• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Preferensi dan Efikasi Rodentisida Antikoagulan Brodifakum terhadap Tiga Spesies Tikus Hama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengujian Preferensi dan Efikasi Rodentisida Antikoagulan Brodifakum terhadap Tiga Spesies Tikus Hama"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

TIGA SPESIES TIKUS HAMA

RIZKY NAZARRETA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RIZKY NAZARRETA. Pengujian Preferensi dan Efikasi Rodentisida Antikoagulan Brodifakum terhadap Tiga Spesies Tikus Hama. Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Tikus merupakan satwa liar yang berasosiasi dengan kehidupan manusia dan menjadi hama penting dalam bidang pertanian, perkebunan, dan permukiman. Saat ini tiga spesies tikus hama yang keberadaannya sangat mengganggu dan banyak menimbulkan kerugian adalah tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii), dan tikus pohon (R. tiomanicus). Upaya pengendalian ketiga spesies tikus hama tersebut yang sering dilakukan adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsumsi tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida berbahan aktif brodifakum yang diuji dengan umpan dasar serta mengetahui keefektifan dari rodentisida ini dalam mengendalikan tiga spesies tikus hama tersebut. Metode yang digunakan yaitu uji banyak pilihan (multiple choice test) dan uji dua pilihan (bi choice test) selama lima hari dengan menggunakan rodentisida berbahan aktif brodifakum dan umpan dasar (gabah, beras, jagung). Setelah perlakuan hari ke-5, tikus uji diistirahatkan selama tiga hari dengan diberi pakan gabah yang selanjutnya akan digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya jika dalam kondisi sehat. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode multiple choice test menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu bahwa tikus lebih memilih mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida, pada metode bi choice test terhadap tikus rumah dan tikus pohon lebih disukai pada saat pemberian umpan jagung daripada umpan beras dan gabah, sedangkan pada tikus sawah rodentisida brodifakum kurang disukai pada setiap pemberian umpan. Rodentisida antikoagulan brodifakum lebih efektif dalam mengendalikan tikus rumah dan tikus pohon, karena kedua spesies tikus ini kurang mengenali dan tidak mengalami kecurigaan terhadap rodentisida tersebut.

(3)

TIGA SPESIES TIKUS HAMA

RIZKY NAZARRETA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Pengujian Preferensi dan Efikasi Rodentisida Antikoagulan Brodifakum terhadap Tiga Spesies Tikus Hama

Nama Mahasiswa : Rizky Nazarreta

NIM : A34080048

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP. 19630226 198703 1 001  

     

Diketahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP. 19650621 198910 2 001

(5)

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 9 Agustus 1990 sebagai putri pertama dari dua bersaudara pasangan Heri Suherismianto dan Asmida Aziz. Tahun 2008 penulis menyelesaikan sekolah menengah di SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan pilihan mayor Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.

(6)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengujian Preferensi dan Efikasi Rodentisida Antikoagulan Brodifakum terhadap Tiga Spesies Tikus Hama”. Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Proteksi Tanaman. Tulisan ini dapat terselesaikan karena bantuan berbagai pihak. Untuk itu dengan penuh hormat, cinta dan kasih sayang penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu dan Bapak tercinta serta adikku yang tidak pernah berhenti berdoa dan memberikan perhatian, semangat, dukungan lahir batin, cinta, dan kasih saying yang tidak ada habisnya untuk penulis.

2. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, perhatian, semangat, bimbingan, saran dan masukan selama berlangsungnya penelitian hingga penyusuna skripsi ini.

3. Dr. Ir. Efi Toding Tondok, M.Sc.Agr. selaku dosen penguji tamu atas masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Bonny P.W.Soekarno, M.S. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberi arahan dan motivasinya.

5. Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc, Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, M.Si, Ir. Djoko Prijono, M.Agr.Sc, dan seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman yang telah membimbing, mengajar dan mengarahkan penulis selama menuntut ilmu di IPB.

6. PT. Pijar Nusa Pasifik yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. 7. Bapak Ahmad Soban selaku laboran yang telah banyak membantu penulis

dalam pelaksanaan penelitian.

8. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Vertebrata Hama (Minkhaya Silviana Putri dan Putri Setya Utami).

9. Siti Syarah, Keisha Disa, Risa Sondari, Dita Megasari, Rizkika Latania, Meirza R, Sagita P, Utari S, Hastiana U, Rafiatul R, Istiqomah, Haikal Catur, Rizky Irawan, Agus Sandra dan teman seperjuangan PTN 45 atas bantuan dan dukungannya selama masa kuliah dan penyusunan skripsi. 10.Teman seperjuangan TPB B-09 dan KKP Brebes atas semangat, dukungan

yang tak habisnya diberikan untuk penulis.

11.Seluruh staff dan rekan-rekan di Proteksi Tanaman serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga kebaikan dan perhatian yang telah diberikan memperoleh balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap karya ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukannya, khususnya di bidang ilmu proteksi tanaman.

Bogor, April 2012

(7)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Tikus Sawah (Rattus argentiventer) ... 5

Klasifikasi dan Morfologi ... 5

Bioekologi ... 5

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Sawah ... 6

Tikus Rumah (Rattus rattus diardii) ... 6

Klasifikasi dan Morfologi ... 6

Bioekologi ... 7

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Rumah ... 8

Tikus Pohon (Rattus tiomanicus) ... 8

Klasifikasi dan Morfologi ... 8

Bioekologi ... 9

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Pohon ... 10

Metode Pengendalian Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon ... 10

Rodentisida ... 11

Brodifakum C31H23BrO ... 12

Umpan ... 13

Gabah ... 13

Beras ... 13

Jagung ... 14

BAHAN DAN METODE ... 15

Waktu dan Tempat ... 15

(8)

Pengujian Pendahuluan ... 17

Pengujian Konsumsi Rodentisida dan Umpan pada Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon ... 17

Konversi Umpan ... 19

Rasio Konsumsi Rodentisida terhadap Umpan ... 19

Peubah yang Diamati ... 19

Rancangan Percobaan ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Kontrol Gabah, Beras, dan Jagung (No Choice Test)) ... 20

Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Rodentisida vs Gabah vs Beras vs Jagung (Multiple Choice Test) ... 22

Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Rodentisida vs Umpan (Bi Choice Test) ... 24

Rasio Konsumsi Rodentisida/Umpan terhadap Tikus ... 26

Kematian dan Konsumsi Hewan Uji ... 27

Perubahan Bobot Tikus ... 28

Konsumsi Gabah pada Masa Istirahat ... 30

Gejala Keracunan ... 31

Pembahasan Umum ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

Kesimpulan ... 35

Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(9)

1 Perlakuan dalam pengujian rodentisida dan umpan pada tiga spesies

tikus hama ... 18 2 Konsumsi rerata tikus sawah, tikus rumah, tikus pohon terhadap

perlakuan kontrol (no choice test) ... 20 3 Konsumsi rerata tikus sawah, tikus rumah, tikus pohon terhadap

perlakuan pada multiple choice test ... 22 4 Konsumsi rerata tikus sawah, tikus rumah, tikus pohon terhadap

perlakuan pada bi choice test ... 24 5 Rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan (%) pada tikus sawah,

tikus rumah, dan tikus pohon ... 26 6 Kematian dan konsumsi hewan uji pada saat perlakuan ... 27 7 Perubahan bobot tubuh tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

pada saat perlakuan ... 29 8 Konsumsi gabah terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

(10)

1 Kurungan tunggal (single cage) ... 15

2 Timbangan elektronik ... 16

3 Pengujian perlakuan rodentisida dan umpan ... 17

4 Konsumsi rerata tikus pada perlakuan multiple choice test ... 22

5 Gejala pendarahan pada mulut tikus ... 31

(11)

1 Analisis ragam konsumsi perlakuan kontrol gabah, beras, dan

jagung pada tikus sawah ... 39 2 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah vs beras vs jagung

(multiple choice test) pada tikus sawah ... 39 3 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs beras (bi choice test)

pada tikus sawah ... 39 4 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah (bi choice test)

pada tikus sawah ... 39 5 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs jagung (bi choice test)

pada tikus sawah ... 40 6 Analisis ragam konsumsi perlakuan kontrol gabah, beras, dan jagung

pada tikus rumah ... 40 7 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah vs beras vs jagung

