• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola asuh makan, Perkembangan Bahasa dan Kognitif pada Anak Balita Stunted dan Normal di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola asuh makan, Perkembangan Bahasa dan Kognitif pada Anak Balita Stunted dan Normal di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Pewujudan tujuan nasional tersebut diselenggarakan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah dan berkesinambungan. Agar tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut dibutuhkan antara lain tersedianya sumber daya manusia yang tangguh, mandiri serta berkualitas.

Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Ukuran kualitas sumber daya manusia dapat dilihat pada indeks pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat (BPPN 2007).

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM (Amarita & Tatang 2004).

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan prevalensi nasional balita pendek (stunted) dan balita sangat pendek (severe stunted) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 35.6% (terdiri dari 18.5% sangat pendek dan 17.1% pendek) atau lebih dari sepertiga balita di Indonesia. Berdasarkan prevalensi tersebut, kejadian stunted termasuk masalah karena prevalensi nasional masih diatas toleransi yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO 2009) yang hanya 20%.

(2)

tersebut jika tidak diperbaiki sebelum usia 3 tahun (batita), maka dikemudian hari akan terjadi penurunan kualitas fisik dan mental yang akan menghambat prestasi belajar dan produktivitas kerja.

Seperti di negara-negara berkembang lain, pendek atau stunting adalah retardasi pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang atau tinggi badan sebesar kurang dari -2 SD Z–Score, menurut baku rujukan pertumbuhan World Health Organization/National Center for Health Statistics (WHO) di Indonesia permasalahan stunted merupakan hal yang umum terjadi. Prevalensi stunting pada bayi dan anak-anak masih cukup tinggi sebagai akibat asupan gizi yang tidak adekuat (ACC/SCN 2000).

Stunting disebabkan oleh kumulasi episode stress yang sudah berlangsung lama misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk, yang kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh) Hal ini mengakibatkan menurunnya pertumbuhan apabila dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung (Waterlow & Schurch 1994).

Pada periode hidup manusia, masa anak-anak merupakan periode paling kritis saat usia anak-anak sampai usia lima tahun merupakan suatu masa atau tahapan umur yang menentukan kualitas manusia pada usia selanjutnya. Periode kritis anak sampai usia dua tahun pertama merupakan periode window of opportunity yang membutuhkan dukungan gizi, stimulus khusus dan intervensi selama pengalaman-pengalaman atau stimulus khusus yang diperlukan untuk mendukung perkembangan otak anak dalam mencapai potensi yang optimal. Dampak kekurangan gizi pada anak menyebabkan menurunnya perkembangan otak yang juga dapat berdampak pada rendahnya kecerdasan, kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2006). Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF 2001).

(3)

masa bayi dan anak-anak akan berpengaruh pada aspek perkembangan kognitif anak. Mendez & Adair (1999) yang melakukan penelitian di Filipina menemukan bahwa anak yang pendek sejak lahir sampai usia 2 tahun memiliki skor kognitif yang rendah dibandingkan dengan anak yang normal pada usia 8 dan 11 tahun, juga memiliki skor yang rendah di nilai matematika dan bahasa. Penelitian oleh Hizni et al. (2009) menyatakan bahwa status gizi stunted pada anak balita lima tahun memiliki risiko keterlambatan perkembangan bahasa lebih tinggi dibandingkan anak normal, aspek perkembangan bahasa merupakan salah satu indikator dari perkembangan anak.

Kejadian stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan motorik terlambat, dan terhambatnya pertumbuhan mental. Stunting merupakan indikator sensitif untuk sosioekonomi yang buruk dan prediktor untuk morbiditas serta mortalitas jangka panjang (Waterlow & Schurch 1994 dalam ACC/SCN 2000). Perkembangan anak berusia dibawah lima tahun yang tidak optimal berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia Mc Gregor et al. (2007).

(4)

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakteristik pada anak balita stunted dan normal terhadap perkembangan kognitif dan bahasanya.

Tujuan Khusus

1.

Mengidentifikasi karakteristik keluarga dan karakteristik anak balita pendek (stunted) dan balita normal (non stunted).

2.

Mengidentifikasi pola asuh makan dan frekuensi konsumsi pangan pada anak balita pendek (stunted) dan normal (nonstunted).

3.

Mengidentifikasi perbedaan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak balita pendek (stunted) dan normal (nonstunted).

4.

Menganalisis perbedaan perkembangan bahasa dan kognitif berdasarkan karakteristik anak dan keluarga.

5.

Menganalisis hubungan status gizi indeks (TB/U) dengan perkembangan bahasa dan kognitif anak balita.

Hipotesis

Terdapat perbedaan perkembangan bahasa dan kognitif di Kelurahan Bantar gebang Bekasi. Terdapat hubungan status gizi (TB/U) dengan perkembangan kognitif dan bahasa pada anak balita.

Kegunaan Penelitian

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Balita

Usia balita lebih dikenal sebagai the golden age karena masa ini sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa disebut anak bawah lima tahun (Soekirman 2000). Pada usia balita merupakan periode kritis dalam kehidupan manusia, karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan ketrampilan motorik yang sangat nyata. Menurut Hidayat (2004), peristiwa yang dialami dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah percepatan dan perlambatan. Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang besarnya, jumlah, ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional dan intelektual.

Menurut BKKBN (1995) menyatakan bahwa pada masa balita hampir seluruh waktu anak berada di tangan orang tua dan sangat tergantung padanya. Orang tua selain berperan penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak karena orangtualah yang paling mengetahui secara seksama perubahan yang terjadi pada anaknya. Balita merupakan golongan rawan terkena masalah gizi. Makanan bergizi sangat penting diberikan pada bayi sejak masih dalam kandungan. Masa balita merupakan momentum paling penting dalam melahirkan generasi pintar dan sehat. Jika usia ini tidak dikelola dengan baik, apalagi kondisi gizinya buruk kemudian hari akan sulit terjadi perbaikan kualitas bangsa.

(6)

pada perkembangan otak terutama pada jaringan saraf dan penyimpangan perilaku seperti kesulitan belajar dan retardasi mental (Unicef 2001).

Pada umur satu tahun, tinggi badan akan 1.5 kali tinggi badan waktu lahir, pada umur 4 tahun tinggi badan akan 2 kali tinggi badan waktu lahir. Sedangkan pada usia 6 tahun tinggi badan akan 2.5 kali tinggi badan waktu lahir, dan pada usia 13 tahun tinggi badan akan 3 kali tinggi badan waktu lahir, serta pada usia dewasa, tinggi badan akan 3.5 kali tinggi badan waktu lahir (Abunain 1990).

Status Gizi

Status gizi merupakan suatu ekspresi dan keseimbangan zat gizi dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lain-lain. Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dan lain-lain) (Jahari 2002). Menurut Suharjo (2003), status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi.

Status gizi seringkali digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat kecukupan konsumsi makan individu pada suatu saat. Dari gambaran status gizi balita dapat diprediksikan apakah balita tersebut telah mengkonsumsi makanan yang telah cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat memelihara proses dan fungsi tubuh termasuk diantaranya untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik (Soekirman 2000).

