• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Padi gogo termasuk ke dalam divisi Spermatophyta,subdivisi Angiospermae,kelas Monocotyledonae,famili Gramineae (Poaceae), genus Oryza Linn, spesies Oryza sativa L.Genus Oryza yang dibudidayakan adalah Oryza sativa L. di Asia dan Oryza glaberrima di Afrika yang berasal dari leluhur yang sama Oryza perennis Moench. Oryza sativa L berkembang menjadi tiga ras ekogeografik yaitu sinica/japonica, indica dan javanica (De Datta 1981; Manurung dan Ismunadji 1986).

Pertumbuhan padi terdiri atas tiga fase, fase vegetatif, fase reproduktif dan fase pemasakan. Fase vegetatif dimulai sejak berkecambah sampai inisiasi primordia malai. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga. Fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai masak panen (De Datta 1981; Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a). Varietas berumur 120 hari yang ditanam di daerah tropis, fase vegetatifnya memerlukan waktu 60 hari, fase reproduktif 30 hari dan fase pemasakan 30 hari (Manurung dan Ismunadji 1988).

Fase vegetatif merupakan fase yang menyebabkan perbedaan umur panen, sebab lama fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan. Fase vegetatif ditunjukkan dengan jumlah anakan bertambah dengan cepat, tanaman semakin tinggi, daun tumbuh secara regular. Anakan yang tumbuh terdiri atas anakan produktif (menghasilkan malai) dan anakan tidak produktif (tidak menghasilkan malai lalu mati) (Manurung dan Ismunadji 1988, Makarim dan Suhartatik 2009a). Menurut De Datta (1981) di negara tropis, daun pertama biasanya muncul tiga hari setelah disebar dan fase bibit termasuk dalam waktu dari munculnya sampai sesaat sebelum kemunculan anakan pertama.

Fase reproduktif ditandai dengan pemanjangan beberapa ruas teratas pada batang, berkurangnya laju penambahan jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Pembungaan adalah stadia keluarnya malai, sedangkan anthesis segera mulai setelah pembungaan (heading). Pembungaan ini memerlukan waktu 10-14 hari. Fase pembungaan adalah saat 50% bunga telah muncul pada pertanaman padi. Antesis memerlukan waktu 7-10 hari. Pertumbuhan mencapai maksimal pada saat sebelum bunga keluar dari pelepah daun. Fase pemasakan terdiri atas masak susu, menguning dan masak panen. Fase ini memerlukan waktu sekitar 30 hari dan ditandai dengan penuaan daun. Fase ini sangat dipengaruhi suhu (Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).

Gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam. Biji disebut karyopsis yang terdiri atas embrio dan endosperma yang diselimuti oleh lapisan aleuron, kemudian tegmen dan lapisan terluar yang disebut perikarp. Bobot gabah beragam dari 12-44 mg pada kadar air 0%, sedangkan bobot sekam rata-rata adalah 20% bobot gabah. Umumnya jenis indica memiliki dormansi selama beberapa minggu dan sifat ini sesuai untuk daerah tropik karena suhu dan kelembaban sangat sesuai untuk perkecambahan (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Menurut De Datta (1981) akar padi berupa akar serabut yang terdiri atas akar seminal dan akar adventif sekunder. Menurut Makarim dan Suhartatik (2009a) akar padi berupa akar serabut yang terdiri atas akar primer dan akar sekunder. Apabila terjadi gangguan fisik terhadap akar primer, maka pertumbuhan akar-akar seminal lainnya akar dipercepat. Akar-akar seminal selanjutnya akan digantikan oleh akar-akar sekunder yang tumbuh dari buku terbawah batang. Akar-akar ini disebut adventif atau akar-akar buku karena tumbuh dari bagian tanaman yang bukan embrio atau munculnya bukan dari akar yang telah tumbuh sebelumnya. Perkembangan akar sangat dipengaruhi oleh tersedianya N, yaitu kadar N lebih dari 1% pada batang. Perakaran beberapa varietas padi juga dapat melepas eksudat berupa senyawa organik ke sekitarnya (Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).

Daun tumbuh pada batang dalam susunan berselang-seling, satu daun tiap buku. Tiap daun terdiri atas helai daun, pelepah daun yang membungkus ruas, telinga daun (aurikula) dan lidah daun (ligula). Aurikula dan ligula ini yang membedakan padi dengan rumput saat stadia bibit. Daun teratas disebut daun bendera yang posisi dan ukurannya tampak berbeda dari daun yang lain (De Datta 1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Sifat daun yang dikehendaki adalah daun yang tumbuhnya tegak, tebal, kecil dan pendek. Indeks luas daun akan mencapai maksimum kira-kira sebelum berbunga dengan nilai optimal 4-7. Kumpulan daun (tajuk) yang menangkap radiasi surya untuk fotosintesis mempunyai nilai skewness, semakin kecil nilai skewness maka semakin luas bagian daun tanaman di bagian atas dan semakin berat biomas yang dihasilkan (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Batang terdiri atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku. Daun dantunas (anakan) tumbuh pada buku. Pada permulaan stadia tumbuh batang yang terdiri atas pelepah-pelepah daun dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut kemudian memanjang dan berongga setelah tanaman memasuki stadia reproduktif (De Datta 1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Jumlah buku sama dengan jumlah daun ditambah dua, yakni satu buku untuk tumbuhnya koleoptil dan yang satu lagi buku terakhir yang menjadi dasar malai. Sifat batang yang dikehendaki adalah pendek dan kaku karena tanaman menjadi tahan rebah, perbandingan antara gabah dan jerami lebih seimbang dan tanggap terhadap pemupukan nitrogen (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai dinamakan spikelet yang pada hakikatnya adalah bunga yang terdiri atas tangkai, bakal buah, lemma, palea, putik dan benang sari serta beberapa organ lainnya yang bersifat inferior. Tiap unit bunga padi pada hakikatnya adalah floret yang hanya terdiri atas satu bunga. Satu floret berisi satu bunga dan satu bunga terdiri atas satu organ betina (pistil) dan enam organ jantan (stamen) (De Datta 1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Malai terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang sekunder (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Anakan tumbuh saat tanaman padi berdaun 4 atau 5 daun. Perkembangan anakan berhubungan dengan perkembangan daun. Tumbuhnya anakan dan akar terjadi pada saat yang sama dan buku yang sama kecuali pada daun pertama (saat berkecambah). Anakan padi berpola anakan berganda (Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).