(multiple choice test) pada tikus rumah ... 40 8 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs beras (bi choice test)

pada tikus rumah ... 40 9 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah (bi choice test)

pada tikus rumah ... 41 10 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs jagung (bi choice test)

pada tikus rumah ... 41 11 Analisis ragam konsumsi perlakuan kontrol gabah, beras, dan jagung

pada tikus pohon ... 41 12 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah vs beras vs jagung

(multiple choice test) pada tikus pohon ... 41 13 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs beras (bi choice test)

pada tikus pohon ... 42 14 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah (bi choice test)

pada tikus pohon ... 42 15 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs jagung (bi choice test)

pada tikus pohon ... 42 16 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan kontrol (baris) pada

tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 42 17 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan kontrol (kolom) pada

(12)

(kolom) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 43

20 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan gabah vs rodentisida (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 43

21 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan beras vs rodentisida (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 44

22 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan jagung vs rodentisida (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 44

23 Analisis ragam konsumsi rerata umpan dan rodentisida pada perlakuan bi choice test (kolom) pada tikus sawah ... 44

24 Analisis ragam konsumsi rerata umpan dan rodentisida pada perlakuan bi choice test (kolom) pada tikus rumah ... 44

25 Analisis ragam konsumsi rerata umpan dan rodentisida pada perlakuan bi choice test (kolom) pada tikus pohon ... 45

26 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan pada tikus sawah ... 45

27 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan pada tikus rumah ... 45

28 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan pada tikus pohon ... 45

29 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan rerata (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 46

30 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan rerata (kolom) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 46

31 Analisis ragam konsumsi gabah pada masa istirahat terhadap tikus sawah ... 46

32 Analisis ragam konsumsi gabah pada masa istirahat terhadap tikus rumah ... 46

33 Analisis ragam konsumsi gabah pada masa istirahat terhadap tikus pohon ... 47

34 Analisis ragam konsumsi rerata gabah (kolom) pada masa istirahat terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon ... 47

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam membangun perekonomian nasional. Peranan sektor pertanian adalah sebagai sumber penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan papan, menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk, dan pengelolaan lingkungan hidup. Pertanian dalam arti luas meliputi sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Pembangunan sektor pertanian bertujuan untuk pemenuhan pangan dan gizi serta menambah kesejahteraan pendapatan masyarakat.

Salah satu subsektor pertanian yang dapat dikembangkan dan merupakan komoditas unggulan nasional adalah subsektor perkebunan. Peluang pengembangan tanaman perkebunan semakin memberikan harapan, berkaitan dengan: (a) pengembangan industri perkebunan yang menghasilkan produk hulu hingga hilir, (b) semakin kuatnya dukungan pemerintah terhadap usaha perkebunan rakyat, dan (c) semakin luasnya pangsa pasar dan tumbuhnya berbagai industri yang membutuhkan bahan baku dari produk perkebunan. Menurut Suswono (2010) saat ini ada enam komoditas yang memberikan kontribusi terhadap kebutuhan pangan yaitu (1) kelapa dan kelapa sawit untuk penyediaan minyak goreng, (2) kopi, teh, dan kakao untuk makanan dan minuman penyegar, serta (3) tebu untuk bahan makanan dan minuman pemanis.

Potensi dan perkembangan keenam komoditas perkebunan tersebut cukup besar, namun usaha untuk mencapai tujuan tersebut tidak lepas dari kendala baik pada proses hulu maupun hilir. Salah satu kendala yang dihadapi adalah Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang meliputi hama, penyakit, dan gulma. Kendala ini menjadi sangat penting karena dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas komoditas pertanian. Salah satu hama penting dalam usaha pertanian hulu hingga hilir adalah tikus.

(14)

perkebunan, permukiman dan kesehatan (Meehan 1984). Di Indonesia terdapat 8 spesies tikus yang berperan sebagai hama tanaman pertanian yang menyebabkan kehilangan ekonomi dan vektor patogen bagi manusia, yaitu Bandicota indica

(wirok besar), Rattus norvegicus (tikus riul), R. rattus diardii (tikus rumah), R. argentiventer (tikus sawah), R. tiomanicus (tikus pohon), R. exulans (tikus ladang), Mus musculus (mencit rumah), dan M. caroli (mencit ladang) (Priyambodo 2009).

Tikus adalah mamalia nokturnal yang mencari makan, pasangan dan orientasi kawasan pada saat setelah matahari terbenam hingga menjelang matahari terbit. Tikus bergerak menempuh perjalanan yang mempunyai lintasan tetap (run ways) yang ditentukan oleh jarak pakan dan tempat persembunyian. Tikus merupakan hama yang relatif sulit dikendalikan karena memiliki kemampuan adaptasi, mobilitas, berkembangbiak, dan daya rusak yang tinggi. Menurut Thamrin et al. (1998) habitat tikus pada agroekosistem yang berbeda-beda tergantung spesiesnya.

Tikus sawah (R. argentiventer) merupakan salah satu hama utama pada tanaman padi yang dapat menimbulkan kerusakan dan menyebabkan kehilangan produksi yang cukup besar. Tikus sawah dapat menyerang semua stadia pertumbuhan tanaman padi sejak di persemaian hingga padi siap dipanen, dan bahkan dapat menyerang padi di dalam penyimpanan. Tikus rumah (R. rattus diardii) sering dijumpai di lingkungan rumah dan gudang, serta mempunyai kemampuan merusak yang tinggi karena tidak hanya makanan di rumah saja yang dimakannya, tetapi benda-benda lain yang dijumpainya juga dikerat. Tikus pohon (R. tiomanicus) biasanya hidup di areal perkebunan dan banyak ditemukan pada area perkebunan kelapa sawit, kakao, dan tebu. Tikus ini dapat menyebabkan kerusakan yang sangat besar, baik pada tanaman yang baru ditanam atau di pembibitan, tanaman yang belum menghasilkan, maupun tanaman yang sudah menghasilkan.

(15)

juga memiliki kemampuan fisik yang sifatnya khas atau unik, yaitu menggali (digging), memanjat (climbing), meloncat (jumping), mengerat (gnawing), berenang (swimming), dan menyelam (diving). Selain itu, tikus memiliki kemampuan bereproduksi yang tinggi yang didukung oleh kondisi biotik dan abiotik yang menyebabkan jumlahnya semakin berlimpah.

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengendalikan tikus antara lain dengan cara sanitasi, kultur teknis, fisik, mekanik, biologi, dan kimiawi. Dari sekian banyak metode pengendalian tersebut, tampaknya pengendalian tikus di habitat tertentu secara kimiawi, dengan menggunakan umpan beracun (rodentisida sintetik) masih menjadi pilihan utama. Penggunaan rodentisida sintetik dinilai lebih efektif dibandingkan dengan yang lain sehingga cara ini umum digunakan meskipun cara ini dianggap kurang ramah lingkungan dan dapat membunuh organisme bukan sasaran (Priyambodo 2009). Pada kenyataannya, manusia lebih menyukai metode ini untuk mematikan tikus, karena racun yang diberikan kepada tikus menunjukkan daya kerja yang efektif dengan memberikan hasil kematian tikus yang nyata.

Pengendalian tikus secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida merupakan pengendalian yang paling umum dilakukan daripada pengendalian lainnya, meskipun menurut konsep pengelolaan hama terpadu (PHT) seharusnya metode ini dilakukan sebagai alternatif terakhir. Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida biasanya dilakukan dengan mencampurkan racun dan umpan dasar yang disukai tikus, sehingga diperlukan jenis umpan yang dapat menahan agar tikus tersebut tetap memakan umpan tersebut lebih banyak (arrestant). Menurut Priyambodo (2009), penggunaan umpan bertujuan untuk mengurangi rasa tidak enak dari racun yang digunakan.

(16)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsumsi tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida berbahan aktif brodifakum yang diuji dengan umpan dasar serta mengetahui keefektifan dari rodentisida ini dalam mengendalikan tiga spesies tikus hama tersebut.

Manfaat Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Klasifikasi dan Morfologi

Tikus sawah (R. argentiventer) digolongkan ke dalam Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, dan Genus Rattus. Tikus sawah mempunyai ciri morfologi yang dapat dibedakan dengan spesies lainnya yaitu memiliki rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman, warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap, bobot badan antara 70-300 gram, panjang badan 130-210 mm, panjang ekor antara 110-160 mm, panjang secara keseluruhan dari kepala sampai ekor 240-370 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, panjang telapak kaki 32-39 mm, formula puting susu 3 + 3 pasang (Priyambodo 2009).

