Intensitas Radiasi Surya
Matahari sebagai pusat pergerakan planet bumi, memancarkan radiasinya
dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Radiasi matahari ini merupakan sumber
tenaga atau sumber energi bagi gerak kehidupan planet bumi, diantaranya membentuk
perilaku iklim dan memberikan kehangatan bagi organismenya. Radiasi matahari
setelah diterima atmosfir bumi selanjutnya masuk dalam biosfir, di mana pada daerah
ini terdapat tumbuhan, satu-satunya organisme bumi yang mampu mengubahnya
menjadi energi kimia sehingga menjadi bermanfaat bagi organisme lainnya.
Intensitas radiasi matahari pada batas atmosfir bumi teratas, besarnya sekitar
1.370 W m-2 atau sekitar 2 kal m-2 menit-1. Jones (1992) menjelaskan radiasi ini
dikenal sebagai tetapan radiasi matahari (solar constant). Pengamatan dengan pyrheliometer pada satelit Nimbus 7 menunjukkan tetapan radiasi matahari berkisar
1.369-1.375 W m-2 atau rata-rata 1.373 W m-2 dengan kecenderungan penurunan
sekitar 0,02% per tahunnya. Dari radiasi tersebut, hanya sebagian saja yang sampai di
permukaan bumi, lainnya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai akibat pembelokan
lapisan atas atmosfir dan sebagian diserap oleh berbagai partikel yang ada di udara
(Monteith, 1990). Lebih lanjut disebutkan pula bahwa sekitar 60-75% radiasi
gelombang pendek yang diamati di Observatorium Kew (51,5 °LU), hilang di
atmosfir akibat pemantulan dan penyerapan berbagai partikel, seperti uap air, awan,
oleh musim, yakni terendah 2,2 MJ m-2 hari-1 pada musim dingin (25%) dan tertinggi
16,2 MJ m-2 hari-1 pada musim panas (40%). Besarnya intensitas radiasi di permukaan
bumi tergantung dari lintang tempat, ketebalan awan, topografi dan musim. Adanya
awan di atmosfir menyebabkan penerimaan radiasi matahari di permukaan bumi
bervariasi, dari 40% di daerah basah dengan banyak awan sampai 80% di daerah
gurun yang kering (Larcher, 1980).
Sugito (1999) menjelaskan, dalam hubungannya dengan tanaman, radiasi
matahari digolongkan menjadi tiga, yakni intensitas, kualitas dan fotoperiodisitas.
Dari ketiganya, aspek intensitas yang banyak berperan dalam konversi energi
matahari dibandingkan dengan dua aspek radiasi matahari lainnya. Jones (1992)
menambahkan, radiasi matahari sampai pada permukaan daun tanaman dapat secara
langsung atau tidak, dapat berupa gelombang pendek dan gelombang panjang yang
diterima melalui penerusan atmosfir, pemantulan awan dan pemantulan dari
permukaan tanah.
Intensitas radiasi matahari adalah banyaknya energi yang diterima oleh suatu
tanaman per satuan luas dan per satuan waktu. Adanya satuan waktu berarti dalam
pengukuran ini termasuk pula lama penyinaran atau atau lama matahari bersinar
dalam satu hari (Sugito, 1999). Selanjutnya Lawlor (1993) mengatakan, untuk
mengukur energi digunakan satuan J m-2 detik-1 dimana 1 J detik-1 = 1 watt (W)
ekivalen dengan W m-2. Jones (1992) menambahkan, dalam The International System
of Units (SI), untuk mengukur intensitas digunakan satuan W m-2.
Di Indonesia yang beriklim tropis, intensitas radiasi matahari dipengaruhi oleh
banyak awan, penerimaan intensitas radasi matahari hanya berkisar 47%, namun pada
musim kemarau di mana pembentukan awan relatif berkurang radiasi bisa mencapai
70% (Lawlor, 1993). Pada siang hari terik dan langit bersih di musim kemarau
intensitas radiasi matahari dapat mendekati 10.000 fc (foot candle) atau sekitar 1,5 kal cm-2 menit-1 setara dengan 1.045,5 W m-2 (Nasir, 1999).
Larcher (1980) mengatakan bahwa banyaknya gunung di daerah tropis
mempengaruhi penerimaan intensitas radiasi matahari. Pada dataran tinggi, karena
rendahnya derajat kekeruhan atau polusi udara, maka penerimaan intensitas radiasi
matahari akan lebih besar bila dibandingkan dengan dataran rendah. Dijelaskan pula,
intensitas radasi matahari mempengaruhi perkembangan morfologi dan fisiologi
tanaman, yakni ciri struktural, kimia dan fungsional tanaman.
