• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumberdaya Pertanian Lahan Kering di Sulawesi Tenggara

Pendapatan nasional dari Indonesia sebagian besar adalah berasal dari sektor pertanian, karena Indonesia terkenal subur dan mengandung potensi yang tidak kecil dalam bidang pertanian, dan kemakmuran rakyat untuk hari depan Indonesia akan banyak dipengaruhi oleh pengolahan dan penggalian kekayaan sumberdaya pertanian (Deptan RI, 2001:35). Lahan kering sebagai suatu sumberdaya, termasuk kedalam sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) apabila dikelola dengan baik, namun bersifat tidak dapat diperbaharui (non renewable) apabila fungsi lahan tersebut diterlantarkan terus menerus sehingga menjurus kearah kerusakan tanah yang dapat membahayakan kegiatan usaha pertanian dan penurunan kualitas lingkungan hidup (KEPAS, 1989:17).

Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai daratan seluas 3.814.000 ha dan diperkirakan sekitar 1,5 juta atau 20 persen dari total luas daratan masih tersedia dan berpotensi untuk pengembangan lahan kering (BPS Provinsi Sultra, 2007:39). Pertanian lahan kering yang ada mempunyai kondisi agroklimat yang sangat beragam dan kondisi sosial ekonomi yang kurang mampu dan potensi sumberdaya lahan yang terbatas. Bila dilihat dari segi letaknya maka dapat digolongkan menjadi dua daerah yaitu : (1) Lahan kering dataran tinggi pada umumnya lahan kering ini berada pada daerah kemiringan > 15 persen dan mencakup lahan kering beriklim basah maupun beriklim kering dengan batasan ketinggian > 700 m dpl; (2) Lahan kering dataran rendah pada umumnya didominasi jenis tanah podzolik merah kuning (PMK), yang dicirikan dengan tingkat kesuburan yang rendah (Benamakusumah, 1999:37).

Kendala utama sumberdaya tanah pada lahan kering adalah kesuburan tanah yang rendah, sehingga dikelompokkan kedalam jenis tanah marginal dengan produktivitas lahan rendah sehingga petani kurang mampu melakukan daya olah lahan dan mempengaruhi luas garapan lahan usahatani menjadi sempit dan jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan pun sangat terbatas. Permasalahan usahatani lahan kering lebih rumit terutama karena kondisinya yang beragam, yaitu kerawanan terjadinya erosi bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi

secara rapat, kesuburan tanah rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut, dan ketersediaan air sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan.

Menurut Ginting (2002:14-15) lahan kering di Sulawesi Tenggara merupakan sumberdaya pertanian yang terbesar khususnya di Wilayah Kabupaten Konawe, namun demikian pada kenyataannya usahatani pada lahan kering sebagian besar diwarnai oleh rendahnya hasil (yield) karena rendahnya produktivitas lahan, serta terjadinya degradasi lahan (lahan kritis) di beberapa daerah karena kurang cermatnya pengelolaan lahan sehingga petani tidak mampu meningkatkan pendapatannya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa petani lahan kering adalah petani yang kurang mampu (miskin) dalam hal: (1) daya olah lahan, sehingga luas garapan usahatani sangat sempit dan jenis komoditi pertanian yang dikembangkan sangat terbatas; (2) permodalan, sehingga tidak mampu membeli dan menyediakan sarana produksi (bibit unggul, pupuk, pestisida) dan memilih jenis tanaman yang sesuai; (3) pengetahuan dan keterampilan, sehingga tidak mampu mengadaptasi teknologi usahatani lahan kering yang produktif dan berkelanjutan. Harga hasil pertanian yang sangat rendah menyebabkan petani lahan kering tidak bergairah untuk mengoptimalkan usahataninya dan hal ini diperparah oleh lahan kering yang umumnya kurang subur, kurang air (tanpa irigasi), dan erosi tanah yang terjadi sudah lanjut. Akibatnya petani hanya mengusahakan jenis tanaman untuk kebutuhan sendiri dan tidak komersial sehingga tingkat pendapatan petani tetap rendah.

