• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salak (Salaca edulis Reinw) tergolong dalam ordo Principes, famili

Palmae dan genus Salacca. Tanaman ini merupakan tanaman tropis asli dari Indonesia dan dikenal dengan berbagai nama seperti salobi (Batak), saka (Bugis, Makassar, Minangkabau), hakam (Kalimantan Tengah), sekoomo (Melayu), salak (Sunda, Jawa, Bali, Madura), salak (Malaysia, Indonesia), snake fruit (bahasa inggris) (Sastrapradja et al. 1980) . Menurut Murtiningsih et al. (1996) buah salak mempunyai prospek yang baik karena cukup disukai, bernilai ekonomi tinggi dan tanamannya berumur panjang, sehingga dapat memberikan hasil dalam jangka waktu yang lama.

Menurut Steenis (1981) pohon salak memiliki tangkai daun dengan panjang 2.5-3 m, di bagian bawah dan tepinya berduri tempel yang banyak. Buah salak pondoh berbentuk segitiga, bulat telur terbalik, kulit bersisik dengan warna coklat kehitaman, coklat kemerahan, coklat kekuningan. Berat buah yang berukuran sedang berkisar antara 49-70 g, dengan panjang 5-6 cm. Daging buah berwarna putih kapur dengan biji bulat hitam.

Di Indonesia salak pondoh merupakan jenis salak yang terkenal dan merupakan komoditas andalan dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama salak pondoh berasal dari daging buahnya yang berwarna putih dan rasanya manis

seperti “pondoh” (pucuk pohon kelapa sebelah dalam) dibandingkan dengan salak biasa, buah salak pondoh ukurannya relatif lebih kecil namun teksturnya lebih keras, warna daging buah relatif putih, tetapi warna kulitnya lebih hitam (Sabari 1983).

Menurut Wrasiati et al. (2001) penampakan secara fisik, bentuk dan tekstur buah serta komposisi kimianya dapat menentukan kualitas buah-buahan segar. Terjadinya penurunan kualitas dikarenakan penanganan pada saat panen dan pascapanen yang kurang baik. Perlakuan yang kurang baik ini menimbulkan kerusakan mekanis, fisiologis, biologis, mikrobiologis dan penundaan panen.

Direktorat Gizi DEPKES RI (2000) melaporkan bahwa setiap 100 g buah salak mengandung 77.0 kalori, 0.4 g protein, 20.9 g karbohidrat, 28.0 mg

kalsium, 18.0 mg fosfor, 4.2 mg zat besi, 0.04 mg vitamin B1, 2.0 mg vitamin C, 78.0 g air dan 50% bagian yang dapat dimakan.

Standar Mutu Salak

Standar mutu salak Indonesia tercantum pada SNI 3167:2009 (Standar Nasional Indonesia 2009), dengan ketentuan minimum untuk semua kelas buah yang harus dipenuhi antara lain adalah utuh, padat (firm), penampilan segar, layak dikonsumsi, bersih, bebas dari hama dan penyakit, bebas dari kerusakan akibat temperatur rendah dan tinggi, bebas dari kelembaban eksternal yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin, bebas dari aroma dan rasa asing. Bila disajikan dalam bentuk tandan, panjang tandan maksimum 5 cm, memiliki tingkat kematangan yang cukup.

Buah salak harus dipanen dengan hati-hati dan telah mencapai tingkat kematangan yang tepat sesuai dengan kriteria ciri varietas dan atau jenis komersial dan lingkungan tumbuhnya. Perkembangan dan kondisi buah salak pada saat panen harus dapat mendukung penanganan dan pengangkutan, sampai tujuan dalam kondisi yang diinginkan.

