2.1. Sekilas Balanced Scorecard
Meskipun bukan hal yang baru pada awal kemunculannya, ide BSC untuk memfasilitasi organisasi agar mencurahkan perhatiannya atas kapabilitas aktiva tak berwujud, banyak mendapat sambutan dari pemerhati organisasi dan manajemen.
BSC dikembangkan pada 1993 oleh Profesor Robert Kaplan dan David Norton, dari Harvard Business School dan hingga kini masih terus diperbaiki. Nama BSC berasal dari kebutuhan perusahaan akan ukuran keuangan yang bersamaan dengan ukuran non keuangan seperti mutu produk dan layanan pelanggan yang seringkali digunakan secara eksklusif dalam evaluasi strategi dan pengendalian. Tujuan keseluruhan dari BSC adalah untuk “menyeimbangkan” tujuan pemegang saham dengan tujuan pelanggan dan operasional.
Scorecard terdiri atas tolak ukur keuangan yang menunjukan hasil dari tindakan yang diambil sebagaimana ditunjukan oleh 3 (tiga) perspektif tolak ukur operasional lainnya, yaitu kepuasan pelanggan, proses bisnis internal dan kemampuan belajar dan bertumbuh. Konsep BSC mendidik manajemen dan organisasi pada umumnya untuk memandang perusahaan dari 4 (empat) perspektif bisnis jangka panjang (Gambar 1).
Kata benda score (Olve dalam Yuwono dkk, 1999) merujuk pada makna : penghargaan atas poin-poin yang dihasilkan, sementara dalam konteks kata kerja, score berarti memberi angka. Dengan makna lebih bebas (Yuwono dkk, 2002) berarti suatu kesadaran (bersama), di mana segala sesuatu perlu diukur. Pengukuran menjadi suatu hal yang vital sebelum melakukan evaluasi atau pengendalian terhadap suatu obyek. Obyek berarti suatu entitas bisnis, organisasi, korporat, divisi, unit, tim ataupun individu. Pada BSC terdapat kata balanced atau seimbang, yang berarti angka atau score tersebut haruslah mencerminkan kesimbangan antara sekian banyak unsur dalam kinerja.
KEUANGAN Secara keuangan bagaimana seharusnya tampak di depan pemegang saham PELANGGAN Untuk mencapai visi, bagaimana seharusnya tampak di depan pelanggan
PROSES BISNIS INTERNAL Untuk memuaskan pemodal dan pelanggan proses bisnis apa yang harus diunggulkan
PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN Untuk mencapai visi, bagaimana menjamin kemampuan untuk berubah dan membuat perbaikan
Gambar 1. BSC menerjemahkan visi dan strategi perusahaan ke dalam empat perspektif yang saling terhubung. (Yuwono dkk, 2002)
Menurut Kaplan dan Norton (1996) sendiri, BSC merupakan a set of measures that gives top managers a fast but comprehensive view of the
business…includes financial measures that tell the result of action that already taken…complements the financial measures with operational
measures on costumer satisfaction, internal processes, and the
organization’s innovation and improvement activities-operational measures that are the drivers of future financial performance.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah pengukuran tidak boleh hanya bergantung pada pengukuran keuangan sebagai hasil dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu, namun juga pengukuran operasional lainnya seperti kepuasan pelanggan, proses bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan. Bila dianalogikan, perusahaan atau entitas bisnis lain adalah sebuah mobil, maka perusahaan yang merujuk pada pengukuran finansial hanya mempunyai kaca spion yang melihat ke belakang tanpa mengetahui apa yang ada di depannya, sementara dengan BSC, perusahaan seperti mempunyai sebuah dashboard
VISI DAN STRATEGI
lengkap dengan pandangan menyeluruh sehingga bukan hanya dapat menilai aktivitas masa lalu, tetapi juga dapat melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi masa depan.