Dezfouli dan Herbert (1992) menjelaskan bahwa pada bagian morfologi
tanaman, intensitas radiasi tinggi akan menghasilkan luas daun yang lebih kecil
dengan tinggi tanaman atau ruas batang yang lebih pendek, sedangkan pada
fisiologinya akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel, khloroplas, stomata, nisbah
khlorofil a dan b, C dan N, kandungan antosianin, energi dari bahan kering dan berat
kering tanaman. Pada ciri fungsional, intensitas radiasi tinggi akan meningkatkan laju
fotosintesis, fotorespirasi dan transpirasi tanaman. Sebaliknya, kurangnya intensitas
dari kebutuhan tanaman akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat karena
proses fotosintesisnya terganggu.
Peningkatan intensitas radiasi matahari ternyata tidak bersifat linier dengan
laju fotosintesis. Peningkatan intensitas radiasi hasil pantulan mulsa tidak
et al,1992). Chang (1974) menambahkan, pada siang hari yang terik di musim kemarau dimana intensitas radiasi matahari dapat mencapai 1.071,9 W m-2, tanaman
hanya memanfaatkan cahaya 25 - 60% sesuai dengan tingkat kejenuhan cahaya
masing-masing tanaman.
Energi matahari dipancarkan melalui radiasi matahari berupa gelombang
elektromagnetik. Tanaman pertanian mengkonversi energi matahari yang jatuh di atas
permukaan daunnya, menjadi energi kimia dalam proses fotosintesis.
Hampir 80 - 90% bahan kering tanaman adalah hasil fotosintesis. Namun demikian,
penangkapan energi matahari oleh tanaman pertanian, efesiensinya sangatlah rendah.
Bila dihitung dari besarnya energi matahari yang jatuh pada daun dan bahan kering
yang dihasilkan tanaman, maka efesiensi konversi energi pada berbagai tanaman
hanya berkisar 1 – 2% saja. Rendahnya efisiensi konversi energi ini disebabkan oleh
berbagai sebab, yakni adanya pemantulan dan penerusan energi matahari yang jatuh
pada tajuk tanaman, penggunaan sebagian energi matahari untuk transpirasi serta
pembongkaran kembali hasil fotosintesisi dalam proses respirasi (Jones, 1992).
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) sebagai salah satu tanaman C3 yang berasal dari daerah sub tropis dibudidayakan hampir di seluruh belahan dunia.
Di daerah sub tropis produksinya sekitar 40 ton per ha dan bila semua unsur
pertumbuhan tanaman dalam keadaan optimal, potensi produksinya cukup tinggi,
yakni sekitar 100 ton per ha (Tanaka, 1983). Di Indonesia yang beriklim tropis,
tanaman kentang dibudidayakan di dataran tinggi untuk mendapatkan lingkungan
Pertumbuhan tanaman pada dasarnya menggunakan hasil transformasi energi
matahari menjadi energi kimia. Sinclair dan Muchow (1999) menyebutkan bahwa
transformasi energi ini terdiri atas tiga tahap, yakni penangkapan intensitas radiasi
matahari oleh kanopi tanaman, konversi energi radiasi matahari menjadi energi kimia
dalam bentuk ATP dan NADPH yang selanjutnya digunakan sebagai sumber energi
untuk mengubah karbondioksida menjadi gula dan pati dalam reaksi gelap, serta
pembagian fotosintat ke bagian tanaman yang bernilai ekonomis.
Jones (1992) menambahkan, penambahan berat kering tanaman pada saat fase
vegetatif, merupakan fungsi linier dari radiasi matahari yang diserap tanaman.
Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Sinclair dan Muchow (1999) bahwa
peningkatan intensitas radiasi matahari tidak selalu proporsional dengan hasil bersih
fotosintesis, hubungan kedua parameter tersebut umumnya bersifat hiperbola.
Dalam hubungannya dengan produksi bahan kering, terdapat faktor fisik dan
biologi yang menentukan laju pertumbuhan tanaman, seperti fraksi radiasi matahari
yang dapat ditangkap kanopi tanaman, intensitas radiasi pada individu daun,
ketahanan difusi stomata daun dan perilaku sistem fotokimia (Monteith, 1972, dalam
Sinclair dan Muchow, 1999).
Jones (1992) menjelaskan, peningkatan berat kering tanaman terutama selama
saat fase vegetatif merupakan fungsi linier dari intensitas radiasi yang ditangkap
tanaman.
Dijelaskan pula bahwa absorpsi terbesar dari spektrum cahaya terletak pada
Larcher (1980) menambahkan sekitar 70% PAR yang masuk ke mesofil diserap oleh
kloroplas, yakni di klorofil dan karotenoid.
