• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sutardi (1977) menyatakan bahwa secara umum sebagian protein yang terkandung didalam pakan ternak ruminansia akan diubah menjadi protein mikroba terlebih dahulu sebelum digunakan oleh ruminansia. Ada dua cara yang dilakukan agar jumlah protein pakan lebih banyak tersedia bagi ternak yaitu dengan pembentukan protein by pass dan dengan cara memberikan senyawa nitrogen bukan protein (NBP) kepada ternak, sehingga dengan begitu maka ruminansia dapat hidup dengan ransum berkualitas protein rendah dan dapat menggunakan senyawa NBP untuk pembentukan protein mikroba di dalam rumen.

Salah satu sifat mikroba rumen adalah mampu menggunakan amonia untuk membentuk protein tubuhnya (Suryadi, 1993). Menurut Sutardi (1977) hal tersebut terjadi karena mikroba rumen tidak mempunyai sistem enzim yang dapat mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya sehingga semua asam amino harus diubah menjadi amonia terlebih dahulu dan kemudian baru dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Sumber energi yang digunakan oleh mikroba berasal dari gula (monosakarida) yang terlarut dalam cairan rumen dengan begitu maka ketersediaan monosakarida terlalut mempengaruhi aktifitas bakteri untuk menghabiskan amonia (Arora, 1995), artinya bahwa untuk menginkorporasikan amonia ke dalam tubuh mikroba guna disintesis menjadi protein tubuhnya memerlukan energi, sehingga apabila mikroba kekurangan energi maka daya menyerap amonianya jadi terbatas dan berakibat terakumulasinya NH3 pada cairan rumen (Jayanegara et al., 2006). Laconi (1998) menyatakan bahwa laju pencernaan karbohidrat menjadi faktor penentu proses sintesis protein mikroba didalam rumen. Arora (1989) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorbsi amonia dan asam amino, kebutuhan mikroba akan asam amino, dan jenis fermentasi rumen yang dipengaruhi jenis pakan.

Diperkirakan kontribusi protein mikroba ini mencapai 40%-80% dari total asam amino atau protein yang diserap ternak masuk ke dalam usus halus adalah protein mikroba yang terbentuk di dalam rumen (Sniffen dan Robinson, 1987). Goedeken et al. (1990) menyatakan bahwa populasi mikroba rumen mampu membentuk semua asam amino yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Hal ini

berarti bahwa keberhasilan memacu laju pembentukan protein mikroba akan sangat berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan asam amino ternaknya.

Manfaat Urea dalam Sintesis Protein Mikroba

Beberapa sumber nitrogen bukan protein (NBP) misalnya urea, biuret, garam- amonia dan beberapa amida dapat digunakan sebagai sumber N untuk ruminan. Sumber NBP yang paling banyak digunakan dalam praktek pemberian pakan ternak ruminasia adalah urea. Penggunaan NBP dalam ransum tidak dapat menghasilkan penampilan ternak yang sama persis dengan penggunaan true protein, hasilnya selalu lebih rendah (Parakkasi, 1999). Keuntungan penggunaan urea sebagai bahan baku pembentukan protein mikroba pada pakan ruminansia dalam praktek terutama karena harganya yang relatif murah, kandungan protein kasarnya tinggi dan berbentuk senyawa sederhana sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein oleh mikroba rumen (Enseminger dan Olentine, 1978). Selain menguntungkan, penggunaan urea dalam ransum juga memiliki kerugian karena menyebabkan keracunan bila penggunaannya tidak sesuai dengan semestinya (Parakkasi, 1999).

Penggunaan urea akan menunjukkan hasil yang bermanfaat bila ditambahkan pada ransum yang mengandung protein rendah. Keefisienan pemakaian urea dalam ransum terjadi jika amonia yang terbentuk masih seimbang terhadap kemampuan mikroba rumen dalam menggunakan amonia (Suryadi,1993). Level penggunaan urea yang dianjurkan adalah 1 % dari bahan kering ransum dan tidak lebih melebihi 3% dari campuran konsentrat atau tidak lebih dari sepertiga dari kebutuhan protein (Chalupa, 1968).

