BAB I. PENDAHULUAN
D. Tinjauan Pustaka
Obat tradisional telah banyak dikenal dan banyak digunakan secara turun
temurun untuk pengobatan secara pengalaman. Umumnya pemanfaatan obat
tradisional lebih diutamakan secara preventif untuk menjaga kesehatan. Namun,
Menurut undang – undang 23 tahun 1992, obat tradisional adalah bahan
atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, secara turun temurun
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Keputusan Kepala Badan
POM RI No. HK. 00. 05. 4. 2411 tentang ketentuan pengelompokan dan
penandaan obat bahan alam Indonesia, obat tradisional dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.
Jamu adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman yang
menjadi penyusun jamu tersebut, khasiatnya berdasarkan data empiris. Obat
herbal terstandar merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi
atau penyarian bahan – bahan alam baik tanaman obat, binatang ataupun mineral.
Sedangkan fitofarmaka yaitu obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat
modern. Proses pembuatannya telah terstandar dan ditunjang oleh bukti ilmiah
sampai uji klinis pada manusia (Suharmiati dan Handayani, 2006).
2. Daun Sendok (Plantago mayorL.)
a. Nama Daerah
Daun sendok di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda.
Sumatra : daun urat, daun urat-urat, ekor angin, kuping menjangan (Melayu).
Jawa : ki urat, ceuli, ceuli uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan,
sangkabuah, sangkubah, sangkuwah, sembung otot, suri pandak (Jawa).
Sulawesi : torongoat (Minahasa).
b. Sistematika Tanaman Daun Sendok
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Sub Classis : Sympetalae
Ordo : Plantaginales
Familia : Plantaginaceae
Genus : Plantago
Species : Plantago mayor L.
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). c. Morfologi Tanaman
Habitus tanaman daun sendok berupa herba, semusim, tinggi 6-50 cm.
Batangnya pendek, bulat, berwarna coklat. Daunnya tunggal, bulat telur sampai
lancet, ujungnya tumpul, pangkal meruncing, tepi bergerigi, roset, akar panjang
3-22 cm, lebar 1-20 cm, permukaan licin, panjang tangkai 1-25 cm, pertulangan
daun melengkung, hijau muda, hijau. Bunga majemuk berbentuk bulir dengan
panjang ± 40 cm, tangkai berbulir dengan panjang 4-27 cm, panjang tajuk 1,5 mm
berwarna putih. Buahnya terdiri dari kotak-kotak, tiap kotak berisi 2-4 biji,
berwarna hijau. Bijinya bulat kecil, jika masih muda berwarna coklat, setelah tua
berwarna hitam. Jenis akar serabut, warna putih kotor.
(Syamsuhidayat dan Hutapea., 1991)
d. Komponen Kimia Tanaman Daun Sendok
Daun sendok mengandung saponin, flavonoid dan polifenol
asam ursolik, beta sitosterol, n-hentriakuntan, dan plantaglusida yang terdiri dari
methyl D-galakturonat, D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa. Juga
mengandung tanin, kalium, dan vitamin (B1, C, A). Biji (che qian zi) daun sendok
mengandung asam planterolik, plantasan (dengan komposisi xylose, arabinose,
asam galakturonat dan rhamnose), protein, mucilago, aukubin, asam suksinat,
adenin, cholin, katalpol, syiringin, asam lemak (palmitat, stearat, aracidat, oleat,
linoleat, dan lenolenat), serta flavanone glicoside. Sedangkan bagian akar
mengandung naphazolin (Dalimartha, 1999).
e. Khasiat Tanaman Daun Sendok
Daun sendok (Plantago mayor L.) berkhasiat sebagai peluruh air seni, obat
penurun panas dan penambah nafsu makan (Syamsuhidayat dan Hutapea., 1991).
Biji dapat berkhasiat sebagai diuretik, menyehatkan paru, ekspektoran, pencahar
(laksans), meredakan panas, dan menerangkan penglihatan. Akar berkhasiat untuk
mengatasi keputihan (leukore) dan nyeri otot (Dalimartha, 2005). Infusa daun
sendok dapat melarutkan kalsium batu ginjal secara in vitro, serta mempunyai
kemampuan dalam perbaikan sel-sel pulau Langerhans pankreas akibat pemberian
aloksan dan dapat menurunkan kadar glukosa darah (Sudarsono dkk., 2002).
3. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya untuk menyari
kandungan zat aktif yang ada pada sediaan tanaman yang larut dalam air.
Penyarian adalah peristiwa memindahkan massa zat aktif yang semula berada di
dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari
berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah maksimal zat aktif dan
seminimal mungkin zat yang tidak digunakan (Ansel, 1989).
Farmakope Indonesia menetapkan untuk proses penyarian sebagai cairan
penyari digunakan air, etanol-air, eter. Penyarian pada pembuatan obat di
Indonesia masih terbatas pada penggunaan cairan penyari air, etanol atau
etanol-air (Anonim, 1979)
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia
dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Penyarian dengan cara ini
menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang.
Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari
24 jam.
Infusa dibuat dengan cara membasahi bahan bakunya, biasanya dengan air
dua kali bobot bahannya. Penyaringan dilakukan pada saat cairan masih panas
dengan kain flanel, kecuali bahan yang mudah menguap (Anonim, 1986).
4. Metabolisme Karbohidrat
Sumber energi terbesar manusia berasal dari karbohidrat. Karbohidrat dari
makanan dirombak di usus halus dan diubah menjadi glukosa, kemudian dilepas
ke aliran darah dan diangkut ke sel – sel tubuh (Tjay dan Raharja, 2002).
Glukosa yang diserap tubuh dari makanan digunakan sesuai keperluan,
bila pasokan glukosa tersebut berlebihan, sisanya disimpan dalam otot sebagai
senyawa lemak yang disebut glikogen. Gula yang menumpuk banyak di dalam
sehingga mengakibatkan gangguan pada pasokan oksigen yang dibawa darah
(Mangoenprasodjo, 2005).
Kadar glukosa dalam darah diatur oleh beberapa hormon. Hormon insulin
yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas menurunkan kadar glukosa dan
pembentukan glikogen dari glukosa (Wirahadikusumah, 1985). Diantara beberapa
penyakit kelainan metabolisme karbohidrat, yang paling banyak diketahui adalah
Diabetes Melitus (Tjay dan Raharja, 2002)
5. Pankreas
Pankreas merupakan organ lonjong kira – kira 15 cm terletak di belakang
lambung dan sebagian di belakang hati. Organ ini terdiri dari 98 % sel-sel dengan
sekresi ekstern, yang memproduksi enzim – enzim cerna (pankreatin) yang
disalurkan ke duodenum. Sisanya terdiri dari kelompok sel (pulau Langerhans)
dengan sekresi intern yaitu hormon-hormon insulin dan glukagon yang disalurkan
langsung ke aliran darah. Ada empat jenis endokrin:
a. Sel alfa yang memproduksi hormon glukagon
b. Sel beta yang membran selnya banyak granula berderetan, yang berisi insulin
c. Sel delta yang memproduksi somatostatin
d. Sel PP yang memproduksi PP (pancreatic polipeptide) yang berperan pada
penghambatan sekresi endokrin dan empedu (Tjay dan Raharja, 2002).
Pulau Langerhans tersusun mengelilingi pembuluh kapiler kecil yang
merupakan tempat penampungan hormon yang disekresikan oleh sel-sel tersebut.
Pulau Langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel alfa, beta, dan delta.
pulau dan mensekresi insulin. Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 persen dari
semua sel, mensekresi glukagon. Dan sel delta, yang merupakan 10 persen dari
seluruh sel, mensekresikan somastotatin. Selain itu, paling sedikit terdapat satu
jenis sel lain, yang disebut sel PP, yang terdapat dalam jumlah sedikit dalam pulau
langerhans dan mensekresikan hormon yang fungsinya masih diragukan yakni
polipeptida pankreas (Guyton,1997).
