• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Tinjauan Pustaka

B.1. Hakekat Pengetahuan

Menurut Von Glasersfeld (dalam Suparno, 1997:21) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan siswa adalah konstruksi (bentukkan) siswa sendiri, ia menegaskan bahwa pengetahuan bukan suatu tiruan dari kenyataan.

Von Glaserfeld menyebutkan bahwa pengetahuan dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang siswa peroleh adalah konstruksi siswa sendiri, maka penganut konstruktivisme menolak adanya transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Tidak mungkin mentransfer pengetahuan karena setiap siswa membangun pengetahuan pada dirinya. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan kepikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep dan ide kepada seorang siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa lewat pengalamannya (Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997).

B.2. Teori Perubahan Konsep

Menurut Posner dkk (dalam Suparno, 1997) dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mirip dengan yang ada dalam filsafat sains.Tahap pertama

perubahan konsep disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan

asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan peristiwa yang baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan peristiwa baru yang mereka hadapi. Akomodasi disebut juga perubahan konsep secara radikal.

Supaya terjadi perubahan radikal atau akomodasi, dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat seperti berikut:

a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Siswa mengubah

konsepnya jika siswa yakin bahwa konsep yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.

b. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan

persoalan atau fenomena yang baru.

c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan

yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.

d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan

yang baru.

peristiwa yang bertentangan dengan pikiran siswa. Suatu peristiwa dimana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Peristiwa-peristiwa akan menantang siswa untuk lebih berpikir dan mempersoalkan mengapa pemikiran awal mereka tidak benar.

Carrey menguraikan adanya dua perubahan konsep: yakni restrukturisasi

kuat dan restrukturisasi lemah. Dalam restrukturisasi kuat siswa mengubah konsep lama yang sudah mereka miliki, sedangkan dalam proses restrukturisasi lemah siswa tidak mengubah konsep lamanya, melainkan mengembangkan konsep yang sudah ada. Banyak peneliti menerapkan strategi mengajar yang mempercepat perubahan konsep. Mereka menekankan agar siswa dibiasakan mempertanyakan keyakinan dan konsepnya. Peneliti membuat strategi yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pikiran siswa, yang menimbulkan konflik dalam pikiran siswa sehingga tertantang untuk mengubah konsep yang telah ia miliki (Dykstra dkk., dalam Suparno, 1997).

Dalam penelitiannya, Vygotsky membedakan dua macam konsep: konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah diperoleh dari teori-teori pelajaran yang sesuai dengan konsep para ilmuwan. Kedua konsep ini saling berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari siswa dalam teori pelajaran mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya. Pendidik sebaiknya tidak menolak konsep spontan siswa, melainkan membantunya agar konsep itu diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Tugas seorang pendidik dalam hal ini

adalah membantu agar pemahaman mereka berkembang semakin mendekati pemahaman para ilmuwan (Suparno, 1997).

B.3. Hubungan Teori Perubahan Konsep dengan Teori Konstruktivisme

Menurut Suparno (1997:53) pengetahuan siswa tidak sekali jadi, melainkan merupakan suatu proses perkembangan yang terus-menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi bila siswa aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa teori perubahan konsep dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep, menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus-menerus. Konstruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang guru dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukkan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong guru agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada siswa sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan.

Konstrukstivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap siswa dapat membentuk pengertian yang berbeda dengan pengertian para ilmuwan. Namun pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir perkembangan, karena setiap saat siswa masih dapat mengubah pemahamannya sehingga lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan. “salah pengertian” dalam memahami sesuatu, menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah akhir segala-galanya, melainkan awal untuk perkembangan yang lebih baik (Suparno, 1997).

B.4. Strategi Pengajaran Perubahan Konsep

Davis dkk (dalam Suparno 2005:99), merangkum beberapa strategi pengajaran perubahan konsep sebagai berikut:

a. Strategi pengajaran berdasarkan konflik kognitif siswa. b. Strategi pengajaran berdasarkan perkembangan ide-ide siswa.