Melihat kondisi kerusakan dan keterbatasan dalam pengelolaan lahan kering, maka perlu dikembangkan model atau pola yang efisien dan efektif dengan usahatani konservasi terpadu antara tanaman dan ternak (crop livestock system) yang dimaksudkan untuk mempertahankan kesuburan tanah agar dapat dicapai usahatani yang berkelanjutan. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Wahyunto dkk (1994:73) menunjukkan bahwa lahan kritis terluas di Pulau Sulawesi terdapat di dua provinsi yakni Sulawesi Selatan seluas 403.800 ha dan Sulawesi Tenggara seluas 142.502 ha. Kondisi tersebut diduga karena pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lahan yang benar. Kendala biologis bagi pengembangan usaha pertanian lahan kering meliputi gangguan hama, penyakit dan gulma yang dapat menggagalkan tanaman, dan

gulma merupakan masalah besar pada pertanian lahan kering. Wahid dkk (1997:45) mengemukakan bahwa masalah sosial budaya yang dihadapi keluarga tani adalah tingkat kebersamaan dalam pelaksanaan usahatani relatif sulit untuk ditumbuhkembangkan, karena belum terpolanya lintas komoditas yang spesifik dan adaptif sesuai dengan zona agroekologi bagi tanaman secara terpadu. Lebih lanjut dikemukakan bahwa motivasi dalam pengelolaan usahatani lahan kering khususnya pada petani terdapat dua kelompok yaitu kelompok pertama adalah pengelola atau petani yang memiliki motivasi yang kuat dalam mengusahakan komoditas lahan kering dan kelompok ini umumnya mempunyai keyakinan yang kuat dan merupakan pelopor bagi petani lainnya. Kelompok kedua mempunyai motivasi yang tidak sekuat kelompok pertama dan hanya merupakan pengikut bagi kelompok pertama. Potensi pengembangan tanaman perkebunan pada lahan kering di Sulawesi Tenggara, memperoleh gambaran yang lebih fleksibel dengan pendekatan analisis SWOT yang banyak dilakukan oleh peneliti dengan formulasi strategi eksternal dan internal, dengan hasil analisis menunjukkan respon signifikasi positif terhadap produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering (BPTP Sulawesi Tenggara, 2004:20).

Keberhasilan pengelolaan pada usahatani lahan kering dan perbedaan motivasi petani sangat mempengaruhi dalam mengadopsi teknologi baru. Dalam mengadopsi inovasi baru, sikap petani pada lahan kering juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan, kemudahan teknologi yang diterapkan, jaminan teknologi yang diterapkan, konsistensi program dan efektivitas penyuluhan. Oleh karena itu, faktor penentu kompetensi petani meliputi aspek motives (motivasi, karsa), traits (ketangkasan sikap), self concept (kepribadian, sikap mental),

knowledge (pengetahuan), dan skill (keterampilan) dalam penerapan inovasi agribisnis pada usahatani lahan kering menjadi penting dalam upaya meningkatkan produktivitas usahatani lahan kering, guna meningkatkan keberdayaan, pendapatan dan kesejahteraan hidup masyarakat pedesaan yang sebagian besar mata pencaharian hidupnya bersumber dari usaha pertanian lahan kering di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Konsep dan Pengertian Kompetensi Petani

Golongan petani merupakan komunitas terbesar dalam masyarakat pedesaan. Menurut Loekman ( 2002:4) dalam sosiologi barat, terdapat dua konsep mengenai petani yaitu peasants dan farmers. Peasants adalah petani yang memiliki lahan sempit dan memanfaatkan sebagian besar dari hasil pertanian yang diperoleh untuk kepentingan mereka sendiri. Sedangkan Farmers adalah orang- orang yang hidup dari pertanian dan memanfaatkan sebagian besar hasil pertanian yang diperoleh untuk dijual. Berbeda dengan peasants, farmers lebih akrab dengan pemanfaatan teknologi pertanian modern.

Menurut Mosher (1981:37) bahwa petani memegang dua peranan penting dalam pengelolaan usahatani, yaitu sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager) usahatani. Petani sebagai manajer perlu memiliki kompetensi yang meliputi kemampuan-kemampuan sebagai kapasitas diri yang dicirikan dengan adanya pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri, komitmen dan kewirausahaan (Tjitropranoto, 2005:64).

Pengertian Kompetensi Petani

Menurut Suparno dan Suhaenah (2001:27), kata kompetensi diartikan sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan. Kompetensi yang dalam literatur disebut competence atau competent adalah “ to do something of people having necessary ability, authority, skill, knowledge; the ability to hold or contain something, the ability to produce; experience, understand and learning something” (Hornby, 1995:115-117). Kompetensi diartikan sebagai kemampuan, kewenangan, kapasitas mental, pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan persoalan, dan atau kualitas kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan sesuatu.

