• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh topografi secara alami sedemikian rupa sehingga air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu (outlet). Pengertian DAS tersebut menggambarkan bahwa suatu wilayah yang mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan terlarut melalui suatu aliran atau sungai ke outlet (Sinukaban 2007).

Pengelolaan DAS adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup, serta tetap memberi hubungan yang harmonis antara sumber daya alam dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari (Sinukaban 2007). Menurut Asdak (2002), bahwa pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah yang berarti sebagai pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya.

Semua kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di dalam DAS mempunyai tujuan untuk keberlanjutan. Untuk mencapai hal ini, perlu diketahui hal-hal seperti kondisi fisik, evaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan, ekonomi (pasar), agroteknologi yang menjamin erosi lebih rendah daripada erosi yang dapat ditoleransikan dan pengetahuan manusia dalam DAS serta sumber daya lokal. Langkah-langkah yang dilakukan untuk perencanaan pengelolaan DAS adalah (a) mengidentifikasi keadaan lingkungan alam DAS meliputi karakteristik iklim, karakteristik lahan, karakteristik tanah, kemampuan lahan, vegetasi, gulma, hama, penyakit dan degradasi lahan (b) keadaan sosial ekonomi yaitu meliputi organisasi dan struktur masyarakat, lokasi fisik dan infrastruktur, kesempatan/peluang pasar, penguasaan dan pengusahaan lahan, penunjang, politik dan kebijakan lingkungan (Asdak 2002).

5

Secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS, yaitu (1) rehabilitasi lahan terlantar atau lahan yang masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, (2) perlindungan terhadap lahan-lahan yang umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor, (3) peningkatan atau pengembangan sumber daya air dengan cara manipulasi satu atau lebih komponen penyusun sistem DAS yang diharapakan mempunyai pengaruh terhadap proses-proses hidrologi atau kualitas air. Dengan demikian sasaran dan tujuan pengelolaan DAS yaitu memaksimalkan keuntungan sosial ekonomi dari segala aktivitas tataguna lahan di daerah aliran sungai (Asdak 1995).

Adapun tujuan pengelolaan daerah aliran sungai adalah mengkonservasi tanah pada lahan pertanian, memanen/menyimpan kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau, memacu usaha tani berkelanjutan dan menstabilkan hasil panen melalui perbaikan pengelolaan system pertanian dan memperbaiki keseimbangan ekologi (ICRAF 2005).

Pengembangan Kelapa

Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31,2% dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (25,8%), disusul India (16,0%), Sri Lanka (3,7%) dan Thailand (3,1%). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Filipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai US$ 229 juta atau 11% dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2004. Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupannya karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kelapa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dengan peran yang berbeda-beda, mulai dari untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan budaya sampai untuk kepentingan ekonomi, sehingga dijuluki tree of life, pohon kehidupan (BPS Sulut 2009).

Tanaman kelapa umumnya ditanam dengan jarak berkisar antara 9 m x 9 m sampai 10 m x 10 m dengan kepadatan rata-rata sekitar 130-180 pohon/ha.

6

Tanaman kelapa yang diusahakan secara intensif pada kondisi optimal menghasilkan buah sekitar 100-200 butir/pohon/tahun. Produksi bahan kering tahunan sekitar 5,1-9,7 g/m2/hari. Laju tumbuh tanaman pada lingkungan yang optimal berkisar antara 15 -35 g/m2/hari (Akuba et.al. 1997).

Efisiensi penggunaan tenaga kerja pada pengunaan kelapa monokultur relative rendah. Hasil penelitian di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa tenaga kerja keluarga yang tersedia rata-rata di daerah sentra produksi sebanyak 51 HOK/bulan. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani kelapa dan usaha tani lainnya sebanyak 24,7 HOK/bulan atau 48,4% dari tenaga kerja tersedia. Jumlah jam kerja berkisar antara 2-6 jam/hari (Akuba et al. 1992).

Lahan dan Pengelolaan Lahan

Pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan, untuk menjaga atau mempertinggi produktivitas lahan. Pada prinsipnya pengelolaan lahan mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan fisik dan tujuan ekonomi. Tujuan fisik adalah tujuan yang dapat dinyatakan atau diukur dalam satuan-satuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain, atau dapat dinyatakan dalam satuan-satuan volume dan jumlah per berat hasil yang diperoleh. Tujuan ekonomi dinyatakan atau diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum dan lain-lain (Sitorus 2001).

Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik sementara maupun terus menerus terhadap lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dinamis. Penggunaan lahan suatu wilayah bersifat dinamis, mengikuti waktu dan jumlah serta profesi penduduk dalam wilayah tersebut (Arsyad 2000).

Perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap hasil air yang keluar melalui outlet DAS, dimana hubungan antara perubahan penggunaan lahan dari hasil air dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang penggunaan lahan di dalam DAS tersebut.

Pola penggunaan lahan mencerminkan jenis kegiatan manusia yang ada di atasnya, lahan pertanian menunjukan adanya usaha dibidang pertanian. Makin tinggi tingkat kegiatan manusia, maka makin tinggi pula kebutuhan manusia akan lahan.

7

Pertanian Berkelanjutan dalam Pengelolaan DAS

Pertanian berkelanjutan bukanlah pilihan tetapi suatu keharusan, jika pembangunan pertanian akan terus dilakukan. Pertambahan penduduk dunia yang terus meningkat termasuk di Indonesia, telah menyebabkan penurunan sumberdaya alam (SDA) serta kerusakan lingkungan yang sangat cepat. Beberapa ahli sependapat bahwa kerusakan SDA akan sangat tergantung pada kesuksesan pertanian dalam menjamin sistem pangan dunia. Hal ini dipandang sangat penting karena kegagalan dalam menyediakan pangan berarti bencana dunia yang akan terjadi (Sitorus 2002).

Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dirancang secara sistematis menggunakan akal sehat dan usaha keras yang berkesinambungan sehingga pertanian itu sangat poduktif secara terus menerus, merupakan habitat tenaga kerja yang baik untuk jumlah yang besar dan meupakan suatu usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian semacam ini akan menghasilkan produksi pertanian yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara berkelanjutan, sehingga mereka dapat merancang masa depannya sendiri. Disamping itu, juga harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga dapat menyediakan bahan baku berbagai agroindustri dan produk-produk eksport secara lestari. Selanjutnya akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, dengan demikian daerah pertanian ini akan menjadi penyerap hasil-hasil industri (Sinukaban 1995). Menurut (Reijntjes et.Al.1992) pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan melestarikan sumberdaya alam.

Menurut Sinukaban (1994) penerapan pertanian konservasi merupakan salah satu alternatif yang perlu diprogramkan untuk membangun pertanian berkelanjutan di lahan kering. Sistem pertanian konsevasi (conservation farming system) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan air kedalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan

8

sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas (sustainable).

Tantangan yang utama dalam pengelolaan DAS adalah bagaimana mengembangkan rencana pengelolaan untuk mencapai berbagai tujuan yang saling bertentangan, terutama strategi pengelolaan DAS yang memungkinkan bagi petani daerah hulu menghasilkan bahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang berbasis berkelanjutan (sustainable) tanpa merusak kemampuan DAS untuk menghasilkan air yang berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tersedia secara terus menerus (Pasaribu 1999).

Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri sistem pertanian konservasi (conservation farming system) adalah sebagai berikut:

1. Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani dapat bergairah melanjutkan usahanya.

2. Pendapatan petani cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dan pendapatan usaha taninya.

3. Teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi yang dapat diterapkan (sesuai kemampuan) dan diterima oleh petani dengan senang hati sehingga sistem pertanian tersebut dapat diteruskan oleh petani dengan kemampuannya tanpa batuan dari luar secara terus menerus. 

4. Komoditi yang diusahakan adalah komoditi yang sesuai dengan kondisi biofisik daerah dan dapat diterima oleh petani

5. Erosi sangat minimal, sehingga produktivitas dapat dipertahankan/di tingkatkan (produktifitas cukup tinggi secara lestari).

6. Penguasaan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security).

Evaluasi dan Klasifikasi Kemampuan Lahan

Evaluasi kemampuan lahan pada dasarnya merupakan evaluasi potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu ataupun tindakan-tindakan pengelolaannya.

9

Oleh sebab itu sifatnya merupakan evaluasi yang lebih umum dibandingkan

dengan evaluasi kesesuaian lahan yang bersifat lebih khusus (Sitorus, 2002). Sistem evaluasi kemampuan lahan mengelompokkan lahan ke dalam

sejumlah kecil katagori yang diurut menurut faktor penghambat permanen. Sistem ini dilakukan dengan cara menguji nilai-nilai dari sifat tanah dan lokasi melalui proses penyaringan, dimana nilai yang pertama diuji terhadap kriteria untuk kelas lahan yang terbaik, dan jika semua kriteria tidak dapat dipenuhi, lahan tersebut secara otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah hingga kelasnya ditentukan dimana kelas yang memenuhi semua kriteria.

Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan ke dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus. Dengan perkataan lain klasifikasi ini akan menetapkan jenis penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi tanaman secara lestari (Sitorus 2002).

Sistem klasifikasi kemampuan lahan (land capability) oleh USDA (Klingebiel dan Montgomery 1973) membagi lahan ke dalam sejumlah kategori-kategori menurut faktor penghambat terhadap pertumbuhan tanaman. Ada tiga kategori yang digunakan, yaitu kelas, sub kelas dan satuan pengelolaan (capability unit).

Penentuan kelas lahan dengan menggunakan sistem klasifikasi kemampuan lahan, ditentukan dari penilaian kelas lahan terburuk dan penghambat terberat. Sebagai contoh bila seluruh parameter menunjukkan kelas II tetapi salah satu parameter menunjukkan kelas V,maka areal tersebut termasuk dalam kelas V. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya merupakan salah satu tindakan konservasi yang akan menjamin kelestarian sumberdaya lahan, sebaliknya jika penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya maka akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan terbentuk lahan kritis.

10 Kelas

Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat, dimana tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat semakin besar sehingga pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan tanah kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian dan bila diperuntukan untuk usaha pertanian diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam pengelolaannya. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah

Kelas I

Tanah kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Tanahnya datar, dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan, untuk itu dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim.

Kelas II

Tanah kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Lahannya berlereng landai, agak peka terhadap erosi dengan tanah bertekstur halus sampai agak kasar. Bila digarap untuk usaha pertanian semusim diperlukan tindakan pengawetan tanah yang

Kelas Kemampuan

Lahan

Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat

Penggembalaan Garapan Cagar

Alam Hutan Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif I II III IV V VI VII Hambatan meningkat, kesesuaian dan pilihan penggunaan lahan berkurang VIII

11

ringan seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau atau guludan, disamping tindakan-tindakan pemupukan seperti pada kelas I.

Kelas III

Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II, sehingga memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak miring atau berdrainase buruk, kedalaman sedang atau permeabilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup tanah merupakan tindakan-tindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah.

Kelas IV

Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari kelas III, sehingga memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng yang miring (15 – 30%), berdrainase buruk atau kedalamannya dangkal.

Kelas V

Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami tanaman pakan ternak secara permanen atau dihutankan. Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya, atau terdapat liat masam di dekat atau pada daerah perakarannya.

Kelas VI

Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, dikarenakan terletak pada lereng agak curam (30 – 45%). Tanah ini lebih sesuai untuk padang rumput atau dihutankan.

12 Kelas VII

Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, tetapi lebih baik untuk ditanami vegetasi permanen. Tanah ini terletak pada lereng yang curam (45 – 65%) dan tanahnya dangkal, atau telah mengalami erosi yang sangat berat.

Kelas VIII

Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian. Tanah ini dapat digunakan untuk cagar alam, daerah rekreasi atau hutan lindung, dimana tanah kelas VIII adalah tanah yang memiliki lereng sangat curam.

Sub Kelas Kemampuan Lahan

Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor penghambat. Terdapat delapan jenis faktor penghambat, yaitu (1) tekstur tanah, (2) permeabilitas, (3) kedalaman efektif (4) lereng, (5) drainase, (6) erosi, (7) bahaya banjir/genangan dan (8) batu-batuan.

Satuan Kemampuan Lahan

Dalam satuan kemampuan lahan (Land Capability Unit) dinyatakan oleh Arsyad (2000) bahwa satuan kemampuan lahan memberikan informasi yang lebih spesifik dan lebih terinci untuk setiap bidang lahan dari pada sub kelas. Sedangkan pengelompokkan di dalam suatu kemampuan adalah pengelompokkan tanah-tanah yang mempunyai keragaman dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usaha tani tanaman pertanian umumnya atau tanaman rumput ternak atau lainnya. Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam satuan kemampuan yang sama harus cukup seragam dalam sifat-sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi kualitas lahan sehingga mempunyai potensi dan hambatan yang sama. Dengan demikian lahan di dalam satu satuan kemampuan harus cukup seragam dalam : (a) produksi di bawah tindakan pengelolaan yang sama, (b) kebutuhan dalam tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah penutup vegetasi yang sama, (c) mempunyai produktivitas potensi yang

13

setara (perbedaan hasil rata-rata di bawah sistem pengelolaan yang sama tidak boleh lebih dari 25%).

