• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan dan Penyebaran Gambut

Genesis gambut di Indonesia dimulai pada periode holosen yang dimulai dengan terbentuknya rawa-rawa sebagai akibat dari peristiwa transgresi dan regresi karena mencairnya es di kutub yang terjadi sekitar 4200 sampai 6800 tahun yang lalu (Sabiham, 1988). Pada periode pleistosen, yaitu periode sebelum holosen, permukaan laut berada kira-kira 60 m di bawah permukaan laut sekarang. Pendapat lain mengatakan gambut ombrogen di Indonesia mulai terbentuk pada 4000 sampai 5000 tahun yang lalu. Pembentukan gambut di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan terjadi pada penghujung masa glasial dimana pencairan es menyebabkan peningkatan muka air laut dan Sunda Shelf tergenang oleh air membentuk rawa-rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam dan mati, kemudian mengalami proses dekomposisi secara lambat, sehingga bahan organik terakumulasi (Barchia, 2006).

Gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan berlapis-lapis seiring dengan kejadian lingkungan alamnya. Profil gambut juga tampak diselingi oleh lapisan-lapisan mineral yang menunjukkan terjadinya gejala alam banjir dan sedimentasi dari waktu ke waktu pada lingkungan rawa, khususnya pada rawa pedalaman. Pembentukan gambut terjadi pada periode Holosine antara 5.000-10.000 tahun silam, saat kenaikan muka air laut terhenti atau ketika terjadi mulai penurunan muka air laut sehingga terbentuk cekungan yang secara bertahap mengalami pengisian oleh tanaman-tanaman perintis berupa tanaman air dan sejenisnya. Lambat laun dalam ribuan tahun kemudian terbentuk lapisan gambut

yang semakin tebal sehingga membentuk kubah gambut (peat dome). Gambut yang semakin tebal kemudian membentuk gambut ombrogen, yaitu gambut yang tidak subur apabila dimanfaatkan dan cepat mengalami penurunan produktivitas (Noor, 2010).

Pada proses genesis gambut, dua tipe utama gambut yang dapat diidentifikasi, yaitu (1) gambut topogen yang terbentuk pada wilayah depresi di belakang tanggul dimana gambut ini bersifat eutrofik dan biasanya kaya akan unsur hara dan (2) gambut ombrogen yang terbentuk pada wilayah penggenangan dengan sumber air yang hanya berasal dari air hujan, gambut ini miskin unsur hara (Barchia, 2006).

Menurut klasifikasi FAO - UNESCO, tanah gambut termasuk ordo Histosol dengan kandungan bahan organik > 30% dalam lapisan setebal 40 cm dari bagian 80 cm teratas profil tanah. Berdasarkan tingkat dekomposisinya histosol dibagi menjadi 3 subordo, yaitu fibrik < hemik < saprik. Tanah-tanah gambut di Sumatra termasuk subordo Terric Tropohemist, Terric Sulfihemist, Typic Tropohemist, Terric Troposaprist dan Typic Tropofibrist (Hardjowigeno, 1993).

Luas total lahan gambut di Sumatera pada tahun 1990-an adalah sekitar 7,2 juta ha, atau sekitar 14,90 % dari luas pulau Sumatera (luasnya: 48,24 juta ha). Luasan tersebut sudah termasuk tanah mineral yang mengandung gambut sangat dangkal (ketebalan gambut < 50 cm) atau tanah mineral bergambut seluas 327.932 ha sehingga yang tergolong tanah gambut (ketebalan > 50 cm) luasannya untuk seluruh Sumatera adalah 6.865.370 ha. Penyebaran lahan gambut di Provinsi Sumatera Utara sebagai Provinsi dengan sebaran gambut terluas ke – empat, tidak

begitu besar yaitu hanya sekitar 325.296 ha. Lahan gambut terluas terdapat di

pantai Timur, yakni di wilayah kabupaten Labuhan Batu dan Asahan (Wahyunto, dkk. 2003).

Salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki lahan gambut adalah Kabupaten Humbang Hasundutan yang diperkirakan seluas 2.358 ha. Kecamatan Dolok Sanggul, Kecamatan Pollung dan Kecamatan Lintong Ni Huta adalah kecamatan – kecamatan yang memilki kawasan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan. Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen atau tipe gambut dataran tinggi (Istomo, 2006).

Sifat Tanah Gambut

Secara kimiawi seperti dikemukakan oleh Sagiman (2007) antara lain kemasaman tanah yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam-asam organik dan dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat. Tanah gambut memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90 - 200 me/100 gr) namun kejenuhan basa (KB) sangat rendah sehingga ketersediaan hara terutama Kalium (K), Kalsium (Ca), dan Mg menjadi sangat rendah, KB sehingga harus ditingkatkan mencapai 25-30% agar basa-basa tertukar dapat dimanfaatkan tanaman. Rasio C-organik dengan Nitrogen (N) total gambut umumnya sangat tinggi > 30 yang berarti hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman sekalipun hasil analisis N total menunjukkan angka yang tinggi. Unsur Posfor (P) dalam tanah gambut terdapat dalam bentuk P organik dan kurang tersedia bagi tanaman. Suatu lapisan tanah gambut yang setara

500.000 pon hanya mengandung 1.000 pon P2O5 atau hanya separuhnya yang tersedia (Buckman and Brady, 1982).

Menurut Noor (2001) tingkat kemasaman tanah gambut mempunyai kisaran sangat lebar. Umumnya, tanah gambut tropik terutama gambut ombrogen (oligotrofik) mempunyai kisaran pH 3.0-4.5 kecuali yang mendapatkan pengaruh air laut atau payau. Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4.0-5.1, sedangkan gambut dalam pH nya antara 3.1-3.9 dimana sumber keasaman yang berperan pada tanah gambut adalah pirit (senyawa sulfur) dan asam-asam organik. Pada pH 3.0-4.5 yang berperan dalam kemasaman adalah Aldd, pada pH 4.5-5.5 dan mendekati pH 5.5 peran ion hidroksida Al dan Hdd makin bertambah, dan pada pH > 5.5 sumber kemasaman terutama dari Hdd dan H+ yang terdisiosasi dari ikatan OH-, H+ pada oksida berair Fe dan Al, gugus AlOH yang berada di tepi

mineral lempung silikat serta gugus fenolik dan karboksil dari bahan organik tanah.

Secara umum, kemasaman tanah gambut sangat dipengaruhi oleh keberadaan asam-asam organik. Ion H+ dalam tanah gambut berada dalam bentuk gugus fungsional asam-asam organik terutama dalam bentuk gugus karboksilat (-COOH) dan gugus hidroksil dari fenolat (OH). Gugus tersebut merupakan asam lemah yang dapat terdissosiasi menghasilkan ion H+, dan mampu mempertahankan reaksi tanah terhadap perubahan kemasaman tanah dan mempengaruhi KTK tanah gambut dimana dapat terjadi penurunan KTK tanah gambut jika terbentuk senyawa kompleks organo-kation sehingga kation terikat kuat (sukar dipertukarkan) (Riwandi, 2001).

Gambut tipis yang terbentuk di atas endapan liat atau lempung marin umumnya lebih subur dari gambut dalam dan gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Apabila lapisan tanah di bawah gambut merupakan tanah liat, mungkin cukup subur. Tetapi bila di bawah gambut ada pasir, tanah tersebut kurang subur (Noor, 2010).

Secara fisik, karakteristik gambut yang paling mencolok adalah sifat kering tak balik (irreversible drying). Jika terlalu kering, sifat gambut berubah menjadi "mati," seperti pasir semu, arang atau beras yang tidak dapat menyerap air. Gambut yang mati mudah terbawa oleh air hujan, sehingga ketebalannya makin lama makin berkurang. Gambut kering tampak mengkerut dan menyebabkan permukaan tanah menjadi lebih rendah. Akhirnya, lapisan tanah di bawah gambut dapat tersingkap dan permukaan lahan yang terlalu rendah akan menghambat drainasenya dan lahan menjadi tergenang terlalu dalam oleh air pasang (Widjaya, dkk., 1997).