Menurut Wibowo (2007:86-87), kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, termasuk di antaranya kemampuan seseorang untuk mentransfer dan mengaplikasikan keterampian dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru dan meningkatkan manfaat yang disepakati. Kompetensi juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh

setiap individu yang memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional dalam pekerjaan mereka.

Pengertian kompetensi menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sesuai Surat Keputusan Mendiknas Nomor 045/U/2002 menyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung- jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidangnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa elemen-elemen kompetensi meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, dan (5) pemahaman kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Kompetensi sebagai kombinasi antara pengetahuan, kemampuan keterampilan dan sikap yang dimiliki seseorang sehingga mampu melakukan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya, baik untuk saat ini maupun masa mendatang.

Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Spencer dan Spencer (1993:9), kompetensi merupakan karakter individu yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Unsur-unsur yang membentuk kompetensi (Spencer dan Spencer, 1993:10) yakni:

(1) Motif (motive) yaitu sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau dikehendaki oleh seseorang, yang selanjutnya mengerahkan, membimbing dan memilih suatu perilaku tertentu terhadap sejumlah aksi atau tujuan.

(2) Karakter pribadi (traits) yaitu karakteristik fisik dan reaksi atau respon yang dilakukan secara konsisten terhadap suatu situasi atau informasi.

(3) Konsep diri (self concept) yaitu perangkat sikap, sistem nilai atau citra diri yang dimiliki seseorang.

(4) Pengetahuan (knowledge) yaitu informasi yang dimiliki seseorang terhadap suatu area spesifik tertentu.

(5) Keterampilan (skill) yaitu kemampuan untuk mengerjakan serangkaian tugas fisik atau mental tertentu.

Lebih lanjut, Spencer dan Spencer (1993:11) menggambarkan pusat dan permukaan kompetensi, di mana pengetahuan dan keterampilan relatif mudah untuk diubah dan dikembangkan melalui penyuluhan dan pelatihan (extension and training), akan tetapi motif dan karakter pribadi merupakan dasar dari gunung es kepribadian sulit untuk dinilai dan diubah, seperti model pusat kompetensi diri pada Gambar 1. Terlihat Tersembunyi Model Gunung Es

mudah diubah sulit diubah

Gambar 1. Pusat Kompetensi Diri (Sumber : Spencer dan Spencer, 1993)

Kompetensi diri menjelaskan apa yang dilakukan orang ditempat kerja pada berbagai tingkatan dan memperinci standar berbagai tingkatan, mengidentifikasi karakteristik, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh individual yang memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif sehingga mencapai standar profesional dalam bekerja, dan mencakup semua aspek catatan manajemen kinerja, keterampilan dan pengetahuan tertentu, sikap, komunikasi, aplikasi, dan pengembangan diri. Menurut Davis dan Newstrom (1995:89) kompetensi merupakan salah satu motivasi yang dimiliki individu dan merupakan dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, dan inovatif.

Keterampilan Pengetahuan Konsep diri, Karakter pribadi Motif Keterampilan Pengetahuan Konsep diri Sikap, nilai Karakter pribadi, motif

Sejalan dengan apa yang dikemukakan Spencer dan Spencer, menurut Wibowo (2007:96) bahwa kompetensi dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan, yaitu: pertama, behavioral tools yang terdiri dari (a) knowledge merupakan informasi yang digunakan orang dalam bidang tertentu, misalnya membedakan antara akuntan senior dan yunior, dan (b) skill merupakan kemampuan orang untuk melakukan sesuatu dengan baik, misalnya mewawancarai dengan efektif, dan menerima pelamar yang baik. Kedua, image attribute yang terdiri dari (a)

social role merupakan pola perilaku orang yang diperkuat oleh kelompok sosial atau organisasi, misalnya menjadi pemimpin atau pengikut, menjadi agen perubahan atau menolak perubahan, dan (b) self image merupakan pandangan orang terhadap dirinya sendiri, identitas, kepribadian, dan harga dirinya, misalnya melihat dirinya sebagai pengembang atau manajer yang berada di atas “fast traek”. Ketiga, personal characteristic yang terdiri dari (a) traits merupakan aspek tipikal berperilaku, misalnya menjadi pendengar yang baik, dan (b) motive

merupakan apa yang mendorong perilaku seseorang dalam bidang tertentu (prestasi, afiliasi, kekuasaan), misalnya ingin mempengaruhi perilaku orang lain untuk kebaikan organisasi.

