Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
PERANAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi di LBH-APIK Medan)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
JUPPA MAROLOB HALOHO NIM. 040200185
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
Abul Khair, S.H., M.Hum NIP. 131 842 854
Pembimbing I Pembimbing II
Nurmalawaty, S.H., M.Hum. Edy Yunara, S.H., M.Hum.
NIP. 131 803 347 NIP. 131 639 812
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
ABSTRAK
Juppa Marolob Haloho, Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK Medan), skripsi, 2008.
Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga membawa angin segar bagi perempuan yang rentan menjadi korban. Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak lagi menjadi masalah privat melainkan menjadi masalah publik. Ketiadaan hukum yang melindungi korban kekerasan tidak dapat lagi dijadikan alasan tingginya dark number kekerasan terhadap perempuan. Bahkan kelahiran UU ini mengatur secara khusus kerjasama beberapa pihak untuk memberikan perlindungan hukum/korban. Perlindungan korban berarti juga perlindungan terhadap hak asasi manusia. KDRT juga merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Korban KDRT membutuhkan perlindungan. Selain Negara, salah satu pihak yang dapat memberikan perlindungan korban KDRT ialah lembaga sosial yang perjuangannya dikhusukan kepada perempuan .
Landasan juridis lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum, peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum, kendala yang dihadapi lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum adalah tiga hal yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini.
Sosio legal juridis adalah metode penelitian yang digunakan untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut dengan studi kepustakaan, wawancara serta observasi sebagai metode pengumpulan data. Penelitian yang dilakukan di LBH-APIK Medan mengindikasikan besar peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan korban KDRT. Kendala yang berasal dari dalam dan luar lembaga sosial menjadikan lembaga sosial menjadi lebih kreatif dalam mencapai tujuan UU.
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena penyertaan dan penyataan kuasaNya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peranan Lembaga Sosial Dalam
Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Studi Di LBH-APIK Medan)” ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk
meraih gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pemahaman akan ilmu hukum yang sudah dipelajari penulis selama mengikuti
perkuliahan menjadi dasar bagi penulis dalam mengerjakan skripsi ini dengan
menggunakannya secara interdisipliner.
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis menyadari begitu banyak
dukungan, bimbingan, perhatian, dan bantuan serta petunjuk/arahan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Suhaidi, S.H., selaku Pembantu Umum I Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., LLM, selaku Pembantu Umum II
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
4. Bapak M.Husni, S.H.,M.Hum, selaku Pembantu Umum III Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
membantu dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Bapak Edy Yunara, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah mengajari penulis dalam menulis skripsi ini.
7. Seluruf staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan ilmu hukum kepada penulis serta seluruh staf pegawai
administrasi Fakultas Hukum USU.
8. Seluruh Staf LBH-APIK Medan yang membantu memberikan data dan
pengalaman kepada penulis dalam proses penulisan skripsi ini, terutama
K’ Ega (Koordinator Divisi Bantuan Hukum LBH-APIK Medan).
9. Teman-teman seangkatan yang sedang, telah, dan akan berjuang
menyelesaikan skripsi.
10.Adik-Adik stambuk yang terus menanyakan perkembangan skripsi
penulis.
11.Saudara-saudaraku di Pelayanan Persekutuan Siswa Perkantas Medan,
Adik-adik KTB, teman-teman KTB, tim inti dan tim koordinator sekolah
TPS, K’Lina yang terus memarahi dan mendorong penulis menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
12.Seluruh keluarga besar penulis, ibunda tercinta O. br Purba, Keluarga
abang/kakak (R. Pangaribuan/R. br Haloho, J. Damanik/D. br Haloho, J.
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
keberhasilan kalian menjadi motivasi tersendiri bagiku, keponakan (Cia,
Johan, Chris,Daniel,Tesa) dan adik-adikku yang sedang berjuang (Afri,
Okta, Yeyen, Barry, tetap semangat ya), skripsi ini kupersembahkan
kepada kalian.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih jauh dari
sempurna dan terbatas dalam pembahasan skripsi ini, penulis siap dan
mengharapkan saran, kritik, dan evaluasi terhadap penulisan ini. Harapan penulis,
tulisan ini menginspirasi pembaca dan bermanfaat bagi pembaca.
Akhir kata, penulis mengucapkan selamat membaca. Terima kasih.
Medan, Juni 2008
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
H. Sistematika Penulisan ... 30
BAB II PENGATURAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 33
B. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 37
C. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 40
D. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ... 47
BAB III PERANAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Lembaga Sosial ... 58 B. Cara dan Sistem Kerja Lembaga Sosial dalam Memberikan
Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga . 69
BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DAN UPAYA MENGATASI
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
A. Kendala yang Dihadapi Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Korban KDRT ... 83
B. Upaya Lembaga Sosial untuk Mengatasi Kendala yang
Dihadapi dalam Memberikan Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 92
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ... 97 B. SARAN ... 104
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
DAFTAR TABEL
TABEL JUDUL TABEL HALAMAN
2. 1 Nama-Nama Calon Anggota LPSK yang Lulus Seleksi Administratif dan Seleksi Kualifikasi serta Integritas Moral
44
3. 1 Mitra LBH-APIK Medan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2006 s/d Mei 2008
66
3. 2 Proses Penyelesaian Perkara di LBH-APIK
MedanTahun 2007
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR JUDUL GAMBAR HALAMAN
Gambar 3.1 Proses upaya pencegahan terjadinya KDRT oleh lembaga sosial
72
Gambar 3. 2 Kerjasama lembaga sosial dengan intansi lain dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu masalah yang
sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat bagaikan fenomena gunung es.