Dalam strategi ini digunakan gagasan dasar yang ada pada siswa, lalu dibantu dengan pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk mengembangkan dan memperluas gagasan mereka ke arah pandangan yang bersifat ilmiah. Dengan model ini maka konsep awal siswa pelan-pelan dijembatani dan berubah ke konsep ilmiah yang benar.

c. Strategi pengajaran berdasarkan metode pembelajaran fisika yang dapat

Beberapa peneliti, ahli, dan pendidik fisika menemukan beberapa metode pembelajaran fisika yang telah terbukti dapat membantu perubahan konsep, terutama perubahan konsep fisika yang kurang benar kearah yang lebih benar. Beberapa metode itu antara lain, adalah:

1). Bridging Analogy (Analogi Penghubung) 2). Simulasi komputer

3). Wawancara Diagnosis

4). Diskusi Kelompok

5). Peta Konsep 6). Problem Solving

7). Percobaan atau Pengalaman Lapangan

8). Pertanyaan Terus-menerus di kelas

B.5. Pemahaman Konsep

Menurut Kartika Budi (1992) dalam artikelnya yang berjudul “Pemahaman Konsep Gaya dan Beberapa Salah Konsepsi yang Terjadi”, fisika pada hakekatnya merupakan akumulasi hasil keilmuan berupa konsep-konsep fisis, prinsip, hukum dan teori yang diperoleh melalui proses keilmuan, dan sikap keilmuan. Sehingga memfasilitasi siswa, yang dapat diartikan sebagai proses siswa membangun konsep, hukum, dan teori. Bila hal ini dilakukan, maka tujuan yang harus dicapai siswa dalam belajar fisika supaya dapat memahami konsep adalah dengan melakukan proses

keilmuan dan memilih sikap keilmuan yang diperlukan dalam melakukan proses tersebut.

Seperti yang dikutip oleh Kartika Budi (1987) dalam artikelnya yang berjudul “Konsep: Pembentukkan dan Penanamannya“ pemahaman konsep merupakan dasar dari pemahaman prinsip dan teori, artinya untuk dapat memahami prinsip dan teori harus dipahami terlebih dahulu konsep-konsep yang menyusun prinsip dan teori yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini maka pemahaman konsep memegang peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar dapat dimengerti dan diterima sejauh tidak mengabaikan aspek-aspek lain.

Menurut Suparno (2005:94,95) proses pembelajaran fisika yang benar haruslah mengembangkan perubahan konsep. Perubahan yang pertama adalah perubahan dalam memperluas konsep, dari konsep yang belum lengkap menjadi lebih lengkap, dari konsep yang belum sempurna menjadi lebih sempurna. Perubahan lain adalah mengubah dari konsep yang salah menjadi benar atau sesuai dengan konsep para ahli fisika. Pembelajaran yang hanya membuat konsep statis atau bahkan menjauh dari konsep yang diterima para ahli, dapat dikatakan pembelajaran yang tidak sukses. Sedangkan pembelajaran fisika yang baik adalah yang memungkinkan perubahan konsep itu.

Toulmin menyebutkan bahwa bagian terpenting dalam pemahaman siswa adalah perkembangan konsepnya yang evolutif, terus berubah pelan-pelan dan bukan

dapat diubah. Dalam perkembangan konsep, siswa mengubah gagasannya lebih maju. Rasionalitas siswa justru terletak pada bagaimana siswa mengubah konsep, prosedur, dan gagasannya untuk semakin maju (Suparno, 2005:85).

Menurut Kartika Budi (1992), untuk dapat memutuskan apakah siswa memahami kosep atau tidak, diperlukan kriteria atau indikator-indikator yang dapat menunjukkan pemahaman tersebut. Beberapa indikator yang menunjukkan pemahaman siswa akan suatu konsep, antara lain :

a. Dapat menyatakan pengertian konsep dalam bentuk definisi menggunakan

kalimat sendiri.

b. Dapat menjelaskan makna dari konsep bersangkutan kepada orang lain

c. Dapat menganalisis hubungan antara konsep dalam suatu hukum

d. Dapat menerapkan konsep untuk (a) menganalisis dan menjelaskan gejala-gejala

alam, (b) untuk memecahkan masalah fisika baik secara teoritis maupun secara praktis, (c) memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada suatu sistem bila kondisi tertentu dipenuhi.

e. Dapat mempelajari konsep lain yang berkaitan dengan lebih cepat

f. Dapat membedakan konsep yang satu dengan konsep lain yang saling berkaitan

g. Dapat membedakan konsepsi yang benar dengan konsepsi yang salah, dan dapat

B.6. Miskonsepsi

Menurut Suparno (2005:4) dalam bukunya “Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika” miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang naif.

