• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buah adalah bahan makanan yang kaya akan vitamin, mineral, lemak protein dan serat yang mempunyai keunikan dan daya tarik tersendiri, seperti rasa yang lezat, aroma yang khas, serta warna atau bentuk yang mengandung estetis (Sjaifullah, 1996). Kriteria yang sering digunakan dalam memilih buah segar antara lain : secara fisik, kimiawi, fisiologi dan organoleptik.

Buah mudah sekali mengalami perubahan fisiologis, kimia dan fisik bila tidak ditangani secara tepat. Akibatnya,mutu akan turun drastis, buah menjadi tidak segar lagi dalam waktu singkat Sahutu, 2004).

Faktor yang terpenting dalam pengolahan buah-buahan adalah sifat klimaterik atau non klimaterik dari buah yang bersangkutan (Winarno dan Wikartakusuma, 1981). Buah dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan pola produksi dan jumlah gas CO2, yaitu:

1. Buah Klimaterik

Buah klimaterik adalah buah yang ditandai dengan produksi CO2 yang tinggi dan meningkat tajam pada akhir pertumbuhan dan perkembangan buah serta diikuti dengan perubahan yang nyata atas komposisi dan teksturnya. Contoh buah klimaterik adalah apel, pisang, mangga, alpukat, pepaya, tomat.

2. Buah Non Klimaterik

Buah non klimataerik ditandai dengan tingkat produksi CO2yang rendah dan relatif terus menurun serta tidak diikuti dengan perubahan komposisi buah yang nyata selama proses perkembangannya berlangsung. Jenis buah tersebut adalah semangka, ketimun, jeruk, nenas, anggur, arbei dan lain-lain.

Mutu Buah dan Penanganan Pasca Panen

Selama proses pematangan pada buah segar, akan terjadi beberapa perubahan mutu buah. Umumnya perubahan yang terjadi secara fisik dan kimiawi. Perubahan fisik meliputi warna dan tekstur, sedangkan perubahan kimiawi terdiri dari perubahan kadar air, keasaman/pH, kandungan gula, kandungan vitamin C dan asam-asam organik.

Perubahan Fisik Buah

Perubahan fisik buah-buahan yang menonjol selama proses pematangan adalah warna dan tekstur. Perubahan warna merupakan salah satu perubahan yang sangat menonjol pada proses pematangan. Perubahan warna pada buah-buahan merupakan proses sintesis dari suatu pigmen tertentu, seperti karotenoid dan flavonoid, disamping terjadinya perombakan klorofil. Warna pada buah segar dikelompokkan dalam empat kelompok besar, yaitu : klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid (Winarno dan Wirakartakusuma, 1981).

Perubahan warna pada buah-buahan segar dijadikan sebagai kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan mutu buah. Perubahan warna pada buah-buahan berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan pengaruh perubahan kimiawi dan fisiologis selama proses pematangan.

Tekstur buah-buahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tekanan turgor, ukuran dan bentuk sel, adanya jaringan penunjang dan susunan jaringan. Turgor adalah tekanan dari isi sel terhadap dinding sel sehingga sel ada pada volume normal, tetapi dapat terjadi pertukaran senyawa (Pantastico, 1986).

Perubahan Kandungan Kimia

Menurut Winarno dan Wirakartakusuma (1981), perubahan kimiawi pada buah segar yang umum terjadi selama pematangan adalah perubahan gula, kadar asam dan vitamin C. Buah-buahan yang masih mentah kandungan vitamin C lebih tinggi dibandingkan dengan buah-buahan yang sudah tua. Kadar vitamin C pada buah akan meningkat pada saat buah tua sampai masak, dan akan menurun pada tingkat kemasakan buah terlampaui. Oleh karena itu, kandungan vitamin C pada buah segar dapat digunakan sebagai indikator kematangan buah. Kandungan vitamin C pada buah segar dipengaruhi oleh jenis buah, kondisi pertumbuhan, tingkat kematangan saat panen dan penanganan pasca panen.

