• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balita

Usia balita lebih dikenal sebagai the golden age karena masa ini sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa disebut anak bawah lima tahun (Soekirman 2000). Pada usia balita merupakan periode kritis dalam kehidupan manusia, karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan ketrampilan motorik yang sangat nyata. Menurut Hidayat (2004), peristiwa yang dialami dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah percepatan dan perlambatan. Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang besarnya, jumlah, ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional dan intelektual.

Menurut BKKBN (1995) menyatakan bahwa pada masa balita hampir seluruh waktu anak berada di tangan orang tua dan sangat tergantung padanya. Orang tua selain berperan penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak karena orangtualah yang paling mengetahui secara seksama perubahan yang terjadi pada anaknya. Balita merupakan golongan rawan terkena masalah gizi. Makanan bergizi sangat penting diberikan pada bayi sejak masih dalam kandungan. Masa balita merupakan momentum paling penting dalam melahirkan generasi pintar dan sehat. Jika usia ini tidak dikelola dengan baik, apalagi kondisi gizinya buruk kemudian hari akan sulit terjadi perbaikan kualitas bangsa.

Awal masa kanak-kanak adalah periode pertumbuhan yang paling banyak dan paling cepat selama kehidupan manusia. Usia anak dari masa konsepsi sampai usia delapan tahun merupakan usia yang sangat kritis untuk melengkapi pertumbuhan kognitif, emosional dan pertumbuhan fisik pada anak. Perkembangan otak pada anak sangat cepat pada tahap prenatal dan berlanjut setelah lahir. Meskipun formasi sel sudah terpenuhi sebelum lahir, kematangan sel dan hubungan jaringan saraf yang penting secara cepat berkembang setelah kelahiran atau pada awal masa kanak-kanak. Pada masa anak-anak lingkungan juga memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan dan pertumbuhan sistem saraf pusat. Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berdampak serius

pada perkembangan otak terutama pada jaringan saraf dan penyimpangan perilaku seperti kesulitan belajar dan retardasi mental (Unicef 2001).

Pada umur satu tahun, tinggi badan akan 1.5 kali tinggi badan waktu lahir, pada umur 4 tahun tinggi badan akan 2 kali tinggi badan waktu lahir. Sedangkan pada usia 6 tahun tinggi badan akan 2.5 kali tinggi badan waktu lahir, dan pada usia 13 tahun tinggi badan akan 3 kali tinggi badan waktu lahir, serta pada usia dewasa, tinggi badan akan 3.5 kali tinggi badan waktu lahir (Abunain 1990).

Status Gizi

Status gizi merupakan suatu ekspresi dan keseimbangan zat gizi dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lain-lain. Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dan lain- lain) (Jahari 2002). Menurut Suharjo (2003), status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi.

Status gizi seringkali digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat kecukupan konsumsi makan individu pada suatu saat. Dari gambaran status gizi balita dapat diprediksikan apakah balita tersebut telah mengkonsumsi makanan yang telah cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat memelihara proses dan fungsi tubuh termasuk diantaranya untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik (Soekirman 2000).

Terdapat beberapa penilaian status gizi, yaitu yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis dan biofisik, yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung. Pengukuran antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana dan praktis, karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang dilakukan terhadap berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkaran bagian- bagian tubuh serta tebal lemak bawah kulit (Supriasa et al. 2001).

Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pada pemakaian untuk menilai status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk

indeks yang dikaitkan dengan variabel lain yaitu variabel umur, berat badan (BB/U) dan tinggi badan (TB/U) ( Depkes 2008).

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Indeks tinggi/panjang badan menurut umur (TB/U) menggambarkan status gizi masa lalu, selain itu juga erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat (Jahari 2002). Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI 2005). Penilaian status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar WHO-NCHS 2005 untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal, pendek atau sangat pendek disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS 2005

Indikator Kategori status gizi Keterangan

Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Sangat pendek (severe stunted) z-score <-3 SD

Pendek (stunted) -3 SD z-score < -2SD

Normal -2 SD z-score < +2SD

Tinggi z-score > +2 SD

Kurang gizi menurut Suharjo (2003) disebabkan oleh masukan (intake) energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Keadaan ini lebih cepat terjadi bila anak mengalami diare atau infeksi penyakit lainnya. Keadaan kehidupan yang miskin mempunyai hubungan sangat erat dengan timbulnya kondisi kurang energi protein. Lebih lanjut menurut Gibson (1990), status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan fisiologis yang diakibatkan oleh keseimbangan intake gizi dan penggunaanya oleh organisme.