Buku berjudul ”Perempuan Dalam Budaya Patriarki” karangan Nawal El Saadawi
menggambarkan bagaimana kekerasan dalam rumah tangga terjadi sejak adanya
suatu budaya.1
KDRT atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik ( domestic
violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam
rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat
berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar
korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak perempuan dan
pelakunya biasanya ialah suami (walaupun ada juga korban justru sebaliknya)
atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Menko Kesra
mengatakan pada tahun 2007, 75% pelaku kekerasan dalam rumah tangga Buku yang ditulis berdasarkan pengalaman sendiri dan hasil
konseling pasien yang datang kepada penulis (Nawal) menggambarkan bagaimana
seorang perempuan akibat suatu budaya (patriarki) menjadi korban diskriminasi,
penganiayaan, kekerasan seksual dan lainnya.
1
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
dilakukan oleh suami.2
Ironisnya, perempuan yang menjadi korban KDRT ini sering menutupi
kasus ini. Ada sebuah kasus yang diketahui penulis sendiri, seorang perempuan
ketika berumur 5 tahun diperkosa oleh pamannya sendiri (belum menikah) yang
tinggal bersama keluarganya. Sekarang, si paman telah menikah dan telah
mempunyai anak sedangkan si perempuan yang menjadi korban pemerkosaan
tetap menjadi perempuan yang kehilangan keperawanannya akibat suatu
kekerasan. Bahkan si perempuan masih menutupi masalah itu sampai sekarang
kepada kedua orang tuanya dengan alasan takut merusak hubungan kekeluargaan
yang ada, takut aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, takut bahwa
tidak ada pria yang akan menerimanya jika mengetahui keadaannya, dan sedikit
berpasrah dengan alasan ”tidak ada gunanya hal itu diketahui orangtuaku karena
tidak akan mengembalikan ’keperawananku’ yang telah hilang”.
Hubungan pelaku dengan korban KDRT ialah orang yang
mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian
dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah
itu. Kekerasan itu terjadi dalam lingkungan orang-orang yang mengikatkan diri
atas nama cinta.
3
Ada beberapa alasan yang menyebabkan kasus KDRT ini ditutup-tutupi
misalnya karena terpaut faktor budaya (nilai patriarki masyarakat), agama,
alasan-alasan subjektif korban dan/atau ketidaktahuan sistem hukum. Film Ayat-Ayat
Cinta yang di putar sejak tanggal 28 Februari 2008 juga menyinggung masalah Kasus ini
merupakan contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga.
2
3
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
tindakan suami memukul istri menurut al-Quran. Ada pandangan yang
menyatakan bahwa tindak kekerasan terhadap istri mendapat legitimitas dari
Islam. Pandangan yang keliru itu tampaknya mengacu kepada beberapa ayat yang
secara tekstual maknanya memang mengarah kepada justifikasi terhadap tindak
kekerasan atas perempuan, khususnya dalam rumah tangga. Ayat-ayat tersebut
diantaranya an-Nisa 4:34.4
Harkristuti Harkrisnowo dalam artikelnya ”Hukum Pidana dan Kekerasan
Terhadap Perempuan” mengatakan adanya non-reporting of crime disebabkan :5 1. Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya baik
secara fisik, psikologis, sosial.
2. Si korban berkewajiban melindungi nama baik keluarganya terutama pelaku adalah anggota keluarga.
3. Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana belum tentu dapat membuat dipidanya pembuat.
4. Si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa cemar yang lebih tinggi lagi bagi dirinya, misalnya publikasi di media massa. 5. Si korban khawatir akan adanya pembalasan dari pelaku.
6. Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban membuatnya enggan melapor.
7. Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum.
8. Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadapnya merupakan suatu bentuk tindak kekerasan.
Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadapnya merupakan suatu
bentuk tindak kekerasan, melahirkan kesadaran bagi perempuan untuk
mempertahankan haknya sebagai perempuan. Berbagai aturan yang mengatur
perlindungan terhadap hak perempuan mengembangkan kesadaran para
4
DR. Siti Musdah Mulia,MA.,APU. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Perspektif
Islam), sebuah artikel
5
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
perempuan untuk melindungi dan mempertahankan haknya. UUD RI 1945
mengenai hak asasi manusia, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the elimination of All forms of
Discrimination Against Woman/CEDAW) yang disetujui Majelis Umum PBB
tanggal 18 Desember 1979 yang diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan oleh Pemerintah Indonesia, Undang-Undang
No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia, menjadi dasar para perempuan untuk
mempertahankan haknya sebagai perempuan.
Kelahiran Women’s Crisis Center di Indonesia sebagai salah satu bukti
kesadaran perempuan untuk mempertahankan haknya. Women’s Crisis Center
(WCC) memberikan perlindungan kepada perempuan untuk mempertahankan
haknya dan meminimalisasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Women’s
Crisis Center (WCC) misalnya ialah Yayasan Annisa Swasti (YASANTI)
Jogjakarta yang lahir pada tahun 1982, Mitra Perempuan, LBH-APIK, Yayasan
Kalyanamitra tahun 1985, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Solidaritas
Perempuan (SP), Kapal Perempuan, Rifka’s WCC Jogjakarta tahun 1993, Komnas
Perempuan yang lahir dengan Keppres No. 181 Tahun 1998, dan lembaga atau
yayasan lainnya yang melindungi dan mempertahankan hak perempuan. Lembaga
seperti ini yang dibutuhkan seorang korban (terutama perempuan) untuk
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Keberadaan WCC tidak hanya di pusat tetapi sudah ada di daerah-daerah
dan kota Medan salah satunya. Misalnya, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan juga beberapa lembaga lain misalnya
Lembaga Swadaya Masyarakat Letare, Persatuan Sada Ahmo, dan lainnya yang
menangani dan bergerak di bidang perlindungan hak-hak perempuan.
