Botani Tanaman
Menurut Sharma (1993) klasifikasi tanaman kedelai adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotylodenae Ordo : Polypetales Famili : Leguminosae Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merril
Perakaran kedelai terdiri dari akar tunggang yang terbentuk dari bakal
akar, empat baris akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang dan sejumlah
akar cabang yang tumbuh dari akar sekunder. Akar lateral tumbuh mendatar
atau sedikit menukik, mencapai 40 cm sampai 75 cm. Pada umumnya
perakaran kedelai berbentuk serabut dan berada pada lapisan atas dari tanaman
(Hidajat (1985) dalamSoemaatmaja, dkk (1985).
Pada akar-akar cabang terdapat bintil-bintil akar berisi bakteri
Rhizobium japonicum, yang mempunyai kemampuan mengikat zat lemas bebas
(N2) dari udara yang kemudian dipergunakan untuk menyuburkan tanah
Kedelai berbatang semak dengan tinggi 30-100 cm. Batang dapat
dibedakan membentuk 3-6 cabang. Tipe pertumbuhan dapat dibedakan menjadi 3
macam yakni determinet, indeterminet dan semi determinet. Batang kedelai
berwarna ungu dominan berwarna hijau (Departemen Pertanian, 1990).
Terdapat empat tipe daun yang berbeda, yaitu kotiledon atau daun biji,
daun primer sederhana, daun bertiga dan profila. Daun primer sederhana
berbentuk telur (oval), berupa daun tunggal (unifoliat), terletak bersebrangan pada
buku pertama, diatas kotiledon. Daun-daun berikutnya yang terbentuk
pada batang utama dan pada batang cabang ialah daun bertiga
(trifoliat). Daun profila ialah daun yang terletak pada pangkal tiap cabang
(Hidajat (1985) dalamSoemaatmaja, dkk (1985)).
Bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai
alat jantan dan betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih
tertutup sehingga kemungkinan perkawinan silang akan sangat kecil. Tidak semua
bunga dapat menjadi polong, walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna
(Departemen Pertanian, 1990).
Polong pertama tampak sekitar 10-14 hari setelah munculnya bunga
pertama. Jumlah polong yang terbentuk beragam antara 2 sampai 20 dalam tiap
kelompok bunga dalam jumlah polong dapat mencapai 400 tiap pohon. Tiap
pohon dapat berisi 1 sampai 5 biji. Polong kedelai berbentuk rata atau agak
melengkung dan panjangnya berkisar antara 2 cm hingga 7 cm. Warna polong
matang beragam antara kuning hingga kuning kelabu, coklat atau hitam
Berat masing-masing biji berbeda-beda, yaitu antara 50-500 gram per
1000 butir biji. Warna biji pun berbeda-beda. Perbedaan warna biji dapat dilihat
pada belahan biji ataupun pada selaput biji, biasanya kuning atau hijau transparan
(tembus cahaya). Disamping itu ada pula biji yang berwarna gelap, kecoklatan
sampai hitam atau bintik-bintik (Andrianto dan Indarto, 2004).
Syarat Tumbuh Tanah
Kedelai termasuk tanaman yang mampu beradaptasi terhadap agroklimat,
menghendaki tanah yang cukup gembur, tekstur lempung berpasir dan liat.
Tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang mengandung bahan
organik dan pH antara 5,5-7 (optimal 6,7). Tanah hendaknya mengandung cukup
air tapi tidak sampai tergenang (Departemen Pertanian, 1996).
Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, asal drainasenya dan
aerasinya tanah cukup baik. Pada tanah podsolik merah kuning dan tanah yang
mengandung banyak pasir kwars, pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali
bila diberi tambahan pupuk organik kompos dalam jumlah tertentu
Iklim
Pertumbuhan optimum kedelai tercapai pada suhu 20-25°C. Suhu 12-20°C
adalah suhu yang sesuai bagi sebagian besar proses pertumbuhan tanaman,
tetapi dapat menunda proses perkecambahan benih dan pemunculan
tinggi dari 30°C, fotorespirasi cenderung mengurangi hasil fotosintesis (Rubatzky dan Yamaguchi,1998).