Bioekologi

Tikus sawah mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan sering dijumpai di daerah persawahan. Tanaman padi merupakan pakan utama bagi tikus sawah dan dapat merusak semua stadia pertumbuhan. Jumlah anakan padi yang dikerat oleh seekor tikus sawah dalam semalam tergantung dari musim dan fase pertumbuhan tanaman. Tikus sawah adalah jenis hama pengganggu pertanian utama dan sulit dikendalikan karena tikus ini mampu “belajar” dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelumnya (Permada, 2009).

(18)

tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan dan tempat persembunyian yang memadai (Priyambodo 2009).

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Sawah

Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif, tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo 2009).

Tikus dapat menyerang tanaman padi pada berbagai fase tanaman padi. Pada fase vegetatif, tikus akan memutuskan batang padi sehingga tampak berserakan dan tikus akan menggigit lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk makan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus bersifat khas, yaitu ditengah- tengah petakan sawah tampak gundul, sedangkan bagian tepi biasanya tidak diserang. Tikus juga menyerang bedengan persemaian dengan memakan benih- benih yang disebar atau mencabut tanaman-tanaman yang baru tumbuh (Priyambodo 2009). Kehilangan hasil panen akibat serangan tikus sawah hampir selalu terjadi pada setiap musim tanam, di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia. Rata-rata luas serangan tikus sawah pada periode 1994-2005 mencapai 113.514 ha dengan intensitas kerusakan 20% (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2006).

Tikus Rumah (Rattus rattus diardii) Klasifikasi dan Morfologi

Tikus rumah (R. rattus diardii) digolongkan ke dalam Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus Rattus, dan Spesies Rattus rattus dan Subspesies R. rattus diardii (CABI 2005).

(19)

bagian dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh berkisar antara 60 sampai 300 gram, ukuran ekor terhadap kepala dan badan bervariasi (lebih pendek, sama, atau panjang). Pada tikus betina memiliki dua pasang puting susu di dada dan tiga pasang di perut (10 buah) (Rochman 1992). Seperti tikus pohon, tikus rumah juga memiliki kemampuan memanjat yang baik. Tikus rumah memiliki kemampuan indera yang sangat menunjang aktivitasnya kecuali penglihatan (Priyambodo 2009).

Bioekologi

Tikus rumah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut hewan kosmopolit. Tikus rumah biasanya hidup di lingkungan perumahan, pasar, dan membuat sarang di atap rumah. Namun apabila bahan makanan berkurang, tikus rumah akan mencari makan di sawah sekitar rumah, gudang, maupun di pekarangan sekitar perumahan. Tikus rumah termasuk hewan arboreal yang dicirikan dengan adanya ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar, tikus mampu memanjat dinding karena ditunjang dari adanya tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar, selain itu dapat meloncat secara horizontal sejauh 240 cm dan meloncat secara vertikal setinggi 77 cm (Priyambodo 2009).

(20)

Apabila tidak terjadi reaksi yang membahayakan, tikus akan menghabiskan pakan yang tersedia atau pakan yang ditemukan (Priyambodo 2009).

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Rumah

  Asosiasi tikus dengan manusia banyak bersifat parasitisme. Kerugian yang

disebabkan oleh tikus rumah adalah kerusakan pada bangunan rumah, kantor, gudang dan pabrik. Aktivitas tikus dalam mengeratkan gigi serinya dan dalam menggali tanah atau membuat sarang dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan kantor, pabrik, gudang, dan rumah. Tikus rumah juga dapat menyebabkan berkurangnya simpanan bahan makanan di rumah dan gudang makanan, kontaminasi pada bahan makanan, terbawanya patogen seperti

Salmonella sp., Leptospirosa sp., amoeba Entamoeba histolytica, dan Giardia muris dari tikus ke manusia atau hewan peliharaan (Priyambodo 2009).

Selain sebagai hama pada perumahan, tikus rumah juga menjadi hama pada pertanian, diantaranya adalah kelapa sawit. Beberapa faktor yang menyebabkan serangan tikus rumah pada kelapa sawit adalah adanya pengendalian yang dikhususkan untuk tikus pohon namun tidak efektif untuk tikus rumah. Pengendalian tikus pohon yang dapat membuka jalan bagi tikus rumah untuk menyerang kelapa sawit, dan perkembangbiakan dan penyerbukan pada bunga kelapa sawit oleh kumbang Elaeidobius kamerunicus dapat menjadi sumber protein bagi tikus rumah (Wood 1984).

Tikus Pohon (Rattus tiomanicus) Klasifikasi dan Morfologi

Tikus pohon (R. tiomanicus) digolongkan ke dalam Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus

(21)

Tikus pohon memiliki ciri-ciri bentuk badan silindris, tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, warna ekor coklat hitam, memiliki bobot tubuh 55-300 gram, panjang kepala dan badan 130-200 mm, panjang ekor 180-250 mm, panjang keseluruhan 310-450 mm, lebar daun telinga 20-23 mm, panjang telapak kaki belakang 32-39 mm, dan pada tikus betina memiliki lima pasang puting susu yaitu dua pasang di dada dan tiga pasang di perut (Priyambodo 2009).

Bioekologi

Tikus pohon (R. tiomanicus) disebut juga tikus rawa atau tikus belukar karena habitatnya pada pohon, rawa, dan belukar. Tikus pohon mempunyai distribusi geografi di sekitar Asia Selatan dan Asia Tenggara dan pada umumnya ditemukan pada berbagai tanaman seperti kelapa sawit, kelapa, kakao, dan tebu. Tikus pohon tidak dapat membuat sarang dengan cara menggali tanah, tetapi membuat sarang di antara pelepah-pelepah daun kelapa sawit atau celah-celah yang ada di antara pohon (Priyambodo 2009). Penyebaran dari tikus pohon dipengaruhi oleh penyebaran sumberdaya pakan di lingkungannya. Habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, tetapi hal tersebut tidak membatasi wilayah penyebaran dari spesies tikus tersebut (Meehan 1984).

Tikus pohon termasuk golongan omnivora (pemakan segala) tetapi cenderung untuk memakan biji-bijian atau serealia (Sipayung, Sudharto dan Lubis 1987). Kebutuhan pakan dalam bentuk kering bagi seekor tikus pohon setiap hari kurang lebih sekitar 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan untuk pakan dalam bentuk pakan basah sekitar 20% dari bobot tubuhnya (Priyambodo 2009).

(22)

untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat keseimbangan pada saat memanjat (Priyambodo 2009).  Kerusakan yang disebabkan oleh tikus pohon disebabkan tikus memiliki kemampuan mengerat yang tinggi sebagai aktivitas untuk mengurangi panjang gigi seri yang tumbuh terus menerus (Meehan 1984).

Kerusakan yang Disebabkan oleh Tikus Pohon

Serangan tikus pohon dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar pada sektor pertanian terutama subsektor perkebunan. Tikus pohon merupakan hama penting pada subsektor komoditas kelapa sawit, kelapa, tebu, dan kakao. Pada tanaman kelapa sawit, tikus pohon dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar baik pada tanaman yang baru ditanam, tanaman yang belum menghasilkan, maupun tanaman yang sudah menghasilkan (Priyambodo 2009). Pada tanaman kelapa sawit yang baru ditanam dan belum menghasilkan, tikus mengerat serta memakan bagian pangkal pelepah daun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat jika keratan tikus mengenai titik tumbuhnya. Pada tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, tikus pohon dapat memakan buahnya sekitar 4,29 sampai 13,6 gram per hari dan dapat menghilangkan produksi sekitar 5% per tahun (Wood 1984).

Pada tanaman kelapa, gejala serangan yang disebabkan oleh tikus pohon diantaranya buah kelapa berlubang dekat tampuknya dan terdapat lubang pada sabut dan tempurung yang sama besarnya (Suhardiono 1993). Pada tanaman kakao, tikus merupakan hama penting karena serangannya sangat merugikan. Tikus menyerang buah kakao yang masih muda dan memakan biji beserta dagingnya (Hindayana et al 2002). Perkembangan tikus sangat dipengaruhi oleh keadaan pakan dan lingkungan sekitar (Aplin et al 2003). Bila pakan yang ada di sekitarnya berlimpah, maka tikus akan berkembangbiak sangat cepat sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga semakin besar.

