• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Tanaman Tomat

Klasifikasi tanaman tomat menurut Rismunandar (1999) adalah : Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae

Genus : Lycopersicon (Lycopersicum) Spesies : Lycopersicum esculentum Mill.

Tomat memiliki akar tunggang yang bisa tumbuh menembus tanah, sekaligus akar serabut (akar samping) yang bisa tumbuh menyebar ke segala arah. Sayangnya kemampuannya menembus lapisan tanah terbatas, yakni pada kedalaman 30-70 cm. Sesuai sifat perakarannya, tomat bisa tumbuh dengan baik di tanah yang gembur dan mengikat air (Redaksi Agromedia, 2007).

Batang tomat walaupun tidak sekeras tanaman tahunan, tetapi cukup kuat. Warna batang hijau dan berbentuk persegi sampai bulat. Pada permukaan batangnya ditumbuhi banyak rambut halus terutama bagian yang berwarna hijau. Di antara rambut-rambut tersebut biasanya terdapat rambut kelenjar. Pada bagian buku-bukunya terjadi penebalan dan kadang-kadang pada buku bagian bawah terdapat akar-akar pendek. Jika dibiarkan (tidak dipangkas), tanaman tomat akan mempunyai banyak cabang yang menyebar merata (Yani dan Ade, 2004).

Bunga tanaman tomat termasuk sempurna (hermaprodit). Dengan demikian, tomat bisa melakukan penyerbukan sendiri, sekaligus mampu melakukan penyerbukan silang dengan bantuan serangga, seperti lebah. Penyerbukan silang lebih umum terjadi di daerah tropis dibandingkan di daerah beriklim sedang. Bunga berwarna kuning dan tersusun dalam satu rangkaian (dompolan), tergantung varietasnya. Bunga tomat dapat pula menghasilkan buah tanpa adanya persarian, yaitu dengan bantuan zat hormon (fruit-tone) yang disemprotkan langsung pada bunga. Dalam istilan botani disebut pembuahan parthenocarpi (Rismunandar, 1995).

Bagian dalam buah memiliki ruang-ruang yang dipenuhi biji. Ukuran buah tomat dan beratnya bervariasi tergantung varietasnya. Biji tomat berbentuk pipih, berbulu, dan berwarna putih, putih kekuningan atau cokelat muda. Panjangnya 3-5 mm dan lebar 2-4 mm (Redaksi Agromedia, 2007).

Syarat Tumbuh Iklim

Tomat dapat tumbuh dalam musim hujan ataupun musim kemarau, namun dalam musin basah tidak terjamin baik hasilnya. Iklim yang basah akan membentuk tanaman yang rimbun, tetapi bunganya berkurang, dan di daerah pegunungan akan timbul penyakit daun yang dapat membuat fatal pertumbuhannya. Musim kemarau yang terik dengan angin yang kencang akan

menghambat pertumbuhan bunga (mengering dan berguguran) (Rismunandar, 1995).

Pada hakikatnya tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan di dataran rendah maupun tinggi. Semakin tinggi suatu tempat, suhu udara akan semakin

rendah dan sebaliknya. Faktor suhu biasanya mempunyai hubungan dengan pertumbuhan tanaman. Semakin tinggi suhu selama masa pertumbuhan, maka semakin tinggi pula pertumbuhannya. Hal ini berpengaruh terhadap waktu panennya. Semakin tinggi suhu, maka semakin cepat waktu panennya (Redaksi Agromedia, 2007).

Kekurangan sinar matahari menyebabkan tanaman tomat mudah terserang penyakit, baik parasit maupun non parasit. Sinar matahari berintensitas tinggi akan menghasilkan vitamin C dan karoten (provitamin A) yang lebih tinggi. Suhu udara rata-rata harian yang optimal untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah suhu siang hari 18-29 0C dan pada malam hari 10-20 0C. Pada tanaman yang masih muda, kelembaban udara yang tinggi yakni 95 % sangat baik untuk

merangsang pertumbuha

Tanah

Tanaman tomat dapat tumbuh di segala jenis tanah, mulai tanah pasir sampai tanah lempung berpasir yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik serta unsur hara dan mudah merembeskan air. Selain itu akar tanaman tomat rentan terhadap kekurangan oksigen oleh karena itu air tidak boleh

tergenang

Derajat keasaman (pH) tanah yang ideal untuk pertumbuhan tomat adalah pH 7 atau netral. Jika pH tanah terlalu masam atau di bawah 5,5 disarankan agar dilakukan pengapuran. pH yang terlalu masam akan menghambat penyerapan unsur hara oleh tanaman dan akan menguntungkan pertumbuhan jamur seperti