Warna tanah pada umumnya coklat tua atau kelam. Meskipun bahan asalnya mungkin berwarna hitam kelam, coklat atau kemerah-merahan, setelah mengalami dekomposisi, muncul senyawa-senyawa asam humik berwarna gelap. Berat isi histosol bila dibandingkan tanah mineral adalah rendah, berkisar antara 0,08 – 1,67 g/cm3 pada kedalaman 10 – 80 cm. Untuk lapisan atas berkisar antara 0,08 – 0,23 g/cm3. Penciri utama yang penting adalah kapasitas menahan air yang tinggi. Hal ini bukan berarti bahwa histosol mempunyai kemampuan menyediakan air lebih banyak dari tanah mineral, namun jumalah air yang tidak tesedia lebih banyak lagi. Histosol dapat menahan air 2 – 4 kali berat isinya. Jika dilihan dari

struktur tanah bahan organik yang telah melapuk, sebagian besar bersifat koloidal dan mempunyai kemampuan absorbsi yang tinggi, kohesi dan plastisitasnya rendah. Dengan demikian histosol akan mudah dilalui air (porous), terbuka dan mudah diolah (Munir, 1996).

Secara biologis, lambatnya perombakan pada tanah gambut karena aktivitas mikroorganisme yang rendah dipengaruhi oleh potensi redoks, nisbah C-organik dengan N-total, pH, suhu dan kadar lengas tanah. Potensi redoks gambut pada (pH = 4) sekitar 52 mV padahal untuk mereduksi Fe3+ perlu kapasitas reduksi yang lebih kuat. Nisbah C-organik dengan N-total gambut dapat mencapai 25-35, menunjukkan perombakan belum sempurna sehingga terjadi immobilisasi N. Selain itu kondisi asam (pH rendah) menghambat aktivitas

mikroorganisme perombak (Noor, 2001). Selain itu sifat dari tingginya kadar C-organik pada gambut dengan muatan-muatan variabel tanah yang rendah

menyebabkan terbentuknya larutan penyangga (buffer) (Hakim, dkk, 1986).

Karakteristik tanah gambut yang tidak merata di seluruh Indonesia juga menjadi permasalahan pemanfaatan tanah ini. Setiap daerah memiliki tipe hutan dan kematangan gambut tersendiri. Selain itu, menurut Tan (1998) asam-asam organik yang bermuatan negatif hasil pematangan tanah gambut mampu mengkompleks ion-ion logam khususnya logam transisi seperti Al, Fe, Cu, Zn dan Mn yang mempengaruhi laju pelepasan K dan fosfat anorganik jadi bentuk mudah larut.

Air Laut

Penelitian yang dilakukan di rumah kaca dengan perlakuan terdiri dari bahan mineral (zeolit dan bahan vulkan), dan air laut. Dosis zeolit dan bahan mineral adalah 200 g/pot dan 1000 g/pot. Volume air laut adalah 0 ml (2000 ml air tawar)/pot, 500 ml (+ 1500 ml air tawar)/pot, 1000 ml air laut (+1000 ml air tawar)/pot dan 1500 ml (+500 ml air tawar)/pot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mineral zeolit dan bahan vulkan berpengaruh nyata meningkatkan pH tanah, K-tukar, Ca-tukar, Mg-tukar, jumlah anakan perumpun dan jumlah anakan produktif per rumpun. Pemberian air laut berpengaruh nyata meningkatkan pH, DHL, jumlah anakan perumpun dan jumlah anakan produktif perumpun, namun berpengaruh tidak nyata terhadap KTK dan KB (Firlana, 2013).