Budidaya Tanaman Kentang
Sejak ditemukan berabad tahun yang lalu di Pegunungan Andes, Amerika
Selatan, tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) banyak dibudidayakan manusia untuk bahan pangan, terutama di benua Eropa. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan
beragam pangan, tanaman kentang dibudidayakan hampir di seluruh belahan dunia,
tidak hanya di benua Eropa, Amerika atau Australia, namun juga pada beberapa
negara berkembang di Asia dan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Produksi
kentang di Asia menyumbang 30% produksi kentang dunia yang berkisar 274 juta ton
(Schmiediche dan Braun, 1997).
Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan ke dalam divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, famili Solanaceae, genus Solanum dan spesies Solanum tuberosum L.
Kentang termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan
berbentuk perdu/semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali
berproduksi sedangkan umur tanaman kentang bervariasi antara 85 - 180 hari.
Tanaman ini daunnya berwarna hijau dan kelabu yang tumbuh
berselang-seling. Daun berbentuk lonjong dengan ujungnya meruncing. Batang tanaman
berbentuk segiempat, memiliki sifat agak keras tetapi tidak begitu kuat. Tanaman
umumnya berbunga dan memiliki warna kuning, putih atau ungu. Bunga memiliki
Tinggi Tanaman kentang sekitar 50 – 100 cm dan diameter kanopi sekitar 50
cm. Batang utama tumbuh langsung dari umbi bibit sedangkan batang sekunder dan
tersier tumbuh dari batang di bawah permukaan tanah. Pada umbi bibit yang
berkualitas bagus, dari satu umbi dapat tumbuh sampai 10 batang utama. Daun
berbentuk majemuk, terdiri atas petiole, daun terminal dan lateral, daun sekunder dan
kadang-kadang terbentuk daun keempat (Lovatt, 1997). Stolon sudah tumbuh pada
awal pertumbuhan tanaman, yaitu sekitar 7-10 hari setelah tanaman/tunas bibit
muncul di permukaan tanah. Umbi akan terbentuk kira-kira pada akhir dari
terbentuknya kuncup bunga (Sutater, 1986). Selanjutnya Lovatt (1997)
menambahkan, umbi berkembang dari stolon yang tumbuh dari batang utama atau
batang sekunder. Umbi dapat dikatakan sebagai bagian dari batang yang digunakan
untuk penimbunan karbohidrat. Dalam satu rumpun tanaman yang baik dapat
diperoleh 30 umbi. Akar tanaman tanaman tumbuh dari umbi bibit dan terutama dari
batang utama yang terletak di bawah permukaan tanah.
Bibit tanaman kentang dapat berasal dari umbi, perbanyakan melalui stek
batang dan stek tunas daun. Tanaman ini tumbuh subur pada tanah yang berstruktur
remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki
lapisan olah yang dalam. Sifat fisik tanah yang baik akan akan menjamin ketersediaan
oksigen di dalam tanah. Tanah yang memiliki sifat ini adalah tanah andosol yang
terbentuk di pegunungan-pegunungan. Keadaan pH tanah yang sesuai untuk tanaman
kentang bervariasi antara antara 5,0 – 7,0.
Pertumbuhan tanaman kentang dibagi menjadi 4 fase, yakni pertumbuhan
muncul tunas sampai inisiasi umbi, biasanya memerlukan waktu 2 sampai 4 minggu
tergantung varietas dan suhu udara. Pada suhu di atas 20 °C tanaman akan
mempunyai pertumbuhan vegetatif yang baik, namun pertumbuhan umbi akan
terhambat. Sebelum fase vegetatif dimulai, diperlukan waktu 2 – 5 minggu bagi tunas
untuk muncul di permukaan tanah, tergantung kondisi umbi bibit, varietas dan suhu
tanah. Fase inisiasi dan pembesaran umbi, berlangsung selama 7 – 8 minggu, dimulai
dengan pembentukan stolon dan dilanjutkan dengan pembesarannya. Suhu yang ideal
bagi pembentukan umbi adalah 15 – 20 °C, bila terjadi suhu rendah di bawah 15 °C
maka laju pertumbuhan daun dan stolon akan terhambat. Pada beberapa varietas, saat
inisiasi umbi ditandai dengan munculnya kuncup bunga. Fase pemasakan umbi
memerlukan waktu 2 – 3 minggu. Terlihat tiga perubahan penting pada tanaman,
yakni kulit umbi mulai terbentuk, berat kering umbi mencapai maksimum serta
bagian atas tanaman mulai berwarna kekuningan dan mati. Kisaran waktu
pertumbuhan tanaman sejak tanam hingga panen sekitar 13 – 20 minggu. (Lovatt,
1997).
Lovatt (1997) menjelaskan, tanaman kentang yang ditanam pada suhu siang
hari 40 °C dan suhu malam hari 30 °C mempunyai rasio berat kering batang dengan
daun yang tinggi dan rasio berat kering umbi dengan daun dan batang yang rendah.