Erosi dan Prediksi Erosi

Istilah erosi tanah umumnya diartikan sebagai kerusakan tanah oleh perbuatan air atau angin. Menurut Arsyad (2000), erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Menurut media pengangkutannya dikenal dua jenis erosi, yaitu erosi air dan erosi angin.

Erosi merupakan proses pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation) bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi. Dua peristiwa utama, yaitu pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation) merupakan komponen-komponen erosi tanah yang penting, dimana di dalam proses terjadinya erosi, peristiwa pelepasan butir tanah mendahului peristiwa pengangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan merupakan variabel yang penting yang berdiri sendiri, sedangkan pengangkutan tergantung dari pelepasan (Sinukaban 1989).

Menurut Arsyad (2000), besarnya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor-faktor tersebut bila dinyatakan dengan persamaan deskripsi adalah sebagai berikut :

A = f ( C, T, V, S, H)

dimana, C = iklim, T = topografi, V = vegetasi, S = tanah dan H = manusia. Salah satu cara penentuan kemungkinan hilangnya tanah pada suatu lahan adalah dengan menggunakan persamaan Wischmeir dan Smith (1978) atau dikenal dengan Universal Soil Loss Equation (USLE).

A = R x K x LS x C x P dimana A = Prediksi Erosi tanah tahunan (ton/ha)

R = Erosivitas hujan K = Erodibilitas tanah

LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng P = Tindakan konservasi tanah

C = Faktor pengelolaan tanaman

Menurut Sinukaban (1989), bahwa apabila laju erosi dipergunakan sebagai petunjuk kerusakan suatu DAS, maka diperlukan tolok ukur untuk menentukan

14

kebijaksanaan penanggulangannya. Tolok ukur yang sudah secara luas dipakai adalah erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol).

Erosi yang masih dapat ditoleransikan adalah jumlah tanah hilang yang diperbolehkan per tahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga tanah produktif secara lestari (Hardjowigeno et.al. 2001).

Adapun persamaan yang digunakan Hammer (1981) untuk menentukan erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) adalah sebagai berikut ;

DE - Dmin

ETol = --- + LPT UGT

dimana :

Etol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/thn)

DE = kedalaman ekuivalen (kedalam efektif tanah x faktor kedalaman daerah perakaran (mm)

Dmin = kedalaman tanah minimum (mm) UGT = umur guna tanah (tahun)

LTP = Laju pembentukan tanah (mm/thn)

Analisis Finansial Usahatani dan Standar hidup Layak Analisis Finansial Usahatani

Menurut Soekartawi (1986), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial usahatani dan standar hidup layak, yaitu (1) penerimaan usahatani, (2) biaya usahatani dan (3) pendapatan usahatani.

Penerimaan Usahatani, merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, persamaannya sebagai berikut :

TR = Yi.Pyi

dimana : TR = total penerimaan ; Yi = produksi yang diperoleh dalam satu musim tanam ke-i (kg) ; Pyi = harga komoditas ke i (Rp)

1. Biaya Usahatani, merupakan nilai semua masukan atau nilai keluar yang dipakai dalam satu musim tanam selama proses produksi, baik langsung maupun tidak, dengan persamaan sebagai berikut :

15

dimana : TC = biaya tetap ; Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap ; Pxi = harga input ke-i (Rp) dan i = macam komoditas yang dikembangkan dalam suatu usaha tani

2. Pendapatan Usahatani, merupakan selisih dari total penerimaan terhadap total pengeluaran. 

PU= TR – TC

dimana : PU = pendapatan usahatani ; TR = total penerimaan ; dan TC = total biaya

Standar Hidup Layak

Untuk wilayah Indonesia garis kemiskinan dikategorikan atas 3 (tiga) Nilai Ambang Kecukupan Pangan yaitu : miskin, miskin sekali dan paling miskin (Sajogyo 1990). Garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam nilai mata uang (Rp/bulan) ekivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun), dimana nilai ambang kecukupan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 – 320 kg/orang/tahun sedangkan untuk di perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg/orang/tahun.

Jaminan hidup layak bagi keluarga petani di daerah penelitian, bila diartikan dengan ketentuan kriteria “ambang kecukupan pangan” oleh Sajogyo (1990) yang dinilai adalah indeks tertentu yang menjadi kompensasi kebutuhan pangan, sandang, papan, rekreasi dan pendidikan bagi keluarga di daerah pedesaan yang merupakan suatu stándar kelayakan hidup.

16

METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait