• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha ternak sapi secara tradisional dikelola secara tradisional petani peterbak dan anggota keluarganya dan menjadi tumpuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pengembangan usaha ternak sapi sebagai usaha keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pendidikan, penggunaan input, pemasaran, kredit, kebijakan, perencanaan, penyuluhan dan penelitian. Pendidikan anggota rumah tangga petani peternak dapat mempengaruhi keputusan produksi. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin mudah anggota keluarga mengadopsi teknologi sehingga mereka dapat meningkatkan produksi secara rasional untuk mencapai keuntungan yang maksimum (Chavas et al, 2005).

Input pertanian yang digunakan berupa lahan, bibit, pakan, tenaga kerja dan modal. Alokasi penggunaan input secara efisien mempengaruhi produktivitas usaha ternak. Lahan pertanian yang makin berkurang akibat beralih fungsi menjadi pemukiman menyebabkan petani peternak harus mempunyai alternatif usaha untuk meningkatkan pendapatan, antara lain dengan mengatur pola tanam secara bergantian maupun campuran. Alternatif laian adalah meningkatkan usaha ternak sapi melalui integrasi sapi dengan tanaman pangan aatau dengan tanaman perkebunan. Pengembangan peternakan dapat dapat melalui diversifikasi ternak sapi dengan lahan persawahan, perkebunan dan tambak. Penerapan pola usaha tani padi sawah – sapi potong dapat meningkatkan produksi dan keuntungan petani berlahan sempit (Elly et al, 2008).

Pengembangan usaha ternak sapi dari tradisional ke semiintensif perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain modal dan tenaga kerja yang profesional.

Contohnya usaha ternak secara intensif seperti perusahaan peternakan sapi potong di Sukabumi. Perusahaan ini melakukan impor bibit menggunakan tenaga profesional dan memberikan pakan konsentrat (Nefri, 2000).

Daya Saing Usaha Peternakan

Pada dasawarsa 1990-an mulai terjadi revolusi peternakan dan diperkirakan akan terus berlangsung dalam 20 tahun ke depan, dan ini berbeda dengan revolusi hijau yang mesin penggerak utamanya adalah inovasi teknologi pada sisi produksi yaitu penemuan varitas baru yang berumur pendek, maka penggerak utama revolusi peternakan adalah peningkatan pada sisi permintaan.

Permintaan akan produk peternakan di pasar domestik diperkirakan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan pertumbuhan jumlah penduduk (Pantjar dan Prajogo, 2004). Usaha-usaha pengembangbiakan ternak jua telah dilakukan baik pada pembentukan breed silang maupun persilangan antar bos, akan tetapi Indonesia sampai 2020 diperkirakan masih akan mengalami difisit produksi daging sekitar 2,7 juta ton (Rutledge, 2004).

Produksi daging pada tahun 1998 berjumlah 1.228.500 ton dan sekitar 27,89% dari sejumlah tersebut berupa daging sapi (Ditjen Peternakan, 1999).

Permintaan daging sapi yang semakin meningkat akan menjadi perhatian pemerintah yang ingin memberdayakan peternakan rakyat dengan memberikan porsi 90% untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Oleh karena itu perlu diperlukan suatu teknologi penggemukan sapi yang mampu diadopsi oleh peternakan rakyat, keberhasilan dalam meningkatkan produksi dalam usaha penggemukan sapi dapat dicapai melalui rekayasa berbagai faktor produksi (Soehardji, 1995).

Matatula (1997) menyatakan bahwa peternakan rakyat memiliki posisi strategis sebagai tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak.

Sarwono dan Arianto (2001) menyatakan bahwa peternakan yang berasal dari peternakan rakyat rata-rata belum mencapai bobot yang maksimal ketika dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), persentase karkas masih kurang dari 50%. Lebih lanjut dikatakan bahwa kalau sapi digemukkan lebih dahulu selama 2-3 bulan sebelum dipotong diperkirakan persentase karkas dari 45% - 50% menjadi 56%.