(23)

hanya bisa diaplikasikan untuk tikus yang menghuni habitat pertanian atau perkebunan; pengendalian sanitasi dapat dilakukan berupa tindakan mengelola dan memelihara lingkungan sehingga menjadi tidak sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus; pengendalian secara fisik-mekanik yaitu usaha untuk mengubah lingkungan fisik agar dapat menyebabkan kematian pada tikus antara lain dengan penggunaan perangkap, suara ultrasonic, gelombang elektromagnetik, pengahalan dan berburu; pengendalian secara biotik dan genetik, untuk pengendalian secara biotik dapat menggunakan musuh alami (predator) sedangkan pengendalian secara genetik dapat dilakukan dengan pelepasan individu tikus yang membawa gen perusak dan pelepasan individu steril atau mandul pada populasi tikus untuk menurunkan laju reproduksi tikus; pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia yang dapat mematikan atau mengganggu aktivitas tikus (Priyambodo 2009).

Dalam upaya menekan kerusakan oleh tikus, pengendalian tikus hama dengan menggunakan bahan kimia merupakan alternatif yang paling umum ditempuh dibandingkan dengan upaya pengendalian lainnya (Sunarjo 1992). Umumnya pengendalian tikus dengan menggunakan rodentisida dapat dikatakan berhasil (Buckle dan Smith 1996). Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia dapat member efek yang positif maupun negatif. Efek positif berupa hasil yang cepat, mudah diaplikasikan dan efektif sedangkan efek negatifnya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan resistensi hama.

Rodentisida

Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan tikus. Jika ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang umum digunakan yaitu fumigasi dan umpan beracun. Fumigasi bersifat racun nafas dan bahan yang umumnya digunakan adalah belerang oksida, sedangkan rodentisida umpan beracun bersifat racun perut yang berdasarkan kecepatan kerjanya dibagi menjadi dua jenis yaitu racun akut (bekerja cepat) dan racun kronis (bekerja lambat) (Prakash 1998).

(24)

jam atau kurang (Buckle dan Smith 1996). Racun akut merupakan racun yang sangat berbahaya dan tidak memiliki antidot yang spesifik, oleh karena itu jenis rodentisida ini dibatasi keberadaannya di beberapa negara dan hanya diizinkan digunakan oleh profesional. Contoh bahan aktif rodentisida yang tergolong racun akut adalah seng fosfida, brometalin, crimidine, dan arsenic trioksida yang bekerja secara cepat dengan cara merusak jaringan syaraf dalam saluran pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah (Priyambodo 2009).

Racun kronis merupakan kelompok rodentisida yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolisme vitamin K yang dapat menghambat pembentukan protrombin, bahan yang di dalam darah bertanggung jawab terhadap pembekuan darah dan merusak pembuluh kapiler sehingga merusak pembuluh darah internal (Sunarjo 1992). Yang tergolong ke dalam racun kronis antara lain bahan aktif kumatetralil, warfarin, fumarin, dan pival yang termasuk racun antikoagulan generasi I, serta brodifakum, bromadiolon, dan flokumafen yang termasuk racun antikoagulan generasi II (Priyambodo 2009).

Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak sistem syaraf dan melumpuhkannya, sedangkan racun kronis (antikoagulan) bekerja lebih lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2009). Racun kronis lebih sering digunakan dibandingkan dengan racun akut dalam pengendalian tikus karena dapat mengurangi sifat curiga dari tikus yang lain. Bahan aktif dari racun kronis bekerja dalam tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah mengonsumsi racun.

Brodifakum C31H23BrO

Brodifakum merupakan rodentisida antikoagulan generasi II yang yang potensial dan dikenalkan pertama kali di Inggris pada tahun 1977 (Prakash 1998). Brodifacoum juga merupakan produk yang hampir tidak dapat larut dalam air (Sikora 1981). Bentuk fisik racun ini adalah blok dengan warna hijau dan biru, sedangkan bentuk asli racun ini berupa bubuk putih (Oudejans 1991).

(25)

jenis lainnya. Konsentrasi penggunaan adalah 0,005% dalam bentuk umpan pelet dan blok yang siap pakai (Sikora 1981). Cara kerja racun ini adalah dengan mengganggu kerja vitamin K dalam proses pembekuan darah. Hewan pengerat dapat menyerap dosis yang mematikan dengan hanya 50 mg/kg bahan aktif (Oudejans 1991). 

Umpan Beras

Beras merupakan padi yang telah diproses dan dibuang kulitnya yang juga menjadi salah satu bahan makanan pokok penduduk dunia. Gabah yang telah mengalami proses penggilingan akan menghasilkan beras. Beras didominasi oleh pati yaitu sekitar 80 sampai 85%. Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, dan air. Pati beras dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu pati dengan struktur tidak bercabang (amilosa) dan pati dengan struktur bercabang (amilopektin). Komposisi kedua golongan pati ini sangat menentukan warna (transparan atau tidak) dan tekstur nasi (lengket, lunak, keras, atau pera). Komposisi beras mengandung karbohidrat 81,3 sampai 83,9%, dan protein 1,3 sampai 2,4% (Samad 2003). Beras merupakan salah satu sumber karbohidrat yang tinggi. Sebagian besar komponen karbohidrat beras adalah pati (85-90%), dan komponen lainnya adalah protein (8%), pentosa (2-2,5%), dan gula (0,61-1,4%) (Suharjo dan Kusharto 1998).

Gabah

Gabah merupakan bulir atau buah pada tanaman padi yang telah dipisahkan dari jeraminya dan akan menjadi beras setelah dipisahkan dari kulitnya. Gabah juga merupakan bagian yang terpenting dari tanaman padi. Bila gabah kering dikelupas kulit bijinya, maka akan diperoleh sekam yang berwarna kuning dengan jumlah sampai 20% dari gabah kering dan isi biji yang disebut dengan beras pecah kulit (Hasbullah 2005).

(26)

menyerang pertanaman padi di sawah terutama apabila ketersediaan makanan berkurang. Tikus biasanya menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif, sedangkan pada stadia persemaian tikus mencabut benih yang suda tumbuh untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (Buckle dan Smith 1996).

Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus jauh lebih besar daripada yang dikonsumsinya karena cara makan yang sedikit demi sedikit pada bulir gabah. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, tikus lebih banyak memakan bulir padi dan menyisakan bekas bulir yang tidak dapat digunakan lagi. Pengendalian tikus dapat dilakukan dengan cara mengatur jarak tanam, melakukan penanaman serempak, menanam tanaman perangkap, melakukan gropyokan, memasang pagar plastik, dan menggunakan bahan kimia (Priyambodo 2009).

Jagung

(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2011 sampai Maret 2012.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah hewan uji yaitu tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii), tikus pohon (R. tiomanicus), umpan dasar (beras, gabah, dan jagung), rodentisida bahan aktif brodifakum 0,005%, tempat pakan, gelas, kurungan tunggal (single cage) yang didalamnya terdapat bumbung bambu sebagai tempat persembunyian tikus (Gambar 1), kuas untuk membersihkan sisa pakan, plastik untuk menimbang tikus, dan timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 2).

(28)

Gambar 2 Timbangan elektronik

Metode Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon yang diperoleh dari penangkapan di daerah Subang dan di sekitar kampus IPB, Dramaga, Bogor. Pada pengujian ini digunakan 25 ekor tikus sawah, 28 ekor tikus rumah dan 25 ekor tikus pohon. Kriteria tikus yang digunakan adalah tidak bunting, berat badan > 70 g, dewasa, perbandingan jenis kelamin 1:1. Tikus yang diperoleh dari lapang diadaptasikan terlebih dalam kurungan pemeliharaan selama tiga hari dengan diberi pakan gabah dan minum setiap hari selama masa adaptasi. Penentuan bobot tikus dilakukan dengan cara memasukkan seekor tikus ke dalam kantung plastik besar yang sebelumnya sudah diatur (re-zero) kemudian plastik diikat erat dan ditimbang padatimbangan elektronik, lalu bobot tikus yang telah ditimbang kemudian dicatat.

Persiapan Rodentisida dan Umpan

(29)

Gambar 3 Pengujian perlakuan rodentisida dan umpan

a = Rodentisida brodifakum b = Umpan gabah c = Umpan beras d = Umpan jagung

Pengujian Pendahuluan

Pengujian ini dilakukan untuk mengadaptasikan tikus di dalam arena yang akan dilanjutkan untuk pengujian perlakuan berikutnya. Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan satu mangkuk umpan gabah, satu mangkuk air, dan satu ekor tikus yang telah ditimbang sebelumnya ke dalam arena.