Terdapat beberapa penilaian status gizi, yaitu yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis dan biofisik, yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung. Pengukuran antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana dan praktis, karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang dilakukan terhadap berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkaran bagian-bagian tubuh serta tebal lemak bawah kulit (Supriasa et al. 2001).

(7)

indeks yang dikaitkan dengan variabel lain yaitu variabel umur, berat badan (BB/U) dan tinggi badan (TB/U) ( Depkes 2008).

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Indeks tinggi/panjang badan menurut umur (TB/U) menggambarkan status gizi masa lalu, selain itu juga erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat (Jahari 2002). Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI 2005). Penilaian status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar WHO-NCHS 2005 untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal, pendek atau sangat pendek disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS 2005

Indikator Kategori status gizi Keterangan

Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Sangat pendek (severe stunted) z-score <-3 SD

Pendek (stunted) -3 SD z-score < -2SD

Normal -2 SD z-score < +2SD

Tinggi z-score > +2 SD

Kurang gizi menurut Suharjo (2003) disebabkan oleh masukan (intake) energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Keadaan ini lebih cepat terjadi bila anak mengalami diare atau infeksi penyakit lainnya. Keadaan kehidupan yang miskin mempunyai hubungan sangat erat dengan timbulnya kondisi kurang energi protein. Lebih lanjut menurut Gibson (1990), status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan fisiologis yang diakibatkan oleh keseimbangan intake gizi dan penggunaanya oleh organisme.

(8)

Stunting

Stunting merupakan proses kumulatif yang bermula dari proses maternal atau janin kemudian berlanjut sampai usia tiga tahun stelah lahir. Menurut Graham-Mc Gregor et al. (2007) prevalensi anak yang mengalami stunting merupakan indikator kemiskinan dari negara yang memiliki pendapatan yang rendah khususnya negara berkembang, yang akan berdampak pada keterlambatan perkembangan. Waterlow & Schurch (1994) menyimpulkan penyebab stunting dari faktor : 1) zat gizi (kekurangan zat gizi energi, zat gizi makro, zat gizi mikro dan faktor racun / toxin); 2) infeksi ( kerusakan mukosa gastrointestinal, sistem imunitas dan 3). interaksi bayi dan ibu (kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan selama masa kehamilan dan penyaluran zat gizi saat lahir, serta interaksi perilaku/ behavioral interaction). Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah indikator penting dari kekurangan zat gizi maternal dan sebagai menentukan pertumbuhan anak selanjutnya (Frogillo et al. 1997). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8% yang terdiri dari 18.8% sangat pendek (severe stunted) dan 18.0% pendek (stunted). Hal tersebut sangat memperihatinkan karena WHO merekomendasikan bahwa prevalensi stunting pada semua negara sebaiknya dibawah 20% sampai akhir 2020 (ACC/SCN 1997).

Anak yang stunted mengalami pertumbuhan rangka yang lambat dan pendek. Kondisi ini merupakan hasil dari periode yang panjang dimana tidak terpenuhinya kebutuhan makanan, meningkatnya kesakitan dan biasanya ditemukan pada negara-negara yang kondisi ekonominya buruk. Prevalensi anak stunted dan kurus banyak terjadi pada tahun ke-2 dan ke-3 dalam kehidupan. Pengaruh perbedaan genetik dan suku menjadi pertimbangan ketika melakukan evaluasi tinggi badan terhadap umur (Gibson 1990).

(9)

Penelitian yang dilakukan oleh Mendez dan Adair (1999) membuktikan bahwa anak stunted memiliki skor kognitif yang lebih rendah daripada anak yang memiliki tinggi normal, mereka juga memiliki pencapaian nilai yang lebih rendah pada nilai matematika dan bahasa. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Hall et al. (2001) bahwa anak yang stunted memiliki skor nilai matematika dan bahasa yang lebih rendah daripada anak yang bertumbuh normal. Hasil studi Hizni et al. (2009) pada anak balita di Pesisir kota Cirebon, bahwa terdapat hubungan antara status gizi stunted pada anak balita dengan perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa merupakan salah satu aspek yang diteliti dalam perkembangan anak. Watanabe et al. (2005) menemukan pengaruh yang signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada peningkatan skor tes kognitif anak stunted. Lebih lanjut pada penelitian Meenakshi et al.(2007) di India tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, bahwa terdapat hubungan signifikan antara status stunted dengan perkembangan bahasa anak.

Perkembangan Anak

Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (Change) atau gerakan (movement yang dimulai dari periode konsepsi (dalam) kandungan) dan berlansung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle)). Perkembangan ini meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses simultan yaitu proses biologi, kognitif dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya (Santrock 2007).

Sedangkan menurut Monk et al. (2004) perkembangan menunjuk pada proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja diulang kembali (irreversible). Selanjutnya Hurlock (1999) menjelaskan bahwa perkembangan bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih teratur yang mengikuti pola tertentu dan dapat diramalkan. Misalnya pola-pola teratur dari perkembangan fisik, motorik, bicara/bahasa dan perkembangan kognitif.

(10)

dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda : pertumbuhan fisik dan perkembangan fungsi organ mempunyai kecepatan yang berbeda pada masing-masing anak; 4). Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan : bila pertumbuhan berlangsung cepat, perkembanganpun meningkat. Anak sehat bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya serta bertambah kepandaiannya; 5). Perkembangan mempunyai pola yang tetap: perkembangan fungsi organ tubuh terjadi menurut dua hukum yang tetap. Perkembangan di daerah kepala terjadi lebih dahulu kemudian diikuti perkembangan kaudal/anggota tubuh (pola sefakaudal). Perkembangan didaerah proksimal (gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan kebagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (poin proksimodistal); 6) perkembangan memiliki tahap yang berurutan, tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu berdiri sebelum berjalan dan sebagainya (Depkes 2005).

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling berhubungan. Pertumbuhan akan diikuti perkembangan. Begitu juga sebaliknya, proses perkembangan akan menstimulasi pertumbuhan sel-sel tubuh. Bertambahnya ketrampilan anak baik mental maupun motorik akan mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya. Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004).

Perkembangan Bahasa Anak

Perkembangan bahasa merupakan tingkat pencapaian kemampuan anak dalam berbicara spontan, mengikuti perintah, dan berespon terhadap suara ( Soetijingsih 1995). Menurut Santrock (2007) bahasa adalah sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain. Kemampuan berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara seluruh fase perkembangan pada anak. Lebih lanjut menurut Soetjiningsih (1995) fungsi bahasa bersamaan dengan fungsi perkembangan pemecahan masalah visio-motor yang merupakan indikator yang paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan intelektual pada anak.

(11)

pembendaharaan kata, hal ini dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah; 3) penyusunan kata-kata menjadi kalimat, kemampuan ini pada umumnya berkembang sebelum anak usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture untuk melengkapi cara berpikirnya. Contohnya anak menyebut “Bola” sambil menunjuk bola itu dengan jarinya. Kalimat tunggal itu berati “tolong ambilkan bola untuk saya”, seiring dengan meningkatnya usia anak keleluasan pergaulannya, tipe kalimat yang diucapkannya pun semakin bertambah; 4) Ucapan, kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (Yusuf 2005). Menurut Santrock (2007) anak yang berasal dari keluarga yang tingkat sosio ekonomi yang tinggi, anak perempuan dan anak yang cerdas memiliki pengucapan bentuk kalimat yang lebih panjang dan kompleks dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas, anak wanita dan anak yang berada di lingkungan yang miskin.

