• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Bandeng

Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah ikan yang termasuk kedalam kingdom animalia, Filum Chordata, Kelas Pisces, Ordo Malacopterigii, Family Chanidae, Genus Chanos, Spesies Chanos chanos (Saanin 1984)

Ikan bandeng (Chanos chanos) mempunyai bentuk tubuh memanjang dan bersisik halus, putih seperti susu. Karena itu diluar negeri terkenal dengan nama “Milkfish” (Evy 2001). Jari-jari sirip semuanya lunak, dan jumlahnya pada sirip punggung antara 14 -16, pada sirip dubur antara 10 -11, pada sirip dada antara 16 -17, dan pada sirip perut antara 11-12. Sirip ekornya panjang dan bercagak. Jumlah sisik pada gurat sisi berkisar antara 75-80 keping (Djuhanda 1981).

Di alam, ikan ini merupakan ikan pemakan plankton dan makroalgae seperti Enteromorpha, Chaetomorpha dan Oscillatoria. Di tambak ikan ini biasanya memakan “klekap” yang terdiri atas berbagai jenis algae dasar dan berbagai hewan benthos. Ikan ini sangat responsif terhadap pakan buatan dengan kadar protein antara 20 – 30 % (Cholik 2005). Selanjutnya ikan ini memiliki sifat dapat mengimbangi keterlambatan tumbuh (compensatory growth) karena proses pembantutan (stunting). Gelondongan yang terlambat tumbuh karena kurang makan akan segera tumbuh dengan cepat setelah mendapat suasana lingkungan yang baik dan cukup makanan.

Ikan bandeng mempunyai nilai ekonomis yang cukup penting. Di alam bebas ikan ini hidup di air laut, disamping itu baik yang besar maupun yang kecil banyak ditemukan di daerah dekat pantai. Kalau memijah ikan bandeng (Chanos chanos) pergi ke laut lepas, telurnya di temukan pada jarak 8-26 km dari pantai pada laut yang dalamnya lebih dari 40 m. Telur ikan bandeng banyak sekali terapung melayang di permukaan perairan. Pemijahannya berlangsung diwaktu malam hari dan telur akan menetas setelah 24 jam. Dalam pertumbuhannya anak- anak ikan bandeng yang terdapat di tepi pantai, bentuknya berbeda dengan ikan bandeng dewasa yang dipelihara di tambak-tambak. Anak-anak ikan bandeng ini biasa disebut dengan nener (Djuhanda 1981).

Daerah penangkapan nener yang terkenal ialah Nusa Tenggara, Madura dan sulawesi selatan. Selanjutnya Evy (2001) menyatakan bahwa nener banyak didapatkan di daerah pantai yang landai, berpasir, berarus tenang dan berair jernih. Ikan bandeng tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di malaysia, Muangthai, Philipina, Taiwan, Jepang, India, Srilangka, Meksiko dan Hawaii (Evy 2001). Penyebaran ikan bandeng dari utara ke selatan mulai dari bagian selatan Jepang sampai di New South Wales, dan dari timur ke Barat mulai dari pantai timur Afrika sampai di kepulauan Paumotu bagian timur (Djuhanda 1981).

Merkuri

Nama kimia merkuri adalah Hydragynum yang berarti perak cair dengan lambang Hg. Pada tabel periodik unsur-unsur kimia, merkuri menempati urutan (NA) 80 dan mempunyai bobot atom (BA) 200,59 (Palar 1994). Secara umum merkuri memiliki sifat sebagai berikut:

1. Berwujud cair pada suhu kamar (25 0C) dengan titik beku paling rendah sekitar –39 0C.

2. Masih berwujud cair pada suhu 396 0C dan pada temperatur ini terjadi pemuaian secara menyeluruh.

3. Merupakan logam yang paling mudah menguap jika dibandingkan dengan logam-logam lainnya.

4. Tahanan listrik yang dimiliki sangat rendah sehingga merkuri dijadikan sebagai penghantar listrik yang baik

5. Dapat melarutkan bermacam-macam logam untuk membentuk alloy yang disebut juga dengan amalgam

6. Merupakan unsur yang sangat beracun untuk semua makhluk hidup. Baik itu dalam bentuk unsur ataupun dalam bentuk persenyawaan.