Penanganan Pasca Panen

Waktu panen merupakan faktor penentu untuk mendapatkan produk buah segar dengan mutu baik. Terdapat beberapa cara penentuan derajat ketuaan atau umur buah (Pantastico, 1986), yaitu :

1. Secara visual; ditandai dengan terjadinya perubahan warna kulit, kilap kulit dan ukuran buah.

2. Secara kandungan kimiawi; contohnya dengan mengukur total padatan terlarut.

3. Penentuan umur buah; yaitu dengan menghitung umur buah sejak bunga mekar atau terbentuk bunga.

4. Secara fisiologis; yaitu dengan mengukur laju respirasi buah.

Untuk meminimalkan kerusakan buah segar setelah panen, maka penanganan pasca panen harus dilakukan dengan tepat. Penanganan pasca panen yang umum dilakukan meliputi:

1. Sortasi dan Grading

Sortasi adalah kegiatan untuk memisahkan komoditas atas dasar perbedaan faktor mutunya. Tujuan dilakukan sortasi adalah untuk memperoleh komoditas yang baik dan seragam. Prinsip pemisahan sortasi didasarkan pada: perbedaan ukuran, perbedaan bentuk, perbedaan warna, dan lain-lain. Grading adalah kegiatan menyatukan komoditas berdasarkan keseragaman ukuran, warna dan lain-lain.

2. Pengemasan

Pengemasan adalah proses penempatkan komoditas pada suatu wadah. Bentuk dan ukuran wadah harus sedemikian rupa, sehingga melindungi komoditas yang dikemas dari berbagai penyebab kerusakan.

3. Pengangkutan/Transportasi

Proses pengangkutan produk-produk hasil pertanian harus dipandang sebagai suatu sistem. Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan sistem pengangkutan buah segar, antara lain: waktu dan jarak dari pasar, kondisi produk yang diangkut, perlakuan sebelum pengangkutan, harga komoditas dan biaya transportasi.

Jus

Jus dapat didefinisikan sebagai cairan yang diperas dengan tekanan, alat atau alat mekanis lain dari bagian yang dapat dimakan dari buah. Jus seringkali keruh, mengandung komponen-kompnonen seluler dalam suspensi koloidal dengan beberapa jumlah jaringan yang terpecah dengan baik. Jus juga

mengandung material berminyak dan berlilin, pigmen karotenoid yang berasal dari kulit atau daging buah (Varman dan Sutherland, 1994).

Tahap-tahap pengolahan jus buah secara umum adalah pemilihan dan penentuan kematangan buah, pencucian dan sortasi, ekstraksi, homogenasasi, penyaringan, deaerasi, pengawetan dan pembotolan atau pengalengan. Untuk buah-buahan tertentu, dapat dilakukan modifikasi terhadap pengolahan tersebut, tergantung pada sifat buah dan jus yang diinginkan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan jus buah antara lain, buah yang digunakan haruslah segar, banyak tersedia dan mengandung kadar air yang tinggi (juicy), tidak hambar serta tidak rusak dan tidak busuk (Ashurst, 1995).

Cara penyimpanan bahan atau produk pangan adalah dengan cara penyimpanan dingin (chilling storage) dibawah 15oC dan di atas titik beku bahan/produk. Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu jus buah, disamping penambahan zat-zat pengawet kimia dan konsetrasi gula yang tinggi. Pendinginan akan menurunkan laju pertumbuhan mikroba pada bahan produk yang disimpan. Menurut Pollard dan Timberlake (1974), suhu penyimpanan yang ideal bagi jus buah adalah 5,4 – 14,4oC. Suhu rendah diatas suhu pembekuan dan dibawah 15oC dapat mengurangi laju metabolisme. Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -2oC sampai 10oC diharapkan dapat memperpanjang masa simpan produk pangan. Suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba.