Salak digolongkan dalam 3 (tiga) kelas mutu, yaitu kelas super, kelas A dan kelas B. Salak kelas super adalah salak berkualitas paling baik (super) yaitu bebas dari cacat, kecuali cacat sangat kecil. Salak kelas A adalah salak berkualitas baik, dengan cacat yang diperbolehkan sebagai berikut: 1) Cacat sedikit pada kulit seperti lecet, tergores atau kerusakan mekanis lainnya. 2) Total area yang cacat tidak lebih dari 2 % luas total seluruh permukaan buah. 3) Cacat tersebut tidak mempengaruhi isi buah. Salak kelas B adalah salak berkualitas baik, dengan cacat yang diperbolehkan sebagai berikut: 1) Cacat sedikit pada kulit seperti lecet, tergores atau kerusakan mekanis lainnya. 2) Total area yang cacat tidak lebih dari 5 % luas total seluruh permukaan buah. 3) Cacat tersebut tidak mempengaruhi isi buah. Ketentuan mengenai ukuran dengan kode ukuran yang ditentukan berdasarkan bobot disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kode ukuran berdasarkan bobot

Sumber : SNI (2009)

Ketentuan mengenai toleransi buah salak adalah sebagai berikut (a) Batas toleransi mutu kelas super yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu maksimum 5 % dari jumlah atau bobot salak, tetapi masih termasuk dalam kelas A. (b) Batas toleransi mutu kelas A yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 10 % dari jumlah atau bobot salak, tetapi masih termasuk dalam kelas B. (c) Batas toleransi mutu kelas B yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu maksimum 10 % dari jumlah atau bobot salak tetapi masih memenuhi ketentuan minimum. (d) Untuk semua kelas, batas toleransi yang diperbolehkan adalah 10 % di atas atau di bawah kisaran ukuran yang ditentukan.

Cendawan Penyebab Kerusakan Pascapanen pada Buah Salak Pondoh

Pada kondisi yang baik buah salak memiliki beberapa faktor mutu antara lain penampilan, kondisi, tekstur, cita rasa dan nilai nutrisi. Seiring dengan lamanya usia penyimpanan setelah dipanen, maka buah salak pun akan mengalami penurunan kualitas. Pada umumnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas antara lain adalah cendawan, inang dan lingkungan. Cendawan patogen sangat banyak dijumpai pada saat buah masih berada pada tanaman atau di dalam ruang simpan. Meskipun demikian hanya beberapa jenis patogen yang mampu tumbuh dan berkembang dan menimbulkan kerusakan pada produk pascapanen.

Buah salak yang terserang cendawan memiliki aroma dan cita rasa yang tidak sedap serta tekstur yang lunak. Suharjo dan Wijadi (1991) melaporkan bahwa busuk buah salak pondoh disebabkan oleh serangan cendawan

Aspergillus sp., Fusarium sp. dan Ceratocystis paradoxa. Menurut

Kode ukuran bobot (gram)

1 > 120 2 101 – 120 3 81 – 100

Kusuma et al. (1995) gejala buah yang busuk akibat serangan Ceratocystis paradoxa yaitu ujung buah mulai melunak, jika dikupas akan tampak daging yang berwarna coklat hitam, lunak dan basah. Permukaan kulit buah yang terserang Fusarium sp.tertutup oleh miselium berwarna putih, daging buah busuk. Sedangkan buah busuk yang disebabkan oleh Aspergillus sp.dimulai dari pangkal buah dengan ditandai adanya konidiofor dan kepala berkonidium berwarna kuning.

Murtiningsih et al. (1996) melaporkan bahwa penyebab penyakit pascapanen pada buah salak adalah busuk buah yang disebabkan oleh Thielaviosis

sp. Gejala awal serangan pascapanen ini ditandai dengan pangkal buah mulai lunak. Jika buah dikupas akan terlihat daging buah yang lunak sudah berwarna coklat dan basah.

Berbagai Jenis Tanaman sebagai Fungisida Botani

Zat antimikroba adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba. Zat antimikroba dapat bersifat membunuh mikroba atau menghambat pertumbuhan mikroba. Beberapa jenis tanaman yang memiliki aktivitas antimikroba cukup kuat adalah bawang merah, bawang putih, cabe merah, jahe, kunyit, dan lengkuas. Rempah-rempah tersebut mempunyai aktivitas penghambatan yang maksimum terhadap bakteri patogen dan perusak makanan (Winiarti et al. 2007).