Secara lebih sederhana Anthony, et al. (1997) mendefinisikan BSC sebagai a measurement and management system that views a business
unit’s performance from four perspectives: financial, customer, internal
business process, and learning and growth. Menurut Yuwono dkk (2002), BSC didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen, pengukuran dan pengendalian yang secara cepat, tepat dan komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang kinerjabisnis.
Berikut dijelaskan detail setiap perspektif pada BSC. 2.1.1. Perspektif Finansial
Menurut Kaplan dan Norton (2001), BSC tetap mempergunakan perspektif finansial karena ukuran keuangan dapat memberikan petunjuk mengenai strategi perusahaan, implementasi, dan pelaksanaannya dalam kontribusi peningkatan laba perusahaan jangka panjang. Tujuan finansial menjadi fokus tujuan dan ukuran di bagian hubungan sebab akibat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja keuangan.
Tujuan finansial sangat berbeda untuk setiap siklus hidup perusahaan. Secara sederhana, siklus hidup perusahaan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu, growth (bertumbuh), sustain (bertahan), dan harvest (menuai). Perusahaan yang berada pada tahap growth, memiliki produk dan pangsa pasar yang tumbuh secara nyata, sehingga strategi dan pengukuran kinerja perusahaan dalam perspektif finansial difokuskan pada pertumbuhan penerimaan, penghasilan/laba positif, serta peningkatan penjualan dan pangsa pasar. Perusahaan yang berada pada tahap sustain memiliki produk dan pangsa pasar yang bertumbuh stabil, sehingga strategi dan pengukuran kinerja dalam perspektif finansial dapat difokuskan pada peningkatan pendapatan operasional, peningkatan tingkat pengembalian investasi dan peningkatan laba kotor. Sedangkan
perusahaan yang berada pada tahap harvest memiliki produk dan pangsa pasar yang bertumbuh secara lambat, sehingga strategi dan pengukuran dalam perspektif finansial dapat difokuskan pada pengelolaan arus kas, nilai tambah ekonomis dan nilai tambah kas. 2.1.2. Perspektif Pelanggan
Filosofi manajemen terkini telah menunjukan peningkatan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Perspektif ini merupakan ukuran hasil, jadi apabila pelanggan tidak puas akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhannya. Kinerja yang buruk dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan telihat baik.
Menurut Norton dan Kaplan (1996), perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu customer core measurement dan customer value propositions (Gambar 2).
a. Customer Core Measurement, memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu :
1) Market share. Pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, meliputi, jumlah pelanggan, jumlah penjualan dan volume unit penjualan.
2) Customer retention, mengukur tingkat dimana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen.
3) Customer acquisition, mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.
4) Customer satisfaction, menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam
value proposition.
5) Customer profitability, mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut.
b. Customer Value Proposition, merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut berikut :
1) Produk/Service Atribut meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga dan mutu. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Dalam hal ini perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan. Selanjutnya, pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut. 2) Customer relationship menyangkut perasaan pelanggan
terhadap proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah penyampaian waktu. Waktu merupakan komponen yang penting dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasannya.
3) Image and reputation menggambarkan faktor intangible
yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun citra dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga mutu seperti yang dijanjikan.
2.1.3. Perspektif Proses Bisnis Internal
Gambar 2. Tolak ukur utama dalam perspektif pelanggan (Yuwono dkk, 2002) Pangsa Pasar Akuisisi Pelanggan Kepuasan Pelanggan Retensi Pelanggan Profitabilitas Pelanggan
Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis value-chain (Gambar 3). Manajemen perusahaan mengidentifikasi proses bisnis internal yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Penilaian dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnisnya berjalan dan apakah produk dan atau jasanya sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Kaplan dan Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam tiga proses, yaitu :
a. Proses inovasi yang merupakan proses mengenali pemahaman tentang kebutuhan dari pelanggan, serta menciptakan produk dan jasa yang dibutuhkan.
b. Proses operasi merupakan proses untuk membuat dan menyampaikan produk atau jasa. Proses operasi terbagi menjadi dua aktivitas, yaitu proses pembuatan produk dan penyampaian kepada konsumennya.
c. Proses pelayanan purna jual, proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk atau jasa tersebut dilakukan.