Perencanaan Produksi

Perencanaan produksi adalah perencanaan dan pengorganisasian sebelumnya mengenai orang-orang, bahan-bahan, mesin dan peralatan serta modal yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang pada periode tertentu di masa depan sesuai dengan yang diperkirakan atau yang diramalkan menurut data masa lalu. Barang-barang yang direncanakan akan diproduksi pada suatu periode di masa depan harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 1) barang tersebut harus dapat diproduksi atau dibuat pada waktu itu, 2) barang tersebut harus dapat dikerjakan dengan/oleh pabrik ini, 3) barang tersebut harus dapat memenuhi keinginan pembeli sesuai dengan ramalan baik mengenai harga, kuantitas, kualitas

dan waktu yang dibutuhkan (Assauri, 1993). Tujuan dari perencanaan produksi adalah semata-mata dimaksudkan untuk mengkoordinasikan kegiatan bagian yang langsung atau tidak langsung dalam proses produksi, sehingga perusahaan tersebut menghasilkan barang atau jasa dengan efektif dan efisien.

Perencanaan dan pengendalian produksi dilakukan dengan maksud memenuhi permintaan pada tingkat biaya yang minimum. Kegiatan produksi sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku dan jumlah permintaan. Bahan baku sebagai masukan akan diproses untuk menghasilkan produk. Pasokan bahan baku dalam agroindustri mempunyai karakteristik musiman, mudah rusak, beragam, dan bulky. Perencanaan dan pengendalian produksi akan berperan dengan memperhatikan karakteristik tersebut melalui pengelolaan persediaan, kapasitas dan penjadwalan. Pengelolaan persediaan bertujuan minimisasi biaya dan kerusakan produk atau bahan, perencanaan kapasitas dimaksudkan untuk menjamin kelancaran proses produksi dan penjadwalan ditujukan untuk menjaga kualitas dan tingkat persediaan yang minimum.

Perancangan sistem perencanaan dan pengendalian produksi untuk agroindustri tentunya harus memperhatikan karakteristik dari bahan baku yang khas tersebut. Faktor musiman bahan baku mengharuskan pentingnya melakukan perencanaan produksi dan penjadwalan produksi. Jumlah ketersediaan bahan baku buah segar dan sifatperishablemengharuskan sistem persediaan bahan baku buah segar yang memperhatikan resiko penurunan mutu buah. Karakteristik inilah yang penting diperhatikan dalam merancang sebuah sistem perencanaan dan pengendalian produksi di agroindustri.

Perencanaan produksi mencakup perencanaan terhadap output dan input dari operasi manufaktur yang dikelompokkan dalam dua jenis perencanaan yaitu : perencanaan prioritas (priority planning) yang berkaitan dengan perencanaan output dan perencanaan kapasitas (capacity planning) yang berkaitan dengan perencanaan input. Perencanaan prioritas menentukan produk-produk atau prioritas-prioritas dari operasi manufakturing untuk memenuhi permintaan pasar, seperti produk apa yang dibutuhkan, berapa banyak yang dibutuhkan, bilamana dibutuhkan termasuk spesifikasi kualitas dan lain-lain. Perencanaan kapasitas menentukan sumber sumberdaya (input) atau tingkat kapasitas yang dibutuhkan

oleh operasi manufakturing untuk memenuhi jadwal produksi atau output yang diinginkan, membandingkan kebutuhan produksi dengan kapasitas yang tersedia, dan menyesuaikan tingkat kapasitas atau jadwal produksi (Gasperz, 2002).

Scott (1994) berpendapat perencanaan produksi didasarkan pada peramalan permintaan, yang diambil dari analisis penjualan masa lalu dan target produksi yang diperoleh dari data rencana bisnis perusahaan. Hasil dari perencanaan produksi menggambarkan angka/jumlah produksi pada waktu yang akan datang. Bagan perencanaan produksi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan perencanaan produksi (Scott, 1994)

Pahl et al (2008) mengatakan kendala utama dalam memproduksi suatu barang adalah umur simpan (lifetime), sehingga perusahaan harus memperhatikan hal tersebut dalam produksi dan distribusinya. Gambar 2 menunjukkan aliran bahan baku dalam rantai pasokan yang akan menggambarkan kerusakan pada setiap segmen.