Urea tidak dapat menggantikan protein, hanya mampu mensuplai nitrogen amino tetapi bagian lain dari molekul protein harus diperoleh dari sumber lain. Pembentukan protein mikroba memerlukan unsur-unsur lain seperti kerangka karbon dan hidrogen yang berasal dari karbohidrat mudah terfermentasi (Sutardi, 1977). Urea akan mengalami proses dekomposisi menjadi CO2 dan NH3 karena adanya aktifitas mikroba rumen (Laconi, 1998). Sehubungan dengan hal tersebut Suryadi (1993) menyatakan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan urea dengan ukuran tinggi untuk memperoleh utilisasi yang optimum yaitu ketersediaan energi yang cukup dan mudah tersedia serta perlunya unsur mikro yang cukup.

Peran Mineral Organik dalam Sintesis Protein Mikroba

Mineral mikro yaitu mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit dan umumnya terdapat pada jaringan dengan konsentrasi yang kecil (Arifin, 2008). Beberapa mineral mikro yaitu Fe, Mo, Cu, Zn, Co, I, dan Se serta mineral Cr ( McDonald et al., 1998; Spears, 1999; Sutardi, 2002). Mineral mikro memiliki kisaran kadar dalam ransum antara keracunan dan kekurangan yang sangat sempit. Absorpsi mineral yang berlebihan pada pakan dengan kadar mineral tinggi menyebabkan keracunan dan menurunkan performan produksi ternak. Pembatasan kadar mineral mikro dalam ransum dapat menyebabkan defisiensi akibat adanya antagonisme antar mineral.

Telah diketahui bahwa mineral yang terdapat dalam pakan alami berada pada suatu bentuk kompleks dengan senyawa organik (Simanjuntak, 2004). Penggunaan kompleks mineral organik sebagai sumber unsur mineral bagi ternak semakin meningkat karena lebih tinggi potensi ketersediaan biologisnya dibandingkan sumber mineral anorganik (Schell dan Kornegay, 1996).

Mineral organik adalah mineral yang berasal dari proses “chelate“ garam

metal yang terlarut dengan asam-asam amino atau protein yang terhidrolisis (Lyons, 1993). Salah bentuk mineral organik adalah mineral proteinat (Simanjuntak, 2004). Mineral proteinat adalah mineral yang berasal dari kelompok transisi yang telah berikatan dengan asam-asam amino dengan membentuk struktur cincin terbuka, mempunyai pH stabil, dan bermuatan netral (Simanjuntak, 2004). Unsur mineral yang berada dalam bentuk ikatan mineral-protein diketahui dapat mengurangi interaksi antar mineral dan senyawa organik lain yang beakibat akan menurunkan kemampuan penyerapan pada saluran pencernaan. Mineral anorganik yang digunakan sebagai sumber mineral ransum tidak dapat diserap tubuh ternak karena berubah menjadi senyawa kompleks akibat terjadi interaksi antar mineral atau senyawa lain pada pakan (Lyons, 1993).

Penggunaan mineral organik merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan mineral (Astuti et al., 2006). Penggunaan mineral organik lebih bermanfaat karena mudah larut dan diserap (Adawiah et al., 2006) serta bebas dari gangguan antagonisnya (Chase et al., 2000; Bailey et al., 2001).

Keterlibatan Kromium dalam Sintesis Protein Mikroba

Kromium (Cr) merupakan mineral yang esensial bagi manusia maupun hewan, terutama dalam metabolisme karbohidrat dan lemak (Mertz, 1993). Unsur Cr dikelompokkan dalam mineral mikro (trace mineral) yang esensial dan secara fisiologis peran utama Cr berkaitan dengan metabolisme glukosa dengan meningkatkan aktivitas insulin. Unsur Cr tergolong dalam unsur transisi yang mempunyai bilangan oksidasi 0, 2+, 3+, 4+, 6+ tetapi pada umumnya Cr bervalensi 3 merupakan bentuk Cr yang stabil. Unsur Cr2+ jarang ditemukan dalam sistem bilogis karena apabila terjadi kontak dengan udara akan ditransformasikan menjadi Cr3+ sedangkan Cr4+ dan Cr6+ bersifat toksik. Unsur Cr6+ bersifat karsinogenik karena Cr6+ dapat berikatan dengan protein dan asam nukleat serta berikatan dengan materi genetik. Kemampuan ternak untuk memaksimumkan fungsi karbohidrat sebagai sumber energi diperkirakan dapat dilakukan dengan pendekatan intraseluler, yaitu dengan meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui penggunaan kromium. Unsur Cr disamping penting dalam metabolisme tubuh ternak, Cr juga merupakan mineral essensial bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006). Batas maksimum toleransi konsentrasi Cr dalam ransum adalah 3000 mg/kg dalam bentuk oksida dan 1000 mg/kg dalam bentuk klorida (NRC, 2001).