Proses Inovasi Proses Operasi Proses Layanan Purna Jual
Gambar 3. Model rantai nilai genetik pada proses bisnis internal (Norton dan Kaplan, 1996)
2.1.4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Menurut Yuwono dkk (2002), proses pertumbuhan dan pembelajaran ini bersumber dari faktor sumber daya manusia (SDM), sistem dan prosedur organisasi (Gambar 4). Termasuk dalam perspektif ini adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan perbaikan individu dan organisasi. Hasil dari perspektif sebelumnya dapat menunjukkan
Kebutuhan Pelanggan diidentifikasi Kenali Pasar Ciptakan Produk/ Jasa Bangun Produk/ Jasa Luncurkan Produk /Jasa Kebutuhan Pelanggan Terpuaskan Layanan Pelanggan
kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, sistem dan prosedur perusahaan pada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan.
Gambar 4. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Norton dan Kaplan, 1996)
Menurut Kaplan dan Norton (1996), pada perspektif ini terdapat empat tolak ukur dalam perusahaan, yaitu :
a. Employee capabilities, di mana kemampuan karyawan dalam organisasi dengan perencanaan dan upaya implementasi
reskilling pegawai yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organiasi.
b. Information system capabilities. Diperlukan informasi-informasi terbaik untuk pencapaian tujuan perusahaan pada karyawan. Dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
c. Motivation, empowerment, and alignment. Tingkat motivasi karyawan dapat diukur melalui banyaknya sasaran yang diberikan per pekerja, jumlah saran yang dilaksanakan, dan mutu saran yang diajukan. Jumlah saran yang berhasil diimplementasikan merupakan indikator tecapainya keselarasan tujuan perusahaan maupun perorangan.
HASIL Retensi Kerja Produktivitas Kerja Kepuasan Pekerja Kompetensi Staf Infrastruktur Teknologi Iklim Untuk Bertindak
2.2. Konsep BSC
2.2.1. Konsep manajemen Strategik dan Hubungannya dengan BSC
Manajemen strategik didefinisikan David (2004) sebagai seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa manajemen strategik berfokus pada upaya mengintegrasikan manajemen pemasaran, keuangan/akuntansi, produkasi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Mulyadi (2001) mendefinisikan manajemen strategik sebagai suatu proses yang digunakan oleh manajer dan karyawan untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi dalam penyediaan customer value terbaik untuk mewujudkan visi organisasi. Menurut Pearce dan Robinson (1997), manajemen strategik adalah sekumpulan keputusan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran perusahaan.
Sejalan dengan definisi yang disebut terakhir, David (2004) menyatakan bahwa proses manajemen strategik terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi. Penjelasan dari tahap-tahap ini adalah:
1. Perumusan Strategi
Permusan strategi mencakup upaya untuk mengembangkan misi bisnis, mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kelemahan dan kekuatan internal, menetapkan sasaran jangka panjang, menhasilkan strategi alternatif dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan.
Kerangka kerja perumusan strategi perusahaan terdiri dari :
1) Tahap input (input stage), yaitu meringkas informasi dasar yang dibutuhkan untuk merumuskan strategi perusahaan. 2) Tahap pencocokan (matching stage), yaitu menciptakan
alternatif strategi yang layak dengan mencocokan faktor eksternnal dan internal perusahaan.
3) Tahap keputusan (decision stage), yaitu memilih strategi yang akan diterapkan pada perusahaan.
2. Implementasi Strategi
Implementasi strategi seringkali disebut sebagai tahap pelaksanaan dalam manajemen strategik. Tahapan ini mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya, sehingga strategi yang telah dirumuskan dapat dijalankan.
3. Evaluasi Strategi
Evaluasi strategi dilakukan untuk mengetahui apakah strategi berfungsi dengan baik. Tahapan dalam manajemen strategik ini mencakup upaya meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, mengukur kinerja dan mengambil tindakan korektif.