Menurut Darmono (1995) di perairan tawar, logam berat yang terkandung di dalamnya biasanya berasal dari buangan limbah industri, erosi dan dari udara secara langsung. Sedangkan di perairan laut, kontaminasi logam biasanya terjadi secara langsung dari tumpahan minyak dari kapal tanker yang melewati perairan laut tersebut. Biasanya daerah pantai lebih tinggi kandungan logamnya dari pada daerah lepas pantai. Limbah yang mengandung Hg selain berasal dari penggunaan batu bara dan minyak, juga berasal dari limbah pabrik pengguna logam berat yang

bersangkutan dengan hasil produksinya seperti pabrik baterai/aki, listrik, cat warna, tekstil, pestisida, gelas, dan keramik (Darmono 1995).

David dan Ferguson dalam Budiono (2003) mengemukakan beberapa kemungkinan bentuk merkuri yang masuk ke dalam lingkungan perairan alam yaitu:

 Sebagai merkuri inorganik, melalui hujan, run-off atau aliran sungai. Unsur ini bersifat stabil terutama pada pH rendah.

 Dalam bentuk merkuri organik berupa phenyl merkuri (C6 H5-Hg), methyl

merkuri (CH3-Hg), Alkoxyalkyl merkuri atau methyoxy-ethyl merkuri

(CH3O-CH2-CH2-Hg+). Merkuri organik yang terdapat di perairan alam

dapat berasal dari kegiatan pertanian (pestisida).

 Terikat dalam suspended solid sebagai Hg22+ (ion merkuro), mempunyai

sifat reduksi yang baik

 Sebagai metalik merkuri (Hg0), masuk ke perairan melalui kegiatan perindustrian dan manufaktur. Unsur ini memiliki sifat reduksi yang tinggi, berbentuk cair pada temperatur ruang dan mudah menguap.

Logam merkuri yang paling toksik dan berbahaya adalah dalam bentuk organik yaitu bentuk senyawa alkil merkuri (metil dan etil merkuri). Logam- logam berat yang bersifat racun seperti Hg, Cd, dan Pb yang terdapat dalam air kebanyakan juga berbentuk ion (Darmono 1995).

Di perairan, bakteri dan fitoplankton dapat melakukan transfer merkuri karena kedua organisme tersebut biasanya ditemukan di perairan dalam jumlah yang relatif banyak. Bakteri dapat merubah merkuri menjadi metil merkuri dan membebaskan merkuri dari sedimen di dasar perairan (Goldwater dan Wood

dalam Budiono (2003). Budiono (2003) juga menyatakan bahwa proses metilasi juga terpengaruh dengan adanya dominasi sulfur (S) yaitu pada keadaan anaerob. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan metil merkuri antara lain yaitu: suhu, kadar ion Cl-, kandungan bahan organik, derajat keasaman (pH) dan kadar merkuri itu sendiri (Nasution 2004). Sedangkan Faktor-faktor yang mempengaruhi akumulasi logam berat pada makhluk hidup adalah: suhu, pH, oksigen terlarut dan salinitas. Connel (1995) menyatakan bahwa konsentrasi logam akan meningkat seiring menurunnya salinitas. Selanjutnya Blackmore dan

Wang (2002) menyatakan bahwa kenaikan suhu, penurunan pH dan penurunan salinitas perairan dapat menyebabkan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar. Sebaliknya Modassir (2000) mengemukakan bahwa efek toksik merkuri dipengaruhi oleh salinitas. Mortalitas remis mangrove semakin meningkat seiring meningkatnya salinitas. Selanjutnya Prakasam (1989) melakukan penelitian mengenai ikan mujair yang dipelihara di media yang terkontaminasi merkuri pada rentang salinitas 0-31 ppt. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa mortalitas ikan tinggi terjadi pada salinitas tertinggi dan terendah.