Wirdahayati et al, (1999) menyatakan bahwa peluang untuk mengoptimalkan pertumbuhan ternak masih memungkinkan mengingat perkembang sapi mampu tumbuh dengan baik apabila dikelola dengan baik disertai peningkatan mutu dan jumlah pakan ternak. Untuk menunjang pengemukan sapi potdisi petani perlu upaya perbaikan manajemen dan pemberian pakan (Haryanto et al, 2002).

Produktivitas Sapi Potong

Dalam menunjang pembangunan peternakan, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Upaya ini dilakukan dengan membuka peluang investasi dan pasar sekaligus mengembangkan investasi nasional dengan meningkatkan peran swasta dalam pembangunan peternakan serta memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal (Direktorat Pengembangan Peternakan 2004).

Pemerintah sebagai motivator, akselerator, regulator, fasilitator, dan promotor sangat berperan dalam pembangunan peternakan. Pemerintah telah menempuh berbagai cara, namun pembangunan peternakan sangat terkait dengan sumber daya yang ada sehingga kebijakan pemerintah perlu didasarkan pada potensi daerah (Elly et al, 2008).

Menurut Sudardjat (2004), Upaya untuk meningkakan produksivitas sapi potong dalam memenuhi konsumsi daging masyarakat dibutuhkan pendekatan yang mengintegrasikan aspek teknis, ekonomi dan sosial secara terpadu dalam paket program. Prinsip yang perlu dianut adalah azas kelestarian sumberdaya ternak nasional (populasi), azas keseimbangan (suplai-demand), dan azas kemandirian (mengurangi impor).

Musyafak dan Ibrahim (2005), menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yaitu melalui adopsi teknologi pertanian termasuk teknologi dalam peternakan sapi potong adalah memilih inovasi teknologi tepat guna yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan. Inovasi akan menjadi kebutuhan petani apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani. Cara menemukan teknologi dengan kriteria ini adalah (a)mengidentifikasi masalah petani secara benar, dan (b) memberikan solusi masalah tersebut dengan inovasi (teknologi).

b. Teknologi harus memberi keuntungan secara konkrit bagi petani. Inovasi (teknologi) yang akan diterapkan hares dijamin akan memberikan keuntungan lebih dibanding inovasi (teknologi) yang sudah ada. Jika hal ini terjadi,

niscaya petani akan mempunyai semangat untuk mengadopsi.

Untuk menemukan inovasi (teknologi) dengan kriteria ini adalah perbandingan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada, dan identifikasi teknologi dengan biaya yang lebih rendah atau teknologi dengan produksi yang lebih tinggi .

c. Teknologi harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada. Teknologi untuk para petani hares menggunakan sumberdaya yang sudah mereka miliki . Kalau sumberdaya dari luar mutlak diperlukan, kita harus memastikan bahwa sumberdaya itu murah, dapat diperoleh secara teratur dengan mudah dari suatu sumber tetap yang dapat diandalkan. Untuk memperoleh teknologi dengan kriteria tersebut, dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi sumberdaya lokal yang tersedia, serta mencari teknologi yang banyak mamanfatkan sumberdaya lokal tersebut .

d. Teknologi harus terjangkau oleh kemampuan finansial peternak . kendala adopsi yang datang secara internal dari inovasi itu sendiri adalah inovasi tersebut dirasakan mahal oleh petani. Sedangkan kendala adopsi dari luar inovasi itu sendiri adalah orientasi usaha, pasar, dan ketersediaan sarana pendukung (saprodi, dll) . Sebagus apapun teknologi kalau tidak terjangkau oleh kemampuan finansial petani sebagai pengguna, maka akan susah untuk diadopsi. Apalagi kebanyakan petani relatif miskin, maka inovasi yang dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding inovasi yang mahal.

Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong

Rasyaf (1995) menyatakan bahwa biaya produksi dalam usaha peternakan di bagi atas dua bagian utama yaitu biaya tetap dan biaya variabel, biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan misalnya gaji pegawai bulanan, penyusutan, bunga atas modal, pajak bumi dan bangunan dan lain-lain.

Selanjutnya Mubyarto (1995) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan biaya tetap adalah jenis biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi. Bagi para peternak, pengetahuan dan keahlian yang baik akan pemeliharaan sapi potong juga sangat berpengaruh terhadap kualitas produksi yang dihasilkan, tentunya apabila hasil produksi usaha yang diperoleh sangat baik, maka akan baik pula pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh, sehingga diperkirakan bahwa usaha ternak sapi potong tersebut dapat memberikan kontibusi atau pemasukan yang cukup terhadap pendapatan keluarga.

Keuntungan yang diperoleh petani merupakan hasil dari penjualan ternak sapi potong dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan selama masa produksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Daniel (2002), yang menyatakan bahwa pada setiap akhir panen petani akan menghitung hasil bruto yang diperolehnya. Hasil itu harus dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya.

Setelah semua biaya tersebut dikurangkan barulah petani memperoleh apa yang disebut dengan hasil bersih atau keuntungan.

Kegiatan pengembangan komoditas ternak sapi pada dasarnya adalah kegiatan yang memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah untuk pengembangan pembibitan ternak, budidaya ternak, pengawasan penyakit ternak, pengelolaam serta pemasaran hasil ternak dan pemanfaatan hasil sampingan ternak baik kompos maupun tenaga kerja ternak. Dalam rangka menunjang keberhasilan kegiatan diperlukan adanya peran serta masyarakat peternak maupun kelompok tani ternak. Salah satu model dalam upaya pemberdayaan kelompok tani perlu dilakukan melalui tiga hal pokok yaitu: pertama rakayasa.sosial dengan penguatan kelembagaan tani, kelembagaan penyuluh dan pengembangan sumberdaya manusia; kedua rekayasa ekonomi dengan pengembangan akses permodalan, sarana produksi dan pasar; dan ketiga rekayasa teknologi melalui kesepakatan gabungan antara teknologi anjuran dan kebiasaan petani. (Yohannes, 2003)

Ginting (2006) bahwa permasalahan yang biasa ditemukan di tingkat petani adalah takut resiko rugi baik karena harga jual rendah dan sulit pemasaran dan sistem pemasaran yang belum efisien, ongkos transport yang tinggi sehingga harga jual di tingkat petani tertekan rendah; Akibatnya, perbaikan teknologi hanya sedikit saja berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan/keuntungan petani, sehingga minat petani untuk mengadopsi teknologi baru kurang. Pada umumnya petani mengusahakan pertaniannya masih secara tradisional tanpa atau sangat sedikit mengalami perubahan/perbaikan teknologi .

Menurut Hermanto (1999) masalah kurang tercapainya sasaran peningkatan sumberdaya manusia (petani) termasuk peningkatkan adopsi teknologi peternakan melalui penyuluhan adalah: metode penyuluhan kurang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi petani dan materi yang disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh masalah : (a) interaksi antara penyuluh dan petani kurang intensif; (b) kurangnya penguasaan materi dari penyuluh ; dan (c) rendahnya kepekaan penyuluh terhadap masalah yang terjadi di petani (responsivness).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usaha Penggemukan Sapi Potong

Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging berdasarkan pada peningkatan bobot badan tinggi melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Secara umum penggemukan sapi dapat dilakukan secara dikandangkan (feedlot fattening) dan di padang rumput (pasture fattening). Parameter yang penting diperhatikan dalam operasional usaha feedlot adalah laju pertumbuhan, efisiensi pertambahan bobot badan, nilai konversi pakan yang efisien, produksi karkas dan daging, dan rasio feed cost gain yang ekonomis (Dyer dan O’Mary, 1977).