Posisi BSC dalam manajemen strategik pada awalnya hanya berperan dalam evaluasi strategi, namun pada masa berikutnya konsep BSC juga digunakan dalam perumusan dan pelaksanaan strategi sehingga dapat dikatakan bahwa BSC menjadi inti manajemen strategik.
Dalam tahap perumusan strategi BSC digunakan dalam menerjemahkan tujuan strategik ke dalam sasaran strategik dalam empat perspektif, kemudian ditetapkan inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran-sasaran tersebut. Namun peran terbesar BSC pada tahap ini adalah mengkomprehensifkan dan menghubungkan sasaran-sasaran strategik pada tiap persektif.
Pada tahap implementasi dan evaluasi, BSC digunakan untuk memonitor kinerja perusahaan dengan membandingkan hasil dengan target semula pada empat perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan, sehingga apabila terdapat gap antara keduanya dapat diambil tindakan perbaikan tanpa perlu menunggu periode tertentu. Sementara hasil evaluasi dapat menjadi tolok ukur untuk menentukan konsep BSC untuk periode berikutnya.
2.2.2. Strategi dan hubungannya dengan BSC
Menurut Marbun (2003), strategi didefinisikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus dan saling berhubungan dalam hal waktu dan ukuran. Strategi perusahaan didefinisikan sebagai rentetan pernyataan yang menyatakan (a) tujuan tiap unit, (b) metode yang akan digunakan untuk mencapainya, (c) alternatif, (d) pengalokasian sumber daya dan (e) metode mengukur keberhasilannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert S. Kaplan dan David R. Norton dalam Luis (2007), diketahui bahwa hanya 10% dari perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang dapat mengeksekusi strategi dengan baik. Dari studi itu pula diketahui bahwa ada empat hal yang menghambat eksekusi strategi, yaitu :
a. Hambatan pada visi
Hambatan pada visi terjadi karena kurangnya sosialisasi dari visi yang telah dibangun. Kaplan dan Norton menemukan bahwa pada umumnya hanya 5% dari total jumlah karyawan yang tahu dan memahami visi organisasi tempatnya bekerja. Ini terjadi karena visi dan misi organisasi dirasakan terlalu tinggi oleh para karyawan sehingga sulit diimplementasikan. Sementara strategi yang dibuat terlalu detail dengan bahasa yang sulit dicerna.
b. Hambatan pada pelaku
Seluruh kayawan perusahaan di semua jenjang dalam struktur organisasi adalah pelaku dari visi, misi, dan strategi yang telah dibangun. Untuk memotivasinya agar efisien dan efektif dalam menerapkan strategi, penting sekali mengaitkan strategi itu dengan insentif yang bisa diterima oleh karyawan. Hal ini sendiri belum banyak dilakukan, riset ini menunjukan bahwa perusahaan pada umumnya hanya mengaitkan 25% dari insentif pada strategi.
c. Hambatan pada manajemen
Para manajer pada umumnya terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan operasional sehingga jarang sekali meluangkan waktunya untuk membahas kebijakan-kebijakan perusahaan yang sifatnya strategik. Riset ini menunjukan bahwa 85% dari pihak manajemen hanya menghabiskan waktu kurang dari 1 jam per bulan untuk membahas strategi.
d. Hambatan pada sumber daya
Hambatan terakhir adalah sumber daya perusahaan, yang dalam hal ini adalah anggaran perusahaan. Riset ini menunjukan bahwa 60% perusahaan tidak mengaitkan anggaran dengan strategi. Akibatnya pelaksanaan strategi menjadi tersendat karena membutuhkan anggaran.
