• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Lembaga Keuangan dan Perkreditan

Lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, secara langsung atau tidak langsung, menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat, terutama untuk membiayai investasi perusahaan-perusahaan (Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep- 38/MKIV/I/72). Sedangkan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga yang menyediakan beragam pelayanan keuangan, seperti tabungan, pinjaman atau kredit yang melayani masyarakat ekonomi lemah dan pengusaha mikro yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal. Lembaga keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro dan masyarakat kecil (Suyatno, 1997).

LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang berwujud bank adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non bank adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Baitul Mal Wattanwil (BMT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dan credit union.

Secara umum lembaga keuangan berfungsi sebagai penerima dan penyalur dana bagi nasabahnya. Salah satu bentuk penyaluran dana adalah kredit. Peran kredit merupakan kebutuhan penting bagi nasabah, dan juga menjadi penggerak utama perkembangan lembaga keuangan. Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani "credere" yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Dalam bahasa latin "Creditium" yang berarti kepercayaan akan kebenaran. Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan. Seseorang atau suatu badan yang

memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) dimasa mendatang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa yang dijanjikan itu dapat berupa barang, uang, atau jasa ( Suyatno, 1997).

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang, atau tagihan, yang disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, dalam hal mana peminjam berkewajiban melunasi hutangnya dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Sedangkan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.

Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga perkreditan didasarkan atas kepercayaan, sehingga dengan demikian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Ini berarti bahwa suatu lembaga, baru akan memberikan kredit kalau betul-betul yakin bahwa si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Tanpa keyakinan tersebut, suatu lembaga perkreditan tidak akan meneruskan simpanan masyarakat yang diterimanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam kredit adalah: (1) kepercayaan yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu pada masa yang akan datang, (2) waktuyaitu masa yang memisahkan antara pemberi prestasi dengan kontrak prestasi yang diterima pada masa yang akan datang, (3) degree of risk yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari jangka waktu yang memisahkan antara pemberi prestasi dengan kontrak prestasi yang akan

diterimanya pada masa yang akan datang, semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, sehingga dengan adanya unsur resiko ini maka timbul jaminan dalam pemberian kredit, dan (4) prestasi atau obyek kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa.

Untuk dapat melaksanakan kegiatan perkreditan secara sehat, dikenal adanya prinsip C6, prinsip ini adalah: (1) character adalahsuatu pemberian kredit atas dasar kepercayaan dan keyakinan dari pihak bank bahwa si peminjam mempunyai moral, watak ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan juga mempunyai rasa tanggung jawab baik dalam kehidupan pribadi, sebagai anggota masyarakat, ataupun dalam menjalankan kegiatan usahanya, (2) capacity adalah penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajibannya dari kegiatan usaha yang akan dibiayai dengan kredit bank, (3) capital yaitu jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki calon debitur, semakin kaya seseorang maka semakin dipercaya untuk memperoleh kredit, (4) collateral yaitu barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya, (5) condition of Economy yaitu situasi dan kondisi politik, sosial ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat, atau kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit, dan (6) constraint yaitu batasan-batasan atau hambatan-hambatan yang tidak memungkinkan seseorang melakukan usaha di suatu tempat (Suyatno, 1997).

2.2. Sejarah dan Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat di Indonesia

Istilah BPR mengacu kepada lembaga-lembaga keuangan bank yang sejak awal perkembangannya memprioritaskan pelayanan pada skala mikro, dalam arti kepada individu dan pengusaha kecil dengan pinjaman yang juga

bernilai relatif kecil. BPR merupakan lembaga keuangan mikro yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Perkembangan BPR tidak terlepas dari perkembangan kehidupan ekonomi masyarakat yang pada masa penjajahan Belanda mengalami kemerosotan, terutama sejak diberlakukannya tanam paksa, antara 1830-1870. Seorang tokoh yang berperan dalam pendirian BPR adalah R. Bei Aria Wirjaatmadja, seorang pejabat pemerintah golongan pribumi. Wirjaatmadja menggunakan iuran mesjid di Purwokerto untuk membantu pegawai-pegawai yang terjerat hutang pada rentenir. Namun kemudian, pihak mesjid mengambil keputusan untuk melarang uang kas tersebut diluar kegiatan- kegiatan mesjid dan meminta Wirjaatmadja mengembalikan uang kas yang telah terpakai sebesar Rp. 4 000,- sementara Wirjaatmadja tidak sanggup untuk mengembalikannya. Pihak elite dalam masyarakat dan seorang Belanda yang mengetahui kejujuran Wirjaatmadja mengumpulkan uang dan membayar uang kas mesjid. Peristiwa ini merupakan pencetus didirikannya sebuah bank yang berorientasi kepada rakyat kecil yang dinamakan Bank Pegawai atau Bank Priyayi (Manurung dan Rahardja, 2004).

