui jumlah tangkapan dan harga jual dari masingmasing komoditi yang dihasilkan (Putera dan Sallata, 2015).

Menurut Barbier, dkk. (1997), ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis dan (3) total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu, misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat.

Besarnya manfaat yang ada pada ekosistem hutan mangrove, memberikan konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada degradasi lingkungan yang cukup parah. Sebagai contoh adalah berkurangnya luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun. Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonominya saja tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan juga biologi yang ditimbulkan (Suzana, dkk., 2011).

Dokumen terkait