Glucose Tolerance Factor (GTF)

GTF (glucose tolerance factor) merupakan kompleks antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 molekul asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein. Unsur Cr merupakan komponene aktif di dalam struktur GTF, sehingga bila tidak ada Cr pada pusat atau inti GTF maka GTF tidak dapat bekerja (Burton, 1995). GTF merupakan substansi yang dimiliki oleh yeast, dimana GTF mampu meningkatkan pengambilan glukosa (Londok, 1998). Cr trivalen dalam bentuk komplek organik berperan aktif dalam metabolisme karbohidrat melalui GTF (Bestari, 2007).

Gambar 1. Struktur ikatan kromium dengan asam nikotinat dan asam amino glutation

Sumber: Linder (1992) Kromium (Cr) Organik

Suplementasi mineral anorganik, termasuk Cr anorganik, yang selama ini umum digunakan ternyata mempunyai sifat yang merugikan. Pemberian Cr dalam bentuk organik akan memberikan efek positif karena lebih mudah diabsorpsi (Astuti

et al., 2006).

Mineral Cr dalam bentuk heksavalen (Cr6+) dapat menimbulkan toksisitas walaupun tingkat absorpsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+) yang tidak beracun sangat sulit diserap (Cefalu dan Hu, 2004; McDowell, 1992). Kompleks kromium organik terdapat dalam bentuk Cr chelate, Cr proteinat, dan Cr

pikolinat. Senyawa Cr chelate berasal dari proses chelate garam mineral yang terlarut dengan asam amino atau protein yang terhidrolisis (Lindemann, 1996).

Pembentukan Cr organik dapat dilakukan dengan inkorporasi Cr ke dalam fungi. Hal tersebut dilakukan melalui proses biofermentasi yang menggunakan fungi sebagai produsen dengan substrat yang diperkaya dengan mineral Cr anorganik. Proses biofermentasi tersebut sangat ditentukan oleh spesies fungi yang paling tepat untuk menghasilkan Cr organik. Selama ini sangat sedikit penelitian yang mempelajari spesies fungi yang dapat digunakan secara optimal sebagai carrier

dalam produksi Cr organik (Olin et al., 1994).

Astuti (2006) menyatakan bahwa fungi yang memberikan nilai inkorporasi Cr dan efisiensi terbaik adalah Rhizopus oryzae. Kapang Rhizopus sp. dapat mendukung inkorporasi Cr yang semakin tinggi dengan bertambahnya level Cr, hal ini berarti

(4000 ppm). Tingginya inkorporasi Cr dengan semakin tingginya level Cr disebabkan oleh semakin banyaknya Cr yang digunakan oleh sel kapang yang selanjutnya akan berikatan dengan protein kapang, sehingga dapat menghasilkan nilai inkorporasi yang tinggi. Penggunaan kapang Rhizopus sp. pada substrat sumber karbohidrat mengakibatkan uptake Cr yang tinggi, karena Cr berhubungan dengan metabolisme karbohidrat (Astuti, 2005).

. Suplementasi Cr dalam bentuk organik maupun inorganik dapat menurunkan efek negatif antibakteri dengan berperan sebagai GTF walaupun tanpa ada insulin (Linder, 1992). Kadar optimum penggunaan Cr organik yaitu 1000 mg/kg (Astuti et al., 2006 ; Jayanegara et al., 2006).

Gambar 2. Struktur Kimia Cr-Pikolinat

Sumber: Mooney dan Cromwell (1995) Kobalt (Co)

Kobalt (Co) merupakan unsur mineral esensial untuk pertumbuhan hewan,

dan merupakan bagian dari molekul vitamin B12. Konversi Co dari dalam tanah

menjadi vitamin B12 pada makanan hingga dicerna hewan nonruminansia kadang-

kadang disebut sebagai siklus kobalt (Arifin, 2008).

Kobalt menduduki posisi yang unik untuk ruminan dalam pembentukan molekul sianokobalamin/cyanocobalamin (B12). Penyatuan kobalt dengan unsur lain menjadi B12 dilaksanakan oleh mikroba. Mikroba rumen mungkin menggunakan B12 dari makanan atau yang terbentuk dalam rumen, untuk pembetukan pseudo-B12, karena data yang ada memperlihatkan hanya sedikit B12 yang digunakan oleh ternak (induk semang ). Hal ini dapat menerangkan mengapa pada ruminan membutuhkan

Co yang lebih banyak dibandingkan dengan monogastrik (Parakkasi, 1999). Kadar Co yang dianjurkan oleh NRC (2001) yaitu sebesar 0,1-10 ppm untuk anak sapi dan sebesar 0,07 mg/kg(Winter et al., 1977).