Untuk menghindari kendala-kendala tadi, maka sebuah organisasi, entitas bisnis ataupun perusahaan perlu menjadi sebuah organisasi yang berfokus pada strategi. Untuk mewujudkannya, Kaplan dan Norton (2001) menyebutkan 5 prinsip yang harus dijalankan, yaitu :
1) Menerjemahkan Strategi ke Dalam Bentuk Operasional. 2) Hubungkan dan Selaraskan Organisasi dengan Strateginya. 3) Jadikan Strategi Sebagai Pekerjaan Rutin Tiap Pegawai. 4) Jadikan Strategi Sebuah Proses Yang Berkelanjutan 5) Kepemimpinan Eksekutif untuk Memobilisasi perubahan.
Untuk membantu mewujudkan sebuah organisasi yang berbasis strategi, sebuah perusahaan membutuhkan alat. BSC merupakan alat manajemen yang tepat karena dapat memonitor dan mengarahkan seluruh kegiatan organisasi agar sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan perusahaan.
2.2.3. Analisis Lingkungan Bisnis (Analisis SWOT)
Lingkungan bisnis dapat dibagi atas dua lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Lingkungan eksternal dibagi ke dalam dua kategori, yaitu lingkungan jauh dan
lingkungan industri. Sedangkan lingkungan internal merupakan aspek-aspek yang ada dalam perusahaan (Umar, 2005).
Lingkungan jauh dapat dikaji melalui faktor-faktor PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi), sedangkan lingkungan industri dapat dikaji dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam Konsep Strategi Bersaing Michael R.Porter. Lingkungan internal dapat dikaji dengan beberapa pendekatan, salah satunya adalah pendekatan fungsional. Hubungan antara lingkungan internal perusahaan dan kedua lingkungan eksternal diperlihatkan oleh Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan lingkungan internal dan eksternal perusahaan (Umar, 2003)
A. Lingkungan Jauh
Menurut Umar (2003), lingkungan jauh perusahaan terdiri dari faktor-faktor yang pada dasarnya di luar dan terlepas dari perusahaan. Lingkungan jauh memberikan kesempatan dan hambatan kepada perusahaan untuk memajukan perusahaan. Faktor yang dikaji dalam lingkungan jauh adalah :
1. Faktor Politik
Instrumen faktor politik berupa faktor politik, kebijakan, dan stabilitas politik pemerintah. Situasi politik yang tidak kondusif akan berdampak negatif bagi dunia usaha, demikian sebaliknya.
2. Faktor Ekonomi
Kondisi ekonomi suatu daerah atau negara dapat mempengaruhi iklim berbisnis suatu perusahaan. Perekonomian yang buruk berkorelasi positif dengan iklim berbisnis. Beberpa faktor kunci yang perlu diperhatikan adalah siklus bisnis, ketersediaan energi, inflasi, suku bunga, investasi, harga-harga produk dan jasa, produktifitas dan tenaga kerja.
3. Faktor Sosial
Kondisi sosial menuntut perusahaan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang ada. Faktor kunci yang diperhatikan adalah kondisi kultural, ekologis, demografis, religius, pendidikan, dan etnis.
4. Faktor teknologi
Kajian teknologi tidak hanya mencakup penemuan-penemuan yang baru, melainkan meliputi cara pelaksanaan dan metode-metode baru dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Teknologi memberikan gambaran luas, yaitu mendesain, menghasilkan dan mendistribusikan.
B. Lingkungan Industri
Kajian aspek lingkungan industri lebih diarahkan pada aspek persaingan dimana bisnis perusahaan berada. Analisis faktor eksternal perusahaan mencakup ancaman-ancaman dan kekuatan-kekuatan eksternal yang mempengaruhi kondisi persaingan.
Porter dalam Umar (2003) mengemukakan konsep
Competitive Strategy yang menganalisis persaingan bisnis berdasarkan lima aspek utama yang disebut Lima Kekuatan Bersaing. Sedangkan R.E. Freeman menambahkan satu variabel terakhir yaitu pengaruh kekuatan stakeholders lainnya. Enam kekuatan bersaing tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Ancaman masuk pendatang baru
Masuknya perusahaan baru akan menimbulkan sejumlah implikasi bagi perusahaan yang ada. Implikasi yang timbul berupa perebutan pangsa pasar, penambahan kapasitas, dan perebutan sumber daya produksi. Beberapa faktor yang menghambat masuknya pendatang baru adalah skala ekonomi, diferensiasi produk, kecukupan modal, biaya peralihan, akses ke saluran distribusi, ketidakunggulan biaya independen dan peraturan pemerintah.