Perkembangan bahasa anak dimulai saat masa bayi, pada masa ini bayi melakukan komunikasi yang bertujuan menarik perhatian pengasuh. Pada tahun-tahun pertama komunikasi pertama adalah menangis, kemudian mendekut (cooing) kira-kira usia 1-2 bulan, kemudian berceloteh dengan menggabungkan kombinasi konsonan-vokal seperti “ba, ba, ba, ba.” Bayi juga mulai menggunakan gerakkan seperti menunjuk (untuk menunjukkan sesuatu untuk pamer), kira-kira pada usia 8 hingga 12 bulan (Santrock 2007).

(12)

kalimat sederhana menjadi kalimat kompleks diawali antara usia 2 hingga 3 tahun dan berlanjut hingga sekolah dasar (Santrock 2007).

Seorang anak berusia dua tahun mengerti “ya” dan “tidak”, seperti juga pertanyaan “di mana”, “siapa”, dan “apa”, dan secara umum menjawabnya dengan benar. Pada usia 3 tahun anak-anak mulai menjawab “mengapa” dengan benar. Frekuensi jawaban yang betul dari semua jenis pertanyaan “apa”, “mengapa” meningkat pada usia antara 3 dan 5 tahun (Mussen et al. 1984). Lebih lanjut menurut Papalia (1979), pada saat anak berumur 3 dan 4 tahun anak sangat familiar dengan binatang, bagian tubuh, dan orang-orang terdekat. Anak yang berumur 4-5 tahun anak-anak sudah dapat menggunakan empat sampai lima kata perkalimat, lebih dapat membedakan posisi benda-benda disekelilingnya yaitu “dibawah”, “diatas”, “didepan”, “dibelakang”, “disamping” serta sering menggunakan kata kerja daripada kata benda, pemahaman anak dan berbicara anak lebih kompleks, anak dapat berbicara dengan total 1500 sampai 2000 kata.

Pengertian kata-kata deiktik (kata-kata yang menunjukkan lokasi dari sisi pembicara) seperti “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu” menunjukkan bahwa anak kecil mampu mengambil titik pandang orang lain. Anak berusia 2 tahun jelas mengerti perspektif pembicara jika diinterpetasikan kata-kata “di sini” atau “di sana”. Semua anak telah siap membedakan antara “milik saya” dan “milik kamu”, tetapi anak usia 2 tahun mengalami kesulitan jika dibutuhkan perubahan perspektif, seperti untuk menerjemahkan “di bagian kiri meja” dari pandangan orang lain yang tidak berada pada sisi yang sama dengan dirinya. Anak usia 3 tahun telah mahir mengambil perspektif si pengamat yaitu menginterpretasikan “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu”, “di depan”, dan “di belakang” dengan benar (Mussen et al. 1984)

(13)

pengungkapan perasaan dirinya lebih baik, dan lebih banyak bicara dibanding anak dari keluarga kurang mampu. Hal ini dikarenakan anak dari keluarga berada lebih banyak mendapat dorongan dan bimbingan untuk berbicara dari anggota keluarga yang lain. Keluarga dengan ekonomi yang rendah cenderung lebih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari sehingga perkembangan bahasa anak kurang diperhatikan; 4).Jenis kelamin, pada umumnya anak perempuan lebih cepat belajar berbicara dibanding anak laki-laki. Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek, dan kurang benar dalam tata bahasa, kosakatanya pun lebih sedikit dan pengucapan kata kurang tepat daripada anak perempuan; 5).Dukungan keluarga, semakin banyak dorongan untuk berbicara dengan mengajak anak berbicara dan didorong untuk menanggapinya, akan semakin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik kualitas bicaranya. Pendapat ini didukung oleh Soetjiningsih (2002), bahwa anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi.

Perkembangan Kognitif

Kognitif adalah kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan (Fatimah 2006). Apabila diperlukan, pengetahuan yang dimiliki dapat dipergunakan. Banyak atau sedikitnya pengetahuan merupakan ukuran tingkat kemampuan kognitif seeorang. Menurut Fatimah (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kecerdasan dengan kemampuan kognitif seseorang. Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan seseorang, semakin tinggi pula tingkat perkembangan kognitifnya.

Kemampuan kognitif berkembang sebagai hasil dari kerjasama antar genetik dengan lingkungan. Kemampuan ini akan meningkat karena adanya rangsangan yang diberikan kemudian masuk ke dalam otak yang sedang berkembang. Hal ini berarti akan membantu perkembangan kecerdasan. Pembentukan kecerdasan dipengaruhi oleh proses kecerdasan dan interaksi dengan lingkungan sejak dini. Kecerdasan terbentuk dari interaksi antara faktor internal dengan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan dalam keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007).

(14)

perkembangan mempunyai keunikan dan kemampuan tersendiri, serta membangun pencapaian dari setiap tahapan (Ormrod 2003). Teori perkembangan kognitif menurut Piaget yang harus dilewati oleh anak terdiri dari Sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12 tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008). Perkembangan kognitif menurut Piaget dapat dilihat pada tabel 2 dibawah.

Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget

Tahap Umur Perkembangan kognitif yang nyata

Sensorimotorik 0-2 tahun Perkembangan yang berlahan pada ketrampilan

sensori, motorik anak. Kurang dapat

membedakan konsep diri dan lingkungan, namun interaksi yang berarti dan pencapaian konsep objek yang permanen

preoperational 2-7 tahun Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul kemampuan untuk mencapai imajinasi pikiran pada akhir metode ini. Kemampuan persepsi meningkat, namun masih ditentukan oleh penampilan fisik yang terlihat. Belum mampu untuk mengerti konsep konservasi, pola pikir masih bersifat intuitif dan impulsif.

concret operational 7-12 tahun Mulai memahami hukum konservasi dan operasi yang bersifat kebalikan. Mulai dapat mengelompokkan, menyusun menurut ukuran dan bentuk, serta mengenal konsep hubungan. formal operational (>12 tahun) Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan

konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan dan logika, serta mampu membuat hipotesa. Sumber : Santrock 2007

Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, oleh karena itu disebut dengan “sensorimotorik” . Akhir tahap ini saat anak berusia dua tahun mampu menghasilkan pola-pola sensorimotorik yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol yang primitif (Santrock 2007).

(15)

yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan tidak terorganisir dengan baik. Tahap praoperasional dibagi dalam dua sub tahap yakni subtahap fungsi simbolik dan sub tahap berpikir secara intuitif. Pada subtahap simbolik terjadi saat anak berusia 2-4 tahun. Pada masa ini anak memiliki kemampuan untuk dapat menggambarkan objek secara fisik misalnya menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi bangunan tertentu. Pada tahap ini juga dikenal dengan sub tahap berpikir egosentris, yakni ketidakmampuan anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Sedangkan sub tahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa ini disebut tahap berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya mengerti sesuatu padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki kemampuan kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007). Menurut Papalia (1979) pada periode preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran. Mereka juga sudah mengkategorikan konsep.