Menurut Niamsa dan Sittiwet (2009) ekstrak rimpang kunyit (Curcuma longa) mempunyai aktivitas antimikroba yang baik terdapat bakteri dengan konsentrasi rendah (4-16 gL-1). Sunilson et al. (2009), juga melaporkan bahwa kunyit dan jahe memberikan pengaruh aktivitas antimikroba yang sangat baik jika dibandingkan dengan lengkuas.

Jahe merah

Tanaman jahe merah dapat dikelompokkan ke dalam Kingdom: Plantae

(Tumbuhan), Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Divisi:

Spermatophyta (Menghasilkan biji), Kelas: Monocotyledoneae, Bangsa:

Zingiberales, Suku: Zingiberaceae, Spesies: Zingiber officinale Linn var Rubrum (Baker dan Bakhuizen 1968 )

Tanaman jahe merah Z. officinale Linn Var Rubrum (jahe sunti) merupakan salah satu tanaman penting dari jenis temu-temuan yang termasuk dalam genus

Zingiber. Di Indonesia dikenal ada tiga tipe jahe yaitu jahe merah, jahe besar dan jahe kecil. Ketiga tipe jahe tersebut memiliki bentuk, warna, aroma dan komposisi warna yang berbeda. Dendogram berdasarkan unweighted pair group methods of aritmetic avarage (UPGMA) dari semua nomor aksesi yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama. Jahe merah secara genetik mempunyai kekerabatan yang jauh dari jahe besar, tetapi mempunyai kekerabatan yang dekat dengan beberapa aksesi jahe kecil, keragaman genetik dari jahe kecil (Ht = 0.25) lebih tinggi dari jahe besar (Ht = 0.08) (Wahyuni et al. 2003).

Kandungan utama Zingiber adalah minyak atsiri yang merupakan metabolit atau senyawa sekunder. Kadar minyak atsirinya cenderung bervariasi yang dipengaruhi oleh umur panen, bagian organ, tanah, iklim, spesies dan varietas. Penelitian kadar minyak atsiri yang dilakukan terhadap tujuh spesies menunjukkan bahwa kadar tertinggi dihasilkan oleh Z. officinale yaitu 6.67% (mL/100g), diikuti Z. cassumunar 6.33%, Z. zerumbet 6.00%, Z. aromaticum

5.00%, Z. amaricans 4.67%, Z. ottensii 4.29% dan yang paling rendah adalah

Z. gramineum 0.20% (Marsusi et al. 2001).

Menurut Etikawati dan Setyawan (2000) pembentukan minyak atsiri pada genus Zingiber terjadi selama proses metabolisme. Minyak atsiri telah dibentuk bahkan oleh sel-sel ujung akar yang masih bersifat meristematis. Pada dasarnya minyak atsiri sebagaimana umumnya lipida dapat dilarutkan oleh pelarut organik seperti benzena, petroleum eter, kloroform dan lain lain.

Ficker et al. (2003) melaporkan bahwa ekstrak jahe memiliki efek anticendawan walaupun belum ada penelitian tentang bagaimana mekanismenya. Gingerol, gingerdiol dan zingerona yang terkandung dalam jahe telah diteliti oleh peneliti sebelumnya dan memiliki efek anticendawan. Ekstrak jahe memiliki aktivitas anticendawan spektrum luas, bahkan terhadap cendawan yang resisten terhadap amfoterisis B dan ketokonazol.

Hasil isolasi dari rimpang jahe, dan strukturnya dengan metode spektral dan beberapa transformasi kimia menunjukkan, bahwa terdapat kesamaan metabolik dari konstituen kurkuminoid dengan arilalkanoid (dehidrogingerdiona→ gingerol → shogaol) Zingibeaceae Gingerenone A menunjukkan aktivitas anticoccidium moderat in vitro dan efek anticendawan yang kuat untuk Pyriculariaoryzae (Endo et al. 1990).

