• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Klasifikasi dan Morfologi

Tikus sawah (R. argentiventer) digolongkan ke dalam Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, dan Genus Rattus. Tikus sawah mempunyai ciri morfologi yang dapat dibedakan dengan spesies lainnya yaitu memiliki rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman, warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap, bobot badan antara 70-300 gram, panjang badan 130-210 mm, panjang ekor antara 110-160 mm, panjang secara keseluruhan dari kepala sampai ekor 240-370 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, panjang telapak kaki 32-39 mm, formula puting susu 3 + 3 pasang (Priyambodo 2009).

Bioekologi

Tikus sawah mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan sering dijumpai di daerah persawahan. Tanaman padi merupakan pakan utama bagi tikus sawah dan dapat merusak semua stadia pertumbuhan. Jumlah anakan padi yang dikerat oleh seekor tikus sawah dalam semalam tergantung dari musim dan fase pertumbuhan tanaman. Tikus sawah adalah jenis hama pengganggu pertanian utama dan sulit dikendalikan karena tikus ini mampu “belajar” dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelumnya (Permada, 2009).

Tikus menyerang padi pada malam hari, sedangkan pada siang hari tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul irigasi, jalan sawah, pematang dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera, sebagian tikus bermigrasi ke daerah perkampungan dekat sawah dan akan kembali ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), feses, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus dapat berkembangbiak apabila makanannya banyak mengandung zat tepung. Populasi

tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan dan tempat persembunyian yang memadai (Priyambodo 2009).

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Sawah

Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif, tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo 2009).

Tikus dapat menyerang tanaman padi pada berbagai fase tanaman padi. Pada fase vegetatif, tikus akan memutuskan batang padi sehingga tampak berserakan dan tikus akan menggigit lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk makan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus bersifat khas, yaitu ditengah- tengah petakan sawah tampak gundul, sedangkan bagian tepi biasanya tidak diserang. Tikus juga menyerang bedengan persemaian dengan memakan benih- benih yang disebar atau mencabut tanaman-tanaman yang baru tumbuh (Priyambodo 2009). Kehilangan hasil panen akibat serangan tikus sawah hampir selalu terjadi pada setiap musim tanam, di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia. Rata-rata luas serangan tikus sawah pada periode 1994-2005 mencapai 113.514 ha dengan intensitas kerusakan 20% (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2006).

Tikus Rumah (Rattus rattus diardii) Klasifikasi dan Morfologi

Tikus rumah (R. rattus diardii) digolongkan ke dalam Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus Rattus, dan Spesies Rattus rattus dan Subspesies R. rattus diardii (CABI 2005).

Ciri morfologi tikus rumah adalah bentuk badan silindris, tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut pada

bagian dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh berkisar antara 60 sampai 300 gram, ukuran ekor terhadap kepala dan badan bervariasi (lebih pendek, sama, atau panjang). Pada tikus betina memiliki dua pasang puting susu di dada dan tiga pasang di perut (10 buah) (Rochman 1992). Seperti tikus pohon, tikus rumah juga memiliki kemampuan memanjat yang baik. Tikus rumah memiliki kemampuan indera yang sangat menunjang aktivitasnya kecuali penglihatan (Priyambodo 2009).

Bioekologi

Tikus rumah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut hewan kosmopolit. Tikus rumah biasanya hidup di lingkungan perumahan, pasar, dan membuat sarang di atap rumah. Namun apabila bahan makanan berkurang, tikus rumah akan mencari makan di sawah sekitar rumah, gudang, maupun di pekarangan sekitar perumahan. Tikus rumah termasuk hewan arboreal yang dicirikan dengan adanya ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar, tikus mampu memanjat dinding karena ditunjang dari adanya tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar, selain itu dapat meloncat secara horizontal sejauh 240 cm dan meloncat secara vertikal setinggi 77 cm (Priyambodo 2009).