Tahap operasional kongkrit (7-12 tahun) adalah tahap dimana kemampuan anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek yang menjadi sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan berpikir logis terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai dengan klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya, kemampuan berpikir secara deduktif (Santrock 2007).

(16)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita

Proses perkembangan merupakan interaksi dari berbagai faktor yang dimulai dari rahim dan diteruskan ketika anak berinteraksi bersama lingkungannya. Terdapat pondasi genetik dalam memahami proses sosial yang akan membentuk perbedaan individual bagaimana anak menginterpretasikan dan merespon lingkungannya.Karakteristik genetik akan berkombinasi dengan lingkungan pada periode spesifik dari perkembangan otaknya. Hal ini akan menentukan perkembangan anak pada periode berikutnya (Maggi et al. 2005).

Menurut Soetjiningsih (2002), setiap individu berbeda dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, karena pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor herediter/genetika, lingkungan dan internal.

Faktor genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal. Potensi genetik diantaranya adalah faktor bawaan normal dan patologis, jenis kelamin, ras dan suku bangsa, keluarga dan umur (Soetjiningsih 2002).

Faktor genetik mempengaruhi perkembangan intelektual dan faktor lingkungan hanya sedikit mempengaruhinya (Jensen 1969 dalam Santrock 2007), namun saat ini sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor keturunan tidak menentukan perkembangan intelektual anak. Meskipun dukungan genetik mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, pengaruh-pengaruh lingkungan dan dukungan keluarga juga akan mempengaruhi perkembangan pada anak (Campbell et al. 2001 dalam Santrock 2007)

Faktor lingkungan

(17)

antara lain : cuaca, musim, kedaan geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah, radiasi. 3). Faktor psikososial, antara lain : stimulasi, motivasi belajar, ganjaran, hukuman yang wajar, kelompok sebaya, kualitas interaksi orang tua terhadap anak. 4) faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain : pekerjaan atau pendapatan keluarga, pendidikan ayah dan ibu, besar keluarga (Soetjiningsih 2002).

Aspek-aspek lingkungan seperti sosioekonomi yakni bagaimana orang tua berkomunikasi dengan anak, dukungan yang diberikan orang tua, lingkungan dimana keluarga tinggal mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Anak dengan orang tua yang mempunyai status ekonomi menengah keatas atau kaya berbicara lebih sedikit kepada anak-anaknya, jarang membicarakan peristiwa masa lalu dan menyediakan sedikit waktu untuk bercakap dengan anak-anak mereka dibandingkan orang tua yang berstatus ekonomi menengah (Betty Hart & Todd Risley 1995 dalam Santrock 2007). Orang tua yang memperhatikan apa yang dikatakan anaknya, memperluas kosakata mereka, membacakan buku cerita bagi anak-anaknya dan mamberikan objek-objek dalam lingkungan, akan memberikan manfaat-manfaat yang berharga bagi perkembangan bahasa anak (Gleason 2004 dalam Santrock 2007)

Stimulasi

Perkembangan psikis seseorang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam dirinya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri anak tersebut. Oleh karena itu lingkungan sosial harus mendukung perkembangan anak melalui pemberian berbagai stimulasi. Bila anak mendapatkan stimulasi maka ia akan mengembangkan kemampuannya dalam batas-batas yang diberikan oleh keluarga atau lingkungannya. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi perkembangan yang sehat (Monks et al. 2004).

Stimulasi memegang peranan sangat penting dalam memaksimalkan kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar hubungan antarsel syaraf otak (sinaps) dapat berkembang. Sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak digunakan (Monks et al. 2004).

(18)

baik akan menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling menyayangi (Soetjiningsih 1995).

Anak mempunyai kebutuhan untuk belajar. Berbagai stimulasi melalui pancainderanya seperti mendengar, melihat, merasa, mencium dan meraba, yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar pada pertumbuhan dan maturasi otak.

Hal ini ditunjukkan oleh program stimulasi yang dapat mendorong percepatan pertumbuhan, memperbaiki koordinasi gerakan otot, meningkatkan lama konsentrasi dan meningkatkan Intelligence Quotion (IQ) bayi sebanyak 15 poin. Terdapat bukti eksperimental yang menyatakan bahwa tikus yang dibesarkan dalam lingkungan stimulasi dengan penuh kegembiraan dan permainan mempunyai sel otak ekstra 50.000 pada setiap sudut hipokampusnya dibandingkan dengan tikus yang dibesarkan dalam kandang biasa. Ketika tikus ditempatkan di treadmill, menyebabkan sel otak mereka memproduksi faktor pertumbuhan yang menstimulasi pertumbuhan dendrit dan perluasan jaringan saraf. Pertumbuhan neuron tidak hanya terjadi pada bagian otak yang mengontrol fungsi motorik tapi juga pada bagian yang mengontrol kognitif (Singh 2003).

Status Gizi

Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.

Menurut Georgieff (2007), otak manusia mengalami perubahan struktural dan fungsional yang luar biasa antara minggu ke 24 dan minggu 42 setelah konsepsi. Sel-sel otak mulai terbentuk pada trimester pertama kehamilan,dan berkembang pesat sejak dalam rahim. Perkembangan ini berlanjut saat setelah lahir hingga usia 2 atau 3 tahun, periode tercepat usia 6 bulan pertama. Setelah usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel neuron baru untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai usia 3 tahun.

(19)

Sedangkan kekurang gizi pada usia anak sejak lahir hingga 3 tahun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya. Gizi kurang pada usia di bawah 2 tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%.

Pertumbuhan susunan syaraf ini dapat dikatakan berlangsung dengan cepat sekali selama dalam kandungan dan 3 sampai 4 tahun setelah dilahirkan. Selama dalam kandungan susunan syaraf yang terutama tumbuh cepat adalah jumlah dan ukuran sel syaraf. Setelah bayi lahir maka pertumbuhan susunan syaraf lebih terarah pada perkembangan sel syaraf yang belum berkembang. Setelah anak berusia lebih dari 4 tahun, pertumbuhan susunan syaraf berlangsung lebih lambat (Yuliana 2004).

Karakteristik anak

Usia

Usia menentukan perkembangan bahasa anak. Sebagaimana aspek perkembangan lainnya, perkembangan bahasa juga melalui berbagai tahapan-tahapan. Perkembangan pada periode sebelumnya akan berpengaruh pada perkembangan pada periode selanjutnya (Santrock 2007). Semakin bertambahnya usia anak, kemampuan berbahasa anakpun akan semakin bertambah (Turner & Helms 1990).

Penambahan umur ini terkait dengan jumlah kosakata yang dikuasai, tingkat kekomplekan kalimat yang dapat dirangkai dan pemahaman pada isi pembicara orang lain maupun perintah yang ditunjukkan kepada anak. Cara berpikir anak juga berkembang setiap tahap umur, pada perkembangan kognitif anak semakin dewasa usia anak semakin kompleks dalam berpikir melalui tahap-tahap sesuai tingkatan umur mereka (Santrock 2007).