Sianokobalamin/B12

Dalam struktur molekul dari vitamin B12 yang kompleks , terlihat bahwa atom Co berada pada pusat dari suatu cincin tetra-ring porphryn. Grup sianida melekat pada atom Co karena adanya grup tersebut maka disebut dengan

cyanocobalamin (Parakkasi, 1999). Vitamin B12 berperan sebagai kofaktor dua enzim yaitu methylmalonyl koenzim A mutase yang mempengaruhi tahap awal selama konversi asam propionat menjadi glukosa melalui asam suksinat sebagai sumber energi dan ester grup-grup methyl dari homosistein menjadi metionin yang dikatalis oleh metionin sintetase (Kennedy et al., 1992). Selanjutnya Norris (2002) menyatakan bahwa pada sel mamalia vitamin B12 mempunyai dua fungsi yang berbeda, yaitu methylcobalamin digunakan oleh enzim methionin syntase untuk mengubah homosistein menjadi metionin sedangkan 5-deoxyadenosylcobalamin

digunakan oleh enzim methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA. Succynil-CoA

adalah suatu senyawa intermediet produksi asam propionat (Hobson dan Stewart, 1997). Defisiensi mineral Co mengakibatkan menurunnya jumlah mikroba rumen dan mengakibatkan berkurangnya aktifitas enzim malonil-CoA mutase dan metionin sintetase. Dalam membicarakan vitamin B12 hendaknya suplai Co dalam pakan tidak dilupakan karena merupakan bahan dalam pembentukan vitamin tersebut (Parakkasi, 1999).

Kapang Rhizopus sp.

Kapang merupakan organisme eukariotik heterotrof yang dapat menghasilkan spora. Kapang banyak terdapat dalam bentuk simbion dengan organisme lain baik secara mutualisme ataupun parasitisme (Setiyarto, 2011). Salah satu contoh kapang yang mudah ditemukan adalah Rhizopus sp. Kapang Rhizopus sp. tergolong dalam kelas Zygomycetes dan merupakan salah satu jenis kapang yang tumbuh pada roti, buah, dan makanan lainnya (Pelczar et al., 1986). Umumnya kapang ini banyak dijumpai pada proses fermentasi pembuatan tempe (Shurtleff dan Ayogi, 1979). Kapang jenis ini tergolong dalam genus Rhizopus, famili mucoraceae, ordo

spesifik Rhizopus menurut Setiyarto (2011) adalah sebagai berikut ; (1) hifa nonseptat (tidak bersekat), (2) mempunyai stolon dan rhizoid yang warnanya gelap jika sudah tua, (3) sporangiofora tumbuh pada noda dimana terbentuk juga rhizoid, (4) sporangia biasanya besar dan berwarna hitam, (5) kolumela agak bulat dan apofisis berbentuk seperti cangkir, (6) tidak mempunyai sporangiola, (7) membentuk hifa vegetatif yang melakukan penetrasi pada substrat dan hifa fertil yang memproduksi sporangia pada ujung sporangiofora, (8) pertumbuhannya cepat, membentuk miselium seperti kapas.

Menurut Puls dan Poutanen (1989) kecernaan pakan yang mengandung serat akan meningkat jika mengalami fermentasi dengan kapang. Darana (1995) menyatakan bahwa Rhizopussp. dapat menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat menghambat beberapa jenis bakteri rumen, selanjutnya Jayanegara et al. (2006) menyatakan bahwa Rhizopus sp. memiliki zat antagonistik terhadap bakteri yang menyebabkan adanya hambatan dalam penyerapan monosakarida oleh bakteri rumen.

Amonia (NH3)

Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein mikroba (Sakinah, 2005). Sumbangan NH3 pada ruminansia sangat penting karena prekursor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon (Astuti et al., 1993). Menurut Sutardi (1997) protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen mula-mula akan mengalami proteolisis oleh enzim protease menjadi oligopeptida, sebagian dari oligopeptida akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk menyusun protein selnya, sedangkan sebagian lagi akan dihidrolisa lebih lanjut menjadi asam amino yang kemudian dideaminasi menjadi asam keta alfa dan amonia. Produksi maksimal NH3 pada rumen terjadi pada jam ke 2 dan 4 setelah pemberian pakan berlangsung (Wohlt et al., 1976). Konsentrasi optimum NH3 dalam rumen berkisar 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Laconi (1998) menyatakan bahwa karbohidrat dalam ransum menjadi faktor yang mempengaruhi konsentrasi N-NH3 rumen. Semakin tinggi penggunaan karbohidrat mudah terfermentasi (RAC) akan mengurangi produksi amonia karena untuk pertumbuhannya mikroba menggunakan amonia.