Pada air laut yang sebagian besar terdiri dari air (± 96,5 %) dan sisanya rata-rata 3,5 % (35 o/oo) merupakan komponen anorganik terlarut. Dari komponen anorganik tersebut, pada tahun 1819 telah ditemukan unsur-unsur seperti Cl-, Na+, SO42-, Mg2+, Ca2+, K+. Kemudian pada tahun 1869 ditemukan elemen lainnya dalam air laut yakni Boron (Bo), Iodine (I), Strontium (Sr), Perak/Argentum (Ag), Lithium (Li), Arsenicum (As), dan Flourine (F). Unsur yang ditemukan pada tahun 1819 ternyata merupakan unsur utama yang terkandung dalam air laut yang konsentrasinya > 100 ppm dimana ± 95 - 99 % nya (dari 3,5 %) dalam bentuk garam NaCl. Inilah yang menyebabkan air laut, terasa asin. Selebihnya yang 1 % tersusun dari garam-garam lainnya. Unsur lain dengan konsentrasi kecil (1 – 100 ppm), misalnya Br, C, Sr, Bo, Si dan F. Unsur dengan konsentrasi sangat kecil (trace element) yakni < 1 ppm, misalnya N, Li, Rb, P, I, Fe, Zn, Mo, Al, Ar, Au,

Ba, Be, Ca, Cd, Ce, Co, Cr, Cu, He, Hg, Kr, La, Mn, Mo, N, Ne, Ni, O, P, Pb, Ra, S, Sb, Se, Sn, Th, Ti, U, V, Xe, Zn, dan Zr (Wibisono, 2005).

Komposisi unsur dalam air laut menrut Brown, et al, 1989 (dalam Yufdy

dan Jumberi, 2008) tertera pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Kandungan Hara dan Kadar Konsentrasi pada Air Laut

Ion Per-seribu berat bagian (ppm)

Klorida (Cl-) 18.98 Natrium (Na+) 10.556 Sulfat (SO42-) 2.649 Magnesium (Mg2+) 1.272 Kalsium (Ca2+) 0.400 Potasium (K+) 0.380 Bikarbonat (HCO3-) 0.140 Bromida (Br-) 0.065 Borak (H2BO3-) 0.026 Strontium (Sr2+) 0.013 Florida (F-) 0.001

Hasil hidrolisis garam karbonat mampu menghasilkan ion hidroksida dimana ion hidroksida inilah yang mampu menetralisir ion H+ sehingga pH tanah gambut meningkat dan mempengaruhi status hara media (P, K, Mg dan Ca), KTK dan KB di samping itu nisbah C-organik dengan N-total akan menurun sehingga N akan tersedia bagi tanaman (Suryantini, 2001).

Mengingat tingginya kandungan kation, air laut dapat digunakan sebagai salah satu sumber hara bagi tanaman termasuk tanaman yang sensitif terhadap kadar garam yang tinggi (glycophyte plants). Hal ini terlihat pada contoh kasus pemanfaatan tanah akibat pengaruh aplikasi air laut yakni terjadi peningkatan

serapan Na pada tanaman nenas yang ternyata juga meningkatkan serapan K, Ca dan Mg baik pada daun tua, daun muda, akar dan batang sehingga produksi

biomasa buah nenas yang tinggi diperoleh pada saat 30% kebutuhan K digantikan oleh Na ditambah dengan unsur hara lainnya yang terkandung pada air laut setelah diencerkan (Pyt, et al 1987 dalam Yufdy dan Jumberi, 2008).

Garam NaCl yang dibawa air laut akan terjerap oleh tanah, namun jerapan tersebut sangat lemah dibandingkan jerapan tanah terhadap Ca, Mg dan K. Dengan demikian Na lebih mudah tercuci. Air laut dan lumpur tsunami, selain mengandung Na, Ca, K, Mg, serta berbagai ion dan senyawa kimia lainnya kemudian terjerap dalam tanah dengan menggantikan kation yang terjerap sebelumnya sehingga mempengaruhi kesuburan tanah (Agus dan Subiksa, 2009).