Penelitian Husaini et al. (2003) pada anak-anak yang berumur <18 bulan yang menderita kekurangan KEP diberikan intervensi gizi, pada 8 tahun kemudian (usia saat penelitian, yaitu 9 tahun) dilakukan cognitive ability test (uji kognitif) memiliki skor lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (yang tidak mendapat intervensi gizi). Jadi anak yang mendapat intervensi gizi lebih cerdas daripada yang tidak mendapatkan intervensi gizi.

Stunting

Stunting merupakan proses kumulatif yang bermula dari proses maternal atau janin kemudian berlanjut sampai usia tiga tahun stelah lahir. Menurut Graham-Mc Gregor et al. (2007) prevalensi anak yang mengalami stunting merupakan indikator kemiskinan dari negara yang memiliki pendapatan yang rendah khususnya negara berkembang, yang akan berdampak pada keterlambatan perkembangan. Waterlow & Schurch (1994) menyimpulkan penyebab stunting dari faktor : 1) zat gizi (kekurangan zat gizi energi, zat gizi makro, zat gizi mikro dan faktor racun / toxin); 2) infeksi ( kerusakan mukosa gastrointestinal, sistem imunitas dan 3). interaksi bayi dan ibu (kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan selama masa kehamilan dan penyaluran zat gizi saat lahir, serta interaksi perilaku/ behavioral interaction). Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah indikator penting dari kekurangan zat gizi maternal dan sebagai menentukan pertumbuhan anak selanjutnya (Frogillo et al. 1997). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8% yang terdiri dari 18.8% sangat pendek (severe stunted) dan 18.0% pendek (stunted). Hal tersebut sangat memperihatinkan karena WHO merekomendasikan bahwa prevalensi stunting pada semua negara sebaiknya dibawah 20% sampai akhir 2020 (ACC/SCN 1997).

Anak yang stunted mengalami pertumbuhan rangka yang lambat dan pendek. Kondisi ini merupakan hasil dari periode yang panjang dimana tidak terpenuhinya kebutuhan makanan, meningkatnya kesakitan dan biasanya ditemukan pada negara-negara yang kondisi ekonominya buruk. Prevalensi anak stunted dan kurus banyak terjadi pada tahun ke-2 dan ke-3 dalam kehidupan. Pengaruh perbedaan genetik dan suku menjadi pertimbangan ketika melakukan evaluasi tinggi badan terhadap umur (Gibson 1990).

Studi pada anak stunted berkaitan dengan rendahnya skor kognitif dibandingkan dengan anak normal (Mc Gregor 1990). Dampak terburuk dari kekurangan gizi yang dialami pada saat kehamilan maupun dua tahun pertama usia anak yang merupakan periode window of opportunity, akan mengakibatkan kerusakan pada tumbuh kembang otak yang bersifat permanen. Akibat kerusakan tersebut meliputi kerusakan pada pertumbuhan otak, kecerdasan, kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Mendez dan Adair (1999) membuktikan bahwa anak stunted memiliki skor kognitif yang lebih rendah daripada anak yang memiliki tinggi normal, mereka juga memiliki pencapaian nilai yang lebih rendah pada nilai matematika dan bahasa. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Hall et al. (2001) bahwa anak yang stunted memiliki skor nilai matematika dan bahasa yang lebih rendah daripada anak yang bertumbuh normal. Hasil studi Hizni et al. (2009) pada anak balita di Pesisir kota Cirebon, bahwa terdapat hubungan antara status gizi stunted pada anak balita dengan perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa merupakan salah satu aspek yang diteliti dalam perkembangan anak. Watanabe et al. (2005) menemukan pengaruh yang signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada peningkatan skor tes kognitif anak stunted. Lebih lanjut pada penelitian Meenakshi et al.(2007) di India tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, bahwa terdapat hubungan signifikan antara status stunted dengan perkembangan bahasa anak.