Kedelai menghendaki air yang cukup pada masa pertumbuhannya,
terutama pada saat pengisian biji. Curah hujan yang optimal untuk budidaya
kedelai adalah 100-200 mm/ bulan, sedangkan tanaman kedelai dapat tumbuh
baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100-400 mm/bulan
(Departemen Pertanian, 1996).
Tanaman kedelai dapat tumbuh baik sampai ketinggian 1.500 m. Umur
tanaman kedelai lebih panjang pada tempat yang lebih tinggi. Hasil kedelai lebih
tinggi pada dataran tinggi (1.100 m dpl) dibandingkan dengan dataran rendah
(12 m dpl). Peningkatan hasil disebabkan oleh peningkatan ukuran biji dan jumlah
polong per tanaman. Umur berbunga dan umur matang lebih lambat pada dataran
tinggi (Baharsjah,dkk, (1985) dalam Soemaatmadja, dkk 1985).
Varietas Kedelai
Tingkat konsumsi kedelai di Indonesia 8.1 kg / kapita / tahun pada
tahun 2005. Produksi kedelai dalam negeri baru mencapai 808 ribu ton dan ini
hanya mampu memenuhi 35-40 % kebutuhan, sedangkan sisanya harus diimpor.
Impor kedelai tahun 2005 telah mencapai 1,2 juta ton, lalu meningkat 1,3 juta ton
pada tahun 2007 karena produksi dalam negeri turun 25 %
(Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, 2008).
Upaya peningkatan produksi kedelai nasional dapat ditempuh melalui dua
produktifitas yang rata-rata nasionalnya masih rendah. Dari segi luasnya lahan
kering masam memiliki potensi yang besar bagi upaya perluasan areal tanam/
panen kedelai, disamping lahan sawah dan lahan kering yang lain. Untuk
mendukung upaya perluasan areal tanam kedelai, identifikasi teknologi produksi
kedelai pada lahan masam merupakan hal yang sangat diperlukan dalam upaya
peningkatan produksi menuju swasembada kedelai (Subandi, 2007).
Sumber daya lahan masam diluar pulau Jawa, seperti Sumatera dan
Kalimantan cukup luas sekitar 16,8 juta ha, dan potensial untuk pengembangan
areal pertanian. Lahan dengan tingkat kemasaman tidak terlalu tinggi berpeluang
untuk meningkatkan pengembangan areal tanam pangan termasuk kedelai
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kedelai, 2002).
Pengambangan kedelai dengan kendala masam dapat dilakukan dengan
penggunaan varietas toleran. Varietas unggul kedelai telah banyak dihasilkan,
untuk lahan kering masam dianjurkan varieas Tanggamus, Sibanyak, Nanti, Kaba,
dan Wilis. Pada lahan kering masam dengan masukan optimal dapat diperoleh
hasil 1.5 ton/ ha (tergolong baik). Varietas unggul sangat menentukan tingkat
pertumbuhan dan produktifitas tanaman. Penggunaan benih dari varietas unggul,
populasi tanaman akan optimal dan pertumbuhan akan seragam
(Marwoto, Arsyad, Taufik dan Kuntyastuti, 2004).
Dalam penelitian Bertham, Kusuma, Setiadi, Mansur dan Sapondie
(2005), menyatakan bahwa varietas Wilis memberikan respon yang positif pada
peningkatan kadar unsur hara N dan P, bobot kering total, serapan hara N dan P,
jumlah polong, jumlah bintil, bobot bintil akar dibandingkan varietas Pangrango
merupakan varietas yang sudah tua, namun efisiensi jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas Pangrango dan Ceneng yang merupakan galur baru.
Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab
keragaman penampilan tanaman. Program genetik yang akan diekspresikan pada
satu fase atau keseluruhan fase pertumbuhan yang berbeda dapat
diekspresikan pada berbagai sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi
tanaman yang menghasilkan keragaman pertumbuhan tanaman. Keragaman
penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi
sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari jenis tanaman yang sama
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Keragaman yang terdapat dalam suatu jenis spesies disebabkan oleh
dua faktor yaitu keragaman yang disebabkan oleh lingkungan dan keragaman
yang disebabkan oleh sifat-sifat yang diwariskan oleh genetik. Ragam lingkungan
dapat diketahui bila tanaman dengan genetik yang bersamaan ditanam pada
lingkungan yang berbeda, misalnya galur murni yang ditanam pada berbagai
tingkat kesuburan tanah. Ragam genetik terjadi sebagai akibat bahwa tanaman
mempunyai karakter genetik yang berbeda, umumya dapat dilihat bila
varietas-varietas yang berbeda ditanam pada lingkungan yang sama (Makmur, 1992).
Pupuk Hayati
Pupuk hayati adalah mikrobia di dalam tanah dan berguna untuk
meningkatkan pengambilan hara oleh tanaman dari dalam tanah atau udara.
Umumnya digunakan mikrobia yang mampu hidup bersama (simbiosis) dengan
mendapatkan tambahan unsur hara yang diperlukan, sedangkan mikrobia
mendapatkan bahan organik untuk aktifitas dan pertumbuhannya. Mikrobia yang
digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer) dapat diberikan langsung kedalam tanah, disertakan dalam pupuk organik atau disalutkan pada benih yang akan
ditanam. Penggunaan yang menonjol dewasa ini adalah mikrobia penambat N dan
mikrobia untuk meningkatkan P (Hanum, 2008).
Rhizobia
Pertanian sangat tergantung pada N yang dihasilkan oleh organisme yang
mampu menambat N2 untuk produksi tanaman budidaya. Bakteri Rhizobium yang
berhubungan dengan legum (tumbuhan polong) sebagai inang umumnya yang
paling penting. Hubungan keduanya ini dapat memfiksasi 100 kg. ha-1 N per
musim dan sering kali tiga kali lipat dari jumlah ini, yang jauh lebih banyak dari
sistem fiksasi biologis N2 lainya (Gardner dkk,1991).
Pada tumbuhan kacangan, yang berperan adalah species bakteri dari tiga
genus yang berkerabat, yaitu Rhizobium, Bradyrhizobium dan Azorhibium. Species rhizobium tertentu atau seperti Rhizobium pada umumnya efektif dengan
hanya satu species kacangan. Semua Rhizobium adalah bakteri aerobik yang
bertahan secara saprofit dalam tanah sampai mereka menginfeksi bulu akar atau
kandungan sel epidermis yang rusak. Bulu akar biasanya tanggap terhadap
invasi oleh molekul yang tidak dikenal yang dilepaskan oleh bakteri
(Salisbury and Ross, 1995).
Sejumlah besar Rhizobium dapat hilang karena keasaman tanah atau
atau tanah adalah untuk membentuk populasi galur Rhizobiun yang cukup efektif
agar terjadi kolonisasi dan infeksi pada perakaran legum. Landasan terjadinya
pembintilan yang berbeda-beda berhubungan dengan genotip inang, bakteri dan
dengan kondisi lingkungan. Kegagalan infeksi mungkin terjadi disebabkan oleh
(1) kolonisasi pada akar, (2) invasi dari bulu-bulu akar atau (3) pembentukan
bintil (Gardner, dkk 1991).