Perkembangan kehidupan ekonomi rakyat kemudian secara alami mendorong pembentukan lembaga-lembaga keuangan. Beberapa lembaga keuangan yang muncul dari masyarakat antara lain Bank Kredit Rakyat, Lumbung Desa, Bank Desa, Lumbung Pitih Nagari, dan sebagainya. Walaupun bank-bank tersebut secara ekonomis sulit mencapai efisiensi yang tinggi, namun perannya dirasakan sangat berarti. Kendala utama dari perkembangan BPR pada masa sebelum kemerdekaan adalah salah pengelolaan dan penekanan pemupukan laba kurang diprioritaskan, sehingga tidak memacu peningkatan efisiensi dan inovasi keuangan (Manurung dan Rahardja, 2004).

Setelah kemerdekaan, BPR masih dihadapkan pada kendala manajemen dan fondasi hukum, serta masalah-masalah internal seperti rendahnya kualitas

sumberdaya manusia pengelola, keterbatasan modal dan percekcokan internal. Jenis-jenis BPR yang masih sangat beragam menyebabkan sulit menentukan kriteria kinerjanya. Dengan dikeluarkannya kebijakan deregulasi yang dikenal dengan Pakto 27 Tahun 1988, maka diperkenankan membuka BPR baru. Peluang ini dimanfaatkan oleh seluruh lapisan yang ada dalam masyarakat untuk mendirikan BPR. Hanya saja masalah yang timbul adalah perkembangan kuantitas bank belum diimbangi dengan perkembangan kualitasnya.

Akhirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah (disempurnakan) dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, telah memberikan dasar hukum yang lebih kuat dan lebih baik tentang BPR. Berdasarkkan undang-undang tersebut, BPR diakui sebagai bank sama halnya dengan bank umum, sekalipun ada batasan-batasan dalam hal ruang lingkup kegiatan usaha dan wilayah operasional.

Keberadaan BPR di Indonesia semakin penting sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan akan jasa-jasa perbankan bagi masyarakat pedesaan. Pengertian BPR ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 pasal 1 yang berbunyi Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Usaha-usaha BPR menurut pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah: (1) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, (2) memberikan kredit, (3) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, dan (4) menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Sedangkan dalam pasal 14 menyatakan BPR dilarang menerima

simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian, melakukan usaha lain diluar usaha yang telah ditentukan.

Dilihat dari skala usaha, BPR kurang efisien dibandingkan bank-bank umum, namun BPR memiliki kekuatan dalam hal likuiditas dibandingkan bank umum. BPR memiliki keunggulan dalam hal LDR dan CAR. Keunggulan ini mempunyai makna yang penting. Besarnya angka LDR menunjukkan bahwa BPR tetap menjalankan fungsi intermediasinya secara seimbang, sekalipun perekonomian Indonesia dalam kondisi krisis. Angka CAR yang dimiliki BPR lebih dari dua kali lipat CAR bank umum. Ini menunjukkan bahwa dari segi permodalan BPR jauh lebih sehat dibandingkan bank umum.

2.3. Arah Kebijakan Perbankan ke Depan

Keberadaan BPR dalam peta perbankan di Indonesia semakin jelas diakui dengan dikeluarkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu blueprint mengenai arah dan tatanan perbankan nasional ke depan atau dapat dikatakan merupakan policy direction dan policy recommendation untuk industri perbankan nasional dalam jangka panjang yaitu untuk jangka waktu sepuluh tahun kedepan.

Struktur perbankan yang kuat dibangun dengan meningkatkan peran serta BPR dalam peta perbankan nasional. BPR yang kuat dan kokoh sangat dibutuhkan agar mampu melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau daerah terpencil khususnya yang tidak terjangkau oleh pelayanan bank-bank umum. Untuk itu daya saing dari BPR harus diperkuat, sehingga BPR tidak hanya mampu bersaing dengan BPR lainnya, tetapi juga mampu bersaing dengan bank-bank umum yang memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan (Bank Indonesia, 2006a).