Mutu buah tomat

Beberapa hal yang termasuk dalam standar mutu tomat adalah sebagai berikut :

1. Produksi buah mencapai 25 ton/Ha.

2. Ukuran buah yang dihasilkan seragam, tergantung pada permintaan pasar. 3. Kesamaan sifat varietas seragam.

4. Keseragaman tingkat kematangan buah (60%-90%) tergantung permintaan pasar.

5. Utuh, bebas dari bercak, tidak memar, tidak pecah, busuk, terbelah dan terkelupas

6. Berat buah yang dihasilkan rata-rata 30 % besar, 35 % sedang, dan 35 % kecil.

7. Buah aman untuk dikonsumsi. 8. Rasa segar buah cukup baik.

9. Berdasarkan ukurannya, buah tomat dibedakan menjadin 4 tipe yakni, cherry (15 mm), oblong atau elongated (30 mm), round (35 mm), dan ribbed (35 mm) (Redaksi Agromedia, 2007).

Dalam SNI, tomat segar digolongkan dalam 3 ukuran berat menurut kultivarnya, yaitu :

- Besar, bila berat buah > 150 gr/buah - Sedang, bila berat buah 100-150 gr/buah - Kecil, bila berat buah < 100 gr/buah

Buah tomat dikatakan tua apabila buah tomat telah mencapai tingkat perkembangan fisiologis yang menjamin proses pematangan yang sempurna dan

rongga buah telah berisi bahan yang mempunyai kekentalan menyerupai jeli/gelatine, serta biji buah mencapai tingkat perkembangan sempurna. Buah tomat dinyatakan terlalu matang dan lunak apabila buah tomat telah mencapai kematangan penuh dengan tekstur daging buah lunak

Untuk menangkap peluang ekspor yang cukup baik, tentunya harus diimbangi dengan peningkatan mutu yang baik pula. Dalam mempersiapkan mutu ekspor yang lebih baik, seragam, dan mampu bersaing dengan mutu dari negara lain diperlukan adanya standar mutu tomat yang jelas. Untuk kebutuhan pasar dikenal dua jenis mutu yaitu mutu I dan II. Kerusakan maksimum pada buah

tomat mutu I sekitar 5% sedangkan pada mutu II sekitar 10 % (Yani dan Ade, 2004).

Gibberellin

Gibberellin adalah jenis hormon tumbuh yang mula – mula diketemukan di Jepang oleh Kurosawa dalam tahun 1926. Kurosawa melakukan penelitian terhadap penyakit “bakane” pada tanaman padi yang disebabkan oleh jamur

Gibberella fujikuroi. Gejala khas dari penyakit ini ialah : apabila tanaman padi

terserang, maka tanaman tersebut memperlihatkan batang dan daun yang memanjang secara tidak normal (Abidin, 1983).

Pada 1920-an para peneliti Jepang menyelidiki suatu penyakit cendawan pada padi yang disebabkan oleh Gibberella fujikuroi. Bila cendawan ini dikulturkan, ternyata mengeluarkan suatu zat medium yang disebut gibberellin A, yang dapat mendorong gejala timbulnya penyakit bila disemprotkan pada tanaman

sehat dan dapat mendorong pemanjangan batang pada sejumlah jenis tanaman lain (Heddy, 1986).

GA merupakan diterpenoid, yang menempatkan zat itu dalam keluarga kimia yang secara bersama-sama dengan khlorofil dan karoten. GA yang berbeda-beda dinamai dengan kode huruf-nomor (GA1, GA2, GA3, …, GA52). Jenis GA

yang pertama kali diidentifikasi, merupakan yang paling dikenal dan paling banyak diteliti adalah Asam giberelat (GA3). Hal yang menarik, GA3 mempunyai

kisaran aktivitas fisiologis paling lebar. O OH HO CH2 CH3 COOH

Gambar : GA3 (Gardner dkk, 1991).