Peranan Rhizobium terhadap tanaman khususnya berkaitan dengan
masalah ketersediaan nitrogen bagi tanaman inangnya. Suatu pigmen merah yang
disebut dengan legmoglobin dijumpai dalam bintil akar antara bakteroid yang
selubung membran yang mengelilinginya. Legmoglobin berfungsi sebagai (a)
tempat absobsi dan reduksi nitrogen (b) pembawa elektron khusus dalam fiksasi
nitrogen (c) pemasok oksigen dan (d) pembawa oksigen (Rao, 1994).
N atmosfer secara simbiotik difiksasi didalam bintil akar legume. Bentuk
N ini dapat kembali ke dalam tanah melalui berbagai mekanisme sebagai berikut:
1. Perjalanan utama yang lain dari N fiksasi simbiotis dari tanah ke tanah
adalah melalui ekskresi langsung dari akar yang hidup dan dari bintil akar.
2. Dekomposisi jaringan akar yang mati dan nodul sumber penting
pengkayan N tanah. Total berat nodul 244 kg/ha telah dihitung untuk
legume A.rubara. Analisis ini menunjukan bahwa nodul memang kaya N. 3. Mikro free-living nitrogen fixing, dapat merupakan sumber penambahan
yang ditambahkan ke rhizosfer. Sebanyak 1/3 dari total N tanah
disumbangkan oleh mikroorganisme
Mikoriza
Mikoriza adalah salah satu bentuk asosiasi simbiotik antara akar tumbuhan
tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu. Nama mikoriza pertama kali
dikemukakan oleh ilmuan Jerman, Frank pada tanggal 17 April 1885. Nuhamara
(1993) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang
mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara
tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikrobia dalam ruang dan waktu.
Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan
memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, jenis
cendawan maupun penyebarannnya (Subiksa,2002).
Dikenal ada dua kelompok mikoriza yaitu ektomikoriza dan endomikoriza.
Pada ektomikoriza, hifa cendawan membentuk selimut di luar dan di dalam akar,
di ruang dalam sel epidermis atau korteks tidak terjadi, namun jala-jala yang
meluas yang dinamakan jala hartig terbentuk diantara sel-sel ini. Endomikoriza
terdiri dari tiga anak kelompok, namun sejauh ini yang paling lazim adalah
mikoriza vesikular arbuskular (MVA). Cendawan yang menyusun MVA adalah
sel korteks, yang kemudian meruak keluar menuju ke tanah untuk menyerap air
dan garam mineral (Salisbury and Ross, 1995).
Yang paling menarik dari dua tipe mikoriza adalah kemampuannya untuk
memperbaiki pertumbuhan tanaman dengan mempertinggi pengambilan P. Dalam
tanah yang defisien P, tanaman bermikoriza biasanya jelas-jelas tumbuh lebih baik
dibandingkan tanaman non mikriza, tetapi akan terjadi sebaliknya pada tanah yang
disuplai fosfat dengan baik. Pada kenyataanya tanaman bermikoriza
mungkin bahwa mikroba rhizosfer dalam menurunkan panjang akar
disebabkan infeksi endomikoriza, karena hal tersebut memiliki pengaruh nyata
(Fitter and Hay, 1981).
Jamur mikoriza berpotensi memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara
bagi tanaman terutama P. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikkan hasil berbagai
tanaman berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman. Disamping sebagai
fasilator penyerapan hara, jamur mikoriza juga berpotensi sebagai pengendali
hayati. Pengaruh hayati berbagai penyakit oleh mikoriza dapat dipengaruhi oleh
atau lebih mekanisme, yaitu (1) perbaikan gizi tanaman, (2) kompetisi untuk
mendapatkan fotosintat dan tempat infeksi pada tanaman inang (3) perbaikan
morfologi dan jaringan tanaman, (4) perubahan susunan kimia jaringan tanaman,
(5) reduksi stres abiotik dan (6) perubahan mikrobial pada mikorizosfir
(Simanungkalit, 2001).