Perkembangan Anak

Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (Change) atau gerakan (movement yang dimulai dari periode konsepsi (dalam) kandungan) dan berlansung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle)). Perkembangan ini meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses simultan yaitu proses biologi, kognitif dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya (Santrock 2007).

Sedangkan menurut Monk et al. (2004) perkembangan menunjuk pada proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja diulang kembali (irreversible). Selanjutnya Hurlock (1999) menjelaskan bahwa perkembangan bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih teratur yang mengikuti pola tertentu dan dapat diramalkan. Misalnya pola-pola teratur dari perkembangan fisik, motorik, bicara/bahasa dan perkembangan kognitif.

Proses tumbuh kembang anak mempunyai ciri-ciri yang saling berkaitan yaitu 1). Perkembangan menimbulkan perubahan : setiap pertumbuhan diikuti dengan perkembangan. Misalnya pertumbuhan sel-sel otak dan serabut saraf diikuti dengan perkembangan intelegensi pada seorang anak; 2). Pertumbuhan dan perkembangan pada tahap awal menentukan perkembangan selanjutnya : terdapat tahap-tahap perkembangan yang harus dilalui anak; 3). Pertumbuhan

dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda : pertumbuhan fisik dan perkembangan fungsi organ mempunyai kecepatan yang berbeda pada masing- masing anak; 4). Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan : bila pertumbuhan berlangsung cepat, perkembanganpun meningkat. Anak sehat bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya serta bertambah kepandaiannya; 5). Perkembangan mempunyai pola yang tetap: perkembangan fungsi organ tubuh terjadi menurut dua hukum yang tetap. Perkembangan di daerah kepala terjadi lebih dahulu kemudian diikuti perkembangan kaudal/anggota tubuh (pola sefakaudal). Perkembangan didaerah proksimal (gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan kebagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (poin proksimodistal); 6) perkembangan memiliki tahap yang berurutan, tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu berdiri sebelum berjalan dan sebagainya (Depkes 2005).

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling berhubungan. Pertumbuhan akan diikuti perkembangan. Begitu juga sebaliknya, proses perkembangan akan menstimulasi pertumbuhan sel-sel tubuh. Bertambahnya ketrampilan anak baik mental maupun motorik akan mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya. Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004).

Perkembangan Bahasa Anak

Perkembangan bahasa merupakan tingkat pencapaian kemampuan anak dalam berbicara spontan, mengikuti perintah, dan berespon terhadap suara ( Soetijingsih 1995). Menurut Santrock (2007) bahasa adalah sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain. Kemampuan berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara seluruh fase perkembangan pada anak. Lebih lanjut menurut Soetjiningsih (1995) fungsi bahasa bersamaan dengan fungsi perkembangan pemecahan masalah visio-motor yang merupakan indikator yang paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan intelektual pada anak.

Terdapat empat tugas perkembangan bahasa pada anak yang satu sama lainnya saling berkaitan. Keempat tugas itu adalah : 1) pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain; 2) pemahaman

pembendaharaan kata, hal ini dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah; 3) penyusunan kata-kata menjadi kalimat, kemampuan ini pada umumnya berkembang sebelum anak usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture untuk melengkapi cara berpikirnya. Contohnya anak menyebut “Bola” sambil menunjuk bola itu dengan jarinya. Kalimat tunggal itu berati “tolong ambilkan bola untuk saya”, seiring dengan meningkatnya usia anak keleluasan pergaulannya, tipe kalimat yang diucapkannya pun semakin bertambah; 4) Ucapan, kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (Yusuf 2005). Menurut Santrock (2007) anak yang berasal dari keluarga yang tingkat sosio ekonomi yang tinggi, anak perempuan dan anak yang cerdas memiliki pengucapan bentuk kalimat yang lebih panjang dan kompleks dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas, anak wanita dan anak yang berada di lingkungan yang miskin.

Perkembangan bahasa anak dimulai saat masa bayi, pada masa ini bayi melakukan komunikasi yang bertujuan menarik perhatian pengasuh. Pada tahun- tahun pertama komunikasi pertama adalah menangis, kemudian mendekut (cooing) kira-kira usia 1-2 bulan, kemudian berceloteh dengan menggabungkan kombinasi konsonan-vokal seperti “ba, ba, ba, ba.” Bayi juga mulai menggunakan gerakkan seperti menunjuk (untuk menunjukkan sesuatu untuk pamer), kira-kira pada usia 8 hingga 12 bulan (Santrock 2007).