Kerusakan bahan baku mempunyai pengaruh besar kelancaran produksi, tidak hanya pada manajemen persediaan tetapi pada setiap daerah produksi dimana barang-barang tersebut mengalami penyimpanan atau terpaksa menunggu karena persoalan teknis atau gangguan dalam proses produksi. Masalah kekurangan dan kelangkaan pasokan bahan baku merupakan masalah utama pada industri pengolahan hasil pertanian.

Gambar 2 Aliran bahan baku dalam rantai pasokan (Pahlet al., 2008) Aspek mudah rusak (perishablity) dari produk sangat penting dalam pembuatan model persediaan, dimana hal tersebut dijadikan kendala dalam pembuatan model matematika untuk berbagai perspektif perencanaan produksi, misalnya aspek pemesanan, manajemen persediaan,lot size, dan rencana produksi agregat. Model matematika yang dibuat dengan mendekati keadaan yang nyata. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pembuatan model perencanaan produksi yang mempertimbangkan faktorperishability,antara lain:

○ Umur simpan bersifat tetap atau acak

○ Rata-rata nilai penurunan umur simpan bersifat konstan

○ Permintaan bersifatdeterministic/probalisticdan konstan

○ Jumlah item tunggal atau banyak

○ Periode waktu tunggal atau beberapa periode

○ Tidak terdapatshortage

Perencanaan Produksi Agregat

Heizer and Render (2005) menyatakan bahwa perencanaan produksi agregat adalah perencanaan kuantitas produk dan pengaturan waktu produksi selama periode waktu tertentu (biasanya antara 3 bulan sampai 1 tahun). Perusahaan akan menentukan langkah terbaik untuk memenuhi prediksi

permintaan dengan menyesuaikan dengan tingkat produksi, tenaga kerja, persediaan dan variabel-variabel lain yang dapat dikendalikan. Tujuan dari perencanaan produksi agregat yaitu meminimalkan biaya produksi.

Proses perencanaan produksi dapat didasarkan pada tiga komponen yaitu pesanan pelanggan (produksi untuk pesanan), peramalan permintaan (produksi untuk pengendalian), dan permintaan bagian pelayanan (produksi untuk komponen pengganti). Berdasarkan pesanan pelanggan, peramalan pemintaan dan permintaan bagi pelayanan dihasilkan jadwal induk produksi. Jadwal induk produksi adalah suatu rencana terperinci tentang jenis dan jumlah produk yang akan dihasilkan dalam satu periode (biasanya minggu).

Perencanaan agregat merupakan bagian dari suatu sistem perencanaan produksi yang lebih besar. Gambar 3 menunjukkan bahwa manajer operasional tidak hanya menerima input dari prediksi permintaan bagian pemasaran, tetapi harus berhadapan pula dengan data keuangan, personel, kapasitas dan ketersediaan bahan baku. Dalam sebuanh lingkungan manufaktur, proses untuk menguraikan rencana lebih terinci disebut disagregasi. Disagregasi menghasilkan sebuah jadwal induk produksi (master production schedule), yang menyediakan input bagi sistem perencanaan kebutuhan material (material requirement planning –MRPsystem).

Bedworth dan Bailey (1990) menyatakan bahwa metode yang digunakan dalam penyelesaian perencanaan produksi agregat pada umumnya dikelompokkan dalam dua metode yaitu metode matematika dan metode heuristik yang masing-masing terdiri atas:

1. Metode Matematika

a. Metode pemrograman linier b. Metode transportasi

c. Metode aturan keputusan linier 2. Metode Heuristik

a. Metode koefisien manajemen b. Metode grafik

Gambar 3 Hubungan perencanaan produksi agregat dan jadwal induk produksi (Heizer and Render, 2005)

