• Tidak ada hasil yang ditemukan

Owen et al. (1993) menyatakan penuaan adalah proses yang terjadi dalam lingkungan dalam konteks biologi, manusia, gaya hidup, dan sistem perawatan kesehatan saling berinteraksi untuk menghasilkan kesehatan. Proses kronologis dari penuaan menyebabkan beberapa perubahan fisiologi dalam sel, organ, dan sistem organ.

Selain umur, proses penuaan yang terjadi karena faktor psikosial seperti stress, sosial ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan gizi. faktor-faktor ini saling mempengaruhi dan pada setiap individu berbeda prosesnya. Penuaan merupakan proses normal dari kehidupan dan tubuh akan mencapai kematangan fisiologis. Laju dari katabolis atau perubahan degenerative dapat menjadi lebih besar dari regenerasi anabolis. Sebagai hasil akhirnya adalah kehilangan sel-sel yang dapat menyebabkan drajat penurunan eksistensi dan gangguan fungsi- fungsi tersebut (Harris 2000).

Perkembangan kehidupan manusia dibagi dalam dua tahap, yaitu masa pertumbuhan (bayi, anak, remaja) dan dewasa, yaitu kelo,pik manusia usia lanjut. Pada masa ini kematangan fisik dan fisiologis telah tercapai dan telalmpaui. Keadaan fisik setiap orang akan selalu berubah sejalandengan usianya. Pada saat orang dilahirkan selutuh kerangka tubuh dan panca indera akan berkembang dengan cepat namun kecepatan gerakan perkembangan itu akan berkembang dengan cepat namun kecepatan gerakan perkembangan itu akan berkurang seirama dengan peningkatan usia seseorang. Pada saat tertentu gerakan perkembangan seseorang akan berhenti dan digantikan dengan proses kemunduran fisik. Saat terjadi proses kemunduran ini maka akan dianggap sebagai tanda bahwa sesorang telah memasuki kelompok lanjut usia (Nasoetion & Briawan 1993).

Wirakusumah (2002) menyatakan bahwa perubahan-perubahan secara fisik maupun mental banyak terjadi saat seseorang memasuki usia senja. Perubahan terjadi secara fisik, komposisi tubuh, penglihatan, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem pernafasan, sistem saraf, sistem katabolisme, sistem hormone, dan sistem ekskresi.

Arisman (2004) membagi lansia menjadi young elderly (65-74) dan older elderly (lebih dari 75 tahun). Sementara Munro et al. (1987) dalam Arisman (2004) mengelompokkan older elderly ke dalam dua bagian yaitu (75-84 tahun

dan 85 tahun atau lebih tua. Menurut Astawan dan Wahyuni (1988) untuk negara-negara yang sudah maju dengan keadaan gizi, kesehatan, dan ekonomi yang baik batas lanjut usia adalah 65 tahun keatas, sedangkan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) menetapkan batas lansia adalah 60 tahun.

Keadaan Sosial Ekonomi Usia

Departemen Kesehatan (1991) membuat pengelompokkan usia lanjut menjadi:

1. Kelompok pertengahan umur ialah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut, yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun).

2. Kelompok usia lanjut dini ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun).

3. Kelompok usia lanjut ialah kelompok dalam masa senium (65 tahun ke atas).

Pendidikan

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan mutu kehidupan seseorang. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang pernah dialami atau lamaya mengikuti pendidikan formal atau non-formal. Pada umumnya tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya (BPS 2004).

Sesuai dengan undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan selain merupakan saran untuk mengembangkan meningkatkan kemampuan intelektual dan keterampilan, juga merupakan sarana untuk membentuk watak dan peradaban yang sesuai dengan bangsa yang bermartabat. Hal ini menunjukkan bahwa output yang merupakan hasil proses pembelajaran lembaga pendidikan adalah sumberdaya manusia (SDM) yang terampil, berilmu, handal, kreatif, dan berakhlak mulia.

Pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam pendidikan formal dan informal (Suhardjo 1989). Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga. kemampuan baca tulis di pedesaan akan membantu dalam memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi. Dengan demikian informasi tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga (Sukarni 1989).

Pendapatan dan Pekerjaan

Lansia sangat bergantung kepada keluarganya dalam masalah ekonomi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pendapatan yang diterima (uang pensiunan) atau tidak mempunyai pendapatan sama sekali. Rendahnya pendapatan yang disertai dengan penurunan fungsi tubuh pada lansia akan meningkatkan ketidaktahanan pangan (Tucker & Buranapin 2001).

Faktor ekonomi merupakan parameter penting dalam pola makan kebanyakan orang dewasa (Burton & Foster 1988). Guhardja et al. (1992) diacu dalam Sukandar (2007) menyatakan bahwa pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula. Hardinsyah dan Suhardjo (1987) juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Semakin tinggi pendidikan yang telah dijalani oleh seseorang, maka pekerjaan yang didapat akan semakin baik sehingga akan berpengaruh besar terhadap besar pendapatan yang diterimanya. Menurut Berg (1986) diacu dalam Sukandar (2007) tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kulaitas dan kuantitas makanan karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan infomasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik.

Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Sukandar (2007), kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan dan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu.

Pendapatan merupakan salah satu faktor ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi pangan. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan membeli beragam bahan pangan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas (Suhardjo 1989). Martianto dan Ariani (2004) mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan, maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya ahal namun dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan

mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari.

Turner et al. (1991) mengemukakan bahwa jaminan keuangan sangat menentukan alternative penyesuain hidup bagi lansia. Para lansia tidak lebih miskin daripada keluarga lainnya, hanya saja mereka mempunyai kesempatan yang sangat terbatas untuk meningkatkan status ekonomi. Kebanyakan lansia bergantung pada sumber ekonomi dari anggota keluarganya.

Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dri penngelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga (Sanjur 1982 diacu dalam Sukandar 2007).

Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangann menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982 diacu dalam Sukandar 2007).

Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Sukandar (2007) jumlah anggota keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga.

Besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Hal ini disebabkan oleh besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi di dalam satu keluarga. Selain itu, besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukarni 1989 diacu dalam Sukandar 2007). Rumah yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi O2 dan memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 1997 diacu dalam Sukandar 2007).

Konsumsi Pangan

Pangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua bahan yang dapat dijadikan makanan, sedangkan makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi yang berguna bagi tubuh. Makanan sehari-hari

yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi essensial yang merupakan zat gizi yang harus diperoleh dari makanan (Almatsier 2002). Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, serta memperbaiki jaringan serta pertumbuhan. Pada dasarnya keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut (Sukandar 2007).

Bahan makanan dapat dikelompokkan berdasarkan tiga fungsi utama yaitu sumber energi atau tenaga seperti padi-padian atau serealia, umbi-umbian dan hasil olahannya; sumber protein yaitu protein hewani dan protein nabati seperti ikan, daging, tempe; dan sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah- buahan. Selain bahan makanan tersebut, menu sehari-hari juga menggunakan sumber lemak murni seperti minyak goreng, margarine, mentega, serta karbohidrat murni seperti gula pasir, gula merah, madu, dan sirup (Almatsier 2004).

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan bagi yang masih dalam taraf pertumbuhan (bayi, anak-anak, dan remaja) atau untuk aktivitas dan pemeliharaan tubuh bagi orang dewasa dan lansia (Hardinsyah & Martianto 1992).

Konsumsi makanan yang lebih beragam dapat memperbaiki kecukupan akan zat-zat gizi dan menunjukkan perlindungan terhadap serangan berbagai penyakit kronik yang berhubungan dengan proses penuaan (Howarth et al. 1999). Menurut Astawan dan Wahyuni (1998) konsumsi makanan sumber protein, vitamin, dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan dikonsumsi dalam jumlah cukup secara teratur dan bervariasi, karena keduanya merupakan sumber serat yang baik,

yang berguna untuk mengatasi kesulitan dalam buang air besar pada lansia. Selain itu, sebaiknya dipilih makanan yang lunak dan mudah dikunyah, sedangkan untuk meningkatkan selera makan, bumbu-bumbuan dapat ditambahkan ke dalam makanan.