Jenis kelamin

(20)

perempuan proses maturasi fungsi verbal hemisfer kiri lebih cepat dibandingkan pada anak laki-laki. Menurut Hurlock (1980) selain faktor yang alami (nurture), lingkungan pengasuhan juga menyebabkan perbedaan kemampuan berbahasa pada anak laki-laki dan permpuan, masyarakat cenderung menghendaki anak laki-laki lebih sedikit berbicara dibandingkan anak perempuan.

Studi mengenai perbedaan jenis kelamin pada kemampuan intelektual yaitu laki-laki memiliki skor yang lebih baik daripada wanita dalam beberapa area non-verbal, seperti berpikir spasial. Sedangkan perempuan memiliki skor lebih baik daripada pria dalam beberapa area verbal, seperti kemampuan menemukan sinonim kata-kata dan memori verbal (Santrock 2007)

Karakteristik keluarga Pendidikan Orang Tua

Pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka menerima informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih 1995). Penelitian lain menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan anak. Penelitian Muljati et al. (2002) juga menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan mental anak batita gizi kurang.

(21)

Menurut Hidayat (2004), pendidikan merupakan panutan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya serta sarana untuk memperoleh pengetahuan sehingga mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan tingkat pendidikan ibu maka semakin baik pengetahuan yang dimilikinya sehingga komunikasi yang dilakukan pada anak semakin efektif.

Pendapatan keluarga

Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan keluarga terutama tergantung kemampuan keluarga untuk membeli pangan yang dibutuhkan keluarga tersebut (Azwar 2000). Pendapatan keluarga mengggambarkan tingkat sosial ekonomi. Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Kemiskinan berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan keluarga dalam menyediakan berbagai fasilitas bermain menyebabkan otak anak kurang mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat menghambat perkembangannya (Depkes 2008).

Menurut Davidof (1991), efek kemiskinan terhadap inteligensi antara lain : kemiskinan sering dihubungkan dengan kepadatan, kebisingin, ketegangan dan kondisi hidup yang berubah. Dengan kondisi seperti ini anak-anak kurang memperoleh informasi baru yang teratur untuk belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat penting untuk perkembangan intelligensi anak.

Efek yang kedua adalah anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu sedikit sekali memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan diri dan pengalamannya. Keterbatasan perbendaharaan kata-kata akan mempersempit pemikirannya dan dapat mengakibatkan intelligensi menurun.

Selanjutnya adalah anak yang berasal dari orang tua miskin, kecil kemungkinannya untuk dapat meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan pengembangan kemampuan anak, dan sering mereka tidak mengetahui caranya, karena keterbatasan pendidikannya.

(22)

kekurangan gizi yaitu stunted dengan pencapaian perkembangan kognitif yang cenderung rendah daripada anak yang berasal dari keluarga sejahtera dan kaya. Menurut Papalia (1979) anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosio-ekonomi yang rendah berkaitan dengan lambatnya perkembangan bahasa pada anak, ditandai dengan ketidakmatangan pembendaharaan kalimat, rendahnya pengetahuan kata, berbicara lebih sedikit dibandingkan dengan anak dari kelas menengah atau kaya. Melalui sosiolinguistik, studi mengenai interaksi bahasa dengan kelas sosial diketahui bahwa anak yang berasal dari kelas sosial menengah kebawah mempunyai kematangan berbahasa yang rendah serta kata-kata yang digunakan tidak kompleks dan lebih singkat serta kurangnya pengetahuan tentang kata dan kalimat. Menurut Yusuf (2005) beberapa studi menjelaskan hubungan antara perkembangan bahasa dengan status ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang miskin mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan anak berasal dari anak dari keluarga dengan tingkat sosioekonomi yang baik. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar.

Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Bagi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang banyak, jumlah anggota rumah tangga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat tebagi secara merata (Dariyo 2007).

(23)

Besar keluarga berpengaruh pada kualitas pengasuhan yang bermanfaat pada anak (Nuraeni 1997). Kualitas pengasuhan anak dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa pada anak. Anak yang berasal dari keluarga beranggota sedikit cenderung memperhatikan perkembangan anak, orang tua lebih banyak meluangkan waktu dan biaya untuk anak dalam memberikan fasilitas seperti mainan sebagai alat stimuli dibandingkan anak yang berasal tinggal pada keluarga beranggotakan lebih dari empat orang (Yusuf 2005).

Umur Orang Tua

Orangtua terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1999).

Umur ibu menentukan pola pengasuhan dan penentuan makan yang sesuai bagi anak karena semakin bertambah umur ibu maka makain bertambah pula pengalaman dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak (Hastuti 2008).

Pola Asuh Makan

(24)

dibandingkan dengan anak batita yang mempunyai pola suh yang cukup. Selain itu Diana (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adlah pendidikan ibu, pekerjaan ibu, umur dan tingkat pengetahuan.

Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran ibu dan pengasuhnya. Menurut Hastuti (2008), pola asuh makan mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan. Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak.Makanan dan minuman bergizi harus dapat disediakan orang tua bahkan sejak masa prenatal (sebelum kelahiran) hingga pada masa post natal (setelah kelahiran), periode usia bayi, balita, usia prasekolah, usia sekolah hingga periode usia dewasa.

Terdapat variasi pemberian makanan balita yaitu usia bayi (0-1 tahun), usia baduta (1-2 tahun), dan balita (2-5 tahun), anak telah mempunyai motorik halus ketika berusia dua tahun, oleh karena itu pada usia ini anak dibiasakan untuk memegang sendok makan dan gelas minumnya sendiri, belajar memasukkan makanan kedalam mulut dan mengunyahnya dengan baik. Kebiasaaan makanan yang beragam, bergizi dan berimbang, harus dibiasakan sejak usia dini. Pemberian makanan yang baik akan membentuk kebiasaaan makanan yang baik pula pada anak. Selain itu anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhanyang lebih baik kemungkinan besar akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik (Hastuti 2008).

Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang penting dalam pemberian makan kepada anak, karena pada perkembangan anak, keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat terhadap makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kakuatiran mengenai makan. Hawadi (2001) menyatakan bahwa anak yang berumur 2- 5 tahun umunya sudah mampu makan makanan biasa hanya tidak pedas. Mereka masih tergolong konsumen pasif dan belum dapat memilih dan menilai kulitas makanan. Seringkali masa ini muncul kebiasaan buruk seperti menyukai makanan yang kurang bergizi seperti permen, coklat dan makanan jajanan lainnya yang dapat menyebabkan berkurangnya nafsu makan.

(25)

pemberian makanan pada anak bukan sekedar membuat kenyang, tetapi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi secara adekuat untuk keperluan hidup mendidik anak untuk membina selera dan kebiasaan makan yang sehat Hawadi (2001)

Frekuensi Konsumsi Pangan Balita

Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak, ada yang terikat pada pola makan 3 kali per hari tetapi banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar.

(26)

KERANGKA PEMIKIRAN

Usia balita lebih dikenal sebagai the golden age karena masa ini sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa disebut anak bawah lima tahun (Soekirman 2000).