Suparno (2005:4) mengutip pendapat beberapa para ahli dalam mendefinisikan miskonsepsi, yakni: Novak (1984), mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Brown (1989; 1992) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang naif dan mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Feldsine (1987) menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antar konsep-konsep. Fowler (1987), menjelaskan dengan lebih rinci arti miskonsepsi. Ia memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.

a. Miskonsepsi dalam fisika

1). Miskonsepsi dalam sains secara umum

Miskonsepsi terdapat dalam semua bidang sains seperti biologi, kimia, fisika dan astronomi. Tidak ada bidang sains yang dikecualikan dalam hal miskonsepsi ini. Menurut Wandersee dkk, dalam artikelnya mengenai “Research on Alternatife Conception in Science”, menjelaskan bahwa miskonsepsi terjadi dalam semua bidang fisika. (Wandersee dkk, dalam Suparno, 2005: 9).

2). Miskonsepsi yang terjadi pada konsep arus listrik

Beberapa siswa masih salah mengerti mengenai tegangan, arus, dan tahanan dalam rangkaian tertutup. Dupin dan Jhosua, meneliti bahwa beberapa siswa salah mengerti tentang tegangan listrik (Suparno, 2005).

Lampu

Gambar 1.a Jaringan listrik terbuka A B

Siswa beranggapan tegangan hanya terjadi dalam suatu jaringan tertutup. Bila ada suatu jaringan terbuka yang dihubungkan dengan baterai, mereka berkeyakinan tidak

ada tegangan didalamnya. Menurut siswa, antara titik A dan titik B pada kabel dalam jaringan terbuka itu tidak ada tegangan. Padahal dalam kenyataannya, bila diukur akan terlihat ada beda potensial.

Banyak siswa salah mengerti tentang terangnya lampu pada rangkaian listrik seri. Pada rangkaian seperti pada gambar 1.b, satu baterai dihubungkan seri dengan tiga buah bola lampu, yaitu A, B, dan C yang sama tahanannya.

A B C

Gambar 1.b

Rangkaian listrik dengan tiga lampu A, B, C

Beberapa siswa menjelaskan bahwa ketiga lampu itu terangnya tidak sama, tergantung letaknya terhadap baterai. Semakin dekat dengan baterai, semakin terang lampu itu. Menurut siswa lampu A menyala lebih terang dari lampu B, dan lampu B lebih terang dari lampu C. Padahal menurut teori fisika, ketiga lampu itu akan menyala sama terangnya.

Ada juga beberapa siswa yang salah mengerti tentang apa yang membuat lampu dapat menyala dalam rangkaian. Beberapa siswa mengungkapkan bahwa

menyala. Dengan penyambungan itu, atom-atom dari baterai akan pindah melalui kawat ke lampu, sehingga lampu menyala. Bahkan ada yang menjelaskan, bahwa energi listrik turun ke lampu melalui kawat, dan memberikan energi pada lampu sehingga menyala.

Anak-anak itu tidak menyadari bahwa suatu rangkaian harus dihubungkan tertutup supaya terjadi aliran listrik, yang menjadikan lampu menyala.

A B

Gambar 1.c

Rangkaian listrik dengan dua lampu A dan B

Dalam rangkaian seri seperti gambar 1.c, siswa juga memiliki miskonsepsi. Dua lampu, A dan B, sama kuatnya dihubungkan seri dengan satu baterai. Sebagian siswa mengungkapkan miskonsepsinya sebagai berikut :

a) Sebagian arus digunakan oleh lampu A, sehingga arus yang melalui lampu B

berbeda, yaitu lebih kecil.

b) Arah arus dalam rangkaian itu berasal dari kutub positif dan negatif baterai, dan bertemu pada lampu.

c) Nyala lampu A, lebih terang dari lampu B karena lampu A dekat dengan kutub positif baterai.