Thongra-ar et al (2003) menyatakan bahwa ketersediaan dan daya toksisitas logam berat sangat tergantung pada bentuk kimianya. Pada lingkungan yang konsentrasi Cl- nya rendah bentuk merkuri organiknya didominasi oleh tiga bentuk kompleks yaitu HgCl2, HgOHCl dan Hg(OH)2 dengan komplek terbanyak

adalah Hg(OH)2. Sedangkan pada konsentrasi Cl- yang tinggi, yang paling

dominan adalah dalam bentuk HgCl4-2 dan HgCl3- dan memiliki daya toksisitas

yang rendah. HgCl2 lebih banyak terdapat pada lingkungan yang konsentrasi Cl-

rendah dibandingkan konsentrasi Cl- yang tinggi. Hal ini menyebabkan toksisitas merkuri akan meningkat seiring menurunnya salinitas. Selanjutnya dikemukakan bahwa menurut prinsip Asam Basa Kuat dan Lemah (HSAB), merkuri adalah asam lemah dan dapat bereaksi lebih cepat dengan basa lemah terutama ligan yang mengandung unsur N dan S tetapi jauh lebih kuat bereaksi dengan ligan yang mengandung unsur S dari pada unsur N. Jadi dari mekanisme ini dapat diketahui bahwa Hg cenderung membentuk kompleks yang kuat dengan kelompok sulfhidril (-SH) yang ada dalam protein dibandingkan dengan Cl. Ikan mengandung banyak protein, oleh karenanya maka jumlah kelompok sulfhidril yang terkandung dalam jaringan ikan dapat menentukan jumlah Hg yang dapat terabsorpsi.

Hamidah dalam Budiono (2003) menyatakan bahwa merkuri di alam umumnya terdapat dalam bentuk metil merkuri yang merupakan senyawa logam organik yang sangat beracun dan sukar terurai. Budiono (2003) menyatakan bahwa pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat disebabkan karena merkuri bersifat stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam air, dan mudah diserap dan terkumpul dalam

jaringan tubuh organisme air melalui proses bioakumulasi. Bioakumulasi terjadi karena kecepatan pengambilan merkuri (up take rate) oleh organisme air lebih cepat dari pada proses eksresi organisme tersebut (Sanusi 1985). Pada kondisi stress, penyerapan logam berat akan semakin meningkat dan pengambilan logam terlarut tersebut terutama terjadi di insang (Modassir 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa tingginya pergantian/pengambilan air karena proses osmoregulasi akan menyebabkan akumulasi merkuri lebih cepat sehingga toksisitas merkuri menjadi lebih besar.

Pengaruh Merkuri Terhadap Organisme

APHA (1979) dan Effendi (1993) mengemukakan bahwa tingkatan dari kematian yang disebabkan oleh polutan termasuk merkuri atau faktor lingkungan dibagi menjadi 5 kategori sebagai berikut:

1. Lethal Concentration (LC)

LC ditentukan pada saat mortalitas mencapai >50 % dan terjadi setelah 24 jam, 48 jam atau 96 jam hewan dimasukkan ke dalam media.

2. Effectif Concentration (EC)

EC ditentukan dengan konsentrasi yang dapat menyebabkan efek berbahaya seperti perbedaan pola tingkah laku biota dan ketikseimbangan pada 50 % populasi biota akuatik.

3. Incipient Letal Concentration (ILC)

ILC ditentukan pada saat paling tidak 50 % dari populasi yang bertahan. 4. Save Consentration (SC)

Konsentrasi tertinggi yang paling aman bagi biota akuatik. 5. Maksimum Allowable Toxicant Concentration (MATC)

Konsentrasi tertinggi yang diperbolehkan ada di perairan yang tidak akan menyebabkan bahaya apapun bagi organisme akuatik.

Selanjutnya Balazs (1970) menentukan dari nilai LC50, potensi ketoksikan

akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi: 1. Sangat tinggi : < 1 mg/l

2. Tinggi : 1-50 mg/l

3. Sedang : 50-500 mg/l

5. Hampir tidak toksik : 5000-15000 mg/l 6. Relatif tidak berbahaya : > 15000 mg/l

Darmono (2001) menyatakan bahwa toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat bergantung pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksifikasi), dan kemampuan individu untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi. Selanjutnya Modassir (2000) mengemukakan bahwa toksisitas merkuri meningkat pada organisme laut pada kondisi yang tidak baik berkaitan dengan perubahan laju penyerapan logam berat tersebut. Laju penyerapan tersebut bervariasi tergantung pada kondisi percobaan, jenis spesies yang diuji dan tahap perkembangan dari hewan uji.