Perkembangan otak pada anak sangat cepat pada tahap prenatal dan berlanjut setelah lahir. Pada masa anak-anak lingkungan juga memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan dan pertumbuhan sistem saraf pusat. Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berdampak serius pada perkembangan otak terutama pada jaringan saraf dan penyimpangan perilaku seperti kesulitan belajar dan retardasi mental (Unicef 2001). Kekurangan gizi yang menggambarkan keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita adalah status gizi stunted, hal ini memberikan gambaran fungsi pertumbuhan atau tinggi badan yang dilihat dari keadaan pendek (stunted)

(27)

mempengaruhi status gizi dan pada akhirnya akan berdampak pada perkembangan anak. Karakteristik orang tua, seperti umur orang tua terutama ibu berpengaruh kepada kualitas pengasuhan serta pengalaman dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak. Karakteristik anak yang terdiri dari usia dan jenis kelamin mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak. Pada aspek usia, semakin bertambahnya usia anak, kemampuan berbahasa anakpun akan semakin bertambah (Turner & Helms 1990). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, anak perempuan memiliki perkembangan bahasa yang lebih cepat daripada anak laki-laki, hal ini berkaitan dengan faktor fisiologis dan maturasi organ tubuh pusat berbicara pada anak perempuan lebih matang daripada anak laki-laki dan lingkungan pengasuhan yang menyebabkan perbedaan kemampuan berbahasa.

Status gizi stunted berkaitan dengan perkembangan bahasa dan kognitif anak balita, penelitian yang dilakukan oleh Mendez dan Adair (1999) pada anak balita stunted memiliki pencapaian skor kognitif yang rendah daripada anak yang memiliki tinggi normal. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hizni et al (2009) bahwa pada kejadian stunting pada anak balita mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Hal itu sejalan dengan penelitian Meenakeshi et al.(2007), terdapat hubungan signifikan antara status stunted dengan perkembangan bahasa anak.

(28)

Gambar 1. Kerangka pemikiran

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Variabel tidak diteliti = hubungan antar variabel

= hubungan antar variabel yang tidak diteliti Perkembangan bahasa

dan kognitif

Faktor genetik Karakteristik keluarga

Pendidikan orang tua Umur orang tua Pendapatan keluarga Besar keluarga

Status stunted

Pola asuh makan Praktek pemberian

makan anak Kebiasaan makan

anak

Food frekuensi

Karakteristik anak Umur

Jenis kelamin Asupan makan

Konsumsi pangan dan asupan makan Kebiasaan makan

anak

Stimulus

(29)

HASIL PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Sumur Batu merupakan salah satu dari delapan yang ada di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, yang terdiri dari 7 rukun warga dan 41 rukun tetangga. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Padurenan, Kecamatan Mustika Jaya, sebelah timur berbatasan dengan Desa Burangkeng, Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Taman Rahayu, Kabupaten Bekasi dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang.

Letak kota Pemerintahan Kelurahan Sumurbatu berada di sebelah tenggara dari kota Pemerintahan Kecamatan Bantargebang dengan luas ± 568995 ha areal yang ada, sekitar 318 ha dipergunakan untuk sarana gedung perkantoran dan prasarana pendidikan serta tempat pembuangan akhir (TPA) pemda DKI 20 ha dan Kota Bekasi 17 ha.

Berdasarkan data tahun 2010, jumlah penduduk sebanyak 66618 jiwa dan jumlah kepala keluarga 19763 KK. Jumlah penduduk terendah yaitu pada kelurahan Sumur Batu sebesar 7703 jiwa. Wilayah penelitian terletak pada RW 03 Kelurahan Sumurbatu Kecamatan Bantar Gebang, dimana termasuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I. Puskesmas Bantar Gebang I terletak di jalan Narogong Raya Km.10 No.75 Kelurahan Bantar Gebang. Luas wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I adalah 18.54 km2 . Jumlah penduduk di Kelurahan Sumurbatu sebesar 7703 jiwa dengan kategori penduduk usia 0-6 tahun sebanyak 1460 jiwa, 7-12 tahun sebanyak 817 jiwa, 13-15 tahun sebanyak 1266 jiwa, 16-21 tahun sebanyak 961 jiwa, 22-59 tahun sebanyak 2.778 jiwa dan yang berusia ≥ 60 tahun sebanyak 421 jiwa.

(30)

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam satu rumah dan ada ikatan darah (Khomsan et al. 2007). Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dengan anak-anaknya (Suharjo 1989). Karakteristik keluarga yang diamati dalam penelitian ini adalah pendidikan ibu, umur orang tua, pendapatan keluarga dan besar keluarga. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 70 keluarga, yang terdiri dari 35 keluarga balita stunted dan 35 keluarga balita normal.

Pendidikan Orang Tua

Pendidikan merupakan panutan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya serta sarana untuk memperoleh pengetahuan sehingga mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak (Soetjiningsih 1995).

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan ayah tergolong rendah (SMP kebawah) baik pada tingkat pendidikan ayah kelompok anak stunted (82.9%) maupun anak normal (68.6%). Pada kelompok anak balita stunted terdapat satu balita yang ayahnya meninggal sehingga totalnya 34 orang. Tingkat pendidikan ayah yang tergolong tinggi, persentase paling banyak pada ayah kelompok balita normal sebesar 31.4% dibandingkan ayah dari kelompok balita stunted hanya 17.1%. Sementara pada tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ibu kelompok anak balita normal lebih tinggi dari kelompok balita stunted, sebanyak 17.1% ibu kelompok balita normal memiliki pendidikan yang tinggi, sedangkan hanya 5.7% pada ibu kelompok ibu balita stunted.

Tabel 4 Sebaran tingkat pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

Ayah

- Rendah (SMP kebawah) 29 85.9 24 68.6

- Tinggi (SMA keatas) 5 17.1 11 31.4

Total 34 100 35 100

Ibu

- Rendah (SMP kebawah) 33 94.3 29 82.9

- Tinggi (SMA keatas) 2 5.7 6 17.1

(31)

Pendidikan orang tua terutama ibu mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi yang harmonis antara ibu dan anak. Pendidikan ibu akan mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi yang harmonis antara ibu dan anak. Tanpa kedua hal tersebut pendidikan ibu yang tinggi tidak serta merta dapat mempengaruhi perkembangan terlebih kepedulian ibu terhadap tumbuh kembang anak minim.

Tingkat pendidikan ibu berpengaruh pada kemampuan ibu dalam memproses informasi (Thomas et al. 1991). Tingkat pendidikan formal ibu memiliki pengaruh terhadap jangka panjang status gizi anak melalui informasi gizi dan kesehatan anak yang akan membantu ibu memberikan pengasuhan yang maksimal.

Umur Orang Tua

Umur orang tua menentukan pola pengasuhan anak. Pada Tabel 5, sebagian besar persentase umur ayah anak balita stunted (88.2%) termasuk kategori dewasa muda sedikit lebih tinggi dibandingkan ayah balita normal (83%). Namun persentase kategori umur ayah balita dewasa madya paling tinggi pada ayah balita normal sebesar 17.1% dibandingkan balita stunted sebesar 11.6%, dan tidak ada ayah dari kedua kelompok balita yang termasuk kategori dewasa tua. Sementara pada umur ibu, sebagian besar contoh termasuk kategori umur dewasa muda, seluruh ibu kelompok balita normal termasuk kategori dewasa muda sedangkan persentase ibu kelompok balita stunted sedikit lebih rendah yaitu sebesar 91%, sisanya 8.6% contoh ibu balita stunted termasuk kategori umur dewasa madya.