Hormon insulin normalnya dilepaskan secara langsung ke dalam sirkulasi
darah dari pulau Langerhans yang tersebar di seluruh kelenjar pankreas (Wise,
2002). Insulin diperlukan untuk penyerapan glukosa dalam tubuh. Aksi insulin
dimulai dengan membentuk ikatan antara insulin – reseptor pada permukaan
membran sel target. Reseptor insulin merupakan membran glikoprotein yang
terdiri dari dua subunit protein yang dikode oleh satu gen (Masharani dkk., 2004).
6. Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus
merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Soegondo, 2005). Pada diabetes, pankreas tidak memproduksi insulin atau
memproduksi insulin terlalu sedikit sehingga kadar glukosa darah meningkat
(Tjay dan Rahardja, 2002).
a. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut ADA 2003 yaitu diabetes
melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes tipe lain dan diabetes gestasional
1). Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang
berhubungan dengan terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Keadaan tersebut
merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan karena hampir tidak
terdapat insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel-sel beta
pankreas gagal merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu,
diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah
ketosis, dan menurunkan hiperglukagonemia, serta peningkatan kadar gukosa
darah (Katzung, 2002).
2). Diabetes Melitus Tipe 2
Penderita diabetes tipe 2 mempunyai sirkulasi endogen cukup untuk
mencegah terjadinya ketoasidosis tetapi insulin tersebut sering dalam kadar yang
kurang normal atau kadarnya relatif tidak mencukupi karena kurang pekanya
jaringan untuk memproduksi insulin. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan
pada insulin, terjadi pula defisiensi respon sel beta pankreas terhadap glukosa
(Katzung, 2002).
Patogenesis dari diabetes melitus tipe 2 sangat kompleks termasuk
interaksi dari faktor genetik dan lingkungan. Latar belakang etnis, jenis kelamin,
dan usia merupakan faktor penting dalam menentukan perkembangan risiko
diabetes tipe ini (Buse dkk., 2003). Diabetes tipe 2 biasanya timbul pada usia
lebih dari 40 tahun. Kebanyakan pasien diabetes tipe ini bertubuh gemuk, dan
resistensi terhadap kerja insulin dapat ditemukan pada banyak kasus (Woodley
3). Diabetes Melitus Tipe Lain
Pada diabetes tipe lain, hiperglikemia berkaitan dengan penyakit-penyakit
lain yang jelas. Penyakit tersebut meliputi penyakit eksokrin pankreas, defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik fungsi insulin, endokrinopati, karena obat/
zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom genetik (Soegondo, 2005).
4). Diabetes Melitus Gestasional
Istilah ini dipakai terhadap pasien yang menderita hiperglikemia selama
kehamilan. Pada pasien – pasien ini toleransi glukosa dapat kembali normal
setalah persalinan (Woodley danWhelant, 1995).
b. Gejala – Gejala Diabetes
Gejala utama diabetes yaitu polifagia (meningkatnya rasa lapar),
polidipsia (meningkatnya rasa haus), dan poliuria (meningkatnya buang air kecil),
serta kehilangan berat badan terutama pada diabetes tipe 1 (DiPiro dkk., 2005).
Gejala dan tanda-tanda penyakit diabetes melitus dapat digolongkan menjadi
gejala akut dan gejala kronik.
Gejala akut penyakit diabetes melitus pada tiap penderita tidaklah sama,
bahkan ada penderita yang tidak menunjukkan gejala apapun sampai saat tertentu
(masih kompensasi). Gejala hampir sama dengan gejala utama. Namun, bila
keadaan tersebut tidak cepat diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu nafsu makan mulai berkurang (tidak
polifagia lagi) bahkan kadang-kadang disusul dengan mual, mudah lelah, dan bila
Gejala kronis penyakit diabetes melitus antara lain kesemutan, kulit terasa
panas, terasa tebal di kulit, kram, lelah, mudah mengantuk, mata kabur, gatal di
sekitar kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun, para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
(Tjokroprawiro, 2006).
c. Pengelolaan Diabetes Melitus
Menurut Soegondo (2005), pilar utama pengelolaan diabetes melitus
antara lain perencanaan makan, latihan jasmani, obat berkhasiat hipoglikemik, dan
penyuluhan. Pengelolaan diabetes melitus jangka pendek bertujuan untuk
menghilangkan keluhan atau gejala, dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.