Pengaruh air pasang surut terhadap pembentukan sifat eutrofik gambut pantai yaitu air pasang mengandung bahan-bahan halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari wilayah hulu daerah aliran sungai terlimpas pada saat banjir atau berasal dari lautan karena naiknya air laut pada saat terjadinya intrusi air laut. Intrusi air laut yang membawa garam-garam dengan kadar yang berlebihan sangat membahayakan pertumbuhan tanaman. Namun, masuknya garam-garam tersebut ke dalam larutan tanah, dan kation-kation basa teradsorpsi pada permukaan koloid organik gambut sehingga kation-kation basa tersebut akan tersedia untuk partum buhan tanaman (Barchia, 2006).

Bahan Vulkan

Abu dan pasir vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan. Abu maupun pasir vulkanik terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus, yang berukuran besar biasanya jatuh disekitar kawah sampai radius 5 – 7 km dari kawah, sedangkan yang berukuran halus dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer dari kawah disebabkan oleh adanya hembusan angin. Pada pasir vulkanik terdapat kandungan allophan, yaitu aluminosilikat amorf yang dapat membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Dari hasil penelitian Sudaryo

dan Sutjipto pada tahun 2009 diketahui bahwa kandungan logam tanah vulkanik di daerah Cangkringan adalah logam Al berkisar antara 1,8 – 5,9% ; Mg 1 – 2,4% ; Si 2,6 – 28% ; dan Fe 1,4 – 9,3% (Sudaryo dan Sutjipto, 2009).

Senyawa yang mudah ditemukan dalam batuan vulkanik adalah golongan feldspar (El Jamal dan Awala, 2011). Feldspar umumnya memiliki struktur yang tersusun atas cincin yang terbentuk dari empat buah struktur tetrahedral. Kalium dan natrium feldspar terdiri atas 3 buah silikon tetrahedral dan sebuah aluminium tetrahedral, sedangkan pada kalsium feldspar perbandingan antara tetrahedral silikon dan aluminium adalah 1:1. Natrium feldspar dinamakan albite sedangkan kalium feldspar dinamakan ortoklas. Permukaan feldspar terdiri atas muatan positif yang berupa ion Na+ atau K+ dan muatan negatif yang berupa gugus silanol atau siloksan (Prasanphan dan Nuntiya, 2006).

Penyuburan adalah penyeimbangan organik dan mineral, adalah abu vulkan. Abu vulkan yang mengandung hara (Fe, Al, Ca, Mg, Mn, S, P, K, Na, Cu, Zn, Ti, Si) dapat menyerap asam-asam organik sehingga bahan tersebut sangat prospektif untuk campuran tanah gambut. Tanpa penambahan abu vulkan, pemberian pupuk di lahan gambut ada risiko pemborosan sebab menambah pupuk

di lahan gambut yang asam efisiensinya rendah atau tidak konstan. (Setiadi, 1997).

Kabupaten Magelang dan Boyolali merupakan daerah yang lebih banyak terkena awan panas sedangkan daerah Sleman lebih karena lahar panas. Dari keduanya terlihat bahwa pH tanah di daerah yang terkena awan panas bervariasi antara 4,8-5,9, sedangkan daerah yang terkena lahar panas berkisar antara 6,1-6,8. Kandungan P dalam abu volkan berkisar antara rendah sampai tinggi (8-232 ppm

P2O5). KTK dan Mg abu vulkan rendah, namun kadar Ca cukup tinggi. Kadar S dalam abu volkan bervariasi dari 2 – 160 ppm, sedangkan kadar logam berat Fe, Mn, Pb dan Cd cukup rendah. Hal ini dapat disampaikan bahwa abu volkanik Gunung Merapi cukup aman untuk pengembangan pertanian (Suriadikarta, 2010).