Tabel 5 Sebaran tingkat umur orang tua

Umur Orang tua

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

Umur ayah

- Dewasa muda (20-40 tahun) 30 88.2 29 82.8

- Dewasa madya (41-45 tahun) 4 11.6 6 17.1

Total 34 100 35 100

Umur Ibu

- Dewasa muda (20-40 tahun) 32 91.4 35 100

- Dewasa madya (41-45 tahun) 3 8.6 0 0

(32)

Orangtua terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Umur ibu menentukan pola pengasuhan dan penentuan makan yang sesuai bagi anak karena semakin bertambah umur ibu maka makin bertambah pula pengalaman dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak (Hastuti 2008).

Faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1999).

Pekerjaan dan Pendapatan

Pekerjaan menggambarkan pendapatan keluarga, sedangkan pendapatan mengggambarkan tingkat sosial ekonomi. Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan keluarga terutama tergantung kemampuan keluarga untuk membeli pangan yang dibutuhkan keluarga tersebut (Azwar 2000). Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990).

(33)

Tabel 6 Sebaran pekerjaan orang tua balita

Jenis Pekerjaan

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Semakin baik pendapatan, maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik (Suhardjo 1989). Berdasarkan Tabel 7 sebanyak 40.0% balita stunted termasuk kategori miskin, sedangkan persentase tertinggi untuk kategori tidak miskin pada kelompok balita normal sebanyak 85.7%. Pendapatan perkapita keluarga balita stunted berkisar antara Rp. 83333 sampai Rp.500.000 dengan rata-rata Rp.241017, sedangkan pendapatan perkapita keluarga balita normal berkisar Rp.160000 sampai Rp. 1000000 dengan rata-rata Rp.405869. Apabila dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 yaitu Rp 231438, rata-rata pendapatan perkapita keluarga stunted mendekati garis kemiskinan namun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan perkapita keluarga anak balita normal jumlahnya hampir dua kali lipat rata-rata pendapatan perkapita berdasarkan garis kemsikinan yang ditetapkan.

(34)

mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat menghambat perkembangannya (Depkes 2008).

Tabel 7 Sebaran keluarga balita berdasarkan garis kemiskinan Jawa Barat 2012

Pendapatan perkapita

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

Miskin (< Rp. 231438) 14 40.0 5 14.3

Tidak miskin (> Rp. 231438) 21 60.0 30 85.7

Total 35 100 35 100

Menurut Suhardjo (1989) di negara-negara berkembang golongan keluarga miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan yaitu umumnya dua per tiga dari pendapatannya. Namun sebaliknya. apabila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah terpenuhi.

Efek kemiskinan pada perkembangan anak yaitu anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu sedikit sekali memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan diri dan pengalamannya. Keterbatasan perbendaharaan kata-kata akan mempersempit pemikirannya dan dapat mengakibatkan perkembangan menurun (Davidof 1991). Selanjutnya anak yang berasal dari orang tua miskin, kecil kemungkinannya untuk dapat meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan pengembangan kemampuan anak, dan sering mereka tidak mengetahui caranya, karena keterbatasan pendidikannya.

Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Berdasarkan tabel 8, sebagian besar (77.1%) kelompok anak balita stunted berasal dari keluarga besar (≥4 orang), sedangkan separuh lebih (54.3%) anak balita normal berasal dari keluarga kecil

(35)

Selain itu, menurut Nuraeni (1997) besar keluarga berpengaruh pada kualitas pengasuhan yang bermanfaat pada anak.

Tabel 8 Sebaran keluarga balita berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

Kecil (<4 orang) 8 22.9 19 54.3

Besar (≥4 orang) 27 77.1 16 37.2

Total 35 100 35 100

Rata-rata + SD 4.6±1.4 3.8± 1.1 Karakteristik Balita

Usia Balita

Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga rentang usia yaitu usia 30-36 bulan, 37-42 bulan dan > 42 bulan. Usia anak balita pada penelitian ini sebagian besar berada pada rentang usia 30-36 bulan dengan persentase masing-masing 57.1% untuk balita stunted dan 48.6% untuk balita normal. Sisanya berada pada rentang usia >42 bulan sebanyak 25.8% untuk balita stunted dan 31.4% pada balita normal.

Tabel 9 Sebaran anak balita menurut kelompok usia

Usia (bulan)

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

30-36 37-42 >42

20 6 9

57.1 17.1 25.8

17 7 11

48.6 20 31.4

Total 35 100 35 100

Rata-rata ± SD 37.5 ±7.7 39.2± 7.7

Usia menentukan perkembangan anak. Penambahan umur ini terkait dengan jumlah kosakata yang dikuasai, tingkat kekomplekan kalimat yang dapat dirangkai dan pemahaman pada isi pembicara orang lain maupun perintah yang ditunjukkan kepada anak. Cara berpikir anak juga berkembang setiap tahap umur, pada perkembangan kognitif anak semakin dewasa usia anak semakin kompleks dalam berpikir melalui tahap-tahap sesuai tingkatan umur mereka.

Jenis Kelamin

(36)

kelompok balita stunted (54.3%) dan normal (60.0%). Sedangkan sisanya adalah jenis kelamin laki-laki yaitu 45.7% balita stunted dan 40.0% balita normal.

Tabel 10 Sebaran anak balita menurut jenis kelamin

Jenis Kelamin

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

Laki-laki Perempuan

16 19

45.7 54.3

14 21

40.0 60.0

Total 35 100 35 100

Jenis kelamin menentukan perkembangan bahasa pada anak (Soetjiningsih 1995). Sementara studi mengenai perbedaan jenis kelamin pada kemampuan intelektual/kognitif yaitu laki-laki memiliki skor yang lebih baik daripada wanita dalam beberapa area non-verbal, seperti berpikir spasial.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dan lain-lain. Pada penilaian status gizi (TB/U) menurut standar WHO Child Growth 2005, status gizi normal berada pada rentang Z-score -2 SD sampai <+2SD sedangkan status gizi stunted berada pada rentang Z-score <-2 SD. Berdasarkan pemantauan status gizi balita dengan indeks TB/U, kelompok jumlah balita yang berstatus gizi normal berada pada Z-score 0.8 sementara pada kelompok balita normal berada pada Z-score -2.6.

Tabel 11 Sebaran anak balita menurut Z-score indeks TB/U

Status gizi TB/U Z-score (Rata-rata ± SD )

Normal 0.8 ±0.3

Pendek (stunted) -2.6±1.1

(37)

Pola Asuh Makan Anak Balita

Pola asuh makan anak mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi saat makan (Hastuti 2008). Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran ibu dan pengasuhnya. Pada tabel 12 dapat diketahui bahwa persentase tertinggi pola asuh makan kedua kelompok sampel penelitian adalah pola asuh makan sedang pada kelompok balita stunted (65.7%) maupun kelompok balita normal (48.6%), sedangkan pola asuh makan tinggi (42.9%) lebih banyak pada balita normal dibandingkan balita stunted (25.7%), sisanya pola asuh makan rendah dengan sebaran persentase yang sama pada masing-masing kelompok balita stunted dan normal sebesar 8.6%.