Singh et al. (2008) melaporkan bahwa komponen utama minyak atsiri dalam oleoresin etanol adalah geranial 25.9%, eugenol 49.8%, sedangkan komponen utama pada tiga oleoresin lain zingerone yaitu metanol, CCl4 dan isooktana oleoresin masing-masing adalah 33.6%, 33.3% dan 30.5%. Aktivitas antioksidan minyak atsiri dan oleoresin dievaluasi terhadap minyak mustard oleh peroksida, anisidin, asam tiobarbiturat (thiobarbituric acid, TBA), feri tiosianat (ferric thiosyanate, FTC) dan 2,2-difenil pikrilhidrazil dengan menggunakan metode scavenging radikal. Ditemukan antioksidan yang lebih baik dari pada butil hidroksianisola. Sifat antimikroba juga dipelajari dengan menggunakan berbagai spesies cendawan dan bakteri patogen. Minyak esensial dan oleoresin CCl4 100% menunjukkan zona hambatan terhadap Fusarium moniliforme. Untuk uji terhadap cendawan dan bakteri lainnya, minyak esensial dan semua oleoresins menunjukkan efek hambat moderat yang baik. Minyak atsiri dan oleoresin sangat efektif, selain itu dalam menghambat pertumbuhan cendawan dan bakteri patogen minyak atsiri terbukti lebih baik daripada oleoresin

Sivasothy et al. (2011) menyatakan bahwa pada minyak esensial yang diperoleh melalui proses hidrodistilasi daun dan rimpang jahe terdapat 46 konstituen yang diidentifikasi dari minyak daunnya, sedangkan 54 konstituen yang diidentifikasi dari minyak rimpangnya. Minyak dari daun didominasi oleh

β-kariofilin 31.7%, sedangkan minyak dari rimpang terutama terdiri dari monoterpenoid, dengan kamfena 14.5%, geraniol 14.3%, dan geranil asetat 13.7%. Evaluasi kegiatan antibakteri menggunakan teknik mikro-dilusi menunjukkan bahwa baik minyak daun maupun minyak rimpang agak aktif terhadap bakteri Bacillus licheniformis, Gram-positif Spizizenii bacillus dan

Staphylococcus aureus, Escherichia coli bakteri Gram-negatif, Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas stutzeri.

Habsah et al. (2000) melaporkan bahwa ekstrak diklorometana dan metanol dari 13 genus yang tergolong famili Zingiberaceae di antaranya Alpinia,

Costus dan Zingiber diteliti untuk melihat aktivitas antimikroba dan antioksidan. Sebagian besar aktivitas antimikroba ekstrak tersebut adalah antibakteri, hanya ekstrak metanol Costus discolor yang menunjukkan aktivitas antifungi, sangat

ampuh terhadap Aspergillus ochraceous. Semua ekstrak menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat, sebanding dengan atau lebih tinggi dari α-tokoferol.

Kunyit

Tanaman kunyit dapat dikelompokkan ke dalam Kingdom: Plantae

(Tumbuhan), Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Divisi:

Spermatophyta (Menghasilkan biji), Kelas: Monocotyledoneae,Bangsa:

Zingiberales, Suku: Zingiberaceae (suku jahe-jahean), Marga: Curcuma, Spesies:

Curcuma domestica (Baker dan Bakhuizen 1968)

Genus Curcuma terdiri lebih dari 80 spesies, memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 2000 m dari permukaan laut seperti di daerah Ghats Barat dan Himalaya. Setelah keluar dari daerah asalnya di wilayah Indo-Malaya, genus ini kemudian tersebar luas ke daerah tropis Asia ke Afrika dan Australia. Di dunia Curcuma merupakan komoditas penting karena merupakan bahan obat yang sangat potensial dalam memerangi berbagai penyakit, mengandung molekul anti-inflamasi,

hypocholestraemic, choleratic, antimikroba, obat nyamuk, antirematik, antifibrotic, antivenomous, antivirus, antidiabetes, antihepatotoksik, serta berperan sebagai antikanker (Sasikumar 2005).