Pengujian Konsumsi Rodentisida dan Umpan pada Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon

Pengujian ketertarikan tikus terhadap rodentisida dan umpan dilakukan dengan menggunakan uji banyak pilihan (multiple choice test), uji dua pilihan (bi choice test) dan uji tanpa pilihan (no choice test). Pengujian dengan banyak pilihan dilakukan untuk membandingkan rodentisida dan umpan yang paling

b a

(30)

banyak dikonsumsi, sedangkan pengujian dengan dua pilihan dilakukan untuk membandingkan antara rodentisida yang diuji dengan kontrol (umpan) (Tabel 1).

Tabel 1 Perlakuan dalam pengujian rodentisida dan umpan pada tiga spesies tikus hama

Nomor Kode Huruf Perlakuan

1. A Rodentisida brodifakum0.005% vs gabah vs beras vs jagung

2. B Rodentisida brodifakum0.005% vs gabah 3. C Rodentisida brodifakum0.005% vs beras 4. D Rodentisida brodifakum0.005% vs jagung

5. E Kontrol gabah

6. F Kontrol beras

7. G Kontrol jagung

Pemberian rodentisida dan umpan diberikan selama 5 x 24 jam sesuai dengan perlakuan dan dihitung jumlah konsumsinya. Konsumsi tikus terhadap rodentisida dan umpan dicatat setiap harinya dengan catatan tikus telah mengonsumsi salah satu umpan (rodentisida, beras, gabah, jagung) sebanyak > 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 5 x 24 jam perlakuan, tikus ditimbang untuk mendapatkan bobot akhir perlakuan. Kemudian tikus diistirahatkan dari pengujian selama 3 hari dengan diberi gabah secara melimpah (ad libitum) dan dicatat konsumsinya. Kemudian tikus ditimbang kembali sebagai bobot akhir masa istirahat. Jika tikus masih dalam kondisi sehat, maka dapat digunakan kembali sebagai bobot awal untuk perlakuan berikutnya.

(31)

Konversi Umpan

Semua data yang diperoleh dari pengujian tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dikonversi terlebih dahulu terhadap 100 g bobot tikus, dengan rumus sebagai berikut:

Konversi umpan/ = Bobot umpan/rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100% rodentisida (g) Rerata bobot tikus (g)

Rerata bobot = Bobot awal + bobot akhir tubuh tikus (g) 2

Rasio Konsumsi Rodentisida terhadap Umpan

Rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan didapat dari pembagian rodentisida yang dikonsumsi dengan jumlah total umpan yang dikonsumsi dikali 100%.

Rasio konsumsi pada = Rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100%

multiple choice test (%) Rodentisida + Gabah + Beras + Jagung (g)

Rasio konsumsi pada = Rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100%

bi choice test (%) Rodentisida + umpan yang dikonsumsi (g)

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam pengujian ini adalah jumlah rodentisida dan umpan yang dikonsumsi baik pada uji adaptasi, uji banyak pilihan, uji dua pilihan, dan uji tanpa pilihan (kontrol), kematian hewan uji, bobot tikus sebelum dan sesudah perlakuan, serta konsumsi gabah pada masa istirahat.

Rancangan Percobaan

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Kontrol Gabah, Beras, dan Jagung (No Choice Test)

Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi tikus terhadap umpan gabah, beras, dan jagung (no choice test) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsumsi rerata terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada perlakuan kontrol (no choice test)

Perlakuan Hewan Uji Rerata

Tikus Sawah Tikus Rumah Tikus Pohon

Gabah 11,227 aA 4,723 aA 5,888 bA 7,279 aA

Beras 5,512 bB 6,055 aA 7,746 aA 6,437 aA

Jagung 5,246 bB 1,939 bB 2,334 cB 3,173 bB Rerata 7,328 aA 5,323 bAB 4,029 bB

Keterangan:

Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).

Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui bahwa konsumsi gabah pada tikus sawah merupakan yang tertinggi (11,227 g), kemudian diikuti beras (5,512 g) dan terakhir jagung (5,246 g). Berdasarkan Uji Duncan α=5% dan 1%, hasil pengujian konsumsi gabah berbeda sangat nyata terhadap konsumsi beras dan jagung. Hal ini menunjukkan bahwa tikus sawah lebih menyukai gabah daripada beras dan jagung.

(33)

Konsumsi umpan beras memiliki nilai tertinggi karena beras merupakan pakan utama yang disukai oleh tikus rumah.

Pada pengujian terhadap tikus pohon menunjukkan hasil bahwa konsumsi beras merupakan yang tertinggi (7,746 g), kemudian dilanjutkan dengan gabah (5,888 g) dan terakhir jagung (2,334 g). Pada pengujian ini, umpan beras yang dikonsumsi berbeda nyata dengan umpan lainnya (α=5%) namun tidak berbeda nyata dengan umpan gabah pada taraf α=1%. Jumlah konsumsi beras dan gabah lebih tinggi jika dibandingkan dengan jagung. Hal ini disebabkan perilaku dari tikus itu sendiri, yaitu mengerat dan mengupas kulit dari biji, sehingga tikus lebih banyak mengonsumsi beras dan gabah yang masih memiliki kulit luar yang keras. Selain itu, tikus pohon juga cenderung untuk mengonsumsi makanan dari kelompok serealia, antara lain beras dan gabah (Sipayung et al 1987).

Tikus sawah memiliki nilai rerata konsumsi tertinggi (7,328 g) dan berbeda nyata terhadap dua spesies tikus lainnya (α=5%), namun tidak berbeda nyata dengan tikus rumah pada taraf α=1%. Tingkat konsumsi rerata pada gabah merupakan yang tertinggi (7,279 g) walaupun tidak berbeda nyata dengan umpan beras (Uji Duncan α=5% dan 1%), namun berbeda nyata terhadap umpan jagung. Hal ini menunjukkan bahwa gabah lebih disukai oleh ketiga spesies tikus karena perilaku tikus dalam mengupas kulit dari biji untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh terus menerus.

(34)

Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Rodentisida vs Gabah vs Beras vs Jagung (Multiple Choice Test)

Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi terhadap perlakuan multiple choice test dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 4.

Tabel 3 Konsumsi rerata terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada perlakuan multiple choice test

Perlakuan Hewan Uji Rerata

Tikus Sawah Tikus Rumah Tikus Pohon

Gabah 4,583 aA 2,662 bB 3,265 bB 3,503 aA

Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).

Gambar 4 Konsumsi rerata tiga spesies tikus pada perlakuan multiple choice test

Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui bahwa konsumsi tikus sawah terhadap gabah memiliki nilai rerata tertinggi (4,583 g) yang berbeda sangat nyata (α=1%) terhadap dua jenis umpan lainnya dan rodentisida. Hal ini menunjukkan bahwa tikus sawah lebih menyukai gabah dibandingkan dengan

(35)

rodentisida dan umpan lainnya. Umpan lain yang disukai oleh tikus sawah adalah beras, yang menempati urutan kedua setelah gabah.

Pada pengujian terhadap tikus rumah menunjukkan hasil bahwa konsumsi beras memiliki nilai rerata tertinggi (5,961 g) dan berbeda sangat nyata (α=1%) terhadap dua jenis umpan lainnya dan rodentisida. Hal ini menunjukkan bahwa tikus rumah lebih menyukai beras dibandingkan dengan rodentisida dan umpan lainnya. Umpan lain yang disukai oleh tikus rumah adalah gabah (2,662 g) yang menempati urutan kedua setelah beras, kemudian dilanjutkan dengan jagung (1,137 g) dan terakhir rodentisida (1,024 g).

Pada pengujian terhadap tikus pohon menunjukkan hasil bahwa konsumsi tikus pohon terhadap beras memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi (6,476 g) dan berbeda sangat nyata (α=1%) terhadap rodentisida dan dua jenis umpan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tikus pohon lebih menyukai beras dibandingkan dengan rodentisida dan umpan lainnya. Pada pengujian ini, jumlah rodentisida yang dikonsumsi paling sedikit (0,479 g) dan berbeda nyata dengan umpan lainnya (α=5%) namun tidak berbeda nyata dengan umpan gabah dan jagung pada taraf α=1%.