Gambar.4 Proses Sintesis Protein Mikroba

Sumber:Hobson dan Stewart (1997)

Volatile Fatty Acid (VFA)

VFA merupakan energi berupa asam-asam lemak atsiri yang berasal dari proses pencernaan karbohidrat dalam rumen ternak ruminansia. VFA terdiri dari asetat, propionat, butirat, valerat, dan format (Schlegel, 1994) selanjutnya hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat, asam isobutirat, asam 2-metil butirat, dan asam iso-valerat (Forbes dan Frances,1993). VFA berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroba rumen dan merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba (Sutardi, 1977).

Produksi VFA didalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998) dan aktivitas mikroba dan mencirikan banyaknya produksi VFA yang dihasilkan (Church, 1971). VFA diperoleh dari dari proses hidrolisis lemak oleh bakteri lipolitik menjadi asam lemak dan gliserol, kemudian gliserol difermentasi lebih lanjut untuk menjadi VFA. VFA juga merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat (Sakinah, 2005). VFA juga berasal dari hidrolisa karbohidrat menjadi monosakrida dan disakarida yang kemudian difermentasi lebih lanjut (McDonald et al.,1998) Kisaran konsentrasi produksi total VFA pada cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 80-160 mM (Sutardi, 1977).

Protein

Peptida

Asam Amino NH3 Urea

Protein Bakteri Protein Protozoa Rantai VFA, Asam Aromatik Sumber karbon CO2

Gambar 5. Proses Pembentukan VFA

Sumber: Damron, 2006

Kecernaan Bahan Kering dan Organik

Kecernaan pakan dapat didefinisikan sebagai zat makanan yang tidak dikeluarkan melalui feses dengan asumsi zat makanan tersebut dapat diserap oleh saluran pencernaan. Kecernaan biasanya dinyatakan dalam persentase (McDonald et al., 2002). Kecernaan dapat diukur melalui dua metode yaitu secra metode in vitro

dan in vivo . Kecernaan melalui metode in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer (Selly, 1994). Dalam pemanfaatan bahan organik, pH rumen menjadi faktor penting pada sistem pencernaan ruminansia sedangkan degradasi ransum dipengaruhi oleh struktur makanan, ruminasi, produk saliva, dan pH optimum. Kecernaan pakan juga sangat bergantung pada mikroba rumen (Laconi, 1998).

Ukuran kecernaan biasanya diukur dalam dua bentuk yaitu kecernaan bahan kering (kcbk) dan kecernaan bahan organik (kcbo). Kualitas pakan dapat ditentukan dari kecernaan bahan organiknya. Perbedaan kecernaan pada setiap jenis ternak ruminansia disebabkan karena kemampuan mikroba rumen yang berbeda-beda dalam mendegradasi pakan (Sutardi, 1979). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik karena sebagian besar komponen penyusun bahan kering terdiri atas bahan

organik. Nilai koefisien kecernaan diatas 60% merupakan nilai kecernaan pakan yang tinggi (Sutardi,1980).

In vitro

In vitro adalah proses metabolisme yang terjadi diluar tubuh ternak dimanaprinsipnya menyerupai kondisi rumen (Johnson,1966). Menurut Tisserand (1989) metode in vitro sering digunakan untuk mengetahui kecernaan hewan, pakan, dan hasil proses pencernaan dalam saluran pencernaan ternak. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari analisa in vitro yaitu dapat dilakukan dalam waktu singkat dan biaya yang relatif murah, lebih mudah untuk mengontrol kondisinya dan memerlukan jumlah sampel yang lebih sedikit (Church,1979).