Tikus rumah merupakan hewan yang memiliki kemampuan untuk berkembangbiak dengan cepat dan melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya, tikus rumah memanfaatkan pakan yang mengandung karbohidrat (gula dan pati), lemak, protein, mineral, dan vitamin (Meehan 1984). Tikus termasuk hewan omnivora, menyukai makanan yang berasal dari biji-bijian, buah-buahan, sayur, serealia, daging, ikan, dan telur. Dalam sehari tikus biasanya membutuhkan pakan dalam keadaan kering sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, namun apabila pakan dalam keadaan basah kebutuhan pakan dapat mencapai 15% dari bobot tubuhnya. Tikus rumah biasanya akan mengenali dan mengambil pakan yang telah tersedia atau yang ditemukan dalam jumlah sedikit untuk mencicipi atau untuk mengetahui reaksi yang terjadi pada tubuhnya akibat mengonsumsi pakan yang ditemukan.

Apabila tidak terjadi reaksi yang membahayakan, tikus akan menghabiskan pakan yang tersedia atau pakan yang ditemukan (Priyambodo 2009).

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Rumah

  Asosiasi tikus dengan manusia banyak bersifat parasitisme. Kerugian yang disebabkan oleh tikus rumah adalah kerusakan pada bangunan rumah, kantor, gudang dan pabrik. Aktivitas tikus dalam mengeratkan gigi serinya dan dalam menggali tanah atau membuat sarang dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan kantor, pabrik, gudang, dan rumah. Tikus rumah juga dapat menyebabkan berkurangnya simpanan bahan makanan di rumah dan gudang makanan, kontaminasi pada bahan makanan, terbawanya patogen seperti

Salmonella sp., Leptospirosa sp., amoeba Entamoeba histolytica, dan Giardia muris dari tikus ke manusia atau hewan peliharaan (Priyambodo 2009).

Selain sebagai hama pada perumahan, tikus rumah juga menjadi hama pada pertanian, diantaranya adalah kelapa sawit. Beberapa faktor yang menyebabkan serangan tikus rumah pada kelapa sawit adalah adanya pengendalian yang dikhususkan untuk tikus pohon namun tidak efektif untuk tikus rumah. Pengendalian tikus pohon yang dapat membuka jalan bagi tikus rumah untuk menyerang kelapa sawit, dan perkembangbiakan dan penyerbukan pada bunga kelapa sawit oleh kumbang Elaeidobius kamerunicus dapat menjadi sumber protein bagi tikus rumah (Wood 1984).

Tikus Pohon (Rattus tiomanicus) Klasifikasi dan Morfologi

Tikus pohon (R. tiomanicus) digolongkan ke dalam Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus

Rattus (Walker 1999). Ciri khas tikus pohon yang dapat dibedakan dengan spesies lain yaitu ekor yang lebih panjang daripada panjang tubuhnya yang dapat mempermudah mencari makanan pada pohon yang tinggi, tubuh bagian dorsal berwarna coklat kekuningan dan bagian ventral berwarna putih kekuningan (Aplin et al 2003).

Tikus pohon memiliki ciri-ciri bentuk badan silindris, tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, warna ekor coklat hitam, memiliki bobot tubuh 55-300 gram, panjang kepala dan badan 130-200 mm, panjang ekor 180-250 mm, panjang keseluruhan 310-450 mm, lebar daun telinga 20-23 mm, panjang telapak kaki belakang 32-39 mm, dan pada tikus betina memiliki lima pasang puting susu yaitu dua pasang di dada dan tiga pasang di perut (Priyambodo 2009).

Bioekologi

Tikus pohon (R. tiomanicus) disebut juga tikus rawa atau tikus belukar karena habitatnya pada pohon, rawa, dan belukar. Tikus pohon mempunyai distribusi geografi di sekitar Asia Selatan dan Asia Tenggara dan pada umumnya ditemukan pada berbagai tanaman seperti kelapa sawit, kelapa, kakao, dan tebu. Tikus pohon tidak dapat membuat sarang dengan cara menggali tanah, tetapi membuat sarang di antara pelepah-pelepah daun kelapa sawit atau celah-celah yang ada di antara pohon (Priyambodo 2009). Penyebaran dari tikus pohon dipengaruhi oleh penyebaran sumberdaya pakan di lingkungannya. Habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, tetapi hal tersebut tidak membatasi wilayah penyebaran dari spesies tikus tersebut (Meehan 1984).