Tabel 12 Sebaran pola asuh makan balita

Pola Asuh Makan

Anak balita stunted Anak balita normal

n % n %

Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%)

3 23

9

8.6 65.7 25.7

3 17 15

8.6 48.6 42.9

Total 35 100 35 100

Rata-rata ± SD 72.8±9.6 77.9± 12.4

Meskipun pola asuh makan balita stunted dan normal tidak terdapat perbedaan nyata secara statistik (p>0.05), pola asuh makan anak balita normal memiliki rata-rata persentase pola asuh lebih tinggi daripada anak balita stunted. Berdasarkan Tabel 12 pola asuh makan yang tinggi atau baik sebanyak 42.9% terdapat pada kelompok balita normal dibandingkan pola asuh balita stunted yang hanya 26%. Pemberian makanan yang baik akan membentuk kebiasaaan makanan yang baik pula pada anak. Selain itu anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik kemungkinan besar akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik (Hastuti 2008).

(38)

mengetahui beberapa hal agar anak balita tersebut nyaman dalam menyantap makanannya.

Tabel 13 Sebaran praktek pemberian makan anak

Praktek pemberian makan

- Makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah - Makanan pokok, lauk pauk, sayuran/buah

2

Pembiasaan jadwal makan yang teratur dilakukan oleh sebagian besar balita stunted (65.7%) dan (57.1%) balita normal. Pemberian jadwal makanan yang tidak teratur menyebabkan balita susah makan dan tidak akan terpenuhi kebutuhan gizinya. Sebanyak 67% contoh kelompok ibu balita berstatus gizi normal dan 57% contoh ibu balita kelompok status gizi stunted menyajikan hidangan sesuai keinginan anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Khomsan (2003) bahwa anak-anak diberi kesempatan untuk memilih makanannya sendiri yang disukai dengan pengawasan seperlunya dari orang tua. Dengan demikian diharapkan nafsu makan anak meningkat tanpa mengabaikan asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh anak.

(39)

mempengaruhi kemampuan keluarga untuk membeli pangan yang dibutuhkan keluarga (Azwar 2000). Selain itu pemilihan makan tanpa diiringi pengetahuan yang cukup mengenai pemilihan makanan bergizi akan mempengaruhi kecukupan gizinya yang pada akhirnya berdampak pada tumbuh kembang balita.

Tabel 14 Sebaran perilaku ibu dalam pemberian makan anak

Perilaku pemberian makan

Situasi makan anak (n=35)

- Disiplin makan, duduk didalam rumah - Sambil bermain di luar rumah

- Situasi tidak diperhatikan

7 Tindakan ibu apabila anak susah makan (n=35)

- Membujuk anak makan 14 40 19 54.3

- Membiarkan anak makan sesuai keinginan - Memaksa anak makan Tindakan ibu apabila anak menolak makanan

(n=35)

- Menginovasi makanan dengan bahan sama - Tetap diberikan dalam waktu berbeda

2

Tindakan ibu dalam mengawasi makan anak jika tidak disuapi (n=35)

- Ya selalu 17 48.6 19 54.3

- Kadang-kadang 13 37.1 13 37.1

- Tidak pernah 5 14.3 3 8.6

Perilaku ibu saat memberikan makan pada anak dapat berpengaruh pada konsumsi pangan anak dan pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi anaknya. Berdasarkan tabel 14, sekitar separuh (51.4%) ibu anak balita normal membangun situasi makan yang disiplin dan duduk didalam rumah, sedangkan sisanya 42.9% ibu membiarkan anaknya makan diluar sambil bermain. Sementara hanya 20% ibu balita stunted yang mensituasikan makan anak di dalam rumah dan 68.6% ibu yang membiarkan anaknya makan diluar sambil bermain. Perilaku ibu yang mengajak anaknya makan sambil jalan-jalan atau bermain dengan tujuan agar anak mau makan beresiko makanannya akan tercemar debu sehingga berpotensi menularkan penyakit (Wesscott 2008).

(40)

separuh ibu pada kelompok balita stunted membiarkan anak makan sesuai keinginan. Pada umumnya mereka menganggap anak sudah kenyang sehingga tidak menghabiskan makanannya.

Masalah penolakan makan anak yang dihadapi ibu membuat 8.6% ibu dari kelompok balita normal dan 5.7% ibu dari kelompok balita stunted menginovasi makanan dengan bahan makanan yang sama menjadi masakan yang diharapkan dapat disukai dan diterima anak. Sementara 71.4 % ibu kelompok balita stunted dan 48.6% ibu kelompok balita normal tetap memberikan makan namun pada waktu yang berbeda. Hampir sebagian besar ibu memberikan makan anak pada waktu yang berbeda namun pada akhirnya anak tidak menghabiskan makanannya karena suhu masakan tidak hangat dan anak kurang menyukai makanan.

Pemantauan makan anak yang dilakukan ibu untuk mengetahui makanan dihabiskan atau tidak selalu dilakukan oleh 80% ibu kelompok balita normal dan 62.9% ibu kelompok balita stunted. Sedangkan saat ibu tidak menyuapi makan anaknya sebanyak 54.3% ibu kelompok balita normal dan 48.6% ibu kelompok balita stunted selalu memantau kembali apakah anak menghabiskan makanannya.

Frekuensi Makan Anak Balita

Frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar (Khomsan 2003).

Gambar

Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Tabel 6 Sebaran pekerjaan orang tua balita
Tabel 14 Sebaran perilaku ibu dalam pemberian makan anak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain, pemilik sertifikat Berkaitan dengan sertifikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat kuat,. sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan

Language is a symbol of existence of a nation. The distinction of a language could represent the vanished of specific nation or tribe. Government of every nation

Aplikasi penelitian ini dimasa yang akan datang disarankan agar Hotel Grand Duta Syariah Palembang dapat membedakan fungsi penjualan dan fungsi kas agar tidak

Michael Cronin looks at how translation has played a crucial role in shaping debates about identity, language and cultural survival in the past and in the present.. He explores

Banyak faktor yang menyebabkan manfaat dari zakat ini belum terasa maksimal, diantaranya adalah lemahnya motivasi keagamaan dan kesadaran ke Islaman pada

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Pemilihan Langsung Nomor : 027/ 14 / PP.Gdg.Sukorejo/ 405.21/ 2012, tanggal 11 Juli 2012, maka diumumkan kepada para Peserta

Penelitian yang berjudul ”Kajian tentang Perbandingan Aspek Perdata dan Pidana dalam Pelaksanaan Tuntutan Ganti Rugi Akibat Perbuatan Melawan Hukum dalam Kasus

Pada bab empat ini berisikan tentang hasil penelitian pada Satpol PP Kabupaten Bantul, Pengadilan Negeri Bantul, yang berupa data tindak pidana prostitusi di