Dijelaskan pula, pada suhu harian yang tinggi maka alokasi asimilat akan dominan
pada bagian atas tanaman, yakni daun, batang dan cabang, sebaliknya pada suhu yang
Umbi kentang adalah bagian organ penyimpanan yang sangat aktif karena
sejak awal pertumbuhan tanaman, fotosintat telah ditranslokasikan ke bagian umbi
daripada ke batang dan pada akhir fase vegetatif, fotosintat yang berada di batang
juga akan ditranslokasikan ke umbi sebagai bagian sink organ tanaman dalam bentuk
pati. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa konversi fotosintat menjadi karbohiodrat
dalam umbi kentang sangat tinggi, yakni 0,83 g karbohidrat per gram fotosintat. Hal
ini karena pati adalah produk utama dari karbohidrat daripada selulosa. (Tanaka,
1983).
Selanjutnya ditambahkan oleh Manrique dan Bartholomew (1991), bila pada
malam hari suhu udara cukup tinggi maka pertumbuhan vegetatif terpacu tetapi
translokasi fotosintat ke bagian umbi terhambat dan akhirnya akan menurunkan
produksi umbi.
Pada saat ini hampir seluruh areal tanaman kentang di Indonesia didominasi
varietas Granola. Petani menyukai varietas ini karena ketahanan tanaman terhadap
penyakit khususnya Phytopthora infestans, umur tanaman yang pendek, potensi produksi yang cukup tinggi serta kualitas umbi yang prima dan disukai konsumen.
Disamping aneka varietas dengan berbagai bentuk tajuk (luas daun) dan produktivitas
yang telah ada di Jawa Timur, cukup banyak pula varietas introduksi dengan potensi
hasil tinggi, seperti Morene, Atlantic, Russet Burbank, Riverina Russet, Nadine,
Deleware, Galloway, Sheperdy, Deesire dan lain sebagainya (Diperta, 2002).
Dalam hubungannnya dengan produksi suatu tanaman, agar diupayakan nilai
ILD optimal, yaitu keadaan dimana hasil fotosintesis yang lebih besar dibanding
pohon 3 - 3,5 sedangkan pada tanaman kentang nilai ILD 4 – 5 mampu memberikan
hasil umbi sampai 50 ton/ha. (Haeder dan Beringer, 1983).
Nilai ILD suatu tanaman sangat erat hubungannya dengan berat kering
tanaman. Berat kering tanaman akan bertambah dengan meningkatnya ILD, namun
bila ILD terus meningkat maka berat kering akan menurun. Turunnya berat kering ini
disebabkan laju fotosintesis berkurang karena daun saling menaungi. (Tanaka, 1983).
Dari penelitian Wheeler et al. (1991) pada tanaman kentang kultivar Russet
Burbank, Norland, dan Denali, menunjukkan penurunan hasil umbi yang sangat nyata
bila intensitas radiasi turun sampai separuhnya.
Matheny et al. (1992) menjelaskan, produksi fotosintat pada tanaman kentang sangat dipengaruhi intensitas dan kualitas radiasi matahari yang diserap kanopi
tanaman. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa intensitas radiasi aktif fotosintesis
mempengaruhi laju fotosintesis sedangkan spektrum cahaya lebih mempengaruhi
distribusi fotosintat ke berbagai organ tanaman. Menurut Burton (1989) kisaran
intensitas radiasi surya rata-rata harian yang optimum bagi tanaman kentang berkisar
antara 10 – 25 MJ m-2 hari-1. Dengan intensitas radiasi surya tersebut memungkinkan
dapat tercapai titik kejenuhan cahaya untuk fotosintesis tanaman kentang sebesar
0,2 cal cm-2 menit-1.
Ditambahkan oleh Tanaka (1983) panjangnya periode pertumbuhan dan
lamanya pertumbuhan organ penimbunan fotosintat sangat berpengaruh dalam
peningkatan hasil tanaman umbi-umbian. Menyimak hasil penelitian
Koesmaryono, et al. (1998) tentang pengaruh tingkat pencahayaan pada tanaman kedelai, tanaman dengan intensitas pencahayaan sangat rendah (25% dari intensitas
penuh) akan mempunyai kandungan nitrogen daun yang rendah dibanding tanaman
dengan pencahayaan penuh (100%). Tanaman dengan pencahayaan sangat rendah,
juga akan mempunyai daun yang tipis atau nilai LDS yang tinggi, dibanding dengan
tanaman yang mendapat pencahayaan penuh. Dari penelitian ini disimpulkan terdapat
hubungan yang erat antara hasil bersih fotosintesis tanaman dengan pencahayaan.
Laju fotosintesis bersih tanaman akan menurun sejalan dengan berkurangnya
pencahayaan.
Lawlor (1993) menjelaskan, tanaman C3 mampu mencapai fotosintesis
maksimum pada keadaan cahaya rendah, sebaliknya tanaman C4 akan lebih efisien
fotosintesisnya jika cahaya bersinar penuh.