2. Persaingan sesama perusahaan dalam industri
Persaingan dalam industri akan mempengaruhi kebijakan dan kinerja perusahaan. Tingkat persaingan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jumlah kompetitor, tingkat pertumbuhan industri, karakteristik produk, biaya tetap yang besar, kapasitas dan hambatan keluar.
3. Ancaman produk pengganti
Keberadaan perusahaan dalam pasar suatu industri mengindikasikan persaingan dengan produk pengganti. Meskipun barang pengganti mempunyai karakteristik yang berbeda dan barang substitusi memiliki fungsi yang sama.
4. Kekuatan tawar menawar pembeli
Pembeli memiliki kekuatan dalam mempengaruhi perusahaan untuk menurunkan harga, meningkatkan mutu dan pelayanan, serta mengadu perusahaan dengan kompetitornya. 5. Kekuatan tawar menawar pemasok
Pemasok dapat mempengaruhi industri lewat kemampuannya menaikkan harga atau mengurangi kualitas produk dan pelayanan.
6. Pengaruh kekuatan stakeholders lainnya
Pengaruh kekuatan stakeholders lainnya merupakan kekuatan di luar perusahaan yang mempunyai pengaruh secara langsung bagi perusahaan. Stakeholder yang dimaksud antara lain adalah pemerintah, serikat pekerja, lingkungan masyarakat, kreditor, pemasok, asosiasi dagang, kelompok yang memiliki kepentingan lain dan pemegang saham.
C. Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal perusahaan berguna untuk memahami kekuatan dan kelemahan perusahaan. Menurut Umar (2003), aspek internal perusahaan dapat dilihat dari fungsional perusahaan yaitu :
1. Pasar dan Pemasaran
Pasar dan pemasaran membahas posisi yang ingin dicapai suatu produk di pasar. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah pangsa pasar, pelayanan purna jual, kepemilikan informasi tentang pasar, pengendalian distributor, kondisi satuan kerja pemasaran, kegiatan promosi, harga jual produk, komitmen manajemen puncak, loyalitas pelanggan, dan kebijakan produk baru.
2. Keuangan dan akuntansi
Keuangan merupakan inti keberlangsungan perusahaan karena berhubungan dengan dana yang dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Faktor-faktor yang perlu
diperhitungkan adalah kemampuan perusahaan memupuk modal jangka pendek dan jangka panjang, beban yang harus dipikul sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual produk, pemantauan penyebab inefisiensi dan sistem akunting yang andal.
3. Produksi dan operasi
Kegiatan produksi dan operasi perusahaan memperlihatkan keteguhan dalam efisiensi, efektifitas dan produktivitas. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah hubungan baik dengan pemasok, sistem logistik yang andal, lokasi fasilitas yang tepat, pemanfaatan teknologi yang tepat, organisasi yang memiliki kesatuan sistem yang bulat, pembiayaan, pendekatan inovatif dan proaktif, kemungkinan terjadinya terobosan dalam proses produksi dan pengendalian mutu.
4. Sumber daya manusia
Manusia merupakan sumber daya terpenting dalam perusahaan. Setiap perusahaan harus mengupayakan terwujudnya perilaku positif di kalangan karyawan perusahaan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah langkah-langkah yang jelas mengenai manajemen SDM, keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas dan sistem imbalan.
5. Sistem Informasi Manajemen
Aspek-aspek yang perlu dikaji dalam sistem informasi manajemen adalah software, brainware dan hardware, selain
input, proses, dan output informasi yang sesuai dengan kebutuhan informasi setiap jenjang manajemen.
Semua aspek ini akan sangat berpengaruh dalam penentuan rencana BSC, baik sasaran strategik, indikator yang digunakan dan