Terak Baja

Terak adalah lelehan campuran oksida logam dan silikat, kadang-kadang terdapat juga fosfat dan borat, sulfit, karbida dan halida. Terak didapatkan dari peleburan mineral, yang mengandung unsur-unsur yang tidak dapat direduksi oleh proses reduksi dalam peleburan mineral. Terak sistem SiO2-CaO-Al2O3 dapat dikatakan sebagai limbah padat tanur pengolahan biji besi. Komposisi oksida yang terkandung dalam terak yaitu silika berkisar antara 37,93 – 45,97%, kalsia 24,80 – 38,95%, magnesia 1,64 – 2,91%, alumina 4,59 – 5,51% dan oksida sisa 9,69 – 26,67%. Kandungn silika dan kalsia bervariasi dan terdapat dalam jumlah yang relatif besar karena dalam prosesnya, kedua komponen ini berasal dari bahan dasar yang dipakai sebagai umpan dalam tanur. CaO berasal dari kandungan utama batu kapur atau dolomit (CaCO3) dan SiO2 berasal dari bijih besi (Syarif, 2010).

Beberapa manfaat terak baja dalam bidang pertanian telah banyak ditunjukkan oleh penelitian-penelitian terdahulu, antara lain terak baja dapat berfungsi untuk meningkatkan pH tanah sama seperti kapur, penyedia unsur Ca, K, dan P, serta mampu menurunkan efek toksik dari Al pada tanah masam (Ali dan Sedaghat, 2007).

Penelitian yang dilakukan dalam dua tahap yaitu percobaan inkubasi dengan percobaan di lapangan. Dosis terak baja yang diberikan dalam percobaan inkubasi dan percobaan lapangan adalah 0, 2.5, 5.0, 7.5 dan 10 ton/ha atau setara dengan 0, 3.68, 7.03, 11.03 dan 14.70 g/kg untuk percobaan inkubasi. Hasil percobaan inkubasi menjukkan bahwa pemberian terak baja berpengaruh nyata terhadap sifat kimia tanah. Kandungan basa-basa seperti K, Ca, Mg dapat ditukar , Si, Mn, Fe, Cu tersedia dan pH tanah meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis terak baja. Hasil percobaan lapangan menunjukkan bahwa pemberian terak baja sebagai sumber silikon nyata meningkatkan tinggi tanaman, bobot kering gabah total, bobot kering gabah bernas dan menurunkan presentase gabah hampa. Namun tidak nyata pengaruhnya terhadap jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif. Tinggi tanaman, bobot kering gabah total, dan bobot kering gabah bernas meningkat berturut-turut 14-22 %, 61-87 %, dan 65-96 %, dengan pemberian terak baja dan presentase gabah hampa menurun 2.63-4.42 % (Hidayatulloh, 2006).

Kristen dan Erstad (1996), menyatakan bahwa pemberian terak baja dapat meningkatkan P dalam tanah, hal ini disebabkan oleh kandungan SiO2 dalam terak baja. Unsur Si dapat mengurangi fiksasi P oleh Al dan Fe sehingga ketersedian P dalam tanah meningkat. SiO2 pada terak baja terhidrolisis membentuk anion SiO44- yang mampu mendorong anion P sehingga P dibebaskan kedalam larutan tanah. Menurut Suwarno (2010) pada penelitian pot rumah kaca pemberian terak baja sebagai pupuk Si untuk tanaman padi varietas IR 64 pada tanah gambut. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa pemberian terak baja pada tanah gambut

meningkatkan ketersediaan Si, Ca, serta meningkatkan pH tanah, tetapi menurunkan ketersediaan Fe, Cu, dan Zn.

Dolomit

Dolomit adalah mineral yang berasal dari alam yang mengandung unsur hara utama CaCO dengan tambahan MgCO yang berbentuk batuan berwarna putih keabu-abuan dapat dihaluskan berbentuk tepung dengan rumus kimia CaMg(CO3)2. Fungsi dolomit adalah untuk menetralisir tanah yang sudah masam dan menahan keasaman yang ditimbulkan oleh pupuk. Dengan pemberian dolomit, pH tanah akan meningkat sehingga unsur-unsur N, P, K akan menjadi semakin baik (Trubus, 2014).

