• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Penggunaan kata ”kekerasan” sangat sering di dengar di tengah masyarakat. Tetapi kadang orang menggunakan kata itu hanya dalam ruang pengertian yang sangat sempit misalnya hanya terbatas kepada tindakan fisik, bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengacu kepada perbuatan fisik.Terminologi kekerasan atau violence diartikan sebagai ”... the threat, attempt, or use of physical force by one or more persons that result in physical or non

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

physical harm to one or more other persons”.9 (Suatu perbuatan melanggar hukum yang melukai orang lain atau harta benda orang lain). Dalam literatur Amerika ada beberapa kata untuk pengertian ”kekerasan” misalnya tort, battery, dan assault.10

Tort is a wrongful injury to a person or a person’s property. Tort yang dilakukan dengan sengaja disebut dengan “assault” sedangkan tort yang dilakukan karena suatu kelalaian disebut dengan “battery”.11

Assault are any willful attempt or threat to inflict injury upon the person of another; any intentional display of force such as would give the victim reason to fear or expect immediate bodily harm; an assault may be committed without actually touching or striking or doing bodily harm to the person or another.

Black’s Law Dictionary mengartikan bahwa:

12

Hukum Amerika mengartikan bahwa Assault is an attempt by one person to make harmful or offensive contact with another individual without consent actual physical is not necessary.

(Kesengajaan yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain atau pihak lain; kesengajaan yang menunjukkan suatu kekuatan misalnya membuat korban ketakutan dan merasa akan mendapat kerusakan tubuh; kesengajaan ini dapat dilakukan tanpa kontak fisik atau melakukan suatu perbuatan yang merusak bagian tubuh kepada orang atau pihak lain).

13

9

Neil Alan Weiner,dkk. 1990. Violence: Patterns, Causes, Public Policy. dalam Perempuan, Kekerasan dan Hukum, Aroma Elimina Martha (Jogjakarta: UII Press, 2003) hlm. 21, 45.

10

Budi Sampurna, Pembuktian dan Penatalaksanaan Kekerasan terhadap Perempuan Tinjauan Klinis dan Forensik dalam Achie Sudiarti Luhulima (Ed.), op. cit., hlm. 53

11

Ibid

12

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, with pronounciation, fifth edition, 1983, St. Paul Minn West Publishing Co., USA.

13

Budi Sampurno, op. Cit dalamAchie Sudiarti Luhulima (Ed.), loc. cit.

(Suatu kesengajaan yang dilakukan oleh seseorang untuk membuat suatu penderitaan bagi orang lain tanpa memperdulikan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan kontak fisik secara langsung).

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Black’s Law Dictionary mengartikan bahwa:

Criminal Battery defined as the unlawful application of force to the person or another, may be divided into its three basic elements :

1. The defendant’s conduct (act or ommission)

2. His ‘mental state’ which may be intent to kill or injure, or criminal negligence, or perhaps the doing of unlawful act.

3. The harmful result to the victim, which may be a bodily injury or an offensive touching.14

(Suatu tindakan kekerasan kepada orang lain yang harus memenuhi tiga elemen yaitu perbuatan pelakunya, keadaan jiwa pelaku dan akibat perbuatan pelaku kepada korban).

Dari pengertian di atas, kekerasan ialah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.

Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat umumnya dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, family violence, wife abuse.15

14

Henry Black Campbell, op. cit.

15

Aroma Elimina Martha, 2003, Perempuan, Kekuasaan dan Hukum, Jogjakarta: UII Press, hlm.31. lihat juga hlm. 46.

Dalam terjemahan bebas, istilah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berarti kekerasan yang dilakukan atau yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga.

Pasal 1 angka 1 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa:

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Pengertian diatas sama dengan pengertian yang berlaku di literatur barat (tort, assault, battery) yaitu perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban, dalam hal ini yang menjadi korban kekerasan ialah orang-orang yang berada dalam rumah tangga.

2. Sejarah Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga yang pada umumnya ditujukan kepada perempuan sudah sejak lama terjadi. Hal ini menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga tidak mudah untuk dihapuskan karena sudah mengakar akibat suatu budaya, penafsiran yang salah terhadap ajaran agama atau alasan lain. Bahkan mungkin saja kekerasan dalam rumah tangga sudah terjadi sepanjang peradaban manusia hanya tidak diketahui bahwa itu merupakan suatu bentuk kekerasan.