Osborne, menemukan beberapa siswa berpikir listrik sebagai energi. Listrik akan habis digunakan sewaktu melalui rangkaian (Osborne, dalam Suparno, 2005).

b. Penyebab Miskonsepsi

Secara garis besar, penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal seperti: konsep awal, kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru, kurangnya penguasaan materi, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik.

Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan metode mengajar yang hanya menekankan kebenaran satu segi dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Seringkali penyebab-penyebab itu berdiri sendiri, tetapi kadang-kadang saling terkait satu sama lain, sehingga miskonsepsi menjadi semakin kompleks. Hal ini menyebabkan semakin sulit untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi mereka (Suparno, 2005:29).

c. Miskonsepsi dari Sudut Filsafat Konstruktivisme

Filsafat konstruktivisme secara singkat menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk (dikonstruksi) oleh siswa sendiri dalam kontak dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajari (Suparno, 1997).

Oleh karena siswa sendiri yang mengkonstruksikan pengetahuannya, maka tidak mustahil dapat terjadi kesalahan dalam mengkonstruksi. Hal ini dapat disebabkan siswa belum terbiasa mengkonstruksikan konsep fisika secara tepat, belum mempunyai kerangka ilmiah yang dapat digunakan sebagai patokan. Bisa saja terjadi siswa telah melakukan konstruksi itu sejak awal sebelum mereka mendapatkan secara formal tentang bahan tertentu. Mereka mengkonstruksi sendiri hal itu karena pengalaman hidup mereka. Inilah yang disebut prakonsepsi atau konsep awal siswa (Suparno, 2005:30).

Pengetahuan awal sering kali tidak cocok dengan pengetahuan yang diterima oleh para ilmuwan, dan menjadi suatu miskonsepsi. Pengetahuan yang tidak tepat itu, kadang-kadang mudah diluruskan selama proses belajar formal di sekolah, tetapi ada kalanya sangat sulit. Usaha memperbaiki miskonsepsi menjadi sangat sulit bila konsep yang tidak benar itu berguna dalam kehidupan sehari-hari para siswa.

Dalam pengertian konstruktivisme, tampak jelas bahwa miskonsepsi itu merupakan hal yang wajar dalam proses pembentukan pengetahuan oleh siswa yang sedang belajar. Dengan adanya miskonsepsi itu, sebenarnya menunjukkan bahwa

Secara eksterm, seorang guru tidak dapat memaksakan “pengetahuan” yang telah mereka miliki kepada siswa. Guru hanya dapat membantu siswa “mengetahui”, bila siswa sendiri ikut aktif dalam proses itu secara benar (Suparno, 2005:32).

d. Mendeteksi Miskonsepsi

Suparno (2005:121) dalam bukunya yang berjudul “Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika” menyebutkan beberapa alat deteksi yang sering digunakan para peneliti untuk mengatasi miskonsepsi.

1). Peta Konsep (Concept Maps)

Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa dalam bidang fisika. Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok, yang disusun hirarkis, dengan jelas dapat mengungkap pemahaman siswa yang digambarkan dalam peta konsep. Miskonsepsi siswa dapat diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah. Biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep. Untuk lebih melihat mengapa siswa beranggapan seperti itu, ada baiknya peta konsep itu digabungkan dengan wawancara klinis (Novak & Gown, dalam Suparno 2005).

Dalam wawancara siswa diminta mengungkapkan lebih mendalam gagasan-gagasannya, dan mengapa siswa mempunyai gagasan tersebut. Dalam

peta konsep adalah alat yang baik untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Menurut Fieldsine, miskonsepsi siswa dapat diidentifikasi dengan mudah oleh guru dari peta konsep dibantu dengan wawancara.

2). Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Treagust (dalam Suparno, 2005) penelitiannya menggunakan pilihan ganda dengan memberi alasan (reasoning). Dalam bagian alasan, siswa harus menulis mengapa ia memilih jawaban itu. Beberapa peneliti lain menggunakan pilihan ganda dengan wawancara. Berdasarkan hasil jawaban yang tidak benar dalam pilihan ganda itu, mereka mewawancarai siswa. Tujuan dari wawancara adalah untuk meneliti bagaimana siswa berpikir, dan mengapa siswa berpikir seperti itu. 3). Tes Esai tertulis

Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep fisika yang memang hendak diajarkan atau yang sudah diajarkan. Dari tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa dan dalam bidang apa. Setelah ditemukan miskonsepsinya, kemudian beberapa siswa diwawancarai untuk lebih mendalami, mengapa mereka mempunyai gagasan seperti itu. Dari jawaban itulah akan terlihat dari mana miskonsepsi itu dibawa.