Hasil penelitian Wood, Anderson dan D’Apollonia dalam Sanusi (1985) menunjukkan bahwa antara 90 – 100 % dari total Hg yang terakumulasi pada tubuh ikan merupakan metil merkuri. Selanjutnya dikatakan bahwa metil merkuri yang terdapat di perairan umumnya bersifat sangat beracun, dan dapat menimbulkan efek toksik yang bersifat akut maupun kronis terhadap kehidupan organisme air. Hal ini disebabkan karena sifat senyawa tersebut relatif stabil dan memiliki umur biologis yang relatif lama dalam tubuh organisme air.

Darmono (2001) menyatakan bahwa logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan dan melalui penetrasi kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorbsi darah dan berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam organ detoksikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal). Anderson dan D’apollonia (1978) dalam Sanusi (1985) menyatakan bahwa toksisitas Hg lainnya yaitu mengganggu mekanisme osmoregulasi yang mengakibatkan berubahnya kandungan ion dalam darah dan gangguan dalam sistem urinasi. Sebagian besar organisme air mengakumulasi logam melalui proses makan dan proses metabolisme yang dapat menyebabkan akumulasi logam meningkat di jaringan tubuhnya. Logam berinteraksi dengan bagian protein, enzim dan dapat menghambat aktivitas fisiologis dan biokimia dalam tubuh organisme air tersebut (Kaoud dan Mekawy 2011).

Budiono (2003) menyatakan bahwa toksisitas logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menyebabkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi sirkulasi dan ekskresi dari insang. Unsur–unsur logam yang berpengaruh terhadap insang adalah timah, seng, besi, tembaga dan merkuri. Enzim yang sangat berperan dalam insang ikan ialah enzim karbonik anhidrase dan transpor ATP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi menghidrolisis CO2 menjadi asam karbonat. Apabila ikatan Zn itu diganti dengan

logam lain, fungsi enzim karbonik anhidrase tersebut akan menurun.

Toksisitas sub akut logam berat terhadap organisme air erat hubungannya dengan sifat bioakumulasi logam dalam jaringan organisme air tersebut. Toksisitas sub akut logam berat ini diantaranya dapat menghambat aktivitas enzim. Seperti aktifitas enzim alpha-glycerophosphat dehydrogenase yang terdapat dalam jaringan ikan dihambat oleh beberapa ion logam dengan urutan intensitas sebagai berikut: Hg+2 > Cd+2 > Zn+2 > Pb+2 > Ni+2 >Co+2 (Darmono 1995). Tetapi berdasarkan toksisitasnya terhadap organisme air sendiri, urutan itu berbeda. Urutan toksisitas itu adalah sebagai berikut: Hg+2>Ag+>Cu+2>Zn+2> Ni+2>Pb+2>Cd+2>As+2>Cr+3>Sn+3>Fe+3>Mn+2>Al+3>Be+2>Li+.

Bentuk organik dan inorganik dari Hg menyebabkan pengaruh yang berbeda pada insang ikan (Olson dan Fromm Lock et al.,dalam Sorensen (1991). Sorensen (1991) menyatakan bahwa reaksi toksisitas akut dari Hg+2 dan CH3Hg+

berpengaruh pada lapisan epitel lamella sekunder pada insang. Hg+2 inorganik menyebabkan nekrosis yang hebat pada sel epitel pada rainbow trout (Salmo gairdneri). Berbeda dengan CH3Hg+, senyawa ini dapat menyebabkan hiperplasia

pada sel epitel dalam bentuk gelembung pertambahan sel epitel tersebut. Pengaruh Hg+2 pada anak ikan rainbow trout atau fingerling yaitu dapat menghasilkan sel mucosa dalam jumlah yang banyak sedangkan CH3Hg+ tidak

berpengaruh (Wobeser dalam Sorensen 1991). Hg+2 inorganik akan terjebak dalam sel mukosa sedangkan CH3Hg+ terlihat lebih mudah melewati sel mukosa

dan sel epitel dengan laju yang cepat karena pertambahan jaringan lemak. Laporan The Rucker dan Amend dalam Sorensen (1991) menunjukkan bahwa Hg

dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada insang yaitu berupa hipertropi dan hiperplasia pada lapisan epitel insang.