Apisariyakul et al. (1995) mengkaji minyak kunyit dan kurkumin yang diisolasi dari Curcuma longa L terhadap 15 isolat dermatofit, empat isolat jamur patogen dan enam isolat khamir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 isolat dermatofit dapat dihambat oleh minyak kunyit pada pengenceran 1:40-1:320, tetapi tidak satu pun dari isolat dermatofit dihambat oleh kurkumin. Empat isolat jamur patogen lainnya dihambat oleh minyak kunyit pada pengenceran 1:40-1:80 tetapi tidak ada yang dihambat oleh kurkumin.

Singh et al. (2010) melaporkan bahwa pada minyak esensial dari rimpang kunyit segar terdapat unsur utama yang terdiri dari aromatik-turmeron 24.4%,

alpha-turmeron 20.5% dan beta-turmeron 11.1%. Di dalam oleoresins dari rimpang kunyit segar, komponen utamanya adalah alpha-turmeron (53.4%), beta-turmeron (18.1%) dan aromatik-beta-turmeron (6.2%) .

Pelapisan Lilin

Pelapisan lilin merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan dan melindungi produk segar dari kerusakan dan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti mikroba. Selain itu pelilinan juga bertujuan untuk menutupi luka atau goresan kecil pada permukaan buah dan sayuran. Lilin adalah pelapis yang digunakan untuk menggantikan lilin alami pada kulit buah yang hilang akibat pencucian. Pelilinan dapat digunakan untuk mengurangi kehilangan air dan menutup luka (Kader 1992). Wrasiati et al. (2001) melaporkan bahwa pelapisan lilin dengan konsentrasi 10% pada permukaan kulit buah salak Bali memberikan hasil yang terbaik dan dapat memperpanjang umur simpan buah salak yang semula 7 hari menjadi 12 hari, serta dapat mempertahankan kualitas buah salak.

Mekanisme pelapisan lilin adalah menutupi pori-pori buah dan sayuran yang sangat banyak. Dengan pelapisan lilin diharapkan pori-pori dari buah-buahan dan sayuran dapat ditutup sebanyak 50%, sehingga dapat mengurangi kehilangan air, memperlambat proses fisiologis, dan mengurangi keaktifan enzim-enzim pernafasan (Setiasih 1999). Pembuatan emulsi lilin tidak diperkenankan menggunakan air sadah, karena garam-garam yang terkandung di dalam air sadah tersebut dapat merusak emulsi lilin (Pantastico et al. 1986). Emulsi-emulsi lilin dalam air lebih aman digunakan daripada pelarut-pelarut lilin yang mudah terbakar. Untuk membuat satu liter emulsi lilin larutan dibuat dengan campuran 100 g lilin ditambahkan 20 ml asam oleat, 40 ml trietanolamin dan akuades sampai volumenya menjadi 1000 mL. Dengan cara ini diperoleh konsentrasi lilin 10% (Wrasiati et al. 2001).

Pelilinan biasanya dikombinasikan dengan bahan kimia pemberantas bakteri dan cendawan. Fungisida digunakan untuk menghindari kerusakan oleh cendawan pada bahan organik. Fungisida dapat diberikan bersamaan dengan pelapisan lilin yaitu mencelupkan buah-buahan atau sayuran ke dalam larutan fungisida, kemudian dicelupkan dalam emulsi lilin atau jika fungisida yang digunakan tidak merusak lilin, komoditas dapat langsung dicelupkan ke dalam emulsi lilin yang telah dicampur dengan fungisida (Roosmani dan Syaifullah 1991).

Dokumen terkait