Keberadaan lembaga-lembaga sosial ini juga melahirkan para aktivis
perempuan yang terus gencar mencari keberpihakan para pihak terhadap
perempuan. Hal ini yang membuat ratusan aktivis prempuan dari 20 organisasi
perempuan di Sumut yang bergabung dalam ”forum perempuan” berunjuk rasa ke
kantor-kantor partai politik di Sumatera Utara yang mengancam akan memboikot
jalannya Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara, 16 April 2008 jika tidak ada
keberpihakan para calon gubernur pada perempuan. Hal ini mendapat reaksi dari
pasangan cagub dan cawagub Sumatera Utara pasangan H.Abdul Wahab
Dalimunthe,SH dan M.Syafii,SH yang dalam visi dan misinya akan membangun
perempuan di Sumut6
Pada akhir 2006 Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan
melaporkan hasil penelitian tentang kondisi KDRT di Indonesia. Berdasarkan data
dari Komnas Perempuan, pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah
itu meningkat 61% pada tahun 2002 menjadi 5.163 kasus. Pada tahun 2003, kasus
KDRT meningkat 66% menjadi 7.787 kasus, lalu 2004 meningkat 56% menjadi
14.020 kasus dan tahun 2005 meningkat 69% menjadi 20.391 kasus. Pada tahun .
6
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
2006 penambahan diperkirakan 70% (masih berupa angka perkiraan)7. Pada tahun 2006, Mitra Perempuan menangani 336 kasus dan 85,42 % ialah kasus KDRT.
Tahun 2007 dari 284 kasus yang ditangani Mitra Perempuan, 87, 32% ialah kasus
KDRT.8
Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC dalam
menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta
perlindungan kepada korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, Peraturan Presiden
No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap Perempuan,
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan
peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas dan fungsi kepada
lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan hukum terhadap
kasus KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam
perlindungan terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.
Berdasarkan data diatas, persentase kasus KDRT mengalami kenaikan tiap
tahun. Hal ini menandakan bahwa peranan WCC atau lembaga sosial yang
bergerak dalam bidang perempuan sangat besar dalam memberikan kesadaran
kepada perempuan dan masyarakat luas tentang hak perempuan dan melakukan
upaya sebesar-besarnya untuk mempertahankan hak perempuan tersebut.
7
8
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Hal-hal diatas tersebut yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian
terhadap lembaga sosial yang berorientasi kepada perempuan secara khusus dalam
hal kekerasan dalam rumah tangga di kota Medan. Data yang ada mengenai
kekerasan dalam rumah tangga yang harus dikurangi, keberadaan
lembaga-lembaga sosial, dan korban yang tidak melaporkan tindak kekerasan yang
dialaminya, serta peranan dan pengaruh lembaga-lembaga sosial yang sudah ada
menjadi alasan penulis untuk menulis skripsi dengan judul ”Peranan Lembaga
Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK Medan)”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini ialah :
1. Bagaimana pengaturan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan
terhadap korban KDRT?
2. Bagaimana peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan
terhadap korban KDRT?
3. Bagaimana upaya lembaga sosial dalam mengatasi kendala yang dihadapi
dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan penulis melakukan penelitian dan penulisan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK
Medan)” ialah :
1. Untuk mengetahui pengaturan lembaga sosial dalam memberikan
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan lembaga sosial dalam memberikan
perlindungan terhdap korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh lembaga sosial dalam
memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga
dan untuk mengetahui bagaimana upaya lembaga sosial dalam mengatasi
kendala tersebut.
D. MANFAAT PENULISAN
Penulis berharap penelitian dan tulisan ini bermanfaat baik secara teoritis
ataupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai penambah wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca
khususnya perempuan di bidang kekerasan dalam rumah tangga secara
khusus dan kekerasan terhadap perempuan secara luas dan peranan
suatu lembaga dalam perlindungan terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga.
b. Sebagai bahan dasar bagi peneliti dan penulis lain untuk melakukan
penelitian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
2. Manfaat Praktis
a. Bagi civitas akademika (mahasiswa, dosen) sebagai bahan untuk
memikirkan dibentuknya suatu lembaga sosial (apakah berbentuk LBH
atau berbentuk LSM) yang berorientasi dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap orang-orang korban kekerasan dalam
rumah tangga secara khusus dan kekerasan terhadap perempuan secara
luas.
b. Bagi lembaga sosial yang berorientasi dalam memberikan
perlindungan hukum kepada korban kekerasan dalam rumah tangga
untuk lebih menyadari betapa strategis dan pentingnya peranan yang
mereka miliki dalam mengurangi angka kekerasan dalam rumah
tangga sehingga memaksimalkan kinerja mereka.
c. Bagi lembaga penegak hukum lainnya (kepolisian dan kejaksaan serta
pengadilan) untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga sosial
dalam melakukan upaya mengurangi angka kekerasan dalam rumah
tangga dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga.
d. Bagi lembaga lainnya yang disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT (pekerja sosial, pembimbing rohani,
tenaga kesehatan, dan/atau pihak lainnya) untuk meningkatkan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
angka kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan
hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
e. Bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat untuk tidak takut
melaporkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan meminta
pendampingan terhadap korban kepada lembaga sosial yang ada.