Salinitas dan Osmoregulasi

Salinitas dapat didefisnisikan sebagai konsentrasi total semua ion yang terlarut dalam air (Boyd 1982). Salinitas dinyatakan dalam satuan gram/kg atau promil (%0). Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan

ionik air, sebagai media internal maupun eksternal (Affandi dan Tang 2002). Sifat osmotik air bergantung pada seluruh ion yang terlarut dalam air tersebut, tingkat kepekatan osmotik larutan akan semakin tinggi dengan semakin besar jumlah ion yang terlarut, hal ini menyebabkan semakin bertambah besar tekanan osmotik medium. Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut adalah Na+ dan Cl-.

Ikan mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkunganya, oleh karena itu ikan harus mengatur tekanan osmotiknya dengan mencegah kelebihan air atau kekurangan air dalam tubuhnya agar proses fisiologi dalam tubuhnya berlangsung normal (Affandi dan Usman 2002). Selanjutnya Fujaya (2004) menyatakan bahwa osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkunganya, atau suatu proses pengaturan tekanan osmotik. Semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan maka semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan proses osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi.

Osmoregulasi pada ikan air laut berbeda dengan ikan air tawar. Ikan air laut hidup dalam media yang memiliki konsentrasi osmotik lebih besar dari cairan tubuhnya sehingga ikan cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang serta kemasukan garam-garam. Oleh sebab itu ikan banyak minum air laut yang meliputi ion natrium dan ion klorida yang diserap oleh usus dan dibuang melalui sel chloride pada insang secara aktif (transport aktif). Magnesium dan sulfat dibuang melalui ginjal sehingga menyebabkan peningkatan kandungan garam dalam tubuh ikan. Namun kelebihan ini dikeluarkan kembali melalui permukaan tubuh yang semipermeabel secara difusi. Berbeda dengan ikan air laut, ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik darah yang lebih tinggi dari lingkungannya

sehingga sejumlah garam yang ada dalam tubuh ikan akan hilang melalui permukaan jaringan insang dan kulit pada proses difusi, melalui feces dan juga urin. Untuk menjaga agar garam-garam tubuh yang hilang seminimum mungkin, maka dilakukan penyerapan kembali garam-garam dalam pembuluh proksimal ginjal. Kehilangan garam-garam ini akan digantikan oleh garam-garam yang terdapat dalam pakan dan penyerapan aktif ion-ion garam yang berasal dari lingkungan perairan melalui insang (Baldisserotto 2007).

Selanjutnya ikan air laut yang dipindahkan ke media yang bersalinitas lebih rendah akan kemasukan air secara terus menerus pada kecepatan yang tidak normal dan mendapat keseimbangan kembali setelah 10 – 48 jam. Sebaliknya ikan air tawar yang dipindahkan ke media yang bersalinitas lebih tinggi akan kemasukan garam-garam (Black dalam Fitrani 2009).

Alava (1998) mengemukakan bahwa pemeliharaan juvenil ikan bandeng pada salinitas 0 ppt dapat meningkatkan laju pertumbuhan karena dilihat dari tahapan perkembangannya juvenil ikan bandeng akan beruaya dari perairan laut masuk ke lingkungan estuari atau air tawar. Selanjutnya Swanson (1998) menyatakan bahwa pemeliharaan juvenil ikan bandeng pada salinitas yang tinggi (55 ppt) dapat menurunkan kemampuan osmoregulasi dan kinerja renang ikan. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi salinitas pada ikan eurihalin harus mempertimbangkan interaksi efek salinitas pada proses fisiologis dan tingkah laku ikan. Yuwono (2006) menyatakan bahwa osmolaritas plasma ikan bandeng menurun ketika di pelihara pada air tawar dan salinitas 8 ppt. selanjutnya dikatakan bahwa ikan bandeng merupakan osmoregulator yang memerlukan waktu lebih dari 4 minggu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan mampu melakukan osmoregulasi untuk mencapai homeostasis dalam tubuh ikan.

Dokumen terkait