Salah satu program API adalah penguatan struktur perbankan nasional. Implementasi dari program ini dilaksanakan secara bertahap dengan beberapa kegiatan, yaitu: (1) memperkuat permodalan bank, (2) memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRS, dan (3) meningkatkan akses kredit dan pembiayaan UMKM. Untuk memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRS dilakukan kegiatan-kegiatan yaitu: (1) meningkatkan linkage program antara bank umum dengan BPR, (2) implementasi program aliansi strategis lembaga keuangan syariah dengan BPRS melalui kemitraan strategis dalam rangka pengembangan UMKM, (3) mendorong pendirian BPR dan BPRS di luar Pulau Jawa dan Bali, (4) mempermudah pembukaan kantor cabang BPR dan BPRS bagi yang telah memenuhi persyaratan, dan (5) memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa bersama untuk BPR dan BPRS (termasuk apex bank) (Bank Indonesia, 2006a).

BPR sebagai bagian dari industri perbankan secara keseluruhan juga memiliki peranan yang sangat signifikan untuk membantu meningkatkan akses perbankan. Untuk itu BPR harus mampu beroperasi secara efisien dalam rangka meningkatkan penyediaan kredit dengan biaya yang lebih murah kepada sektor riil. Upaya yang harus dilakukan oleh BPR adalah dengan membentuk fasilitas jasa bersama diantara BPR-BPR sehingga dapat menciptakan efisiensi dalam beberapa kegiatan operasional BPR seperti biaya overhead, biaya pemasaran, dan penghematan untuk investasi pada teknologi informasi.

2.4. Penilaian Kinerja Bank Perkreditan Rakyat

Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740/KMK/1989 kinerja adalah prestasi yang dicapai oleh suatu perusahaan dalam suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan. Untuk melakukan penilaian kesehatan sebuah bank dapat dilakukan dengan berbagai aspek.

Menurut Bank Indonesia (BI), penilaian tingkat kesehatan perbankan mempunyai beberapa tujuan: (1) sebagai tolak ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank yang dilakukan sejalan dengan asas-asas perbankan yang sehat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan (2) sebagai tolak ukur untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank baik secara individual maupun perbankan secara keseluruhan.

Ukuran untuk penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh BI seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pasal 29, yang isinya adalah: (1) pembina dan pengawasan bank dilakukan oleh BI, (2) BI menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan (3) bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (2) dan wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat pasal 2 menyatakan bahwa tingkat kesehatan bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank. Pendekatan kualitatif yang dimaksud dilakukan dengan penilaian terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas, atau lebih dikenal dengan istilah CAMEL (Capital, Asset Quality, Management, Earnings, dan Liquidity).

2.4.1. Capital

Menurut Surat Keputusan Direksi BI Nomor 30/12/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 bahwa penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan pada rasio

modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yang telah ditetapkan oleh BI. Permodalan yang cukup adalah berkaitan dengan penyediaan modal sendiri yang diperlukan untuk menutup resiko yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aktiva-aktiva produktif yang mengandung resiko serta untuk membiayai penanaman dalam benda tetap dan inventaris. Jika modal rata-rata suatu bank lebih baik dari bank lainnya maka bank yang bersangkutan akan lebih baik solvabilitasnya. (Manurung dan Rahardja, 2004) menjelaskan bahwa CAR yang didasarkan pada standar Bank for International Settlements (BIS) adalah 8 persen. Perhitungan CAR sesuai dengan standar BI adalah sebagai berikut

CAR = Jumlah Modal x 100 % ...(2.1) Jumlah ATMR

Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) merupakan penjumlahan aktiva neraca dan aktiva administrasi. ATMR neraca diperoleh dengan cara mengalikan nilai nominal aktiva yang bersangkutan dengan bobot resikonya. Sedangkan ATMR administrasi diperoleh dengan cara mengalikan nilai nominal aktiva rekening administrasi yang bersangkutan dengan bobot resikonya.

Pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bank bagi BPR sebesar 8 persen diberi prediket ”sehat” dengan nilai kredit 81, dan untuk setiap kenaikan 0.1 persen dari pemenuhan KPMM sebesar 8 persen nilai kredit ditambah 1 hingga maksimum 100. Pemenuhan KPMM kurang dari 8 persen sampai dengan 7.9 persen diberi prediket ”kurang sehat” dengan nilai kredit 65 dan untuk setiap penurunan 0.1 persen dari pemenuhan KPMM sebesar 7.9 persen nilai kredit dikurangi 1 dengan minimum 0. KPMM kurang dari 6.5 persen diberi prediket ”tidak sehat”.

2.4.2. Asset Quality

Penilaian terhadap faktor Kualitas Aktiva Produktif (KAP) didasarkan pada 2 rasio, yaitu : (1) rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif (KAP) dan (2) rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk oleh bank terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk oleh bank (PPAP).

Apabila KAP ≥ 22.5 persen diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 0.15 persen mulai dari 22.5 persen nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. PPAP sebesar 0 persen diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1 persen dimulai dari 0 nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.

2.4.3. Management

Kualitas manajemen dapat dilihat dari kualitas manusianya dalam bekerja. Kualitas manajemen juga dapat dilihat dari pendidikan serta pengalaman karyawannya dalam menangani berbagai kasus yang terjadi. Penilaian terhadap faktor manajemen mencakup 2 (dua) komponen yaitu manajemen umum dan manajemen resiko.

Untuk menilai kesehatan bank dalam aspek manajemen ini, dilakukan melalui kuesioner yang ditujukan bagi pihak manajemen bank dengan 25 pertanyaan/pernyataan, yang terdiri dari 10 pertanyaan/pernyataan manajemen umum dan 15 pertanyaan/pernyataan manajemen resiko. Skala penilaian untuk setiap pertanyaan/pernyataan ditetapkan antara 0 sampai dengan 4 dengan kriteria: (1) nilai 0 mencerminkan kondisi yang lemah, (2) nilai 1,2,3 mencerminkan kondisi antara, dan (3) nilai 4 mencerminkan kondisi yang baik. Namun pengukuran manajemen tersebut sulit dilakukan karena akan terkait dengan unsur kerahasiaan bank, maka aspek manajemen diproksikan dengan

profit margin dengan pertimbangan rasio ini menunjukkan bagaimana mengelola sumber-sumber maupun penggunaan atau alokasi dana secara efisien. Adapun metode penilaiannya dapat dilakukan dengan cara:

Net Income

Profit margin = ...(2.2) Operating Income

2.4.4. Earnings

Aspek rentabilitas yang dilihat adalah kemampuan bank dalam meningkatkan laba dan efisiensi usaha yang dicapai. Bank yang sehat adalah bank yang memiliki rentabilitas yang terus meningkat. Menurut BI penilaian terhadap faktor rentabilitas didasarkan pada 2 (dua) rasio yaitu : (1) rasio Laba Sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama, dan (2) rasio biaya operasional dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional dalam periode yang sama. Metode penilaiannya dapat juga dilakukan dengan :

1. Perbandingan laba terhadap total asset (Return on Assets/ROA), dengan rumus :

ROA = Laba sebelum pajak x 100 % ………....(2.3) Total aktiva

Perhitungan angka kredit dilakukan sebagai berikut : (1) ROA ≤ 0 persen , nilai kredit = 0, (2) setiap kenaikan 0.015 persen, angka kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.

2. Perbandingan biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO). Besarnya nilai BOPO dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

BOPO = Laba operasional x 100 % ...(2.4) Pendapatan operasional

Angka kredit dapat dihitung sebagai berikut : (1) rasio ≥ 100 persen, nilai kredit = 0, (2) setiap penurunan sebesar 0.08 persen, angka kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.

2.4.5. Liquidity

Menurut BI, penilaian terhadap faktor likuiditas didasarkan pada 2 (dua) rasio, yaitu : (1) rasio Alat Likuid terhadap Hutang Lancar, dan (2) rasio Kredit terhadap dana yang diterima oleh bank. Alat likuid meliputi kas dan penanaman pada bank lain dalam bentuk giro dan tabungan dikurangi dengan tabungan bank lain pada bank. Hutang lancar meliputi Kewajiban Segera, Tabungan, dan Deposito. Kredit meliputi kredit yang diberikan kepada masyarakat dikurangi dengan bagian kredit sindikasi yang dibiayai bank lain, penanaman kepada bank lain, dalam bentuk kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari tiga bulan dan penanaman kepada bank lain, dalam bentuk kredit dalam rangka kredit sindikasi. Dana yang diterima meliputi deposito dan tabungan masyarakat, pinjaman bukan dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari tiga bulan, deposito dan pinjaman dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari tiga bulan, modal inti dan modal pinjaman.