Gibberellin disintesis di beberapa bagian tanaman khususnya dalam jaringan tumbuh yang aktif seperti embrio dan jaringan meristem. Gibberellin ditransportasi cepat dalam tanaman, kelihatan pada transportasi phloem dan xylem. Ada beberapa campuran yang dikenal menghambat pengaruh gibberellin. Hal ini meliputi zat penghambat pertumbuhan seperti AMU-1618, CCC, dan Phosphon-D (Pradhan, 1997).

Agar aplikasi zat pengatur tumbuh efektif dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, pertama – tama zat pengatur tumbuh tersebut harus masuk ke dalam jaringan tanaman. Zat pengatur tumbuh mungkin diserap melalui akar atau daun. Laju serapan zat pengatur tumbuh oleh tanaman tergantung pada beberapa faktor, antara lain : spesies tanaman yang bersangkutan, organ tanaman yang diberi perlakuan, sifat kimia dan solubilitas dari zat pengatur tumbuh yang

bersangkutan, pelarut yang digunakan, dan kondisi lingkungan, terutama suhu dan kelembaban. Faktor – faktor lingkungan akan ikut berperan. Secara umum, kondisi lingkungan yang menghambat translokasi air, unsur hara, atau senyawa organik lainnya juga akan menghambat pergerakan zat pengatur tumbuh dalam tubuh tanaman (Lakitan, 1996).

Gibberellin dapat terdapat di dalam lebih dari satu keadaan pada sebuah tanaman. Semua organ tanaman yang lebih tinggi mengandung gibberellin, tetapi konsentrasi gibberellin sama sekali tidak konstan di seluruh tanaman. Tingkat tertinggi ditemukan di dalam biji, dengan tingkat luar biasa terdapat pada endosperma cair dari beberapa biji. Daun-daun muda kaya dengan gibberellin dibandingkan dengan daun yang yang lebih tua dan tangkai dewasa. Secara umum gibberellin dipusatkan di daerah tanaman yang paling cepat tumbuh dan berkembang, seperti yang bisa diharapkan untuk zat yang terlibat dalam pengaturan pertumbuhan dan produksi tanaman (Wilkins, 1989).

Seperti auxin, gibberellin pun berpengaruh terhadap parthenokarpi. Hasil penelitian Barker dan Collin (1965) asam giberelat (GA3) lebih efektif dalam

terjadinya parthenokarpi dibanding dengan auxin yang dilakukan pada blueberry. Begitu pula Delvin dan Demoranville pada tahun 1967 meneliti pear dengan mengaplikasikan GA3. Dari hasil penelitiannya dapat diambil kesimpulan bahwa

kultivar tersebut mempunyai respon terhadap aplikasi GA3 sehingga dapat

meningkatkan tandan buah (fruit set) dan hasil.

Istilah parthenokarpi adalah buah yang mengandung sedikit biji atau tanpa biji. Faktor-faktor penyebab terjadinya parthenokarpi ada 2, yaitu buatan dan alami. Peristiwa bertemunya pollen (sel jantan) dengan bakal biji (sel telur) di

dalam bakal buah (ovary) disebut pembuahan (fertilisasi). Kemudian bakal buah akan membesar dan berkembang menjadi buah bersamaan dengan pembentukan biji. Biji yang sedang berkembang mengandung hormon tumbuhan seperti auxin dan gibberellin. Dengan penyemprotan hormon secara eksogen, maka biji tidak berkembang karena pembesaran buah disokong dari luar (Duryatmo, 2008).

Penyemprotan dengan GA sebelum panen mempunyai pengaruh yang menyolok dalam mengurangi laju perkembangan, pemasakan, pematangan dan penuaan buah-buah kesemek. Beberapa pengaruh pemberian GA pada jeruk adalah terhambatnya lenyapnya khlorofil, peningkatan ketebalan kulit, penundaan penimbunan karotenoid-karotenoid pada jeruk manis ”Navel” (Coggins dan Hield, 1962), dan peningkatan asam askorbat (vitamin C) dibanding dengan sitrun ”Lisbon” yang tidak diberi perlakuan (Tjitrosoepomo, 1993).