Tujuan pengelolaan jangka panjang untuk mencegah komplikasi sehingga dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
1). Perencanaan makan
Perencanaan makan sangat penting pada pasien diabetes tipe 1 maupun
tipe 2. Tujuan dari perencanaan makan yaitu untuk menjaga konsentrasi glukosa
dalam rentang normal atau mendekati normal. Standar yang dianjurkan adalah
makanan yang seimbang dalam hal karbohidrat, lemak, dan protein sesuai dengan
kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat 60 - 70 %, protein 10 - 15 %, dan lemak
20-25 % (Soegondo, 2005).
2). Latihan Jasmani
Menurut Waspadji (2005), latihan jasmani dianjurkan 3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous,
didukung untuk latihan jasmani berdasarkan usia dan kemampuan fisik penderita.
Latihan fisik dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat, sensitivitas insulin,
dan fungsi kardiovaskuler (Sweetman, 2005).
3). Obat Berkhasiat Hipoglikemik
a). Insulin
Secara kimawi, insulin terdiri dari dua rantai peptida (A dan P) dengan
masing-masing 21 dan 30 asam amino, yang saling dihubungkan oleh 2 jembatan
disulfida. Berat molekulnya 5700. Pada tahun 1974, sintesis totalnya ditemukan,
tetapi meliputi sekitar 200 reaksi kimiawi dan sangat mahal (Tjay & Rahardja,
2002).
Insulin dapat meningkatkan simpanan lemak maupun glukosa (sumber
energi) dalam sel sasaran khusus, serta mempengaruhi pertumbuhan sel dan fungsi
metabolisme berbagai jenis jaringan. Klasifikasi akhir diabetes melitus
mengidentifikasi terdapatnya suatu kelompok pasien yang hampir tidak
mempunyai sekresi insulin dan kelangsungan hidupnya tergantung pemberian
insulin eksogen (diabetes tipe 1). Sebagian besar penderita diabetes tipe 2 tidak
memerlukan insulin eksogen untuk kelangsungan hidupnya, tetapi banyak
memerlukan suplemen eksogen dari sekresi endogen untuk mencapai kesehatan
yang optimum (Katzung, 2002).
Secara keseluruhan sebanyak 20 - 25 % pasien diabetes melitus tipe 2
kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa
darahnya dengan kombinasi sulfonilurea dan metformin, langkah berikut yang
mungkin diberikan adalah insulin (Soegondo, 2005).
Pemberian insulin akan menurunkan kadar glukosa darah penderita
diabetes melitus. Namun demikian agar pengobatan dengan insulin dapat optimal
maka pemberiannya perlu dilakukan dengan meniru semirip mungkin sekresi
insulin yang fisiologis, yang sulit dikerjakan pada pemberian secara subcutan
bahkan juga dengan pemberian insulin melalui infus intravena (Woodley dan
Whelant, 1995).
b). Obat Hipoglikemik Oral
(1).Pemicu sekresi insulin
(a).Sulfonilurea
Kerja utama dari sulfonilurea yaitu meningkatkan pengeluaran produksi
insulin dari pankreas. Mekanisme obat golongan sulfonilurea adalah
menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi
insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat dari rangsangan glukosa
(Soegondo, 2005).
Sulfonilurea bekerja dengan cara menstimulasi sel-sel beta pankreas dari
pulau langerhans pankreas yang kemampuan sekresi insulinnya menurun sehingga
bisa ditingkatkan dengan obat ini. Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes
yang tidak tergantung insulin yang begitu berat, sel-sel betanya masih cukup baik
bekerja. Ada indikasi bahwa obat golongan ini juga memperbaiki kepekaan organ
tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay&Rahardja,
Obat golongan sulfonilurea mempunyai efek samping, yang paling umum
adalah rasa tidak nyaman di perut dan diare. Beberapa orang mungkin mengalami
ruam pada kulit. Sulfonilurea biasanya direkomendasikan 30 menit sebelum
makan untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Ramaiah, 2006).