(36)

Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Rodentisida vs Umpan (Bi Choice Test)

Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi terhadap perlakuan bi choice test dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Konsumsi rerata terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada perlakuan bi choice test

Perlakuan

Hewan Uji

Rerata Tikus Sawah Tikus Rumah Tikus Pohon

Gabah 6,656 aA 6,789 aA 8,514 aA 7,319 aA

Rodentisida 0,083 bB 0,193 bB 0,235 bB 0,170 bB

Beras 4,289 aA 6,166 aA 9,020 aA 6,492 aA

Rodentisida 0,133 bB 0,598 bB 0,286 bB 0,339 bB

Jagung 4,340 aA 2,859 aA 3,133 aA 3,444 aA Rodentisida 0,013 bB 2,783 aA 3,735 aA 2,177 bA

Rerata Umpan 5,095 aA 5,271 aA 6,889 aA

Rerata

Rodentisida 0,076 bB 1,191 bB 1,418 bB

Keterangan:

Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).

(37)

rodentisida pada setiap perlakuan sangat rendah karena adanya umpan lain yang tidak beracun, yaitu beras, gabah, dan jagung.

Pada pengujian terhadap tikus rumah menunjukkan hasil bahwa perbandingan konsumsi antara beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%), sedangkan perbandingan konsumsi jagung dengan rodentisida tidak berbeda nyata. Konsumsi rerata umpan gabah relatif sama dengan umpan beras, begitu juga dengan rodentisida yang dikonsumsi pada kedua perlakuan ini. Hal ini menunjukkan bahwa tikus rumah lebih memilih untuk mengonsumsi umpan beras dan gabah daripada rodentisida. Dari ketiga perlakuan tersebut, konsumsi jagung pada perlakuan jagung vs rodentisida merupakan yang terendah (2,859 g) sedangkan konsumsi rodentisida merupakan yang tertinggi (2,783 g) dan tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan beberapa ekor tikus rumah lebih menyukai rodentisida dibandingkan jagung.

Pada pengujian terhadap tikus pohon menunjukkan hasil bahwa konsumsi antara beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%), dimana konsumsi beras pada perlakuan beras vs rodentisida menunjukkan nilai yang tertinggi (9,020 g) dibandingkan kedua umpan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tikus pohon lebih menyukai umpan dasar yang memiliki kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi dibandingkan dengan rodentisida. Pada perlakuan jagung vs rodentisida, jumlah konsumsi jagung dengan rodentisida relatif sama dan tidak berbeda nyata dimana konsumsi jagung menunjukkan nilai yang terendah (3,735 g), sedangkan konsumsi rodentisida merupakan yang tertinggi (3,133 g). Hal ini dikarenakan beberapa ekor tikus pohon lebih menyukai rodentisida dibandingkan umpan jagung.

(38)

Rasio Konsumsi Rodentisida/Umpan terhadap Tikus

Hasil yang diperoleh dari rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohondapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan (%) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Keterangan:

Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).

A = Rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Rodentisida brodifakum vs gabah

C = Rodentisida brodifakum vs beras D = Rodentisida brodifakum vs jagung

Berdasarkan hasil pada Tabel 5, menunjukkan bahwa pada tikus sawah rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan perlakuan C merupakan yang tertinggi (6,230%), relatif sama dengan perlakuan lainnya dan tidak berbeda nyata (α=5% dan 1%). Jika dilihat dari rasio konsumsi rodentisida/umpan, tikus sawah sangat sedikit mengonsumsi rodentisida dengan jumlah kematian 1-2 ekor. Hal ini disebabkan tikus sawah memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap racun, karena sebelumnya tikus ini telah memiliki pengalaman akibat pemberian rodentisida terus-menerus saat berada di lapang.

Pada tikus rumah, perlakuan D merupakan yang tertinggi (52,510%) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (α=5% dan 1%). Hal ini terlihat dari jumlah kematian tikus rumah yang sangat besar karena telah mengonsumsi rodentisida dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan konsumsi umpan yang sedikit. Pada tikus pohon, perlakuan D merupakan rasio konsumsi rodentisida yang tertinggi (55,890%) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya

Perlakuan Hewan Uji Rerata

Tikus Sawah Tikus Rumah Tikus Pohon

A 0,120 aA 10,080 bB 5,490 bB 5,230 bB

B 1,620 aA 2,830 bB 3,040 bB 2,497 bB

C 6,230 aA 8,670 bB 3,540 bB 6,147 bB

(39)

(α=5% dan 1%). Hal ini tidak berbeda dengan tikus rumah, dimana konsumsi rodentisida lebih banyak dibandingkan umpan yang tersedia dan menyebabkan kematian yang sangat besar.

Rerata rasio konsumsi rodentisida/umpan pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan D merupakan yang tertinggi (36,210%) dan berbeda nyata dengan rerata perlakuan lainnya (α=5% dan 1%), sedangkan rerata rasio konsumsi rodentisida/umpan pada baris yang sama menunjukkan bahwa tikus rumah dan tikus pohon memiliki rasio yang tinggi dan berbeda nyata dengan tikus sawah (α=5% dan 1%).

Kematian dan Konsumsi Hewan Uji

Hasil yang diperoleh dari kematian hewan uji pada saat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kematian dan konsumsi hewan uji pada saat perlakuan

(40)

Keterangan:

A = Rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Rodentisida brodifakum vs gabah

C = Rodentisida brodifakum vs beras D = Rodentisida brodifakum vs jagung

Berdasarkan hasil pada Tabel 6, menunjukkan bahwa konsumsi rodentisida yang menyebabkan kematian pada tikus relatif sama antar perlakuan, kecuali pada perlakuan D. Pada pengamatan didapat kisaran lama kematian tikus berkisar 3 sampai 5 hari. Konsumsi total rodentisida tertinggi tikus sawah terdapat pada perlakuan B (0,830 g) dengan jumlah tikus yang mati 2 ekor dan konsumsi rerata 0,415 g per ekor tikus. Konsumsi total rodentisida tertinggi tikus rumah terdapat pada perlakuan D (20,938 g) dengan jumlah tikus yang mati 7 ekor dan konsumsi rerata 2,991 g per ekor tikus. Konsumsi total rodentisida tertinggi tikus pohon terdapat pada perlakuan D (31,322 g) dengan jumlah tikus yang mati 8 ekor dan konsumsi rerata 0,415 g per ekor tikus. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tikus yang mati karena lebih banyak mengonsumsi rodentisida dibandingkan yang tetap hidup. Pada umumnya tikus mengonsumsi rodentisida yang cukup tinggi dan kematiannya cukup banyak.

Perubahan Bobot Tubuh Tikus

Dalam setiap perlakuan dilakukan penimbangan sebelum dan setelah perlakuan untuk mengetahui perubahan bobot dan rata-rata bobot tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada masing-masing perlakuan. Bobot tubuh awal tikus diperoleh dari penimbangan sebelum diberikan perlakuan dan bobot tubuh akhir tikus diperoleh dari penimbangan setelah dilakukan lima hari perlakuan. Secara umum, bobot tikus akan mengalami penurunan setelah diberikan perlakuan dengan rodentisida. Perubahan bobot tubuh tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada saat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.

(41)

perlakuan B dan perlakuan C tikus lebih banyak mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida namun bobot tubuhnya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan tikus merasa dalam cekaman pada saat mencicipi rodentisida dan jumlah rodentisida yang dimakan oleh tikus sawah sudah bekerja sehingga mengganggu fisiologis tikus dan akhirnya berpengaruh terhadap penurunan bobot tubuh.

Tabel 7 Perubahan bobot tubuh terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada saat perlakuan

A = Rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Rodentisida brodifakum vs gabah

C = Rodentisida brodifakum vs beras D = Rodentisida brodifakum vs jagung

(42)

kenaikan perubahan bobot tikus pohon terjadi pada perlakuan B (0,417 g) dan perlakuan C (1,235 g), sedangkan penurunan perubahan bobot tikus pohon terjadi pada perlakuan A (-0,243 g) dan D (-2,766 g). Pada perlakuan D terhadap tikus rumah dan tikus pohon terjadi penurunan bobot tubuh dan jumlah kematian yang besar, hal ini karena jumlah konsumsi umpan sangat sedikit dan konsumsi rodentisida yang cukup banyak sehingga tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan brodifakum dalam jumlah yang cukup (lethal dose) akan mengalami penurunan aktivitas, hewan menjadi lemas, dan pergerakannya akan menjadi lambat.