Techawiboonwong dan Yenradee (2002) memanfaatkan spreadsheet solver sebagai sistem penunjang keputusan dalam perencanaan produksi. Model

spreadsheet solver dianggap sangat aplikatif untuk industri dengan beberapa alasan: (1) telah tersedia sebagai perangkat lunak didalam komputer, (2) model perencanaan produksi relatif lebih mudah diformulasikan padaspreadsheet solver, dan (3) hasil keluaran spreadsheet solver sangat mudah diinterpretasikan. Pada kajian ini dikembangkan terlebih dahulu formulasi dari setiap komponen perencanaan produksi meliputi tenaga kerja permanen, status persediaan setiap periode, kuantitas produksi, batasan jam lembur, tenaga kerja sesaat (temporary), produksi sub kontrak dengan fungsi obyektif minimisasi total biaya tenaga kerja, lembur, sub kontrak, produksi dan persediaan. Model ini memang digunakan khususnya untuk industri manufaktur. Model ini tidak bisa diterapkan untuk perencanaan produksi di agroindustri karena tidak memasukkan sifat perishable

dari bahan baku atau produk yang dihasilkan. Disamping itu, formulasi model masih menggunakaan kebijakan yang ditetapkan untuk batasan sumber daya yang digunakan seperti batas maksimum persediaan yang diizinkan, jumlah tenaga kerja minimum dan maksimum ataupun beberapa faktor lainnya. Untuk perencanaan produksi bidang agroindustri, salah satu karakteristik yang dibutuhkan dalam formulasi adalah faktor rendemen yang akan mempengaruhi kuantitas produksi. Model yang dikembangkan ini diselesaikan menggunakan teknik penyelesaian program linier yang telah disiapkan dalamspreadsheet solver tools.

Model-model perencanaan produksi sering menggunakan obyektif tunggal seperti minimisasi total biaya atau maksimisasi total pendapatan. Model kriteria majemuk dalam perencanaan produksi telah menjadi perhatian untuk mengatasi keterbatasan model obyektif tunggal. Filho et al. (2006) mengembangkan model perencanaa agregat dengan obyektif majemuk yang khusus untuk industri manufaktur. Kelebihan dari pemodelan ini adalah upaya melibatkan strategi manufaktur dalam merumuskan obyektif. Walaupun model yang dikembangkan lebih menekankan pada teknik formulasi obyektif berbasis strategi manufaktur, namun muatan formulasi masih belum memperlihatkan aspek-aspek khusus yang membedakannya dari model-model yang sudah ada.

Tsobune et al. (1986) secara khusus mengembangkan model produksi untuk produk agroindustri dengan komponen sistem produksi terdiri dari persediaan bahan baku, proses barang setengah jadi, proses akhir produk, persediaan barang setengah jadi, dan persediaan produk akhir. Model ini sangat baik karena mampu merepresentasikan secara umum karakteristik agroindustri dengan fokus pada sifat perishable komoditas. Model diselesaikan melalui pembangunan aturan-aturan produksi dengan keluaran besar kapasitas yang terbaik. Model ini masih berpeluang untuk dikembangkan khususnya dalam mengembangkan algoritma penyelesaian model.

Model obyektif majemuk untuk perencanaan produksi juga menjadi perhatian saat ini. Perencanaan produksi agregat selama ini masih menggunakan obyektif tunggal yaitu total biaya dianggap belum mampu mewakili kondisi nyata dan kebutuhan meskipun telah memasukkan unsur tenaga kerja, persediaan, dan

jumlah produksi. Fors et al. (2007) menggunakan obyektif selain total biaya adalah efektifitas penggunaan peralatan. Penyelesaian model menggunakan kombinasi antara goal programming dan algoritma genetika. Model terlebih dahulu diformulasikan menjadi bentuk goal programming dan dilanjutkan penyelesaiannya dengan algoritma genetika. Model yang dikembangkan tidak spesifik pada industri tertentu. Konsep berpikir dari model ini menjadi peluang untuk pengembangannya kearah tipe industri yang spesifik sehingga nilai terapannya dapat lebih baik.