(b).Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, yaitu meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat, yaitu repaglinid (derivat asam benzoat), dan nateglinid
(derivat Fenilalanin). Obat ini diabsorbsi cepat setelah pemberian oral, dan
diekskresi secara cepat melalui hati (Waspadji, 2005). Efek samping nateglinid
antara lain hipoglikemia, rash, urtikaria. Sedangkan repaglinid jarang
menyebabkan hipoglikemia, nyeri abdominal, gangguan gastrointestinal, dan
gangguan penglihatan (Anonim,2006)
(2).Penambah sensitivitas Insulin
(a).Biguanid
Golongan biguanid yang masih dipakai adalah metformin. Penjelasan
lengkap tentang mekanisme kerja biguanid masih belum jelas. Mekanisme yang
diusulkan baru-baru ini meliputi stimulasi glikolisis secara langsung dalam
jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dalam darah, penurunan
gukoneogenesis hati, melambatkan absorbsi glukosa dalam saluran cerna, dan
penurunan kadar glukagon plasma (Katzung, 2002).
Biguanida umumnya menghasilkan rasa yang tidak enak, pahit, atau
dan rasa tidak nyaman pada perut. Selain itu juga menyebabkan rasa tidak
bersemangat, rasa lemah pada otot dan penurunan berat badan yang berlebihan
pada sebagian orang (Ramaiah, 2006).
Pemakainan tunggal metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah
sampai 20%. Kombinasi sulfonilurea dengan metformin tampak merupakan
kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda yang saling aditif.
Kombinasi tersebut dapat menurunkan kadar glukosa darah lebih banyak daripada
penggunaan tnggal masing-masing (Waspadji, 2005).
(b).Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan golongan obat antidiabetes oral yang dapat
meningkatkan sensitivitas insulin terhadap jaringan sasaran. Kerja utama obat
golongan tiazolidindion yaitu untuk mengurangi resistensi insulin dengan
meningkatkan ambilan glukosa dan metabolisme dalam otot dan jaringan adipose
(Katzung, 2002).
Golongan tiazolidindion dapat digunakan berasama sulfonilurea atau
insulin atau metformin untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah. Contoh
produk ini adalah pioglitazone dan rosiglitazone (Tjay & Rahardja, 2002). Efek
samping yang ditimbulkan antara lain gangguan gastrointestinal, pertambahan
berat badan, hipoglikemi, anemia, dan udem (Anonim, 2006).
(3).Penghambat glukosidase alfa
Golongan penghambat glukosidase alfa tersedia untuk penggunaan klinik
yaitu acarbose dan miglitol. Perbedaan pokok antara keduanya yaitu pada proses
Acarbose merupakan contoh penghambat glukosidase alfa yang sering
digunakan. Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dari dalam sel cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menururkan hiperglikemia post prandial (Soegondo, 2005).
Glukosa akan dilepaskan lebih lambat dan absorbsinya ke dalam darah
juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar gula
darah bisa dihindari. Hal tersebut karena cara kerja obat golongan ini berdasar
persaingan penghambatan enzim alfa glukosidase di mukosa duodenum, sehingga
reaksi penguraian diturunkan atau polisakarida menjadi monosakarida dihambat
(Tjay & Rahardja 2002).
Acarbose tersedia dalam tablet 50 mg dan 10 mg. Dosis awal yang
direkomendasikan yaitu 50 mg dua kali sehari, secara bertahap ditingkatkan
100mg tiga kali sehari. Untuk efek maksimal, acarbose diberikan bersama suapan
pertama. Pada pasien diabetes acarbose dapat mengurangi hiperglikemi
postprandial 30-50 %, dan menurunkan HbA1C 0,5-1 % (Masharani dkk., 2004).
Pemakaian acarbose dosis tinggi bisa menyebabkan malabsorpsi
(penyerapan yang tidak memadai). Sedangkan untuk efek samping, acarbose dapat
meningkatkan gas di dalam perut, rasa masuk angin dan diare (Ramaiah, 2006).