Konsumsi Gabah pada Masa Istirahat

Hasil yang diperoleh dari konsumsi gabah terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada masa istirahat dapat dilihat pada Tabel 8.

 

Tabel 8 Konsumsi gabah terhadap tikus sawah, tikus rumah, tikus pohon pada masa istirahat

Perlakuan Tikus Sawah Tikus Rumah Tikus Pohon Rerata A 6,677 abAB 8,164 aA 8,940 aA 7,927 aA

Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).

A = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs gabah

C = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs beras D = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs jagung

(43)

mengalami penurunan dibandingkan kontrol. Hal ini terjadi karena pengaruh dari proses peracunan di dalam tubuh tikus sawah, sehingga dapat menurunkan konsumsi terhadap gabah. Konsumsi gabah tikus rumah dan tikus pohon pada semua perlakuan mengalami kenaikan dibandingkan kontrol. Peningkatan konsumsi gabah setelah perlakuan menunjukkan bahwa tikus mengonsumsi rodentisida lebih sedikit sehingga kondisi tubuh tikus tidak mengalami keracunan dan memerlukan kebutuhan pakan yang tinggi.

Gejala Keracunan

Brodifakum merupakan rodentisida generasi kedua yang paling potensial untuk mengendalikan tikus, memiliki cara kerja mengganggu kerja vitamin K dalam proses pembekuan darah. Gejala keracunan yang terlihat pada saat pengamatan pengujian rodentisida terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dengan metode multiple choice test dan bi choice test setelah mengonsumsi rodentisida antikoagulan (brodifakum 0,005%) pada umumnya sama, yaitu terjadinya penurunan aktivitas, tikus menjadi lemas dan pergerakannya lambat atau tidak agresif.

Selain itu gejala yang tampak adalah pendarahan atau keluarnya darah dari lubang-lubang alami tikus seperti mulut dan anus, namun ada beberapa tikus yang tidak menunjukkan gejala pendarahan di luar tubuh saat terjadi kematian. Hal ini sangat berkaitan dengan reaksi fisiologis di dalam masing-masing tubuh tikus itu sendiri, serta seberapa parah terjadinya proses pendarahan di dalam tubuh tikus tersebut. Menurut Priyambodo (2009) racun kronis bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh kapiler.

(44)

Gambar 6 Gejala pendarahan pada anus tikus

Pembahasan Umum

Pengujian rodentisida antikoagulan terhadap tiga spesies tikus hama dengan menggunakan metode multiple choice test menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu tikus lebih memilih mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida. Hal ini dapat terjadi karena pada metode multiple choice terdapat alternatif umpan lain yang tidak beracun, sehingga tikus mempunyai pilihan lain dalam mengonsumsi umpan yang telah disediakan dan secara tidak langsung mencegah tikus dalam mengonsumsi umpan beracun.

Pada pengujian kontrol, konsumsi tikus sawah menunjukkan bahwa gabah lebih disukai dibandingkan beras dan jagung yang relatif sama. Pada pengujian rodentisida dengan menggunakan metode bi choice test, setiap jenis umpan yang diberikan lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan rodentisida dan berbeda nyata pada perlakuan lainnya. Rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan menunjukkan bahwa tikus sawah lebih menyukai umpan yang tersedia dibandingkan dengan rodentisida, dimana hal tersebut dapat terlihat dari jumlah kematian tikus sawah yang sangat sedikit.

(45)

dalam laboratorium pengujian yang menyebabkan tikus sawah kurang nyaman dengan kondisi lingkungan sekitar.

Tikus merupakan hewan yang mempunyai keempat macam indera yang dapat berkembang secara baik yaitu indera perasa, peraba, penciuman, dan pendengaran sehingga dengan keempat indera yang dimiliki secara baik maka tikus mempunyai sinyal yang dapat dijadikan tanda bahaya bagi ketiga jenis spesies tikus pada waktu perlakuan yang sama di laboratorium. Tikus sawah mempunyai tingkat kepekaan atau sensitifitas yang tinggi dibandingkan dengan dua spesies tikus lain yang diujikan (tikus rumah dan tikus pohon). Tikus sawah lebih menyukai gabah karena perilaku tikus dalam mengupas kulit dari biji untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh terus menerus.

Pengujian kontrol pada tikus rumah menunjukkan bahwa umpan beras lebih disukai dibandingkan umpan lainnya. Hal ini dikarenakan habitat tikus rumah umumnya berada di perumahan, dimana selalu tersedia beras sebagai sumber pakannya. Pada pengujian rodentisida dengan menggunakan metode bi choice test menunjukkan hasil bahwa perbandingan konsumsi antara umpan beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%), sedangkan perbandingan konsumsi umpan jagung dengan rodentisida tidak berbeda nyata. Hal ini juga terlihat pada rasio konsumsi rodentisida/umpan yang menunjukkan bahwa perlakuan D menunjukkan nilai tertinggi, ini berarti bahwa tikus rumah cukup banyak mengonsumi rodentisida dan kurang menyukai jagung.

(46)

Pengujian kontrol pada tikus pohon menunjukkan bahwa umpan beras lebih disukai dan berbeda nyata (α=5%) terhadap umpan gabah dan jagung. Pada pengujian rodentisida dengan menggunakan metode bi choice test, perbandingan konsumsi antara umpan beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%) sedangkan konsumsi umpan jagung dengan rodentisida relatif sama dan tidak berbeda nyata. Pada pengujian rasio konsumsi rodentisida/umpan didapatkan hasil bahwa perlakuan D menunjukkan nilai tertinggi, hal ini berarti bahwa tikus pohon cukup banyak mengonsumi rodentisida dan kurang menyukai jagung.

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengujian rodentisida antikoagulan brodifakum terhadap tiga spesies tikus hama dengan menggunakan metode multiple choice test menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu bahwa tikus lebih memilih mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida. Pengujian rodentisida antikoagulan brodifakum dengan menggunakan metode bi choice test terhadap tikus rumah dan tikus pohon lebih disukai pada saat pemberian umpan jagung daripada umpan beras dan gabah, sedangkan pada tikus sawah rodentisida brodifakum kurang disukai pada setiap pemberian umpan. Pada pengujian kontrol, gabah lebih disukai oleh tikus sawah, beras lebih disukai oleh tikus rumah dan tikus pohon, sedangkan jagung merupakan umpan yang tidak disukai oleh ketiga jenis tikus hama tersebut. Tikus yang mengalami penurunan bobot tubuh sebagai akibat dari mengonsumsi umpan dalam jumlah sedikit dan rodentisida dalam jumlah yang relatif banyak.

Rodentisida antikoagulan brodifakum lebih efektif dalam mengendalikan tikus rumah dan tikus pohon, karena kedua spesies tikus ini kurang mengenali dan tidak mengalami kecurigaan terhadap rodentisida tersebut. Untuk pengendalian tikus sawah dengan menggunakan rodentisida brodifakum kurang efektif, karena tikus sawah sudah mengenali dan mencurigai rodentisida tersebut sebelumnya di lapang. Tikus sawah mempunyai tingkat kecurigaan yang tinggi dibandingkan dengan tikus rumah dan tikus pohon.

Saran

(48)

DAFTAR PUSTAKA

[CABI] Crop Agriculture Bioscience International. 2005. Crop Protection Compendium. Willingford: CAB.International.

Aplin KP, et al. 2003. Field Methods for Rodent, Studies in Asia and the Indo-pacific. Australia: Canberra.

Aryata RY. 2006. Preferensi Makan Tikus Pohon (Rattus tiomanicus) terhadap Umpan dan Rodentisida [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Buckle AP, Smith RH. 1996. Rodent Pest and Their Control. Cambridge: UK at the University Press.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. Luas dan Intensitas Serangan Tanaman Padi di Indonesia [laporan tahunan]. Jakarta.

Hasbullah. 2005. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Utara.

Pusat Pengkajian, dan Penerapan Teknologi Agroindustri. Vol IV [jurnal on-line]. http://www.iptek.net.id. [29 Februari 2012].

Hindayana D, et al. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kakao. Ed ke-2. Jakarta: Departemen Pertanian.

Meehan AP. 1984. Rat and Mice, Their Biology and Control. East Griendstead: Rentokil limited.