4). Wawancara diagnosis

Wawancara berdasarkan beberapa konsep fisika tertentu dapat dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru memilih beberapa konsep fisika yang diperkirakan sulit dimengerti siswa, atau beberapa konsep fisika yang pokok dari

bahan yang hendak diajarkan. Kemudian siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep diatas. Dari sini dapat dimengerti miskonsepsi yang ada dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka memperoleh miskonsepsi tersebut.

Wawancara dapat berbentuk bebas dan terstruktur. Dalam wawancara bebas, guru atau peneliti memang bebas bertanya kepada siswa dan siswa dapat dengan bebas menjawab. Urutan atau apa yang hendak ditanyakan dalam wawancara itu tidak perlu dipersiapkan. Sedangkan dalam wawancara terstruktur, pertanyaan sudah dipersiapkan dan urutannya pun secara garis besar sudah disusun. Lebih baik wawancara itu direkam agar tidak kehilangan data yang diperlukan.

5). Diskusi dalam kelas

Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari diskusi di kelas itu dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak. Dari diskusi itu, guru dapat mengerti miskonsepsi yang dimiliki siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar, dan juga sebagai penjajakan awal. Yang perlu diperhatikan oleh guru adalah membantu agar setiap siswa berani bicara untuk mengungkapkan pikiran mereka tentang persoalan yang dibahas.

6). Praktikum dengan tanya jawab

B.7. Media Pembelajaran

1). Arti media pembelajaran

Menurut Latuheru (1988) sesuatu dapat dikatakan sebagai media pembelajaran apabila media tersebut digunakan untuk menyampaikan pesan dengan tujuan-tujuan pembelajaran.

Natakusumah (dalam Latuheru 1988) media adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari seorang guru kepada siswa. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari guru kepada siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Perlu ditambahkan bahwa pesan atau informasi yang disampaikan melalui media dalam bentuk isi atau materi pengajaran harus dapat diterima oleh siswa dengan menggunakan salah satu atau gabungan beberapa alat indera mereka.

Gagne dan Briggs (dalam Latuheru, 1988) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah alat secara fisik untuk menyampaikan isi pengajaran. Media yang dimaksudkan disini, misalnya: buku, tape-recorder, kaset, film, video, slide, televisi, dan lain-lain.

Menurut Hamidjojo (dalam Latuheru, 1988) media pembelajaran adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran, yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu kegiatan belajar-mengajar.

Dilihat dari segi penggunaannya, ada dua kecenderungan umum untuk penggunaan media pembelajaran, yaitu:

a) Media pembelajaran yang dapat dipakai secara massa, misalnya: radio dan

televisi.

b) Media pembelajaran yang dapat dipakai dalam kelompok kecil maupun besar,

misalnya: film, slide, OHP, video, dan tape-recorder.

Berpedoman pada semua pendapat yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah alat atau bahan yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepatguna dan berdaya guna (Latuheru, 1988:14).

2). Manfaat media pembelajaran.

Latuheru (1988:23) menyimpulkan pendapat beberapa para ahli tentang manfaat dari penggunaan media pembelajaran dalam suatu proses belajar mengajar, sebagai berikut:

a) Media pembelajaran menarik dan memperbesar perhatian siswa terhadap

materi pelajaran yang disajikan.

b) Media pembelajaran dapat menghilangkan adanya verbalisme.

c) Media pembelajaran mengatasi perbedaan pengalaman belajar berdasarkan

d) Media pembelajaran membantu memberikan pengalaman belajar yang sulit diperoleh dengan cara yang lain.

e) Media pembelajaran dapat mengatasi batas-batas ruang dan waktu. Misalnya,

obyek yang berbahaya seperti binatang buas yang tidak dapat dibawa ke dalam kelas, maka dapat digunakan model, foto, slide, atau gambar dari

Dokumen terkait