Muramatsu dan Soshiroda (1986), telah merancang bangun sistem produksi yang efisien untuk bahan baku yang mudah rusak (perishable) yang diproses menjadi beberapa produk akhir. Model ini akan menjelaskan hubungan antara kapasitas produksi dan persediaan penyangga (buffer inventory) sebagai kontrol. Kedua hal tersebut akan dibatasi oleh kerusakan bahan baku akibat panen dan kekurangan persediaan produk akhir.

Permasalahan utama dalam mendesain sistem produksi agroindustri adalah dalam menentukan kapasitas produksi, akibat terjadinya kerusakan bahan baku hasil panen. Selain itu, bagaimana memuat desain perencanaan produksi untuk meminimalkan jumlah persediaan produk akhir. Tahapan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah (1) menjelaskan hubungan antara kapasitas produksi dan persediaan penyangga yang dijadikan kontrol, (2) menganalisis bagaimana perencanaan produksi yang akan mempengaruhi rata-rata persediaan produk akhir, dan (3) memberikan contoh untuk desain sistem produksi yang efisien.

Periode waktu pemanenan bahan baku adalah (T) hari dari total hari (U) dalam setahun (365 hari). Hari pertama adalah 1, nilai ekspektasi (expected value) adalah jumlah harian selama panen (T) yang diketahui dari data empiris, tetapi nilai aktual dipengaruhi oleh fluktuasi yang tidak terkontrol. Kerusakan bahan baku diasumsikan akan membusuk setelah (L) hari. Jumlah pemanenan diasumsikan sebagai berikut:

Kendala:

(2)

dimana:

Xt : Jumlah panen pada hari ke (t) selama (T) hari (ton) : Nilai harapan jumlah panen pada hari (t) (ton)

εt : Nilai fluktuasi jumlah panen pada hari (t) (ton) tr : Puncak hari panen tertinggi (1≤tr≤te)

te : Hari terakhir periode panen

tc : Hari pertama panen pada musim panen berikutnya (tahun yang akan datang)

Proses produksi sampai menjadi produk akhir (proses A), selain itu terdapat juga proses produksi menjadi produk setengah jadi (proses B) untuk mengurangi kerusakan alami dan mempersiapkan bahan baku dalam waktu yang lebih lama. Sistem FIFO (first in first out) untuk memproses bahan baku yang digunakan. Skema sistem produksi dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:

Gambar 4 Sistem produksi (Muramatsu dan Soshiroda, 1986) Permintaan Produk akhir:

(3)

dimana:

: jumlah permintaan harian produk akhir (i) pada hari ke (t) (ton) : nilai ekspektasi jumlah permintaan harian produk akhir (i) (ton)

: nilai fluktuasi permintaan harian produk akhir (i) (ton)

n : jumlah produk akhir yang diproduksi yang diproduksi langsung dari bahan baku atau dari produk setengah jadi (i = 1,2,3,…n) Nilai ekspektasi tahunan dari permintaan pasar untuk semua jenis produk sama dengan jumlah panen bahan baku dalam semusim. Persamaannya adalah sebagai berikut:

D = Q/U (4)

dimana :

D : nilai ekspektasi dari total permintaan harian untuk n jenis produk akhir (ton)

Q : jumlah panen bahan baku selama T hari (ton) U : satu tahun (365 hari)

Dan

(5) (6)

Jika nilai ekspektasi permintaan harian melebihi nilai ekspektasi jumlah panen harian bahan baku pada setiap musim panen, maka harus dilakukan persediaan. Simbol persediaan produk akhir dimuali pada hari (0) dimana dapat tetap memenuhi permintaan sampai nilai ekspektasi panen melebihi nilai ekspektasi permintaan.