Wirakusumah (2002) mengungkapkan bahwa dari beberapa hasil penelitian terhadap pola makan lansia dapat diperoleh kesimpulan pada umumnya para lansia kurang mengonsumsi buah-buahan dan sayuran. Konsumsi makanan harus beragam karena tidak ada satu jenis makanan yang mengandung komposisi gizi yang lengkap. Oleh karena itu, kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu akan dilenkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis makanan yang lain, sehingga diperoleh asupan zat gizi yang sembang. Selain itu, konsumsi makanan yang lebih beragam dapat memperbaiki kecukupan akan zat-zat gizi dan menunjukkan perlindungan terhadap serangan berbagai penyakit kronik yang berhubungan dengan proses penuaan.

Survei diet atau penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supariasa et al. 2001). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengkuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Peyerapan Minyak (Supariasa et al. 2001).

Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian konsumsi pangan atau survei diet adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supariasa et al. 2002). Menurut Suhardjo (1989), survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi. Dari informasi ini

akan dapat dihitug konsumsi gizi dengan menggunakan Daftar Kandungan Zat Gizi Makanan (Daftar Komposisi Bahan Makanan) dan daftar-daftar lainnya bila diperlukan (Suhardjo 1989). Menurut Supariasa et al. (2001), metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitatif, antara lain: metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimate food record), penimbangan makanan (food

weighing), metode food account, metode inventaris (inventory method),

pencatatan (household food records).

Survei konsumsi pangan secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara memperoleh pangan. Supariasa et al. (2001) menyebutkan metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kualitatif, antara lain: metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, metode pendaftaran makanan (food list).

Metode Recall 24 Jam

Pada dasarnya metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu. Wawancara dilakukan sedalam mungkin agar responden dapat mengungkapkan jenis bahan makanan dan perkiraan jumlah bahan makanan yang dikonsumsinya beberapa hari yang lalu. Biasanya recall dilakukan untuk 2-3 hari yang lalu. Penentuan jumlah hari recall ditentukan oleh keragaman jenis konsumsi antar waktu atau tipe responden dalam memperoleh pangan (Suhardjo 1989).

Supariasa et al.. (2002) menyebutkan prinsip dari metode recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Sanjur (1997) diacu dalam Supariasa el al. (2002) mengemukakan beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. Langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam (Supariasa et al. 2001) yaitu:

1. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Selain itu, petugas juga melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram).

2. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

3. Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia.

Menurut Supariasa et al. (2001), metode recall 24 jam ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, sebagai berikut:

Kelebihan metode recall 24 jam:

1. Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden. 2. Biaya relatif murah karena tidak memerlukan peralatan khusus dan

tempat yang luas untuk wawancara.

3. Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden. 4. Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.

5. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung asupan zat gizi sehari.

Kekurangan metode recall 24 jam:

1. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan recall satu hari.

2. Ketepatannya tergantung pada daya ingat responden.

3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi orang-orang yang

kurus melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).

4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

5. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan mengenai tujuan penelitian.

6. Untuk mendapat gambaran konsumsi makanan sehari-hari recall jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, pada saat melakukan upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain.

Tingkat Kecukupan dan Angka Kecukupan Zat Gizi

Penghitungan asupan gizi seseorang dapat mengacu pada Daftar Kecukupan Gizi (DKG) yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk

mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan gizi seseorang (Hardinsyah & Briawan 1994).

Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Namun, angka kecukupan ini digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk (Almatsier 2002).

Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antar konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan zat gizi dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Tingkat kecukupan zat gizi = Konsumsi zat gizi aktual x 100 % AKG

Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (a) defisit tingkat berat (<70 % AKG); (b) defisit tingkat sedang (70-79 % AKG); (c) defisit tingkat ringan (80-89 % AKG); (d) normal (90- 119 % AKG); dan (e) kelebihan (≥120 % AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu (a) kurang (<77 % AKG) dan (2) cukup (≥77 % AKG).

Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengatur suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Protein

Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekpresi genetik, neuotransmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan (Hardinsyah & Tambunan 2004). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralisasi tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel- sel.

Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu, dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2002). Hardinsyah dan Tambunan (2004) mengemukakan bahwa pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati.

Penilaian Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompk orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan zat gizi dari makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau kelompok orang, maka dapat diketahui apakah seseorang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Ada berbagai cara yang digunakan untuk menilai status gizi yaitu melalui konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Status gizi seseorang dapat berupa gizi kurang atau lebih dengan tingkatan ringan, sedang, dan berat (Riyadi 1995 diacu dalam Khomsan et al. 2007).

Menurut Supariasa et al. (2001) kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa adalah masalah penting karena akan menentukan resiko-resiko penyakit tertentu. Pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan, salah satu caranya adalah dengan mempertahankan berat badan ideal atau normal. Laporan FAO dan WHO diacu dalam Supariasa et al. (2001) menyatakan bahwa batasan berat badan normal dewasa begitu juga dengan lansia ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Berikut ini merupakan rumus perhitungan IMT:

Indeks Massa Tubuh (IMT) kg/m2= Berat Badan (kg )

Hasil studi baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak populasi Asia memiliki proporsi lemak tubuh yang lebih tinggi dibanding ras Kaukasoid pada usia, jenis kelamin, dan IMT yang sama. WHO telah merevisi cut off point IMT pada tahun 2005 dengan menekankan pada resiko kesehatan yang dapat ditimbulkan.

Tabel 1. Kriteria IMT menurut WHO (2005).

IMT (Kg/m2) Status Resiko Kesehatan

<14.9 Sangat kurus Resiko penyakit defisiensi gizi

15.0-18.4 Kurus

18.5-22.9 Normal Resiko rendah

23.0-27.5 Gemuk Resiko sedang

27.6-40.0 Obesitas I

Resiko tinggi >40.0 Obesitas II

.

Berat badan seseorang dipengaruhi oleh tinggi badan seseorang, artinya berat badan meningkat dengan meningkatnya tinggi badan apabila proporsi tubuh normal terap dipertahankan. Tinggi atau panjang badan merupakan indicator umum ukuran tubuh dan panjang tulang. Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Kedua lengan tergantung rileks disamping badan. Potongan kayu yang merupakan bagian dari alat pengukur tinggi dapat digeser, kemudian diturunkan hingga menyentuh bagian atas kepala. Alat ukur ini setidaknya memiliki ukuran panjang 175 cm dan mampu mengukur sampai 0.1 cm (Arisman 2004).

Pada prinsipnya untuk mengukur berat badan dengan menggunakan timbangan. Terdapat dua macam timbangan, yaitu beam (lever) balances scales

dan spring scales. Contoh beam balance adalah dacin, sedangkan spring scale

adalah timbangan pegas (timbangan kamar mandi). Timbangan jenis spring scale tidak dianjurkan karena pegas mudah melar, terutama jika digunakan berulang kali, apalagi jika lingkungan bersuhu panas. Penimbangan sebaiknya dilakukan pada pagi hari setelah bangun tidur, mengenakan pakaian setipis mungkin, sebelum dan setelah buang air, serta ditimbang oleh petugas yang sama (Arisman 2004).

Penilaian status gizi menggunakan antropometri memiliki beberapa keunggulan yaitu sederhana, aman, bisa untuk sampel besar, peralatan murah, mudah dibawa, tahan lama, akurat, dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau dan juga dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu (Supariasa et al. 2001). Namun pengukuran menggunakan

antropometri juga memiliki kelemahan dalam pengukuran sampel yang berusia

Dokumen terkait