Tikus pohon termasuk golongan omnivora (pemakan segala) tetapi cenderung untuk memakan biji-bijian atau serealia (Sipayung, Sudharto dan Lubis 1987). Kebutuhan pakan dalam bentuk kering bagi seekor tikus pohon setiap hari kurang lebih sekitar 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan untuk pakan dalam bentuk pakan basah sekitar 20% dari bobot tubuhnya (Priyambodo 2009).

Tikus merupakan hewan poliestrus yaitu dapat melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim, memiliki masa bunting yang singkat antara 2-3 bulan, dan rata-rata enam ekor per kelahiran. Faktor abiotik yang mempengaruhi dinamika populasi tikus adalah cuaca dan air, sedangkan faktor biotik yaitu tumbuhan, patogen, predator, tikus lain, dan manusia (Priyambodo 2009). Tikus pohon memiliki kemampuan fisik yang baik seperti memanjat, mengerat, meloncat, dan berenang (Rochman 1992). Kemampuan tikus dalam memanjat didukung oleh adanya tonjolan pada telapak kaki (footpad) yang relatif besar dengan permukaan yang kasar. Footpad masih ditambah oleh cakar yang berguna

untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat keseimbangan pada saat memanjat (Priyambodo 2009).  Kerusakan yang disebabkan oleh tikus pohon disebabkan tikus memiliki kemampuan mengerat yang tinggi sebagai aktivitas untuk mengurangi panjang gigi seri yang tumbuh terus menerus (Meehan 1984).

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Pohon

Serangan tikus pohon dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar pada sektor pertanian terutama subsektor perkebunan. Tikus pohon merupakan hama penting pada subsektor komoditas kelapa sawit, kelapa, tebu, dan kakao. Pada tanaman kelapa sawit, tikus pohon dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar baik pada tanaman yang baru ditanam, tanaman yang belum menghasilkan, maupun tanaman yang sudah menghasilkan (Priyambodo 2009). Pada tanaman kelapa sawit yang baru ditanam dan belum menghasilkan, tikus mengerat serta memakan bagian pangkal pelepah daun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat jika keratan tikus mengenai titik tumbuhnya. Pada tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, tikus pohon dapat memakan buahnya sekitar 4,29 sampai 13,6 gram per hari dan dapat menghilangkan produksi sekitar 5% per tahun (Wood 1984).

Pada tanaman kelapa, gejala serangan yang disebabkan oleh tikus pohon diantaranya buah kelapa berlubang dekat tampuknya dan terdapat lubang pada sabut dan tempurung yang sama besarnya (Suhardiono 1993). Pada tanaman kakao, tikus merupakan hama penting karena serangannya sangat merugikan. Tikus menyerang buah kakao yang masih muda dan memakan biji beserta dagingnya (Hindayana et al 2002). Perkembangan tikus sangat dipengaruhi oleh keadaan pakan dan lingkungan sekitar (Aplin et al 2003). Bila pakan yang ada di sekitarnya berlimpah, maka tikus akan berkembangbiak sangat cepat sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga semakin besar.