E. KEASLIAN PENULISAN
Tulisan berjudul ”Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan
Perlindungan Hukum terhadap Korban KDRT (Studi di LBH-APIK)” adalah
karya asli penulis berdasarkan pembelajaran, pemahaman, dan penelitian yang
dilakukan oleh penulis sendiri. Tulisan dengan judul ”Peranan Lembaga Sosial
dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Korban KDRT (Studi di
LBH-APIK)” belum pernah dibuat oleh penulis lain. Jika ada tulisan yang berjudul
sama dengan tulisan ini, pasti memiliki pokok bahasan dan substansi yang
berbeda.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Penggunaan kata ”kekerasan” sangat sering di dengar di tengah
masyarakat. Tetapi kadang orang menggunakan kata itu hanya dalam ruang
pengertian yang sangat sempit misalnya hanya terbatas kepada tindakan fisik,
bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengacu kepada perbuatan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
physical harm to one or more other persons”.9 (Suatu perbuatan melanggar hukum yang melukai orang lain atau harta benda orang lain). Dalam literatur Amerika ada
beberapa kata untuk pengertian ”kekerasan” misalnya tort, battery, dan assault.10
Tort is a wrongful injury to a person or a person’s property. Tort yang dilakukan dengan sengaja disebut dengan “assault” sedangkan tort yang dilakukan karena suatu kelalaian disebut dengan “battery”.11
Assault are any willful attempt or threat to inflict injury upon the person of another; any intentional display of force such as would give the victim reason to fear or expect immediate bodily harm; an assault may be committed without actually touching or striking or doing bodily harm to the person or another.
Black’s Law Dictionary mengartikan bahwa:
12
Hukum Amerika mengartikan bahwa Assault is an attempt by one person to make harmful or offensive contact with another individual without consent
actual physical is not necessary.
(Kesengajaan yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain atau pihak lain; kesengajaan yang menunjukkan suatu kekuatan misalnya membuat korban ketakutan dan merasa akan mendapat kerusakan tubuh; kesengajaan ini dapat dilakukan tanpa kontak fisik atau melakukan suatu perbuatan yang merusak bagian tubuh kepada orang atau pihak lain).
13
9
Neil Alan Weiner,dkk. 1990. Violence: Patterns, Causes, Public Policy. dalam Perempuan, Kekerasan dan Hukum, Aroma Elimina Martha (Jogjakarta: UII Press, 2003) hlm. 21, 45.
10
Budi Sampurna, Pembuktian dan Penatalaksanaan Kekerasan terhadap Perempuan Tinjauan Klinis dan Forensik dalam Achie Sudiarti Luhulima (Ed.), op. cit., hlm. 53
11
Ibid
12
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, with pronounciation, fifth edition, 1983, St. Paul Minn West Publishing Co., USA.
13
Budi Sampurno, op. Cit dalamAchie Sudiarti Luhulima (Ed.), loc. cit.
(Suatu kesengajaan yang dilakukan oleh
seseorang untuk membuat suatu penderitaan bagi orang lain tanpa memperdulikan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Black’s Law Dictionary mengartikan bahwa:
Criminal Battery defined as the unlawful application of force to the person or another, may be divided into its three basic elements :
1. The defendant’s conduct (act or ommission)
2. His ‘mental state’ which may be intent to kill or injure, or criminal negligence, or perhaps the doing of unlawful act.
3. The harmful result to the victim, which may be a bodily injury or an offensive touching.14
(Suatu tindakan kekerasan kepada orang lain yang harus memenuhi tiga elemen yaitu perbuatan pelakunya, keadaan jiwa pelaku dan akibat perbuatan pelaku kepada korban).
Dari pengertian di atas, kekerasan ialah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun
non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat),
dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau
psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.
Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat umumnya
dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, family violence, wife abuse.15
14
Henry Black Campbell, op. cit.
15
Aroma Elimina Martha, 2003, Perempuan, Kekuasaan dan Hukum, Jogjakarta: UII Press, hlm.31. lihat juga hlm. 46.
Dalam terjemahan bebas, istilah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
berarti kekerasan yang dilakukan atau yang terjadi dalam ruang lingkup rumah
tangga.
Pasal 1 angka 1 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23
Tahun 2004 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa:
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Pengertian diatas sama dengan pengertian yang berlaku di literatur barat
(tort, assault, battery) yaitu perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,
dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh
pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak
dikendaki oleh korban, dalam hal ini yang menjadi korban kekerasan ialah
orang-orang yang berada dalam rumah tangga.
2. Sejarah Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga yang pada umumnya ditujukan kepada
perempuan sudah sejak lama terjadi. Hal ini menyebabkan kekerasan dalam
rumah tangga tidak mudah untuk dihapuskan karena sudah mengakar akibat suatu
budaya, penafsiran yang salah terhadap ajaran agama atau alasan lain. Bahkan
mungkin saja kekerasan dalam rumah tangga sudah terjadi sepanjang peradaban
manusia hanya tidak diketahui bahwa itu merupakan suatu bentuk kekerasan.
Nawal El Saadawi menceritakan bahwa seorang perempuan yang berada
dalam budaya patriarki secara khusus di daerah timur tengah harus menderita
akibat suatu budaya yaitu bahwa untuk menjaga keperawanan sampai dia
menikah dan menjaga harga diri orang tua dan keluarga, seorang perempuan harus
disunat (pemotongan klitoris) yang sebenarnya memberikan beberapa dampak
negatif baginya. Peristiwa ini sudah terjadi ratusan tahun.16
16
Nawal El Saadawi, op. cit, hlm.75
Penyunatan dikenal di
Eropa sampai akhir abad ke-19 sebagaimana juga di negara-negara seperti di
Mesir, Sudan, Somalai, Etiopia, Kenya, Tanzania, Ghana, Guinea, dan Nigeria.