Oudejans DH. 1991. Agro Pesticides, Properties and Function in Integrated Crop Protection. Economic and Social Commision for Asia and Pasific. Bangkok.

Permada J. 2009. Tingkat Kejeraan Racun dan Umpan pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.), Tikus Rumah (Rattus rattus diardii Linn.), dan Tikus Pohon (Rattus tiomanicus Mill.) [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Prakash I. 1998. Rodent Pest Management. United States: CRC Press.

Priyambodo S. 2009. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya.

(49)

Samad MY. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri. Vol II 36:40 [jurnal on-line]. http://www.iptek.net.id. [29 Februari 2012].

Sikora RA. 1981. Rodent Pest and Thei Control. West Germany: Eschbornz.

Sipayung A, Sudharto PS, Lubis AU. 1987. Preferensi Makan Tikus terhadap Jenis Makan dalam Ekosistem Perkebunan Kelapa Sawit [laporan tahunan]. Bogor: Seameo-Biotrop.

Sudarmaji. 2005. Penelitian Sifat Tikus Sawah. [laporan tahunan]. Subang: Balai Besar Padi Subang

Suhardiono L. 1993. Tanaman Kelapa. Yogyakarta: Kanisius.

Suharjo, Kusharto CM. 1998. Ilmu Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sunarjo PI. 1992. Pengendalian Kimiawi Tikus Hama. Di dalam: Prosiding Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Bogor, 17-18 Juni. Bogor: Direktorat Bina Perlindungan Tanaman dan Fakultas Pertanian Institu Pertanian Bogor.

Suswono. 2010. Visi Pangan Perkebunan 2020. Di dalam: Yanuar, editor. Menuju Swasembada yang Kompetitif dan Berkelanjutan serta Mendorong Produk Unggulan Menjadi Primadona Dunia. Seminar Nasional Feed The World, 28 Januari. Jakarta: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.

Thamrin M, et al. 1998. Perkembangan Tikus Sawah (Rattus argentiventer) di Lahan Pasang Surut. Kalimantan Agrikultura. 5: 1-4.

Walker EP. 1999. Mammals of the World. Maryland: The Jons Hopkins University Press 2.

(50)
(51)

Lampiran 1 Analisis ragam konsumsi perlakuan kontrol gabah, beras, dan jagung

Lampiran 2 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah vs beras vs jagung (multiple choice test) pada tikus sawah

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 3 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs beras (bi choice test) pada tikus sawah

(52)

Lampiran 5 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs jagung (bi choice test) pada

Lampiran 6 Analisis ragam konsumsi perlakuan kontrol gabah, beras, dan jagung pada tikus rumah

Lampiran 7 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah vs beras vs jagung (multiple choice test) pada tikus rumah

Rancangan Acak Lengkap

(53)

Lampiran 9 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah (bi choice test) pada

Lampiran 10 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs jagung (bi choice test) pada tikus rumah

Lampiran 11 Analisis ragam konsumsi perlakuan kontrol gabah, beras, dan jagung pada tikus pohon

Lampiran 12 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah vs beras vs jagung (multiple choice test) pada tikus pohon

(54)

Lampiran 13 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs beras (bi choice test) pada

Lampiran 14 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs gabah (bi choice test) pada tikus pohon

Lampiran 15 Analisis ragam konsumsi rodentisida vs jagung (bi choice test) pada tikus pohon

Lampiran 16 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan kontrol (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

(55)

Lampiran 17 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan kontrol (kolom) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 18 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan multiple choice test

(baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 19 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan multiple choice (kolom) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 20 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan gabah vs rodentisida (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

(56)

Lampiran 21 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan beras vs rodentisida (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 22 Analisis ragam konsumsi rerata perlakuan jagung vs rodentisida (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 23 Analisis ragam konsumsi rerata umpan dan rodentisida pada perlakuan bi choice test (kolom) pada tikus sawah

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 24 Analisis ragam konsumsi rerata umpan dan rodentisida pada perlakuan bi choice test (kolom) pada tikus rumah

(57)

Lampiran 25 Analisis ragam konsumsi rerata umpan dan rodentisida pada perlakuan bi choice test (kolom) pada tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 26 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan pada tikus sawah

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 27 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan pada tikus rumah

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 28 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan pada tikus pohon

(58)

Lampiran 29 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan rerata (baris) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 30 Analisis ragam rasio konsumsi rodentisida/umpan rerata (kolom) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 31 Analisis ragam konsumsi gabah pada masa istirahat terhadap tikus sawah

(59)

Lampiran 33 Analisis ragam konsumsi gabah pada masa istirahat terhadap tikus

Lampiran 34 Analisis ragam konsumsi rerata gabah (kolom) pada masa istirahat terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

Rancangan Acak Lengkap

Lampiran 35 Analisis ragam konsumsi rerata gabah (baris) pada masa istirahat terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

(60)

TIGA SPESIES TIKUS HAMA

RIZKY NAZARRETA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(61)

RIZKY NAZARRETA. Pengujian Preferensi dan Efikasi Rodentisida Antikoagulan Brodifakum terhadap Tiga Spesies Tikus Hama. Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Tikus merupakan satwa liar yang berasosiasi dengan kehidupan manusia dan menjadi hama penting dalam bidang pertanian, perkebunan, dan permukiman. Saat ini tiga spesies tikus hama yang keberadaannya sangat mengganggu dan banyak menimbulkan kerugian adalah tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii), dan tikus pohon (R. tiomanicus). Upaya pengendalian ketiga spesies tikus hama tersebut yang sering dilakukan adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsumsi tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida berbahan aktif brodifakum yang diuji dengan umpan dasar serta mengetahui keefektifan dari rodentisida ini dalam mengendalikan tiga spesies tikus hama tersebut. Metode yang digunakan yaitu uji banyak pilihan (multiple choice test) dan uji dua pilihan (bi choice test) selama lima hari dengan menggunakan rodentisida berbahan aktif brodifakum dan umpan dasar (gabah, beras, jagung). Setelah perlakuan hari ke-5, tikus uji diistirahatkan selama tiga hari dengan diberi pakan gabah yang selanjutnya akan digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya jika dalam kondisi sehat. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode multiple choice test menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu bahwa tikus lebih memilih mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida, pada metode bi choice test terhadap tikus rumah dan tikus pohon lebih disukai pada saat pemberian umpan jagung daripada umpan beras dan gabah, sedangkan pada tikus sawah rodentisida brodifakum kurang disukai pada setiap pemberian umpan. Rodentisida antikoagulan brodifakum lebih efektif dalam mengendalikan tikus rumah dan tikus pohon, karena kedua spesies tikus ini kurang mengenali dan tidak mengalami kecurigaan terhadap rodentisida tersebut.

Gambar

Gambar 2  Timbangan elektronik
Gambar 3  Pengujian perlakuan rodentisida dan umpan
Gambar 4  Konsumsi rerata tiga spesies tikus pada perlakuan multiple choice test
Tabel 4  Konsumsi rerata terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif flokumafen paling banyak dikonsumsi oleh burung hantu celepuk pada perlakuan tiga hari yaitu (77.89 g),

Pengujian repelen di tiga permukiman dilakukan dengan mengamati bobot gabah yang dikonsumsi dan jumlah bekas pijakan tikus pada ubin jejak, dengan asumsi bahwa

Rodentisida dengan bahan aktif brodifacoum dan bromadiolone dipilih untuk pengujian tikus pohon, tikus rumah, dan tikus sawah karena kedua jenis rodentisida ini

Pada Bondol Peking, konsumsi pakan tertinggi setelah beras merah dan gabah adalah jewawut walaupun tidak berbeda nyata dengan ketiga jenis pakan lainnya (milet,

Preferensi umpan padi/gabah lebih disukai oleh tikus dari pada umpan umpan beras utuh, beras pecah, jagung utuh, jagung pecah dan tepung jagung karena umpan padi mudah

Skripsi berjudul “Uji Efikasi Rodentisida Nabati Daun Ruku-ruku ( Ocimum sanctum L.) Terhadap Mortalitas Tikus Sawah ( Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss. )

Uji pakan pada tikus riul (Rattus norvegicus) dengan beberapa variasi pengolahan dan uji rodentisida dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen

Hasil pengujian formulasi RSA1 dengan metode semprot larva juga menunjukkan tidak berbeda nyata pada pengamatan 24 JSP dan 48 JSP, sedangkan pada pengujian 72 JSP menunjukkan