Metode Pengendalian Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon Pengendalian tikus yang sering dilakukan oleh manusia antara lain dengan cara kultur teknis, pengendalian fisik-mekanik, pemanfaatan musuh alami, penggunaan bahan kimia, dan sanitasi. Pengendalian dengan cara kultur teknis

hanya bisa diaplikasikan untuk tikus yang menghuni habitat pertanian atau perkebunan; pengendalian sanitasi dapat dilakukan berupa tindakan mengelola dan memelihara lingkungan sehingga menjadi tidak sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus; pengendalian secara fisik-mekanik yaitu usaha untuk mengubah lingkungan fisik agar dapat menyebabkan kematian pada tikus antara lain dengan penggunaan perangkap, suara ultrasonic, gelombang elektromagnetik, pengahalan dan berburu; pengendalian secara biotik dan genetik, untuk pengendalian secara biotik dapat menggunakan musuh alami (predator) sedangkan pengendalian secara genetik dapat dilakukan dengan pelepasan individu tikus yang membawa gen perusak dan pelepasan individu steril atau mandul pada populasi tikus untuk menurunkan laju reproduksi tikus; pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia yang dapat mematikan atau mengganggu aktivitas tikus (Priyambodo 2009).

Dalam upaya menekan kerusakan oleh tikus, pengendalian tikus hama dengan menggunakan bahan kimia merupakan alternatif yang paling umum ditempuh dibandingkan dengan upaya pengendalian lainnya (Sunarjo 1992). Umumnya pengendalian tikus dengan menggunakan rodentisida dapat dikatakan berhasil (Buckle dan Smith 1996). Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia dapat member efek yang positif maupun negatif. Efek positif berupa hasil yang cepat, mudah diaplikasikan dan efektif sedangkan efek negatifnya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan resistensi hama.

Rodentisida

Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan tikus. Jika ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang umum digunakan yaitu fumigasi dan umpan beracun. Fumigasi bersifat racun nafas dan bahan yang umumnya digunakan adalah belerang oksida, sedangkan rodentisida umpan beracun bersifat racun perut yang berdasarkan kecepatan kerjanya dibagi menjadi dua jenis yaitu racun akut (bekerja cepat) dan racun kronis (bekerja lambat) (Prakash 1998).

Racun akut adalah jenis racun kelompok rodentisida yang dapat menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu kurang dari 24

jam atau kurang (Buckle dan Smith 1996). Racun akut merupakan racun yang sangat berbahaya dan tidak memiliki antidot yang spesifik, oleh karena itu jenis rodentisida ini dibatasi keberadaannya di beberapa negara dan hanya diizinkan digunakan oleh profesional. Contoh bahan aktif rodentisida yang tergolong racun akut adalah seng fosfida, brometalin, crimidine, dan arsenic trioksida yang bekerja secara cepat dengan cara merusak jaringan syaraf dalam saluran pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah (Priyambodo 2009).

Racun kronis merupakan kelompok rodentisida yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolisme vitamin K yang dapat menghambat pembentukan protrombin, bahan yang di dalam darah bertanggung jawab terhadap pembekuan darah dan merusak pembuluh kapiler sehingga merusak pembuluh darah internal (Sunarjo 1992). Yang tergolong ke dalam racun kronis antara lain bahan aktif kumatetralil, warfarin, fumarin, dan pival yang termasuk racun antikoagulan generasi I, serta brodifakum, bromadiolon, dan flokumafen yang termasuk racun antikoagulan generasi II (Priyambodo 2009).

Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak sistem syaraf dan melumpuhkannya, sedangkan racun kronis (antikoagulan) bekerja lebih lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2009). Racun kronis lebih sering digunakan dibandingkan dengan racun akut dalam pengendalian tikus karena dapat mengurangi sifat curiga dari tikus yang lain. Bahan aktif dari racun kronis bekerja dalam tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah mengonsumsi racun.

Brodifakum C31H23BrO

Brodifakum merupakan rodentisida antikoagulan generasi II yang yang potensial dan dikenalkan pertama kali di Inggris pada tahun 1977 (Prakash 1998). Brodifacoum juga merupakan produk yang hampir tidak dapat larut dalam air (Sikora 1981). Bentuk fisik racun ini adalah blok dengan warna hijau dan biru, sedangkan bentuk asli racun ini berupa bubuk putih (Oudejans 1991).