(7) (8)

Fungsi Tujuan dari sistem produksi adalah sebagai berikut:

(9) (10) (11)

dimana:

OB : ratio kerusakan akibat pemanenan bahan baku

ŋ : rasio kekurangan produk akhir terhadap permintaan pasar CtA : kapasitas proses pada proses A (ton/hari)

CtB : kapasitas proses pada proses B (ton/hari) IA : rata-rata persediaan produk akhir

: persediaan bahan baku pada hari terakhir (l-1) dimana sisa bahan baku untuk L hari setelah pemanenan

: jumlah produk akhir (i) yang langsung diproses dari bahan baku pada hari ke (t), melalui proses A (ton)

: jumlah bahan baku setengah jadi pada hari ke (t) proses B (ton) : jumlah persediaan produk akhir (i) pada hari terakhit t (ton) Dan

(12)

dimana:

: jumlah produk akhir (i) yang diproses dari bahan baku ataupun dari bahan setengah jadi pada hari ke (t) melalui proses A (ton) : sisa produk akhir (i) untuk permintaan pada hari ke (t) (ton) Jadi:

(13)

Terdapat dua aturan perencanaan produksi yang akan memberikan pengaruh terhadap fungsi objektif.

Aturan 1:

Proses A akan selalu beroperasi penuh selama bahan baku atau bahan setengah jadi terdapat sisa untuk disimpan, dimana kapasitas proses A dialokasikan untuk memproduksi produk akhir yang sesuai dengan proposi dari nilai ekspektasi permintaan pasar. Jumlah proses harian produk akhir (i) pada hari ke (t) adalah:

     

n i R i t R L t t B B t C X I P P 1 ) ( . . . min 

 

                      

n i i t i i A t n n A i t i t I d C C I d 1 ) ( 1 ) ( ) ( 1 ) ( 1 ) ( ) ( /                

 

L t n i B t R i t t t R t X I j P P I 1 1 1 ) ( 2 1 1 max .( ) . (14) dimana:

: persediaan bahan baku hasil panaen pada hari terakhir (t-1) (ton) : persediaan produk setengah jadi pada hari terakhir (t-1) (ton)

Aturan 2:

Jumlah proses harian produk akhir melalui proses A yang harus disesuaikan atau dikoreksi dalam control persediaan produk akhir.

(15)

dimana:

: persediaan penyangga produk akhior (i) yang dapat dijadikan mengatasi kekurangan permintaan (ton)

γt : koefisien penyesuaian terhadap permintaan harian yang akan diproses akan disesuaikan tetapi tidak boleh melebihi kapasitas proses A, itu terjadi jika:

(16)

atau jika:

(17)

Seperti aturan 1 dan aturan 2, untuk di jelaskan sebagai sebagai berikut:

(18)

  

              L j n i n i R i t i j B j B t P P P I 1 1 1 1 (20)

Asmundsson et. al (2002) menyatakan bahwa pemrograman model matematika digunakan untuk perencanaan produksi agregat, model antrian dan penggunaan model simulasi untuk analisis performa. Model antrian digunakan untuk menunjukkan performa misalnya waktu tunggu (lead time) yang dipengaruhi oleh beban kerja pada sistem dengan kapasitas dan kegunaannya. Model perencanaan produksi agregat yang dimiliki merupakan bentuk dasar. Dalam merencanakan produksi menggunakan prakiraan jumlah permintaan beberapa periode waktu dan mengestimasi waktu tunggu tetap.

Framework model matematika untuk sistem model kapasitas adalah nonlinier yang menunjukkan hubungan antara beban kerja dengan waktu tunggu.

Clearing function digunakan untuk mendefinisikan kendala kapasitas sebagai fungsi persediaan dalam proses (WIP/work in process). Waktu tunggu pemesanan diasumsikan tetap ketika WIP meningkat, kapasitas akan meningkat secara proporsional. Untuk mempertahankan waktu tunggu tidak tergantung pada beban kerja yang diasumsikan kapasitas tidak terbatas sehingga kapasitas menjadi proporsional terhadap WIP (dapat dilihat pada Gambar 5clearing function).

Gambar 5 Framework Hubungan antara kapasitas, WIP danlead time

(Karmarkar, 1989 dalam Asmundsson, 2002).

Asmundsson et. al (2002) telah mengembangkan suatu model dengan pemanenan komoditas yang mempertimbangkan faktor kerusakan setelah panen. Tujuan dari pengembangan model adalah untuk meminimalkan sistem persediaan.