Menurut Bowker et al. (1978) efisiensi usaha feedlot sangat ditentukan oleh imbangan antara pakan yang dikonsumsi dengan produk yang dihasilkan.

Pakan dengan kualitas yang baik umumnya dapat meningkatkan efisiensi produksi, namun demikian biaya pakan harus diperhitungkan dengan nilai produk yang dihasilkan. Pertambahan bobot badan sapi terkait dengan pertumbuhan ternak. Pertumbuhan menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa.

Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar, dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum, dan mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu menyangkut peningkatan massa persatuan waktu, dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen tubuh (Lawrie, 2003).

Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai, bobot badan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan. Pertumbuhan selanjutnya adalah pertumbuhan negatif atau tidak terjadi lagi penambahan bobot badan bahkan terjadi penurunan bobot badan karena ketuaan (Tulloh, 1978; Edey, 1983).

Dalam suatu usaha ternak sapi potong, faktor produksi juga mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan usaha ternak sapi potong tersebut seperti dalam melaksanakan usahatani lainnya. Untuk menghasilkan suatu hasil produksi yang baik diperlukan kerjasama beberapa faktor produksi yang meliputi lahan, modal, tenaga kerja, dan keahlian peternak, tentunya kombinasi faktor–

faktor produksi tersebut perlu digunakan secara efisien sehingga dapat memberikan keuntungan yang baik bagi para peternak. Keberhasilan pemeliharaan sapi ini sangat ditentukan oleh kualitas sapi bakalan atau bibit yang dipilih serta sistem usaha dan pemeliharaan ternak sapi potong yang dikelola oleh peternak tersebut yang meliputi seleksi jenis bibit, sistem perkandangan, pemberian pakan hijau, pemberian air minum, kebersihan ternak sapi potong dan kandang, serta pemberian obat-obatan (Santoso, 2008).

Bagi para peternak, pengetahuan dan keahlian yang baik akan pemeliharaan sapi potong juga sangat berpengaruh terhadap kualitas produksi yang dihasilkan, tentunya apabila hasil produksi usaha yang diperoleh sangat baik, maka akan baik pula pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh, sehingga diperkirakan bahwa usaha ternak sapi potong tersebut dapat memberikan kontibusi atau pemasukan yang cukup terhadap pendapatan keluarga. Studi terdahulu telah banyak yang membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani dengan berbagai model fungsi produksi yang digunakan. Namun untuk usaha ternak khususnya penggemukan sapi potong masih jarang dan umumnya menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas.

Arfa’i (1992) dan Lutfiadi (1999) telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha ternak sapi potong. Kedua penelitian tersebut menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam analisisnya. Hermawan et al.

(2006) dan Trestini (2006) melakukan penelitian tingkat efisiensi teknis sapi potong menggunakan fungsi produksi frontier. Penelitian Arfa’i (1992) menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan selama pemeliharaan adalah jumlah pemberian konsentrat (P < 0.05), jumlah pemberian hijauan (P < 0.01) dan bangsa sapi yang dipelihara (P < 0.01). Di samping itu penggunaan faktor produksi pada perusahaan yang diamati sudah mencapai tingkat penggunaan yang rasional sedangkan secara ekonomis penggunaan faktor produksi belum efisien. Penelitian Lutfiadi (1999) menghasilkan bahwa telah tercapai efisiensi teknis untuk pemanfaatan konsentrat dan hijauan, sedangkan penggunaan biaya overhead dan tenaga kerja tidak efisien.

Penelitian Trestini (2006) menghasilkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usaha ternak adalah 78.6 persen, yaitu berada antara 30.6 sampai 97.6 persen. Efisiensi teknis berhubungan positif dengan jumlah Livestock Unit (LSU), nilai produksi daging per ekor (LSU), dan pembelian pakan. Sebaliknya efisiensi teknis berkorelasi negatif dengan intensifikasi penggunaan bangunan (kandang) dan tenaga kerja per LSU.