Brodifakum bekerja sebagai antikoagulan yang tidak langsung mematikan tikus termasuk juga terhadap strain tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan

jenis lainnya. Konsentrasi penggunaan adalah 0,005% dalam bentuk umpan pelet dan blok yang siap pakai (Sikora 1981). Cara kerja racun ini adalah dengan mengganggu kerja vitamin K dalam proses pembekuan darah. Hewan pengerat dapat menyerap dosis yang mematikan dengan hanya 50 mg/kg bahan aktif (Oudejans 1991). 

Umpan Beras

Beras merupakan padi yang telah diproses dan dibuang kulitnya yang juga menjadi salah satu bahan makanan pokok penduduk dunia. Gabah yang telah mengalami proses penggilingan akan menghasilkan beras. Beras didominasi oleh pati yaitu sekitar 80 sampai 85%. Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, dan air. Pati beras dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu pati dengan struktur tidak bercabang (amilosa) dan pati dengan struktur bercabang (amilopektin). Komposisi kedua golongan pati ini sangat menentukan warna (transparan atau tidak) dan tekstur nasi (lengket, lunak, keras, atau pera). Komposisi beras mengandung karbohidrat 81,3 sampai 83,9%, dan protein 1,3 sampai 2,4% (Samad 2003). Beras merupakan salah satu sumber karbohidrat yang tinggi. Sebagian besar komponen karbohidrat beras adalah pati (85-90%), dan komponen lainnya adalah protein (8%), pentosa (2-2,5%), dan gula (0,61-1,4%) (Suharjo dan Kusharto 1998).

Gabah

Gabah merupakan bulir atau buah pada tanaman padi yang telah dipisahkan dari jeraminya dan akan menjadi beras setelah dipisahkan dari kulitnya. Gabah juga merupakan bagian yang terpenting dari tanaman padi. Bila gabah kering dikelupas kulit bijinya, maka akan diperoleh sekam yang berwarna kuning dengan jumlah sampai 20% dari gabah kering dan isi biji yang disebut dengan beras pecah kulit (Hasbullah 2005).

Serangan tikus dapat menyebabkan berkurangnya simpanan gabah. Kerusakan pada tanaman padi bukan hanya disebabkan oleh tikus sawah saja, pada beberapa kejadian ditemukan bahwa tikus rumah dan tikus pohon juga

menyerang pertanaman padi di sawah terutama apabila ketersediaan makanan berkurang. Tikus biasanya menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif, sedangkan pada stadia persemaian tikus mencabut benih yang suda tumbuh untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (Buckle dan Smith 1996).

Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus jauh lebih besar daripada yang dikonsumsinya karena cara makan yang sedikit demi sedikit pada bulir gabah. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, tikus lebih banyak memakan bulir padi dan menyisakan bekas bulir yang tidak dapat digunakan lagi. Pengendalian tikus dapat dilakukan dengan cara mengatur jarak tanam, melakukan penanaman serempak, menanam tanaman perangkap, melakukan gropyokan, memasang pagar plastik, dan menggunakan bahan kimia (Priyambodo 2009).

Jagung

Jagung merupakan salah satu alternatif pangan sumber karbohidrat dan juga menjadi salah satu tanaman pangan dunia yang penting selain gandum dan padi. Selain mengandung karbohidrat, jagung juga sebagai sumber protein, lemak, kalsium dan vitamin. Biji jagung kaya akan karbohidrat, kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Tikus dapat menyebabkan kerusakan pada pertanaman jagung, namun tidak terlalu berat karena jagung memiliki kandungan karbohidrat yang lebih kecil dibandingkan beras dan memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (Hasbullah 2005). Meskipun demikian jika pakan tersebut yang tersedia di lapang dalam jumlah besar, maka tikus akan menyebabkan kerusakan yang tinggi (Suharjo dan Kusharto 1998).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2011 sampai Maret 2012.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah hewan uji yaitu tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii), tikus pohon (R. tiomanicus), umpan dasar (beras, gabah, dan jagung), rodentisida bahan aktif brodifakum 0,005%, tempat pakan, gelas, kurungan tunggal (single cage) yang didalamnya terdapat bumbung bambu sebagai tempat persembunyian tikus (Gambar 1), kuas untuk membersihkan sisa pakan, plastik untuk menimbang tikus, dan timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 2).