Keuntungan tersebut secara umum adalah dalam penyerapan ion-ion
esensial yang secara normal berdifusi secara lambat ke permukaan akar, tetapi
dibutuhkan dalam jumlah besar oleh tanaman, misalnya fosfat, amonium, kalium,
dan nitrat. Berdasarkan sifat asosiasi antara jamur mikoriza dengan tanaman,
maka manfaat jamur ini akan secara nyata terlihat pada kondisi tanahnya miskin
hara atau kering, sedangkan pada kondisi yang subur, peran jamur ini tidak akan
kentara (Lakitan, 1993).
Hifa jamur yang berasal dari tanah memasuki akar-akar lewat
rambut-rambut akar atau epidermis dan meluas dari satu kedalam akar. Didalam korteks
zat hara atau karbohidrat-karbohidrat antara akar dan jamur. Pada tanah-tanah tak
subur tanaman dengan MVA didapat tumbuh sangat lebih baik dari pada tanaman
tanpa MVA. MVA sendiri tidak menambat nitrogen, tapi mereka dapat
memperbesar penambatan oleh bakteri-bakteri rhizobium dalam simbiosis dengan
tanaman legum (Goldsworthy and Fisher, 1992).
Mikoriza pada tanaman polong memiliki peran yang khas. Tanaman
polong membentuk bintil akar yang serapan sebagai mediator penambat nitrogen
dan proses ini hanya berjalan jika terdapat fosfor dalam jumlah cukup pada
perakaran tanaman. Mikoriza menyumbang P untuk penambatan N, sedangkan
bintil akar menyediakan N terseda untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikoriza (Setiawati et al, 2000).
Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi
cendawan mikoriza tersebut, tetapi merupakan masalah besar bagi tanaman.
Cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman
pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan bahwa inokulasi MVA mampu
meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil kedelai pada tanah podsolik
dan latosol. Pada tanah podsolik, serapan hara meningkat dari 0,18 mg P/ tanaman
menjadi 2,15 mg/ tanaman. Sedangkan hasil kedelai meningkatkan dari 0,02 g
biji/ tanaman, menjadi 5,13 g biji/ tanaman. Sedangkan hasil kedelai meningkat
dari 0,02 g biji/ tanaman, menjadi 5,13 g biji/ tanaman. Pada tanah latosol serapan
hara meningkat dari 0,13 mg P/ tanaman, menjadi 2,66 mg P/ tanaman, dan hasil
kedelai meningkat dari 2,84 g biji/ tanaman menjadi 5,98 g biji/ tanaman.
Dalam penelitian Hanum (1997) menyatakan bahwa inokulasi mikoriza
secara tidak langsung terhadap peningkatan serapan N tanaman adalah melalui
kemampuan mensuplai P bagi proses nodulasi dan fiksasi N. Selain itu
meningkatkan serapan N tanaman oleh kehadiran mikoriza disebabkan asosiasi
mikoriza dengan perakaran kedelai akan memperluas volume serapan hara N dan
memperbaiki pertumbuhan akar tanaman, dimana rhizobium akan membentuk
bintil akar.
Dalam penelitian Nusantara (2002) menyatakan bahwa inokulasi MVA
meningkatkan kadar P jaringan semai sengon. Ini disebabkan hifa eksternal
mikoriza tersebut membantu melarutkan bentuk-bentuk P tidak tersedia dalam
tanah dan juga melindungi tudung akar dari pelukaan oleh ion-ion logam,
misalnya Al yang banyak dijumpai pada tanah ultisol. Unsur hara berhubungan
erat dengan persentase akar terinfeksi. Dalam penelitian ini diperoleh hubungan
antara persen akar terinfeksi CMA dengan kadar P jaringan tanaman.