Menurut Ruky dan Akhmad (2003:91) bahwa petani sebagai pekerja atau penggarap (cultivator) perlu memiliki kecerdasan profesional (teknis) dan kecerdasan pengelolaan (manajerial) berupa pengetahuan dan keterampilan budidaya tanaman untuk menyelenggarakan kegiatan produksi usahatani. Profesionalisme seseorang dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda, terkandung tanggungjawab untuk membuat suatu keputusan. Kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidup seseorang. Orang yang memiliki kompetensi cenderung melakukan pekerjaan dengan baik karena kepuasan bathin yang dirasakan.

Rosyada (2004:239-242) menyatakan kompetensi atau kecerdasan profesional adalah kecerdasan atau kemampuan yang diperoleh melalui pendidikan, yang akan menghasilkan pengetahuan dan keterampilan teknis yang spesifik untuk melakukan pekerjaan profesional. Lebih lanjut dinyatakan secara umum, pembagian kompetensi berupa kecerdasan professional, kecerdasan personal, dan kecerdasan manajerial. Kemampuan personal yang dimaksud adalah

kemampuan mengenal emosi, kemampuan mengendalikan dan mengarahkan emosi (traits), kemampuan memotivasi diri, kemampuan bekerja keras, pantang menyerah, kepercayaan diri, kemampuan mengembangkan diri, kemampuan mengambil inisiatif, dan kemampuan berkreasi (berinovasi). Kemampuan sosial dapat terdiri dari; kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berempati, kemampuan bergaul, kemampuan bekerjasama, kemampuan berorganisasi dan kemampuan memimpin. Kemampuan professional dicirikan dengan kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan berhitung, kemampuan membuat rencana pekerjaan atau bisnis, kemampuan mengelola pekerjaan, kemampuan memantau dan mengevaluasi, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah, kemampuan member instruksi/perintah, kemampuan melatih, kemampuan mengerjakan pekerjaan teknis baik secara umum maupun khusus atau tertentu, kemampuan melihat kedepan, serta kemampuan berpikir kritis dan dialektis.

Tjitropranoto (2005:63) menyebutkan bahwa kemampuan-kemampuan yang terkandung dalam kompetensi seseorang dinyatakan sebagai kapasitas diri yang dicirikan dengan adanya pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri, komitmen dan kewirausahaan. Kemampuan atau kapasitas diri akan memacu potensi kesiapan diri berupa kemajuan dan kemampuan usaha yang berlanjut pada pengenalan inovasi guna pengembangan usaha. Menurut Soesarsono (2002:69) bahwa secara umum kompetensi dapat dibagi atas; kemampuan personal (personal-competency), kemampuan sosial (social-competency), dan kemampuan professional (professional-competency).

Menurut Wiles seperti dikutip Rosyada (2004:69) dan Suparno dan Suhaenah (2001:6-9) membagi kompetensi kedalam kemampuan, yakni; kemampuan kognitif, kemampuan sensorik-motorik, dan kemampuan afektif. Selanjutnya dikatakan bahwa kompetensi kognitif terdiri atas; knowledge

(pengetahuan), comprehension (pemahaman), application (penerapan), analysis

(menganalisis), synthesis (mensintesis) dan evaluation (mengevaluasi). Kompetensi afektif terdiri atas; receiving (penerimaan), responding (tanggapan),

Kompetensi psiko-motorik terdiri atas; observing (mengamati), imitating

(meniru), practicing (mempraktekkan) dan adapting (menyesuaikan).

Wibowo (2007:88) mengistilahkan kompetensi itu merupakan dimensi perilaku yang berada dibelakang kinerja kompeten. Sering dinamakan kompetensi perilaku karena dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana orang berperilaku ketika mereka menjalankan perannya dengan baik. Dikaitkan dengan pendapat Amstrong dkk (1998:298) menyebutkan bahwa perilaku apabila didefinisikan sebagai kompetensi dapat diklasifikasikan sebagai: (a) memahami apa yang perlu dilakukan dalam bentuk alasan kritis, kapabilitas strategik, dan pengetahuan bisnis, (b) membuat pekerjaan dilakukan melalui dorongan prestasi, pendekatan proaktif, percaya diri, kontrol, fleksibilitas, berkepentingan dengan efektifitas, persuasi dan pengaruh, dan (c) membawa serta orang dengan motivasi, keterampilan antar pribadi, berkepentingan dengan hasil, persuasi dan pengaruh.

Kompetensi diri petani yang dikaitkan dengan perannya sebagai pelaku dan manajer usahatani akan memacu potensi atau kesiapan diri berupa kemajuan dan kemampuan usaha yang berlanjut pada pengenalan inovasi guna pengembangan usahatani yang lebih baik. Artinya perkembangan inovasi teknologi, harus mampu dibarengi dengan perilaku kompetensi dalam pengelolaan usahatani yang berorientasi agribisnis secara utuh (on-farm and off-farm lingkages) untuk mencapai produksi dan produktivitas yang tinggi serta kualitas hasil yang lebih baik pada usahatani lahan kering.

Wibowo (2007: 103-107), mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecakapan kompetensi seseorang, yaitu: (1) keyakinan dan nilai-nilai, yakni keyakinan orang tentang dirinya maupun terhadap orang lain akan sangat mempengaruhi perilaku. Apabila orang percaya bahwa mereka tidak kreatif dan inovatif, mereka tidak akan berusaha berpikir tentang cara baru atau berbeda dalam melakukan sesuatu, (2) keterampilan memainkan peran kompetensi, yakni pengembangan keterampilan secara spesifik dapat berdampak baik pada budaya organisasi dan kompetensi individual, (3) pengalaman, yakni keahlian dari banyak kompetensi memerlukan pengalaman mengorganisasi orang, komunikasi dihadapan kelompok, menyelesaikan masalah dan sebagainya, (4) karakteristik kepribadian, yakni kepribadian termasuk faktor

yang sulit untuk dirubah, tetapi kepribadian bukannya sesuatu yang tidak dapat dirubah, karena kenyataannya kepribadian seseorang dapat berubah sepanjang waktu, (5) motivasi, yakni faktor kompetensi yang dapat berubah, dengan memberikan dorongan, apresiasi dan pengakuan terhadap pekerjaan, (6) isu emasional, yakni hambatan emosional dapat membatasi penguasaan kompetensi, misalnya takut membuat kesalahan dan menjadi malu cenderung membatasi motivasi dan inisiatif, (7) kemampuan intelektual, yakni kompetensi tergantung pada pemikiran kognitif, seperti pemikiran konseptual dan pemikiran analitis, (8) budaya organisasi, yakni praktik rekrutmen dan seleksi dalam organisasi, sistem penghargaan, praktik pengambilan keputusan, filosofi organisasi, kebiasaan dan prosedur memberi informasi, komitmen pada pelatihan, dan proses organisasional yang mengembangkan pemimpin.

Seorang petani yang memiliki kompetensi, selain menguasai wawasan tentang usahatani yang dikelola, juga memiliki perilaku dasar yang diperlukan untuk menjadi petani yang berkompeten dan tangguh dalam menjalankan aktivitas kegiatan usahataninya. Perilaku ini mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk menjalankan usahataninya. Menurut Ruky dan Akhmad (2003:114-115) profil seorang kandidat untuk jabatan manajerial dalam suatu perusahaan pertanian adalah sebagai berikut; (a) memiliki kompetensi teknis, untuk itu kandidat manajer perlu ditetapkan tingkat pendidikan dasar terendah yang harus dimiliki; (b) mengikuti latihan-latihan, karena latihan dianggap sebagai sumber pengetahuan dan keterampilan bagi seseorang; (c) memiliki pengalaman baik pada pekerjaan yang sama ataupun dalam pekerjaan

dengan bobot tanggung jawab yang lebih rendah; (d) memiliki dorongan (motive); (e) memiliki sistem nilai dan sikap, yaitu intisari budaya perusahaan; (f) memiliki kepribadian yang baik; (g) memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatan yang harus diisi, yaitu pengetahuan teknis, umum, bisnis, manajemen dan sebagainya; (h) memiliki keterampilan yang meliputi keterampilan analitis, verbal, mekanik dan sebagainya; (i) memiliki usia yang tepat untuk menduduki sebuah jabatan manajer; dan (j) memiliki kesehatan dengan kondisi fisik yang prima.