Nawal El Saadawi menceritakan bahwa seorang perempuan yang berada dalam budaya patriarki secara khusus di daerah timur tengah harus menderita akibat suatu budaya yaitu bahwa untuk menjaga keperawanan sampai dia menikah dan menjaga harga diri orang tua dan keluarga, seorang perempuan harus disunat (pemotongan klitoris) yang sebenarnya memberikan beberapa dampak negatif baginya. Peristiwa ini sudah terjadi ratusan tahun.16

16

Nawal El Saadawi, op. cit, hlm.75

Penyunatan dikenal di Eropa sampai akhir abad ke-19 sebagaimana juga di negara-negara seperti di Mesir, Sudan, Somalai, Etiopia, Kenya, Tanzania, Ghana, Guinea, dan Nigeria. Catatan pada masa lalu menyebutkan pada masa kerajaan Pharaoh dari Mesir

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Kuno dan Herodotus menyebutkan adanya penyunatan perempuan 700 tahun sebelum Kristus lahir.17

Sebagai perbandingan, sejarah kekerasan suami terhadap istri pada awalnya berasal dari common law Inggris (1896), yang memberikan kekuasaan dan hak kepada suami untuk mendidik atau memberi disiplin kepada istri dengan cara menggunakan alat tongkat, yang disebut dengan istilah ”Rule of Thumb”, dengan cara suami boleh memukul istri dengan tongkat yang tidak lebih besar dari ibu jari. Di Inggris, masalah ini adalah masalah privat dan masalah yang berat sehingga polisi segan mencampuri pertikaian dalam keluarga.18

Kekerasan dalam rumah tangga yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (privat) kini telah menjadi fakta dalam rumah tangga dan persoalan kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi domain publik. Strauss mengemukakan beberapa alasan mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang tadinya bersifat pribadi menjadi masalah umum :19

Pertama, para ilmuwan sosial dan masyarakat umum menjadi semakin peka terhadap kekerasan.

Kedua, munculnya gerakan perempuan yang memainkan peran khususnya dengan mengungkap tabir permaslahan rumah tangga dan menyampaikan permaslahan mengenai perempuan yang teraniaya secara terbuka.

Ketiga, adanya kenyataan perubahan model konsensus masyarakat yang diungkapkan oleh para ilmuwan sosial, dan tantangan berikutnya adalah bagaimana menghasilkan model konflik atau aksi sosial mengantisipasi perubahan tersebut.

Keempat, ada kemungkinan lain, dengan ditunjukkan penelitian mengenai kekerasan dalam tumah tangga yang dapat dilakukan untuk mengungkap lebih mendalam sisi kekerasan dalam rumah tangga.

17

Ibid, hlm. 77

18

Aroma Elimina Martha, op. cit, hlm. 38

19

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Perjuangan gerakan perempuan di setiap negara membuahkan hasil dengan dibentuknya ruang pelayanan khusus di kepolisian yang secara khusus menangani tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Di Indonesia, hasil perjuangan gerakan perempuan ialah terbentuknya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 yang memerintahkan dibentuknya ruang pelayanan khusus (RPK) di lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia.20

1. kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;

Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga semakin besar dan sudah menjadi domain publik.

3. Jenis dan Ruang Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Mengacu kepada pasal 5 UU No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :

21

2. kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;22

3. kekerasan seksual yaitu yaang meliput i pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan/atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

20

Pasal 13 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

21

Pasal 6 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

22

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu;23

4. penelantaran rumah tangga yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dalam hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.24

Kekerasan dalam rumah tangga ialah suatu bentuk kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi :25

a. suami, isteri, dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

23

Pasal 8 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

24

Pasal 9 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

25

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

4. Korban dan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

A. Pengertian Korban

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli, peraturan perundang-undangan, dan juga dari konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya ialah:

1. Ralph de Sola

Korban (victim) adalah ”... person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemped criminal offense committed by another....”26

2. Muladi

(… orang yang mengalami penderitaan fisik atau mental, kehilangan barang-barang atau kematian yang merupakan akibat dari perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan orang lain….)

Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian,termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.27

3. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985

Korban (victims) means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering,

26

Ralph de Sola, Crime Dictionary (New York: Facts on File Publication, 1998), hlm. 188 dalam Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm. 46.

27

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal abuse of power. (Korban ialah orang baik perseorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan termasuk penderitaan fisik dan mental, emosi, ekonomi atau hak-hak asasi mereka yang lain melalui dilakukan atau tidaknya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan).

4. PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat dan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.

5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Korban ialah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.28

28

Pasal 1 angka 3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

Korban ialah orang, baik individu atau kolektif yang mengalami penderitaan dan kerugian akan hak-hak asasinya akibat perbuatan. Dalam hal ini, tidak semua korban terjadi karena perbuatan orang lain, tapi juga dikarenakan keterlibatan korban atau perbuatan korban sendiri, misalnya dalam hal penggunaan narkotika.

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

B. Tipologi Korban

Tipologi korban dapat diidentifikasikan menurut jenis korban, peranan korban, jumlah korban (Sellin dan Wolfgang), bahkan juga dapat diidentifikasikan berdasarkan status dan keadaan korban, yaitu:29

1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, dalam hal ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat.

2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh.

3. Participating victims, yaitu seorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya mendorong dirinya menjadi korban, misalnya seorang wanita jalan sendirian menggunakan banyak perhiasan yang mendorong seorang melakukan tindak pidana pencurian.

4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban, misalnya perempuan dan/atau anak-anak.

5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban, misalnya pembantu rumah tangga.

6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.

29

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

C. Korban kekerasan dalam rumah tangga

Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, dilihat dari status dan keadaan korban, korban kekerasan dalam rumah tangga digolongkan menjadi

biologically weak victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. Dalam kekerasan dalam rumah tangga, pada umumnya yang menjadi korban ialah perempuan dan anak-anak karena secara anatomi dan fisiologi tubuh, kekuatan dan fisik perempuan berbeda dan lebih lemah dibandingkan lelaki. Selain itu, korban kekerasan dalam rumah tangga juga dapat digolongkan kepada socially weak victim yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. Hal ini disebabkan oleh budaya dan kebiasaan masyarakat dan pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai subordinari laki-laki. Kaum laki-laki di tempatkan pada posisi dominan sebagai kepala keluarga. Posisi yang superior menyebabkan dirinya sangat berkuasa di tengah-tenagh keluarga. Bahkan, pada saat laki-laki melakukan berbagi kekerasan terhadap anggota keluarga tidak ada seorangpun dapat menghalanginya. Bahkan perlakuan masyarakat yang membedakan sikap terhadap kelahiran anak laki-laki dan perempuan. Dalam budaya patriarki yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, kelahiran anak laki-laki mendapat perhatian khusus dari kerabat lainnya tetapi kelahiran anak perempuan dalam suatu keluarga tidak mendapat perhatian yang khusus dari kerabat. Misalnya ialah penulis merupakan anak satu-satunya laki-laki dalam keluarga. Sewaktu kelahiran penulis, semua keluarga baik dari keturunan bapak dan ibu dengan bersukacita menantikan kelahiran penulis dan setelah itu

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

dilakukan syukuran yang meriah. Sedangkan, sewaktu kakak perempuan penulis lahir dua tahun sebelum kelahiran penulis, hanya orang tua dan beberapa kerabat yang menanti kelahirannya dan melakukan syukuran yang sederhana.

D. Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan yang sangat beragam baik fisik, materil, maupun psikis sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus beragam. Perlindungan korban ini diberikan berdasarkan hak yang dimilikinya.

Pasal 10 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Korban berhak mendapatkan :

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan; dan

e. pelayanan bimbingan rohani.

UU PKDRT juga membagi perlindungan menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:

1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama tujuh hari, dan dalam waktu 1 x 24 sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

perlindungan dari pengadilan. Perlindunagn sementara oleh kepolisisan ini dapat dilakukan bekerjasama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.30

2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku melalui mediasi, dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).31

3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama satu tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.32

30

Lihat pasal 16 dan 17 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

31

Lihat pasal 25 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

32

Lihat pasal 32, 34, dan 38 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.33

5. Pelayanan pekerja sosial diberikan melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.34

6. Pelayanan relawan pendamping diberikan berupa menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.35

33

Pasal 21UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

34

Pasal 22 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

35

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

7. Pelayanan pembimbing rohani dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.36

LSM yang dikenal sekarang ini, terutama untuk Indonesia, pengertiannya mengacu pada satu organisasi volunteer di luar struktur negara yang memiliki

5. Pengertian Lembaga Sosial dan Karakteristik Lembaga Sosial dalam UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

Lembaga sosial dalam hal ini merupakan organisasi non pemerintah (ornop) dan/atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Untuk memberikan pengertian lembaga sosial, mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Instruksi Menteri dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas menyebutkan :

Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Instruksi Menteri dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 menyebutkan

LSM adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat

Dokumen terkait