Kata-kata pertama anak meliputi nama-nama orang penting (misalnya pa- pa atau ma-ma), binatang yang lazim (“meong” atau kucing). Rata-rata bayi memahami 50 kata pada usia 13 bulan, tetapi setelah bayi usia 2 tahun bayi telah mengucapkan 200 kata, peningkatan jumlah kosakata yang cepat ini dinamakan ledakan kosakata (vocabulary spurt). Pada saat usia anak 18 hingga 24 bulan mereka lazim mengucapkan ucapan-ucapan dua kata. Untuk menyampaikan makna dengan hanya dua kata anak sangat tergantung pada gerak tubuh, nada, dan konteks. Ucapan dua kata misalnya Identifikasi : “lihat anjing”, lokasi : “buku sana” . Setelah tahapan dua-kata, perkembangan bahasa mereka berkembang cepat menuju kombinasi tiga-empat-lima kata dan penguasaan terhadap sistem aturan yang menata bahasa meningkat. Peralihan

kalimat sederhana menjadi kalimat kompleks diawali antara usia 2 hingga 3 tahun dan berlanjut hingga sekolah dasar (Santrock 2007).

Seorang anak berusia dua tahun mengerti “ya” dan “tidak”, seperti juga pertanyaan “di mana”, “siapa”, dan “apa”, dan secara umum menjawabnya dengan benar. Pada usia 3 tahun anak-anak mulai menjawab “mengapa” dengan benar. Frekuensi jawaban yang betul dari semua jenis pertanyaan “apa”, “mengapa” meningkat pada usia antara 3 dan 5 tahun (Mussen et al. 1984). Lebih lanjut menurut Papalia (1979), pada saat anak berumur 3 dan 4 tahun anak sangat familiar dengan binatang, bagian tubuh, dan orang-orang terdekat. Anak yang berumur 4-5 tahun anak-anak sudah dapat menggunakan empat sampai lima kata perkalimat, lebih dapat membedakan posisi benda-benda disekelilingnya yaitu “dibawah”, “diatas”, “didepan”, “dibelakang”, “disamping” serta sering menggunakan kata kerja daripada kata benda, pemahaman anak dan berbicara anak lebih kompleks, anak dapat berbicara dengan total 1500 sampai 2000 kata.

Pengertian kata-kata deiktik (kata-kata yang menunjukkan lokasi dari sisi pembicara) seperti “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu” menunjukkan bahwa anak kecil mampu mengambil titik pandang orang lain. Anak berusia 2 tahun jelas mengerti perspektif pembicara jika diinterpetasikan kata-kata “di sini” atau “di sana”. Semua anak telah siap membedakan antara “milik saya” dan “milik kamu”, tetapi anak usia 2 tahun mengalami kesulitan jika dibutuhkan perubahan perspektif, seperti untuk menerjemahkan “di bagian kiri meja” dari pandangan orang lain yang tidak berada pada sisi yang sama dengan dirinya. Anak usia 3 tahun telah mahir mengambil perspektif si pengamat yaitu menginterpretasikan “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu”, “di depan”, dan “di belakang” dengan benar (Mussen et al. 1984)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa menurut Hurlock (1995) dalam Yusuf (2005) terkait dalam proses belajar berbicara seorang anak diantaranya 1). faktor kesehatan, anak yang sehat lebih cepat berbicara dibanding anak tidak sehat, hal ini karena motivasi yang lebih kuat untuk menjadi anggota kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota kelompok tersebut; 2). kecerdasan, anak dengan kecerdasan yang tinggi, dalam berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih baik dibandingkan anak yang tingkat kecerdasan yang rendah; 3). Keadaan sosial ekonomi, anak dari keluarga ekonomi mampu lebih mudah belajar berbicara,