Pada metode in vitro digunakan rumen buatan sebagai media buatan (kultur), cairan rumen sebagai inokolum, buffer untuk mempertahankan pH rumen dengan kondisi aerob, sehingga menyerupai kondisi rumen semestinya. Hasil yang diperoleh dengan teknik in vitro sering bervariasi karena tidak adanya proses penyerapan produk akhir fermentasi dan gerakan pengosongan rumen (Laconi, 1998). Tilley and Terry (1963) mengembangkan suatu prosedur pengukuran kecernaan in vitro yang banyak digunakan hingga sekarang. Pengukuran nilai kecernaan bahan makanan secara in vitro menggunakan cairan rumen, saliva buatan, dan bahan pakan yang dicampur ke dalam tabung pencerna. Keasaman dipertahankan pada pH 6,7 – 6.9. Selain itu, untuk menciptakan kondisi anaerob ditambahkan gas CO2 dan difermentasikan selama 24 jam pada suhu 390C.

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan sejak Desember 2011-Februari 2012. Analisa proksimat pakan dilakukan di Laboratorium PAU (Pusat Antar Universitas) IPB. Pembuatan Cr organik dan Co organik serta analisa konsentrasi NH3, VFA, dan kecernaan pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Metode in vitro menggunakan larutan Mc. Dougall, gas CO2, dan cairan rumen segar. Cairan rumen yang digunakan berasal dari rumah pemotongan hewan Bubulak, Bogor. Ransum basal yang digunakan terdiri dari rumput gajah, jagung, onggok, dedak halus, dan urea. Kedelai tanpa kulit yang direbus, CrCl3 , CoCl2, dan kapang Rhizopus sp. digunakan dalam pembuatan Cr organik dan Co organik.

Peralatan yang digunakan berupa pisau, tampah, plastik, lilin, korek api, rak bambu, oven 600C, hammer mill, timbangan 5 kg, separangkat alat analisa in vitro

yang terdiri dari tabung fermentor, tutup karet, shaker water bath, pipet mohr, bulp, labu erlenmeyer, sentrifuse, vortex mixer, pipet tetes, tabung reaksi, botol film,

freezzer, cawan Conway, mikro pipet, buret, statip, stirrer, serangkaian alat VFA, cawan porselen, kertas saring Whattman, alat penyaring, oven 1050C, tanur, eksikator, neraca, dan gegep.

Prosedur Persiapan pembuatan kromium organik

Sebanyak 2 kg kacang kedelai direbus hingga lunak, dikupas dan kemudian dicampurkan dengan 4 g ragi tempe (Rhizopus sp.). Bahan tersebut kemudian ditambah 50 ml larutan CrCl2 hingga bahan kering campuran mengandung 3000 ppm Cr. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah dilubangi permukaannya dan lalu difermentasi selama 9 hari. Hasil fermentasi tersebut dipotong-potong kecil dan dikeringkan dalam oven 600C, kemudian digiling menggunakan hummer mill dan disimpan dalam kemasan plastik serta diletakkan pada ruangan yang tidak lembab.

Persiapan pembuatan kobalt organik

Sebanyak 2 kg kacang kedelai yang telahdirebus hingga lunak, dikupas dan dicampurkan dengan 4 g ragi tempe (Rhizopus sp.). Bahan tersebut kemudian ditambah 50 larutan CoCl3 hingga kadar Cr dalam bahan kering bahan mencapai 3000 ppm. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam plastik yang telah dilubangi permukaannya dan difermentasi selama 9 hari. Hasil fermentasi tersebut dipotong-potong kecil, dikeringkan dalam oven 600C, kemudian digiling menggunakan hummer mill dan disimpan dalam kemasan plastik serta diletakkan pada ruangan yang tidak lembab.

Pembuatan ransum basal

Bahan pakan ransum basal yang digunakan terdiri dari rumput gajah, jagung, onggok, dedak halus, dan urea. Rumput gajah yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu dan digiling. Masing-masing bahan yang dicampurkan dalam keadaan kering dan telah digiling halus. Bahan yang dicampurkan pertama kali adalah urea dengan dedak halus, kemudian dilanjutkan dengan onggok dan jagung, dan yang terakhir dicampurkan dengan rumput gajah hingga semua tercampur merata.

Pengambilan cairan rumen

Cairan rumen diambil dari rumah pemotongan hewan Bubulak, Bogor. Cairan rumen dibawa menggunakan termos yang sebelumnya diisi dengan air panas hingga mencapai suhu 39°C. Air di dalam termos tidak boleh dibuang hingga cairan rumen didapatkan sehingga suhu cairan rumen dapat dipertahankan pada 39oC. Dinding rumen dari sapi yang telah dipotong dirobek dengan pisau kemudian isi rumen diambil dan dimasukkan ke dalam termos yang baru saja dikeluarkan air panasnya. Isi rumen diperas dengan menggunakan kain kasa dan dimasukkan ke dalam tabung

Dokumen terkait