Bukti untuk peranan gibberellin untuk pengendalian pertumbuhan buah terus bertumbuh. Sekarang telah ditetapkan bahwa bunga yang tidak difertilisasi dari banyak tanaman seperti misalnya tomat dan varietas apel tertentu dapat dibuat untuk mengeluarkan buah-buah yang tampaknya normal tetapi tidak berbiji jika diberi gibberellin (Crane, 1964). Sebagai tambahan, sebuah korelasi kuat telah diperlihatkan pada buah normal antara kandungan gibberellin pada berbagai tahap dan tingkat pertumbuhan buah (Jackson, 1966). Setelah fertilisasi, sintesis gibberellin terjadi pada endosperma dan embrio. Gibberellin ini sebaliknya diperlukan untuk memungkinkan pertumbuhan buah berlangsung (Wilkins, 1989).

Penggunaan GA3 pada anggur dengan perlakuan GA3 sebesar 200 ppm

pada waktu gugurnya kalipta (daun pelindung bunga) menghasilkan anggur yang lebih besar dan kualitas rasa yang meningkat (Gardner, dkk, 1991).

Pada tanaman durian, GA3 dengan konsentrasi 100 ppm disemprotkan

dengan interval seminggu sekali untuk mencegah rontok bunga. GA3

meningkatkan kemampuan bunga menyerap makanan hasil fotosintesis, sehingga

bunganya tahan gugur

Di dalam proses pematangan, gibberellin mempunyai peranan yang penting yaitu mampu mengundurkan pematangan (ripening) dan pemasakan (maturing) suatu jenis buah. Asam gibberelat yang diterapkan dalam buah pisang yang matang ternyata pemasakannya dapat ditunda (Abidin, 1983).

Pengaruh gibberellin juga merangsang pembungaan. Kebanyakan tanaman memerlukan suhu dingin selama periode waktu tertentu diikuti hari panjang untuk dapat berbunga. Pada tanaman-tanaman tersebut suhu dingin menyebabkan terjadinya ”balting” (perpanjangan batang) yang mengawali proses pembungaan tersebut. Gibberellin dapat mengganti pengaruh suhu dingin pada

tanaman-tanaman tersebut dan dapat mendorong terjadinya pembungaan (Wattimena, 1985).

Salah satu efek utama dari gibberellin adalah mendorong pemanjangan batang dan daun. Di dalam proses pembelahan sel bukan saja dipengaruhi oleh gibberellin tetapi juga oleh auksin. Pengaruh gibberellin umumnya meningkatkan kerja auksin, walaupun mekanisme interaksi kedua ZPT tersebut belum diketahui secara pasti. Perbedaan antara gibberellin dan auksin dalam proses adalah bahwa gibberellin lebih aktif pada tanaman utuh sedangkan auksin pada potongan-potongan organ tanaman seperti stek akar, stek tunas dan lan-lain

Peranan gibberellin dapat menyebabkan tinggi tanaman menjadi 3-5 kali tingginya yang normal. Suatu kol yang biasanya hanya 3 dm tingginya, setelah diberi gibberellin, maka kol tersebut mencapai tinggi 3,5 m. Percobaan ini dilaksanakan di University of Michigan. Selain itu, mempercepat tumbuhnya sayur-sayuran, dapat menyingkat waktu panenan sampai 50%. Sayur-sayuran yang biasanya baru dapat dipetik setelah 4 atau 5 minggu, maka dengan penggunaan gibberellin, sayur-sayuran tersebut sudah dapat dipetik setelah 2 atau 3 minggu (Dwidjoseputro, 1980).

Fungsi gibberellin dapat mengatur pembentukan protein dan asam nukleat (bagian senyawa DNA). Gibberellin dengan konsentrasi tinggi (sampai 1000 ppm) menghambat pembentukan akar. Gibberellin pada konsentrasi rendah mendorong pertumbuhan akar adventif seperti yang terjadi pada stek batang kacang kapri, dan mempercepat pembelahan serta pertumbuhan sel hingga tanaman cepat menjadi tinggi (Ashari, 2006).

GA3 dapatmenstimulir perpanjangan sel karena GA3 menghidrolisa pati

yang akan mendukung terbentuknya amylase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi gula meningkat, yang mengakibatkan tekanan osmotik didalam sel tersebut menjadi naik sehingga ada kecenderungan sel tersebut bekembang dan menambah tinggi tanaman (Weaver, 1972) .

Dokumen terkait