Penelitian Hermawan et al. (2006) menggunakan metode yang berbeda dalam mengukur efisiensi teknis usaha ternak yaitu mengacu pada pendekatan Timmer yang mengukur efisiensi teknis suatu usaha ke-i sebagai rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran potensial pada tingkat penggunaan masukan dalam usahatani i, atau mengukur seberapa banyak kelebihan masukan yang digunakan jika usahatani-i berada dalam frontier. Penelitian tersebut menghasilkan, untuk peternak di Blora, pada usaha ternak sapi, luas lahan berkorelasi positif dengan jumlah sapi, pendapatan, serta efisiensi teknis.

Selanjutnya diperoleh bahwa di Temanggung dan di Blora, jumlah ternak (sapi dan kambing atau domba) dan efisiensi teknis juga berkorelasi positif dengan pendapatan petani. Disimpulkan bahwa efisiensi teknis usaha ternak di dua kabupaten masih rendah (0.23-0.51) dan peranannya sebagai sumber pendapatan petani juga tidak terlalu besar (1.7 persen untuk Blora dan 7.2 persen untuk Temanggung).

Penelitian Elly (2008) mengemukakan bahwa produksi ternak sapi dihitung berdasarkan berat badan ternak sapi, dimana rata-rata produksi ternak sapi selama setahun di Minahasa dan Boolang Mongondow masing-masing sebesar 330.99 kg dan 249.25 kg. Input produksi yang menentukan dalam produksi adalah pakan dan obat-obatan. Kajian terdahulu mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani yaitu Riyanto (1980) dan Afrizal (2009). Penelitian-penelitian tersebut menggunakan model fungsi produski Cobb-Douglas dalam penelitiannya. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada bawang merah di Brebes yang dilakukan oleh Riyanto (1980) menghasilkan bahwa peubah bebas yang digunakan dapat menerangkan keragaman produksi dengan R2 sebesar 94 persen. Semua input tidak tetap berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen, kecuali Urea pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Penelitian lainnya yang juga menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam penelitiannya yaitu penelitian Afrizal (2009) yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menjadi determinan dalam usahatani gambir perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berpengaruh secara nyata sebagai input adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit.

Disamping itu pengalaman petani dalam berusahatani gambir, frekuensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi secara nyata.

Fungsi Produksi Cobb-Douglas juga digunakan dalam penelitian untuk menganalisis efisiensi ekonomis suatu usahatani, seperti yang dilakukan oleh Riyanto (1980) dan Purmiyanti (2002). Penelitian Riyanto (1980) menghasilkan bahwa secara ekonomis penggunaan input belum efisien yang ditunjukkan oleh nilai NPM/BKM tidak sama dengan satu. Penelitian untuk komoditas bawang merah menghasilkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat pendidikan, status garapan, dan varietas bibit berpengaruh terhadap produksi.

Pengujian efisiensi ekonomis (penggunaan input) dilakukan dengan membandingkan Nilai Produk Marginal (VMPxi) dari setiap input terhadap harga input tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio nilai produk marginal terhadap harga masing-masing input dalam produksi bawang merah masih belum efisien.

Selain penelitian yang menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, ada metode lain yang juga dapat digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi suatu usahatani. Utama (2003) melakukan penelitian dengan metode pendekatan fungsi produksi stochastic frontier menggunakan Maximum Likelihood (MLE) menghasilkan bahwa nitrogen, penggunaan tenaga kerja, insektisida, irigasi, dan program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) mempunyai hubungan yang positif dan mempengaruhi secara nyata terhadap produksi. Sebaliknya Rodentisida mempunyai hubungan yang negative dan berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Ini berarti bahwa penggunaan Rodentisida akan menurunkan produksi padi.