Rasio Alat Likuid terhadap Hutang Lancar sebesar 0 persen diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 0.05 persen nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. Rasio Kredit terhadap Dana Yang Diterima oleh Bank ≥ 115 persen diberi nilai 0 dan setiap penurunan 1 persen mulai dari rasio 115 persen nilai kredit ditambah 4 dengan maksimum 100.

Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/12/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan BPR bahwa komponen faktor yang dinilai serta besarnya bobot setiap faktor dapat dilihat pada Tabel 4. Penilaian tingkat kesehatan bank ditetapkan dalam empat golongan prediket, sebagai berikut : (1) nilai kredit 81 sampai dengan 100 diberi predikat sehat, (2) nilai kredit 66 sampai dengan kurang dari 81 diberi predikat cukup sehat, (3) nilai kredit 51 sampai dengan kurang dari 66 diberi predikat

kurang sehat, dan (4) nilai kredit 0 sampai dengan kurang dari 51 diberi predikat tidak sehat.

Tabel 4. Faktor-Faktor dan Komponen Penilaian Bank Perkreditan Rakyat serta Bobot Penilaian

Faktor yang Dinilai

Komponen Bobot (%)

Permodalan Rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)

30 Kualitas Aktiva

Produktif

a. Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan aktiva produktif

b. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produk-tif yang dibentuk terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk

25 5

Manajemen a. Manajemen umum b. Manajemen resiko

10 10 Rentabilitas a. Rasio laba terhadap rata-rata volume usaha

b. Rasio biaya operasional terhadap pendapat- an operasional

5 5 Likuiditas a. Rasio alat likuid terhadap hutang lancar

b. Rasio kredit terhadap dana yang diterima

5 5 Sumber : Kumpulan Ketentuan BPR, Bank Indonesia.

2.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian Zaini (2006) tentang persepsi dan preferensi pengusaha industri kecil terhadap kredit perbankan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dan pengaruh persepsi dan peferensi pengusaha industri kecil terhadap pemanfaatkan kredit perbankan sebagai sumber modal usaha, serta hubungan kredit bank yang dimanfaatkan oleh industri kecil dengan jumlah omset dan penyerapan tenaga kerja di Kota Padang Sumatera Barat menunjukkan bahwa (1) persepsi para pengusaha industri kecil di Kota Padang terhadap kredit perbankan masih kurang baik, karena hanya 42.5 persen yang termasuk dalam klasifikasi baik. Sedangkan preferensi untuk memanfaatkan kredit hanya 40 persen responden termasuk dalam klasifikasi baik, (2) yang berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi pengusaha industri kecil adalah pendidikan formal dan pendidikan khusus/diklat/kursus. Sedangkan yang berpengaruh secara

signifikan terhadap preferensi pengusaha industri kecil adalah jumlah omset, (3) dari empat variabel yang diamati hanya preferensi yang berpengaruh secara signifikan terhadap pemanfaatan kredit oleh pengusaha industri kecil. Kecendrungan atau preferensi pengusaha industri kecil untuk memanfaatkan kredit adalah 20 persen. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok pengusaha yang memanfaatkan kredit dan kelompok pengusaha yang tidak memanfaatkan kredit mengenai persepsi, persyaratan kredit dan pelayanan bank, dan (4) hubungan kredit bank dengan perkembangan industri kecil di Kota Padang sebagai salah satu pelaku ekonomi kerakyatan menunjukkan korelasi yang positif. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa semakin banyak industri kecil memanfaatkan kredit bank, maka akan meningkatkan jumlah omset penjualan dan jumlah tenaga kerja yang diserap akan semakin bertambah.

Hasil penelitian Fitriana (2005) tentang analisis pembiayaan usaha kecil menengah di Kota Solok Propinsi Sumatera Barat menunjukkan bahwa jumlah kredit hanya berpengaruh secara signifikan terhadap serapan tenaga kerja, dan

Dokumen terkait