Dalam penelitian Hapsoh (2003) menyatakan bahwa MVA meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai, yang ditunjukkan oleh meningkatnya
luas daun, jumlah polong berisi, jumlah biji/tanamn, berat kering biji. Peningkatan
luas daun, kadar K, IAA dan kerapatan stomata daun akan meningkatkan
fotosintesis dan transpirasi menyebabkan proses metabolisme berlangsung lebih
baik akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. MVA
membantu penyerapan air melalui peningkatan sistem perakaran, tetapi tidak
efisien dalam pengunaan air sehingga proses metabolisme pada masa pengisian
Tanah Ultisol
Ultisol merupakan salah satu ordo tanah yang penyebarannya tergolong
paling luas di Indonesia (sekitar 45,79 juta ha). Menurut Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat (2000), tanah ini terutama menyebar di provinsi Kalimantan
Timur (10.04 juta ha), Papua (7.62 juta ha), Kalimantan Barat (5.71 juta ha),
Kalimantan Tengah (4,81 juta ha) dan Riau (2,27 juta ha). Tanah ini dapat
terbentuk dari bahan volkan, sedimen atau metamorf pada landform
bergelombang hingga bergunung. Pada awalnya, tanah ultisol dan oxisol lebih
dikenal dengan nama podsolik merah kuning (PMK) yang mendominasi tanah
lahan kering di daerah Sumatera, Kalimantan dan Papua (Prasetyo, 2006).
Ultisol mengandung berbagai kendala berat untuk budidaya tanaman
yang saling berkaitan. Ciri tanah ultisol yang terutama menjadi kendala bagi
budidaya tanaman ialah :
1. pH rendah
2. Kejenuhan Al tinggi, kemungkinan besar juga Fe dan Mn aktif yang tinggi
3. Lempung beraktivitas rendah
4. Daya semat terhadap posfat kuat
5. Kejenuhan basa yang rendah
6. Kadar bahan organik rendah dan dengan sendirinya kadar N pun rendah
serta terbatas dalam lapisan permukaan tanah
7. Daya simpan air terbatas
8. Jeluk efektif terbatas
9. Derajat agresi rendah dan kemantapan agregrat lemah, yang menyebabkan
dan rentan pemampatan yang menjadi kendala baik di lahan berlereng
maupun pada lahan yang datar.
(Notohadiprawiro, 2006).
Unsur hara tidak tersedia pada pH rendah. Perharaan yang sangat
dipengaruhi oleh pH adalah:
1. Kalsium dan magnesiun dapat ditukar
pH tanah beralih menjadi lebih rendah atau dengan kata lain semakin
masam akibat sebagian besar dari Ca dan Mg akan hilang dari permukaan
koloid tanah.
2. Aluminium dan unsur mikro
Bila pH tanah mineral rendah, sejumlah Al, Fe, Mn menjadi sangat larut
sehingga merupakan racun bagi tanaman.
3. Ketersediaan fosfor
Ketersediaan P dipengaruhi sangat nyata oleh pH. Pada pH rendah ion P
akan mudah bersenyawa dengan Al, Fe, Mn, membentuk senyawa yang
tidak terlarut.
4. Kegiatan jasad mikro
Kegiatan bakteri dan aktinomisetes berkurang bila pH turun lebih rendah
dari 5.5. Pada pH tinggi jamur bersaing dengan bakteri dan aktinomisetes.
(Hakim, dkk, 1986).
Kelarutan Al dalam larutan tanah terkait sangat erat dengan pH tanah,
disamping dengan kejenuhan Al, KTK efektif dan konsentrasi garam. Pada tanah
mineral berpH < 5.0 sebagian besar koloid bermuatan negatif diduduki oleh kation
kimiawi kesuburan tanah pada tanah-tanah ini hampir semuanya bermuatan pada
tingginya kelarutan Al (Hanafiah, 2005).