pengungkapan perasaan dirinya lebih baik, dan lebih banyak bicara dibanding anak dari keluarga kurang mampu. Hal ini dikarenakan anak dari keluarga berada lebih banyak mendapat dorongan dan bimbingan untuk berbicara dari anggota keluarga yang lain. Keluarga dengan ekonomi yang rendah cenderung lebih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari sehingga perkembangan bahasa anak kurang diperhatikan; 4).Jenis kelamin, pada umumnya anak perempuan lebih cepat belajar berbicara dibanding anak laki-laki. Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek, dan kurang benar dalam tata bahasa, kosakatanya pun lebih sedikit dan pengucapan kata kurang tepat daripada anak perempuan; 5).Dukungan keluarga, semakin banyak dorongan untuk berbicara dengan mengajak anak berbicara dan didorong untuk menanggapinya, akan semakin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik kualitas bicaranya. Pendapat ini didukung oleh Soetjiningsih (2002), bahwa anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi.

Perkembangan Kognitif

Kognitif adalah kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan (Fatimah 2006). Apabila diperlukan, pengetahuan yang dimiliki dapat dipergunakan. Banyak atau sedikitnya pengetahuan merupakan ukuran tingkat kemampuan kognitif seeorang. Menurut Fatimah (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kecerdasan dengan kemampuan kognitif seseorang. Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan seseorang, semakin tinggi pula tingkat perkembangan kognitifnya.

Kemampuan kognitif berkembang sebagai hasil dari kerjasama antar genetik dengan lingkungan. Kemampuan ini akan meningkat karena adanya rangsangan yang diberikan kemudian masuk ke dalam otak yang sedang berkembang. Hal ini berarti akan membantu perkembangan kecerdasan. Pembentukan kecerdasan dipengaruhi oleh proses kecerdasan dan interaksi dengan lingkungan sejak dini. Kecerdasan terbentuk dari interaksi antara faktor internal dengan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan dalam keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007).

Teori perkembangan kognitif Piaget mengatakan bahwa anak secara aktif membangun pemahaman dan pengetahuan mereka tentang dunia melalui empat tahapan perkembangan kognitif (Santrock 2007). Masing-masing dari tahapan

perkembangan mempunyai keunikan dan kemampuan tersendiri, serta membangun pencapaian dari setiap tahapan (Ormrod 2003). Teori perkembangan kognitif menurut Piaget yang harus dilewati oleh anak terdiri dari Sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12 tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008). Perkembangan kognitif menurut Piaget dapat dilihat pada tabel 2 dibawah.

Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget

Tahap Umur Perkembangan kognitif yang nyata

Sensorimotorik 0-2 tahun Perkembangan yang berlahan pada ketrampilan

sensori, motorik anak. Kurang dapat

membedakan konsep diri dan lingkungan, namun interaksi yang berarti dan pencapaian konsep objek yang permanen

preoperational 2-7 tahun Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul kemampuan untuk mencapai imajinasi pikiran pada akhir metode ini. Kemampuan persepsi meningkat, namun masih ditentukan oleh penampilan fisik yang terlihat. Belum mampu untuk mengerti konsep konservasi, pola pikir masih bersifat intuitif dan impulsif.

concret operational 7-12 tahun Mulai memahami hukum konservasi dan operasi yang bersifat kebalikan. Mulai dapat mengelompokkan, menyusun menurut ukuran dan bentuk, serta mengenal konsep hubungan. formal operational (>12 tahun) Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan

konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan dan logika, serta mampu membuat hipotesa. Sumber : Santrock 2007

Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, oleh karena itu disebut dengan “sensorimotorik” . Akhir tahap ini saat anak berusia dua tahun mampu menghasilkan pola-pola sensorimotorik yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol yang primitif (Santrock 2007).

Tahap selanjutnya yaitu tahap praoperasional (usia 2-7 tahun) pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan melalui kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat simbolik. Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan atau berpura-pura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap ini memberikan andil besar bagi perkembangan kognitif anak. Pada tahap praoperasional anak tidak berpikir secara rasional yaitu suatu proses berpikir

yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan tidak terorganisir dengan baik. Tahap praoperasional dibagi dalam dua sub tahap yakni subtahap fungsi simbolik dan sub tahap berpikir secara intuitif. Pada subtahap simbolik terjadi saat anak berusia 2-4 tahun. Pada masa ini anak memiliki kemampuan untuk dapat menggambarkan objek secara fisik misalnya

Dokumen terkait