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kuno dan Herodotus menyebutkan adanya penyunatan perempuan 700 tahun
sebelum Kristus lahir.17
Sebagai perbandingan, sejarah kekerasan suami terhadap istri pada
awalnya berasal dari common law Inggris (1896), yang memberikan kekuasaan dan hak kepada suami untuk mendidik atau memberi disiplin kepada istri dengan
cara menggunakan alat tongkat, yang disebut dengan istilah ”Rule of Thumb”, dengan cara suami boleh memukul istri dengan tongkat yang tidak lebih besar dari
ibu jari. Di Inggris, masalah ini adalah masalah privat dan masalah yang berat
sehingga polisi segan mencampuri pertikaian dalam keluarga.18
Kekerasan dalam rumah tangga yang dulu dianggap mitos dan persoalan
pribadi (privat) kini telah menjadi fakta dalam rumah tangga dan persoalan
kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi domain publik. Strauss
mengemukakan beberapa alasan mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang
tadinya bersifat pribadi menjadi masalah umum :19
Pertama, para ilmuwan sosial dan masyarakat umum menjadi semakin peka terhadap kekerasan.
Kedua, munculnya gerakan perempuan yang memainkan peran khususnya dengan mengungkap tabir permaslahan rumah tangga dan menyampaikan permaslahan mengenai perempuan yang teraniaya secara terbuka.
Ketiga, adanya kenyataan perubahan model konsensus masyarakat yang diungkapkan oleh para ilmuwan sosial, dan tantangan berikutnya adalah bagaimana menghasilkan model konflik atau aksi sosial mengantisipasi perubahan tersebut.
Keempat, ada kemungkinan lain, dengan ditunjukkan penelitian mengenai kekerasan dalam tumah tangga yang dapat dilakukan untuk mengungkap lebih mendalam sisi kekerasan dalam rumah tangga.
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Perjuangan gerakan perempuan di setiap negara membuahkan hasil dengan
dibentuknya ruang pelayanan khusus di kepolisian yang secara khusus menangani
tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
Di Indonesia, hasil perjuangan gerakan perempuan ialah terbentuknya UU
PKDRT No. 23 Tahun 2004 yang memerintahkan dibentuknya ruang pelayanan
khusus (RPK) di lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia.20
1. kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat;
Hal ini
menunjukkan bahwa kepedulian terhadap persoalan kekerasan dalam rumah
tangga semakin besar dan sudah menjadi domain publik.
3. Jenis dan Ruang Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mengacu kepada pasal 5 UU No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :
21
2. kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;22
3. kekerasan seksual yaitu yaang meliput i pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
dan/atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
20
Pasal 13 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
21
Pasal 6 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
22
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu;23
4. penelantaran rumah tangga yaitu setiap orang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dalam hal ini
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.24
Kekerasan dalam rumah tangga ialah suatu bentuk kekerasan yang terjadi
dalam ruang lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi :25
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri,
dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
23
Pasal 8 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
24
Pasal 9 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
25
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
4. Korban dan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
A. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli,
peraturan perundang-undangan, dan juga dari konvensi internasional yang
membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya ialah:
1. Ralph de Sola
Korban (victim) adalah ”... person who has injured mental or physical
suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemped
criminal offense committed by another....”26
2. Muladi
(… orang yang mengalami
penderitaan fisik atau mental, kehilangan barang-barang atau kematian yang
merupakan akibat dari perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan orang
lain….)
Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian,termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.27
3. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power 1985
Korban (victims) means persons who, individually or collectively, have
suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering,
26
Ralph de Sola, Crime Dictionary (New York: Facts on File Publication, 1998), hlm. 188 dalam Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm. 46.
27
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through
acts or omission of criminal abuse of power. (Korban ialah orang baik
perseorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan termasuk
penderitaan fisik dan mental, emosi, ekonomi atau hak-hak asasi mereka yang
lain melalui dilakukan atau tidaknya kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan).
4. PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat dan UU No. 27 tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Korban ialah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.28
28
Pasal 1 angka 3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
Korban ialah orang, baik individu atau kolektif yang mengalami
penderitaan dan kerugian akan hak-hak asasinya akibat perbuatan. Dalam hal ini,
tidak semua korban terjadi karena perbuatan orang lain, tapi juga dikarenakan
keterlibatan korban atau perbuatan korban sendiri, misalnya dalam hal
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
B. Tipologi Korban
Tipologi korban dapat diidentifikasikan menurut jenis korban, peranan
korban, jumlah korban (Sellin dan Wolfgang), bahkan juga dapat diidentifikasikan
berdasarkan status dan keadaan korban, yaitu:29
1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, dalam hal ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada
pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat.
2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh.
3. Participating victims, yaitu seorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya mendorong dirinya menjadi korban, misalnya seorang wanita jalan sendirian
menggunakan banyak perhiasan yang mendorong seorang melakukan tindak
pidana pencurian.
4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban, misalnya perempuan dan/atau
anak-anak.
5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban, misalnya pembantu rumah
tangga.
6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.
29
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
C. Korban kekerasan dalam rumah tangga
Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, dilihat dari status dan
keadaan korban, korban kekerasan dalam rumah tangga digolongkan menjadi
biologically weak victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. Dalam kekerasan dalam rumah tangga,
pada umumnya yang menjadi korban ialah perempuan dan anak-anak karena
secara anatomi dan fisiologi tubuh, kekuatan dan fisik perempuan berbeda dan
lebih lemah dibandingkan lelaki. Selain itu, korban kekerasan dalam rumah
tangga juga dapat digolongkan kepada socially weak victim yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. Hal
ini disebabkan oleh budaya dan kebiasaan masyarakat dan pandangan masyarakat
yang menempatkan perempuan sebagai subordinari laki-laki. Kaum laki-laki di tempatkan pada posisi dominan sebagai kepala keluarga. Posisi yang superior
menyebabkan dirinya sangat berkuasa di tengah-tenagh keluarga. Bahkan, pada
saat laki-laki melakukan berbagi kekerasan terhadap anggota keluarga tidak ada
seorangpun dapat menghalanginya. Bahkan perlakuan masyarakat yang
membedakan sikap terhadap kelahiran anak laki-laki dan perempuan. Dalam
budaya patriarki yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, kelahiran anak
laki-laki mendapat perhatian khusus dari kerabat lainnya tetapi kelahiran anak
perempuan dalam suatu keluarga tidak mendapat perhatian yang khusus dari
kerabat. Misalnya ialah penulis merupakan anak satu-satunya laki-laki dalam
keluarga. Sewaktu kelahiran penulis, semua keluarga baik dari keturunan bapak
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
dilakukan syukuran yang meriah. Sedangkan, sewaktu kakak perempuan penulis
lahir dua tahun sebelum kelahiran penulis, hanya orang tua dan beberapa kerabat
yang menanti kelahirannya dan melakukan syukuran yang sederhana.
D. Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan yang
sangat beragam baik fisik, materil, maupun psikis sehingga perlindungan yang
diberikan kepada korban pun harus beragam. Perlindungan korban ini diberikan
berdasarkan hak yang dimilikinya.
Pasal 10 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
Korban berhak mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
UU PKDRT juga membagi perlindungan menjadi perlindungan yang
bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta
pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga
sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan
paling lama tujuh hari, dan dalam waktu 1 x 24 sejak memberikan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
perlindungan dari pengadilan. Perlindunagn sementara oleh kepolisisan ini
dapat dilakukan bekerjasama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan
pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan
terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di
kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang mudah diakses oleh korban.30
2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum,
melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban
dan keluarga pelaku melalui mediasi, dan mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan dalam sidang pengadilan (litigasi),
melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping,
dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).31
3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah
perlindungan yang diberikan selama satu tahun dan dapat diperpanjang.
Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT selama 30 hari apabila pelaku tersebut melakukan
pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan
untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat
memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin
timbul terhadap korban.32
30
Lihat pasal 16 dan 17 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
31
Lihat pasal 25 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
32
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya
pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai dengan
standar profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis
dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti.33
5. Pelayanan pekerja sosial diberikan melakukan konseling untuk menguatkan
dan memberikan rasa aman bagi korban; memberikan informasi mengenai
hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; mengantarkan korban ke
rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan melakukan koordinasi yang
terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian,
dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.34
6. Pelayanan relawan pendamping diberikan berupa menginformasikan kepada
korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang
pendamping; mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau
tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya; mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga
korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan memberikan dengan
aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.35
33
Pasal 21UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
34
Pasal 22 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
35
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
7. Pelayanan pembimbing rohani dilakukan dengan memberikan penjelasan
mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada
korban.36
LSM yang dikenal sekarang ini, terutama untuk Indonesia, pengertiannya
mengacu pada satu organisasi volunteer di luar struktur negara yang memiliki
5. Pengertian Lembaga Sosial dan Karakteristik Lembaga Sosial dalam UU
PKDRT No. 23 Tahun 2004
Lembaga sosial dalam hal ini merupakan organisasi non pemerintah
(ornop) dan/atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Untuk memberikan
pengertian lembaga sosial, mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Instruksi Menteri dalam Negeri No. 8
Tahun 1990 tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas menyebutkan :
Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Instruksi Menteri dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 menyebutkan
LSM adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sesuai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.
36
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
bentuk pengorganisasian yang jelas, organisasinya relatif kecil, tidak berupa
organisasi massa, dan memiliki sistem manajerial yang resmi.37
Perkembangan LSM dari generasi ke generasi mengalami pergeseran
ideologi dan watak perilaku mereka. Generasi pertama memiliki ideologi untuk
pengembangan masyarakat dengan mengembangkan swadaya masyarakat yang
tidak terjamah pembangunan pemerintah. Pada perkembangan selanjutnya,
muncul LSM-LSM yang kegiatannya mengarah kepada advokasi (pemberdayaan
dan pembelaan atas hak-hak masyarakat) dan lingkungan hidup. Pada
perkembangan terakhir muncul LSM-LSM yang kegiatannya mengikuti LSM
sebelumnya dan juga bertindak untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
sesaat dan mungkin saja akan tidak muncul lagi jika program sudah selesai atau
jika dana sudah habis.
Kelahiran LSM-LSM di Indonesia sangat tidak bisa dipisahkan dengan
perkembangan lembaga donor internasional dan LSM-LSM internasional.
Kelahiran LSM pada umumnya mula-mula lahir di kota-kota besar, pertama di
Jakarta dan baru kemudian di kota-kota lainnya. Kelahiran LSM di daerah juga
dapat dipengaruhi oleh lembaga donor Internasional atau juga oleh perkembangan
LSM pusat yang ingin mengepakkan sayap ke daerah.
38
David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM, mengemukakan ada
empat generasi berdasarkan strategi yang dipilihnya.
39
37
Muhammad Budairi, Masyarakat Sipil dan Demokrasi, 2002, Jakarta: E-Law Indonesia, hlm. 70
38
Ibid
39
David Korten dalam Zaim Saidi, Secangkir Kopi Maxhavelar, LSM dan Kebangkitan Masyarakat, 1995, Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama.
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan
masyarakat. Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi sesuatu
yang kurang dalam masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, makanan,
pendidikan, dan sebagainya. Generasi kedua, memusatkan perhatiannya ada upaya agar LSM dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Peran LSM disini bukan sebagai pelaku
langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya adalah proyek
pengembangan masyarakat dengan membantu masyarakat memecahkan masalah
mereka misalnya program-program peningkatan pendapatan, industri kerajinan,
pertanian, dan lainnya.