Penelitian Sukiyono (2005) yang menggunakan fungsi produksi frontier diduga dengan metode MLE (Maximum Likelihood Estimation) menghasilkan bahwa sebagian besar peubah nyata secara statistik pada setiap tingkat kepercayaan kecuali untuk peubah pupuk urea dan benih yang digunakan. Tingkat efisiensi teknik yang dicapai petani berbeda-beda dari sekitar 7 persen sampai 99 persen dengan rata-rata 65 persen. Namun secara umum tingkat efisiensi teknik yang dicapai oleh petani cabai merah di daerah penelitian cukup tinggi. Singh (2007) menggunakan pendekatan stochastic frontier dalam penelitiannya menghasilkan bahwa estimasi technical eficiency mengindikasikan bahwa usahatani dengan skala yang kecil lebih efisien dibandingkan skala menengah dan besar.

Kebijakan Pemerintah Tentang Pengembangan Sapi Potong

Salah satu faktor yang menghambat kinerja pembangunan peternakan ditanah air adalah kurang tersedianya modal dan kredit untuk bagi para peternak.

Padahal ke depan permintaan akan produk-produk peternakan primer dan olahanyang bernilai tinggi naik dengan pesat. Menurut Hernando de Soto seorang pemikir rakyat dari Peru yang pernah dinobatkan sebagai salah satu inovator Amerika Latin pada majalan ekonomi bergensi The Economist tahun 1999 mengungkapkan bahwa peminjaman kredit yang berpihak pada pengusaha kecil dengan mempermudah aksesmodal kerja akan memajukan perekonomian suatu negara. Pengembangan peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah,masyarakat (peternak skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main,memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternak-peternak melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008).

Secara umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies) pemerintah. Dalam hal ini, kemauan pemerintah ( govermental will ) dan legislatif berperan penting, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Amar, 2008).

Tawaf dan Kuswaryan (2006) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam pembangunan peternakan masih bersifat top down. Kebijakan seperti ini pada akhirnya menyulitkan berbagai pihak tertama stakeholder. Pertanyaannya bagaimana membuat kebijakan publik yang didasarkan hasil riset dengan melibatkan stakeholder dan pembuat kebijakan melalui forum dialog, kemudia hasilnya diagendakan sehingga dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan nasional,regional dan internasional. Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, terencana dan komprehensif, maka peternak akan sulit memperoleh kemudahan akses pada sumber-sumber pembiayaan untuk meningkatkan produktivitas usaha.

Strategi Pengembangan Sapi Potong

Strategi Pengembangan Sapi Potong Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumberdaya (Rangkuti, 2001). Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan sapi potong dapat dilaksanakan dengan tiga pendekatan yaitu ; 1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, 2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi terkait, 3) pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu lahan, pakan, plasma nutfah dan sumberdaya manusia (Gunardi 1998).

Strategi pembangunan peternakan adalah pengembangan wilayah berdasarkan komoditas ternak unggulan, pengembangan kelembagaan petani peternak, peningkatan usaha dan industri peternakan, optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal, pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan ( Pambudy dan Sudardjat, 2000).

Mersyah (2005) menyatakan, untuk meningkatkan produktivitas sapi potong perlu dilakukan pemuliaan terarah melalui perkawinan, baik secara alami maupun melalui Inseminasi Buatan (IB), bergantung pada kondisi setempat.

Selanjutnya Hadi dan Ilham (2002) menyatakan terdapat beberapa permasalahan dalam industri perbibitan sapi potong, yaitu: 1) angka service per conception (S/C) cukup tinggi, mencapai 2,60, karena terbatasnya fasilitas pelayanan (IB), baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator maupun masalah transportasi,

Selanjutnya Hadi dan Ilham (2002) menyatakan terdapat beberapa permasalahan dalam industri perbibitan sapi potong, yaitu: 1) angka service per conception (S/C) cukup tinggi, mencapai 2,60, karena terbatasnya fasilitas pelayanan (IB), baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator maupun masalah transportasi,

Dokumen terkait