Faktor-faktor pembentukan tanah yang paling dominan pada
pembentukan ultisol menurut Mohr dan Van Baren (1972) adalah iklim, rata-rata
curah hujan dari 2500-3500 mm per tahun, terdapat lebih dari tiga bulan kering
Af-Am (Koppen) serta A, B dan C (Smith Fergusson). Bahan induk umumnya
berupa tuff masam, batu pasir serta bahan-bahan endapan dari pasir. Topografi
atau bentuk permukaan tanahnya bervariasi dari bergelombang sampai berbukit
dengan ketinggian di atas muka laut lebih dari 3 meter. Vegetasi utama umumnya
berupa hutan tropika basah, padang alang-alang, melastoma dan paku-pakuan
(Munir,1996).
Dalam menghadapi tanah berkemampuan rendah dan berkendala banyak
semacam ultisol ini, ada dua sistem pemanfaatan yang dapat dipilih. Pertama,
membenahi kemampuan tanah sehingga serasi dengan macam pemanfaatan atau
bentuk penggunaan yang diinginkan. Kedua, memilih macam pemanfaatan atau
bentuk penggunaan yang dapat diadapatsi pada kemampuan asli tanah. Sistem
yang pertama dapat disebut dengan menggunakan teknologi masukan tinggi,
sedangkan sistem yang kedua menerapkan apa yang dikenal dengan teknologi
masukan rendah atau teknologi hemat energi (Notohadiprawiro, 2006).
Teknologi masukan rendah merupakan perangkat teknik budidaya yang
dapat menghasilkan 80% hasil maksimum dengan menggunakan species dan
varietas tanaman tenggang masam (acid-tolerant) dan menggunakan tanah serta masukan kimia paling efisien. Teknik ini mencakup antara lain membatasi
sebagai bagian dari pengelolaan P yang efisien, menggunakan penyemat N oleh
legum secara maksimum dengan rhizobia tenggang masam, memperhatikan
kebutuhan tanaman akan S dan unsur hara mikro, dan mendaurulangkan hara
(Notohadiprawiro, 2006).
Analisis Unsur Hara Tanaman
Umumnya ketersediaan nutria bukan kuantitas mutlaknya lebih
menentukan status nutrisi tanaman. pH tanah merupakan faktor utama yang
mempengaruhi daya larut dan mempengaruhi ketersediaan nutrisi tanaman.
kebanyakan nutrisi tanaman lebih tersedia dalam nilai pH antara 6,0 dan 7,0. Ca,
Mg, K dan lebih tersedia banyak dalam tanah yang basa dan Zn, Mn dan B kurang
tersedia. Besi, Mn, dan Al mungkin dapat larut sampai tingkat beracun dalam
tanah yang sangat masam. Tanah podsol berkapur (yang terbentuk dibawah hutan
dan terkikis) sering kali meransang defisiensi C, terutama pada alfafa yang
membutuhkan kapur yang tinggi (Gadner dkk, 1991).
Sebelum tanah dapat mengabsobsi unsur hara, maka syaratnya adalah
unsur tersebut terdapat pada permukaan akar. Pergerakan unsur hara kepermukaan
akar terjadi melalui tiga cara yaitu (1) intersepsi (penyerapan akar) (2) aliran
massa dan (3) difusi. Mekanisme intersepsi sebenarnya adalah merupakan
pertukaran langsung antara hara dengan akar. Dengan demikian semakin banyak
akar yang bersentuhan dengan hara, semakin banyak pula hara yang dapat diserap
akar. Mekanisme kedua yaitu aliran masa, yang dalam hal ini air akan bergerak ke
akar tanaman akibat transpirasi. Pada saat yang bersamaan ikut terangkut
akar. Mekanisme yang ketiga adalah terjadi sebagai akibat selisih konsentrasi
yang terjadi di sekitar akar selanjunya hara yang disekitarnya akan berdifusi ke
daerah itu. Difusi akan berlangsung melalui selaput air yang ada dan oleh karena
itu kecepatan berdifusi akan sangat bergantung kepada kadar air tanah
(Hakim dkk, 1986).
Kemampuan tumbuhan untuk memperoleh hara esensial dari tanah itu