Generasi ketiga, memiliki pandangan yang lebih dalam. Keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai akibat dari masalah regional atau nasional. Untuk
memperbaikinya harus dilakukan dengan melakukan peruabahan struktural yaitu
kebijakan pemerintah. Generasi keempat adalah LSM yang termasuk bagian dari masyarakat. Generasi ini berusaha agar ada transformasi struktur sosial dalam
masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan.
Dalam hal ini dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia.
Dalam Buku Agenda LSM menyongsong Tahun 2000, M.M. Billah
sebagaimana di kutip Muhammad Budairi, mempersepsikan LSM sebagai:
1. LSM sebagai bagian integral dari pemerintah.
2. LSM sebagai mediator antara pemerintah dengan masyarakat.
3. LSM yang secara tegas menyatakan memihak rakyat dalam berhadapan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
4. LSM yang melebur dan menyatu dengan rakyat.40
UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 dalam penjelasannya menyatakan bahwa
lembaga sosial yang dimaksud dalam UU ini ialah lembaga atau organisasi sosial
yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, misalnya
lembaga-lembaga bantuan hukum.41
LSM merupakan mediator pemerintah dan masyarakat, dalam hal ini UU
PKDRT memberikan kesempatan kepada LSM untuk bekerjasama dengan
lembaga penegak hukum lainnya untuk mengurangi tingkat kekerasan dalam
rumah tangga. LSM menyatu dengan masyarakat dalam berhadapan dengan
negara dapat terjadi ketika lembaga sosial membantu masyarakat korban
kekerasan dalam rumah tangga memperjuangkan hak. LSM menyatu dengan
masyarakat ketika lembaga sosial turut merasakan penderitaan korban kekerasan
dalam rumah tangga sehingga menuntut lahirnya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
dan membuka diri untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga tanpa memandang status sosial dan dengan
menggunakan semboyan ”bantuan hukum non profit oriented atau prodeo”.
Berdasarkan persepsi M.M Billah, karakateristik lembaga sosial yang
peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga dapat memenuhi
beberapa persepsi LSM yang diberikannya. Hanya saja ada lembaga independen
yang didirikan pemerintah yang bergerak dalam bidang sosial misalnya Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan, Komisi Nasional lanjut usia, dan lain sebagainya.
40
M.M. Billah dalam Muhammad Budairi, op. cit., hlm. 90
41
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
G. METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode penelitian yang digunakan
Metode yang akan dipergunakan dalam penelitian menggunakan metode
gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan
pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini, penulis
menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas
hukum dan meneliti bagaimana pengaturan lembaga sosial dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku (hukum positif tertulis), buku-buku,
majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan tulisan
ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis berusaha
mendapatkan data primer mengenai bagaimana peranan lembaga sosial dalam
memberikan pelindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Jenis penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian
eksploratis yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan,
penjelasan dan data mengenai peran lembaga sosial dalam memberikan
pelindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan (APIK) Medan. Lokasi ini dipilih karena
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
kekerasan dalam rumah tangga yang berkantor pusat di Jakarta dan berkantor
cabang di Medan.
4. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis ialah dengan cara:
A. Studi kepustakaan, sumber data diperoleh dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
a. norma/kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. peraturan dasar, yaitu batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945;
c. peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional yang
berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer, seperti: RUU, hasil penelitian, karya dari kalangan
hukum, dan sebagainya.
3. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan-bahan
yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan-penjelasan terhadap
bahan hukum primer, sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia, dan
sebagainya.
B. Wawancara, hal ini dilakukan penulis terhadap orang yang bekerja di
LBH-APIK Medan mengenai peran LBH tersebut, fungsi pemberian
perlindungan hukum, cara dan sitem kerja dan hal-hal lain yang penting
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
C. Observasi, hal ini dilakukan penulis dengan melakukan pengamatan
langsung di LBH-APIK Medan bagaimana LBH tersebut mengerjakan
peran mereka.
5. Analisis data
Pengolahan dan analisis data, dilakukan peneliti terhadap data yang diperoleh
peneliti dengan menggunakan analisis kualitatif.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Tulisan yang berjudul ”Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan
Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di
LBH-APIK Medan) terdiri dari enam BAB yang pokok pembahasannya berupa:
BAB I Pendahuluan, penulis menguraikan latar belakang penulis memilih
judul dan fokus permasalahan yang akan di bahas pada pembahasan selanjutnya.
Dalam pembahasan ini, penulis juga membuat suatu tinjauan kepustakaan yang
memudahkan pembaca mengerti pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini.
BAB II Pengaturan Lembaga Sosial terhadap Kekerasan dalam Rumah
Tangga, penulis menguraikan hukum positif tertulis yang mengatur mengenai
kekerasan dalam rumah tangga dan secara khusus pengaturan yang memberikan
kesempatan kepada lembaga sosial untuk berperan memberikan perlindungan
hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
BAB III Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
fungsi, manfaat dan tujuan pemberian perlindungan hukum terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga serta cara/sistem kerja lembaga sosial dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga.
BAB IV Kendala dan Upaya Mengatasi Kendala dalam Pemberian
Perlindungan Hukum oleh Lembaga Sosial, penulis menguraikan kendala-kendala
yang dihadapi lembaga sosial dalam mengerjakan perannya secara khusus dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap korban serta upaya yang dilakukan
untuk mengatasi upaya yang dihadapi tersebut.