Dosis tunggal acarbose tidak mengakibatkan risiko terjadinya
hipoglikemia. Namun, kombinasi acarbose dengan insulin atau sulfonilurea dapat
7. Uji Antidiabetes
Keadaan diabetes melitus pada hewan percobaan dapat diinduksi dengan
cara pankreatomi dan dengan cara kimia. Zat-zat kimia sebagai induktor
(diabetogen) pada umumnya diberikan secara parenteral. Jenis hewan percobaan
yang digunakan meliputi mencit, tikus, kelinci, atau anjing (Anonim, 1993).
Penentuan kadar gula dapat dilakukan secara kualitatif terhadap glukosa
urin, sedangkan kadar gula darah ditentukan secara kuantitatif. Penentuannya
dilakukan secara kolorimetri atau spektrofotometri pada panjang gelombang
tertentu. Uji efek antidiabetes dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode
uji toleransi glukosa dan metode uji diabetes aloksan (Anonim, 1993).
a. Metode Uji Toleransi Glukosa
Prinsip metode ini yaitu pada kelinci yang telah dipuasakan (20-24 jam),
diberikan larutan glukosa 50 % peroral, setengah jam sesudah pemberian obat
yang diujikan. Pada awal percobaan sebelum pemberian obat, dilakukan
pengambilan cuplikan darah vena telinga dari masing-masing kelinci sejumlah 0,5
mL sebagai kadar glukosa darah awal. Pengambilan cuplikan darah vena diulangi
setelah perlakuan pada waktu-waktu tertentu. Cuplikan darah ditampung dalam
ependorf, disentrifuge selama 5 menit pada putaran 3000 – 6000 rpm. Serum yang
diperoleh diberi pereaksi dan diukur serapannya untuk menentukan kadar
glukosanya (Anonim, 1993).
b. Metode Uji Diabetes Aloksan
Prinsip dari metode ini yaitu induksi diabetes dilakukan pada mencit yang
dilakukan secara intravena pada ekor mencit. Perkembangan hiperglikemia
diperiksa tiap hari. Pemberian obat antidiabetik secara oral dapat menurunkan
kadar glukosa darah dibandingkan terhadap mencit positif (Anonim, 1993).
E. Landasan Teori
Hasil penelitian Aguilar, dkk (2006) menunjukkan efek hipoglikemik dari
biji daun sendok (Plantago mayor L.). Penelitian dilakukan dengan memberikan
ekstrak air, ekstrak metanol, ekstrak heksana, dan ekstrak diklorometana dari biji
kering Plantago mayor L. masing-masing 500 mg/kgBB pada mencit yang
diinduksi aloksan. Semua perlakuan menunjukkan hasil yang signifikan
menurunkan kadar glukosa darah pada hewan uji yang dipuasakan. Penurunan
kadar glukosa darah yang paling tinggi ditunjukkan oleh ekstrak heksana dan
ekstrak diklorometana.
Selain itu juga dilakukan analisis fitokimia pendahuluan untuk mengetahui
senyawa – senyawa yang terkandung dalam biji Plantago mayor L. Dalam ekstrak
tersebut menunjukkan adanya senyawa saponin (ekstrak air), saponin, tanin,
flavonoid (ekstrak metanol), flavonoid, sterol (ekstrak diklorometana), dan tanin
dalam ekstrak heksana. Senyawa – senyawa tersebut diduga merupakan senyawa
yang dapat menurunkan kadar glukosa darah (Aguilar dkk., 2006).
Herba daun sendok mengandung plantagin, aukubin, asam ursolik, beta
sitosterol, n-hentriakuntan, dan plantaglusida yang terdiri dari methyl
D-galakturonat, D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa. Juga mengandung
Infusa daun sendok mempunyai kemampuan dalam perbaikan sel-sel pulau
Langerhans pankreas akibat pemberian aloksan dan dapat menurunkan kadar
glukosa darah (Sudarsono dkk., 2002).
F. Hipotesis
Infusa herba daun sendok (Plantago mayor L.) diduga mempunyai
kemampuan menurunkan kadar glukosa darah kelinci jantan yang telah dibebani
BAB II
METODE PENELITIAN