Berdasarkan pandangan tersebut, dimensi perilaku kompetensi sangat dipengaruhi oleh karakteristik petani dan lingkungan petani dalam pengelolaan agribisnis kakao pada usahatani lahan kering, yang perlu dibangun dalam komunitas petani lahan kering melalui pendekatan penyuluhan pembangunan sebagai suatu sistem pendidikan non formal yang bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku agribisnis perkebunan di pedesaan ke arah peningkatan kualitas diri dan kesejahteraan hidup mereka secara berkelanjutan. Hersey dkk (1990:223) memandang bahwa kompetensi merupakan kemampuan mengendalikan faktor- faktor lingkungan, baik fisik maupun sosial. Orang-orang yang memiliki motif ini tidak ingin menunggu terjadinya hal-hal secara pasif, tetapi ingin mengubah lingkungan dan berusaha mewujudkannya.

Dengan mengacu pada konsep dan pengertian kompetensi yang telah dikemukakan para pakar tersebut, maka kompetensi terbentuk dari proses berpikir dan pengalaman hidup seseorang, tetapi tidak selalu permanen sehingga kompetensi perlu selalu ditingkatkan. Pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dan diperbaiki yaitu dengan cara pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan yang disebut kapasitas diri, agar seseorang mampu memiliki kecerdasan profesional (teknis), kecerdasan personal, dan kecerdasan manajerial (pengelolaan).

Kompetensi Teknis Budidaya Kakao

Menurut Suparno dan Suhaenah (2001:11-12), bahwa kemampuan sebagai kompetensi teknis merupakan tindakan mekanis yang setiap kali diterapkan menggunakan cara yang sama. Bila berhubungan dengan kata profesional seseorang dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda, terkandung tanggungjawab untuk membuat suatu keputusan.

Kecerdasan teknis diperlukan mengingat teknologi baru senantiasa berkembang, dan kecerdasan antar pribadi berupaya untuk memperbaiki interaksi, komunikasi, dan menghargai keragaman budaya/etnik. Kecerdasan manajerial (pengelolaan) bertujuan mempertajam logika, penalaran, dan keterampilan mendefinisikan masalah, menilai sebab akibat, mengembangkan alternatif sebagai bentuk kompetensi agribisnis petani kakao yang dapat diukur dari aspek kompetensi teknis budidaya dan kompetensi pengelolaan usahatani yang dimiliki

petani terkristalisasi dalam wujud perilaku agribisnis kakao untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering.

Kompetensi yang menyangkut teknis budidaya tanaman perkebunan seperti komoditi kakao, haruslah memenuhi persyaratan faktor-faktor ekologi (tanah dan iklim) yang sesuai dengan persyaratan sifat tumbuh tanaman yang akan dibudidayakan dan kondisi lokasi perkebunan. Lokasi yang berdekatan dengan sentra produksi umumnya daerah penyebaran perkebunan rakyat, sehingga memberi beberapa keuntungan yaitu: dapat menampung hasil perkebunan rakyat disekitarnya, dapat menjamin kontinuitas produksi yang diminta pasar, dan memperkecil biaya pengangkutan (Tim Penulis PS, 2008:25).

Kompetensi teknis budidaya kakao yang perlu dimiliki petani untuk melakukan kegiatan agribisnis kakao agar memperoleh produksi yang optimal dan mutu kakao yang baik dalam usahatani lahan kering, meliputi kemampuan- kemampuan budidaya kakao, yaitu:

(1) Kemampuan Menyiapkan Sarana Produksi Usahatani

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:999), Sarana secara harfiah diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:67) bahwa sarana usahatani meliputi; tanah atau lahan, pupuk, benih bersertifikat, alat penyemprot, bahan bangunan, mesin pertanian dan subsidi produksi. Mosher (1981:115) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus, diantaranya adalah bibit, pupuk, pestisida, makanan dan obat ternak serta perkakas.

Siregar dkk (2000:63) menyatakan bahwa untuk menanam kakao diperlukan dua bentuk pengelolaan pembibitan, yaitu pembibitan pohon pelindung tetap dan pembibitan tanaman kakao itu sendiri. Pembibitan kakao akan berbeda pengelolaannya bila bahan yang dimanfaat sebagai bibit juga berbeda. Bibit yang berasal dari biji lebih ringan pengelolaannya dari pada bibit yang berupa setek atau penyusuan (grafting). Bibit okulasi umumnya dilakukan setelah batang bawah ditanam di areal pertanaman, tetapi bila pelaksanaan okulasi di polybag

Kemampuan menyiapkan sarana produksi usahatani dalam agribisnis kakao, sangat ditekankan pada penyediaan bibit tanaman kakao yang unggul, di samping pupuk, pestisida, dan peralatan produksi pertanian. Petani yang

Dokumen terkait