BAB V Penutup, penulis menguraikan kesimpulan penulis terhadap
permasalahan yang diangkat berdasarkan data-data yang ada serta saran untuk
memaksimalkan peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
BAB II
PENGATURAN LEMBAGA SOSIAL DALAM
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dalam konstitusi negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa negara
Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat) bukan Negara Kekuasaan
(Machtsstaat).42 Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan
menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya
jaminan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip
peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga
negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk
terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. 43
Negara hukum berarti semua warga negara baik masyarakat maupun
pemerintah harus tunduk dan taat pada hukum yang berarti seluruh perilaku
masyarakat harus sesuai dengan dan/atau dilindungi oleh hukum. Sama halnya
dengan lembaga sosial yang peduli terhadap kekerasan dalam rumah tangga dalam
42
Pasal 1 ayat 3 UUD RI 1945, lihat juga penjelasan UUD RI 1945 bagian Sistem Pemerintahan Negara.
43
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
bertindak dan/atau melakukan suatu upaya terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga harus sesuai dengan dan/atau dilindungi oleh hukum.
Landasan juridis lembaga sosial dalam bertindak dan/atau melakukan
upaya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu :
1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
2. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban KDRT
3. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
A. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan
tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan,
perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.44
44
Penjelasan UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 bagian umum.
Pasal 3 UU PKDRT menyebutkan :
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan d. perlindungan korban.
Pasal 4 UU PKDRT menyebutkan :
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Dalam melakukan upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga, UU PKDRT mewajibkan beberapa pihak untuk
melakukan kerjasama supaya lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan
rumah tangga yang diarahkan kepada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.45
Dalam upaya pencegahan korban kekerasan dalam rumah tangga, lembaga sosial bekerjasama dengan pemerintah dalam hal menyelenggarakan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan
sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan Para pihak tersebut ialah aparat pemerintah, pekerja sosial, advokat,
relawan pendamping, pembimbing rohani, lembaga sosial, dan/atau pihak lainnya. Lembaga sosial merupakan salah satu pihak yang diwajibkan untuk melakukan
kerjasama dengan pihak/lembaga lainnya dalam mewujudkan tujuan penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dalam tiap upaya yang terdapat di UU PKDRT.
45
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang
sensitif gender (oleh pemerintah).46
b. dengan Kepolisian dalam hal memberikan perlindungan sementara;
Dalam rangka melakukan upaya pencegahan terjadinya korban kekerasan
dalam rumah tangga, pasal 15 UU PKDRT menyebutkan bahwa setiap orang yang
mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(termasuk lembaga sosial) wajib melakukan upaya sesuai dengan batas dan
kemampuannya untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga;
memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan
membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada
pengadilan.
Lembaga sosial dalam melakukan upaya perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, mengacu kepada pasal 3 dan pasal 4 UU PKDRT
mengenai asas dan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga serta pasal
10 angka (1) UU PKDRT yaitu korban kekerasan dalam rumah tangga berhak
mendapat perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Sebagai salah satu pihak pemberi perlindungan kepada korban kekerasan
dalam rumah tangga, lembaga sosial wajib dan harus melakukan kerja sama
dengan pihak/lembaga lainnya, misalnya :
47
46
Pasal 12 jo pasal 14 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
47
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
c. dengan tenaga kesehatan untuk memeriksa kesehatan korban dan meminta
surat keterangan medis hasil pemeriksaan;48
d. dengan pekerja sosial melakukan konseling untuk menguatkan dan
memberikan rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak
korban untuk mendapat perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan, mengantarkan korban ke rumah aman (shelter)
milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat;49
e. dengan relawan pendamping untuk menginformasikan korban akan haknya
untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping, mendampingi
korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan
dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, memberikan rasa aman
kepada korban dengan pendampingan, memberikan dengan aktif penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban;50
f. dengan pembimbing rohani untuk memberikan penguatan iman dan taqwa
kepada korban;51
g. dengan advokat dalam memberikan konsultasi hukum yang mencakup
informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan, dan mendampingi
korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang
48
Pasal 21 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
49
Pasal 22 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
50
Pasal 23 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
51
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;52
h. dengan pengadilan dalam hal pengadilan memberikan tambahan satu atau
lebih perintah perlindungan dan/atau satu atau lebih kondisi dalam perintah
perlindungan yang mempertimbangkan keterangan pihak lainnya termasuk
lembaga sosial.53
Dalam hal melakukan upaya pemulihan korban kekerasand dalam rumah
tangga, UU PKDRT tidak mengatur secara rinci mengenai penyelenggaraan dan
kerjasamapemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.54
52
Pasal 25 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
53
Pasal 33 jo Pasal 34 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
54
Pasal 43 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004
Pengaturan lebih
rinci mengenai hal ini di atur dalam PPRI No. 4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan KerjasamaPemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
B. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
PPRI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
KerjasamaPemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya
disebut dengan PP PKPKKDRT berlaku sejak 13 Pebruari 2006 setelah
diundangkan dalam Lembaran Negara RI No. 15 Tahun 2006 yang merupakan
Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban ialah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya baik secara
fisik maupun psikis.55 Penyelenggaraan pemulihan ialah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan korban KDRT.56
1. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian;
Pasal 2 ayat 1 PP PKPKKDRT menyebutkan bahwa penyelenggaraan
pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah
daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Hal
yang sama disebutkan dalam pasal 19 PP RI ini yang menyebutkan ”untuk
penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat
atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dari ketentuan ini,
lembaga sosial mendapat kesempatan untuk berperan dalam melakukan upaya
pemulihan korban KDRT.
Fasilitas yang dapat digunakan untuk penyelenggaraan pemulihan korban
KDRT meliputi :
2. tenaga yang ahli dan profesional;
3. pusat pelayanan dan rumah aman; dan
4. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.57
55
Pasal 1 angka 1 PP PKPKKDRT No. 4 Tahun 2006
56
Pasal 1 angka 2 PP PKPKKDRT No. 4 Tahun 2006
57
Pasal 2 ayat 1 PP PKPKKDRT No. 4 Tahun 2006