Gambar 2 Timbangan elektronik

Metode Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon yang diperoleh dari penangkapan di daerah Subang dan di sekitar kampus IPB, Dramaga, Bogor. Pada pengujian ini digunakan 25 ekor tikus sawah, 28 ekor tikus rumah dan 25 ekor tikus pohon. Kriteria tikus yang digunakan adalah tidak bunting, berat badan > 70 g, dewasa, perbandingan jenis kelamin 1:1. Tikus yang diperoleh dari lapang diadaptasikan terlebih dalam kurungan pemeliharaan selama tiga hari dengan diberi pakan gabah dan minum setiap hari selama masa adaptasi. Penentuan bobot tikus dilakukan dengan cara memasukkan seekor tikus ke dalam kantung plastik besar yang sebelumnya sudah diatur (re-zero) kemudian plastik diikat erat dan ditimbang padatimbangan elektronik, lalu bobot tikus yang telah ditimbang kemudian dicatat.

Persiapan Rodentisida dan Umpan

Dalam pengujian ini rodentisida yang digunakan adalah rodentisida siap pakai berbahan aktif brodifakum yang berbentuk blok berwarna hijau dengan konsentrasi bahan aktif 0,005%. Rodentisida yang diberikan pada masing-masing perlakuan sebanyak 4 blok (sekitar 12 g) per hari. Jenis umpan yang digunakan yaitu beras, gabah, dan jagung yang diberikan untuk masing-masing perlakuan sekitar 20 g per hari (Gambar 3).

Gambar 3 Pengujian perlakuan rodentisida dan umpan

a = Rodentisida brodifakum b = Umpan gabah c = Umpan beras d = Umpan jagung

Pengujian Pendahuluan

Pengujian ini dilakukan untuk mengadaptasikan tikus di dalam arena yang akan dilanjutkan untuk pengujian perlakuan berikutnya. Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan satu mangkuk umpan gabah, satu mangkuk air, dan satu ekor tikus yang telah ditimbang sebelumnya ke dalam arena.

Pengujian Konsumsi Rodentisida dan Umpan pada Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon

Pengujian ketertarikan tikus terhadap rodentisida dan umpan dilakukan dengan menggunakan uji banyak pilihan (multiple choice test), uji dua pilihan (bi choice test) dan uji tanpa pilihan (no choice test). Pengujian dengan banyak pilihan dilakukan untuk membandingkan rodentisida dan umpan yang paling

b a

d c

banyak dikonsumsi, sedangkan pengujian dengan dua pilihan dilakukan untuk membandingkan antara rodentisida yang diuji dengan kontrol (umpan) (Tabel 1).

Tabel 1 Perlakuan dalam pengujian rodentisida dan umpan pada tiga spesies tikus hama

Nomor Kode Huruf Perlakuan

1. A Rodentisida brodifakum0.005% vs gabah vs beras vs jagung

2. B Rodentisida brodifakum0.005% vs gabah 3. C Rodentisida brodifakum0.005% vs beras 4. D Rodentisida brodifakum0.005% vs jagung

5. E Kontrol gabah

6. F Kontrol beras

7. G Kontrol jagung

Pemberian rodentisida dan umpan diberikan selama 5 x 24 jam sesuai dengan perlakuan dan dihitung jumlah konsumsinya. Konsumsi tikus terhadap rodentisida dan umpan dicatat setiap harinya dengan catatan tikus telah mengonsumsi salah satu umpan (rodentisida, beras, gabah, jagung) sebanyak > 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 5 x 24 jam perlakuan, tikus

Dokumen terkait