Batu kapur merupakan hasil pengendapan dari air senyawa karbonat yang mengandung kation basa. Kation-kation basa yang banyak merangsang pembentukan dan pengendapan batu kapur ini adalah kalsium dan magnesium. Paduan khusus senyawa kalsium karbonat (CaCO3) (CaCOl) dan magnesium karbonat (MgCO3) disebut dolomit (CaMg(CO3)2) jika kandungan magnesiumnya > 21%, dan jika kandungan magnesiumnya > 5% sampai < 21% disebut batu kapur dolomitik. Batu kapur ini merupakan sumber penting bahan untuk pengapuran tanah asam dan kahat anasir Ca dan Mg (Mas’ud, 1993).

Kapur yang mengandung MgCO3 kira-kira sama dengan kandungan CaCO3 disebut dolomit. Tekstur dan kekerasan kapur bervariasi, tetapi setelah digiling sempurna dapat bekerja (bereaksi) baik dengan tanah bila tidak terlalu banyak kandungan unsur lain. Dolomit sudah umum diperdagangkan sebagai pupuk, karena adanya unsur Mg disamping Ca. Fungsinya sebagai penambah unsur seperti halnya pada pupuk gipsum. Selayaknya koreksi terhadap keasaman

pada tanah kurus dimulai dengan pemberian kalsit, lalu diikuti dengan dolomit untuk menambah daya guna tanah (Kuswandi, 1993).

Dolomit merupakan jenis pupuk tunggal dengan rumus kimia CaCO3.MgCO3. Pupuk ini berasal dari hasil penambangan bahan galian batu dolomit. Unsur utama yang terkandung di dalam pupuk ini adalah Mg dan Ca. Kandungan unsur lain dalam jumlah yang sedikit adalah P, Fe, Mn, dan Si. Kandungan MgO-nya berkisar 18-22% dan CaO 40%. Kelarutannya dalam air cukup baik. Pupuk ini bersifat basa sehingga kalau rutin digunakan dapat meningkatkan pH tanah (Lingga dan Marson, 2001).

Menurut Kurniawan dan Widodo (2009) pemberian amelioran dolomit menunjukkan hasil bobot 1000 bulir padi yang tinggi. Widaryanto (1997) dan Makarim (2007 dalam Kuniawan dan Widodo 2009) menyatakan bahwa pemberian kapur dapat menetralkan pengaruh buruk dari Al yang larut berlebihan dan sekaligus menambah unsur kalsium ke dalam tanah. Al yang tinggi akan menghambat pertumbuhan akar, sehingga akan mempengaruhi penyerapan unsur hara. Pemberian dolomit langsung akan menambah Ca dan Mg di dalam tanah. Kalsium sangat penting dalam pembentukan lamella tengah, dinding sel, pengambilan nitrat dan meningkatkan aktivitas enzim.

Abu Serbuk Gergaji

Kayu hanya mengandung komponen-komponen anorganik dengan jumlah yang agak rendah, diukur sebagai abu yang jarang melebihi 1% dari berat kayu kering. Namun kandungan abu dalam tugi, daun, dan kulit dapat jauh lebih tinggi. Abu ini asalnya terutama dari berbagai garam yang diendapkan dalam dinding-dinding sel dan lumen. Endapan yang khas adalah berbagai garam-garam logam,

seperti karbonat, silikat, oksalat, dan fosfat. Komponen logam yang paling banyak jumlahnya adalah kalsium diikuti kalium dan magnesium (Sjostrom, 1995).

Pemanfaatan abu serbuk gergaji pada lahan gambut dapat memberikan efek positif, dan telah dibuktikan oleh Hertatik dkk, (2000) bahwa abu serbuk gergaji memberikan pengaruh baik dimana dapat meningkatkan pH tanah, bobot basah dan kering kedelai serta serapan Fe, Mn, dan Zn. Hasil analisis yang didapat oleh Hertatik dkk, (2005) menunjukkan bahwa aplikasi abu serbuk gergaji 30 ton/ha dapat meningkatkan pH dari 4,13 menjadi 6,08 (14 hari setelah perlakuan

Dokumen terkait