Kultur Antera

Kultur antera adalah salah satu teknik kultur in vitro melalui proses androgenesis untuk mendapatkan tanaman haploid ganda (dihaploid) yang bersifat homozigos penuh dan dapat membentuk sel kelamin jantan dan sel telur seperti tanaman diploid biasa yang fertil (Dewi dan Purwoko 2011). Menurut Dewi dan Purwoko (2001) kultur antera menghasilkan tanaman haploid melalui induksi embriogenesis dari pembelahan berulang mikrospora/polen tanaman donor antera yang berasal dari persilangan tetua yang memiliki karakter yang diinginkan. Pollen muda dapat langsung memproduksi embrio (androgenesis) atau secara tak langsung melalui pembentukan kalus (caulogenesis) yang kemudian beregenerasi menjadi planlet dengan adanya ZPT pada media kultur. Pollen adalah haploid, sehingga tanaman yang dihasilkan dari pollen atau mikrospora selama kultur juga akan haploid. Tanaman dihaploid dapat diperoleh secara spontan, atau diinduksi dengan perlakuan kolkisin dan dipangkas atau ratooning pada tanaman haploid. Tanaman dihaploid yang dihasilkan kultur antera ini bersifat homozigos penuh dan breed true, karena kedua kopi informasi genetik pada tanaman tersebut identik.

Tanaman homozigos mempunyai sifat-sifat unggul yang diperlukan dalam pemuliaaan tanaman. Tanaman homozigos yang dihasilkan pada keturunan pertama akan memudahkan seleksi fenotipe bagi karakter-karakter yang bersifat kuantitatif tanpa disukarkan oleh hubungan dominan resesif seperti pada tanaman heterozigos sehingga pemuliaan dapat lebih singkat karena dapat menghilangkan sebagian besar dari kegiatan seleksi per generasi (6-8 generasi) yang umum pada pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996). Tanaman-tanaman dengan homozigositas tinggi (F1 dan F2) segera dapat diperoleh pada generasi tanaman dihaploid pertama (DH0) dalam waktu kurang dari satu tahun.

Aplikasi kultur antera dalam pemuliaan tanaman padi telah berhasil mendapatkan berbagai varietas unggul di Cina dan Korea. Kultur antera dapat digunakan untuk perakitan varietas baru dan untuk mendapatkan genotipe baru yang spesifik yang sebelumnya tidak pernah ditemukan pada varietas lokal maupun pada koleksi plasma nutfah, seperti varietas padi tahan penyakit blas, toleran suhu rendah, dan toleran tanah salin (Dewi dan Purwoko 2001). Herawati et al. (2008) yang melakukan kultur antera persilangan enam kombinasi tetua telah menghasilkan tanaman dihaploid 53.5 % dari total tanaman hijau yang diperoleh.

Zhang (1992) melaporkan bahwa kultur anter menghasilkan tanaman haploid, tanaman dihaploid yang diperoleh secara spontan dan tanaman dengan ploidi lebih tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan sedini mungkin sesuai tujuan penelitian.

Potensi Lahan

Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2012 luas lahan kering Indonesia 34870422 ha terdiri atas lahan di Pulau Jawa dengan sawah nonirigasi

770 957 ha, tegal/kebun 2 662 467 ha, ladang/huma 351195 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan 38715 ha; dan di luar Pulau Jawa dengan sawah nonirigasi 2 399 733 ha, tegal/kebun 8 963 752 ha, ladang/huma 5 343 732 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan 14 339 871 ha (Kementan 2013a). Pada tahun yang sama,luas panen padi ladang 1 164 318 ha, produksi 3 867 726 ton dan produktivitas 33 ku/ha (Kementan 2013bcd).

Daerah pengembangan padi gogo adalah daerah datar sampai kemiringan <15% di dataran rendah dengan curah hujan >200 mm minimum empat bulan berturut-turut. Daerah tersebut antara lain daerah datar/ bantaran sungai, kawasan perbukitan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan HTI muda (Toha 2005). Menurut Djaenudin (2008) luas daratan Indonesia tahun 2007 mencapai 188.20 juta ha dan yang potensial 94.10juta ha, yaitu untuk pertanian lahan basah 25.40 juta ha, tanaman semusim lahan kering 25.10 juta ha, dan tanaman tahunan 43.60 juta ha. Dari luas total lahan basah yang potensial, 8.50 juta ha telah menjadi sawah, sehingga yang masih tercadang sekitar 16.90 juta ha, yaitu 3.50 juta ha berupa lahan rawa dan 13.40 juta ha lainnya nonrawa. Lahan potensial untuk pertanian lahan kering tersedia 68.64 juta ha, yaitu untuk tanaman semusim 25.09 juta ha dan untuk tanaman tahunan 43.55 juta ha. Lahan yang masih tersedia untuk ekstensifikasi diperkirakan sekitar 22.39 juta ha, yaitu untuk tanaman semusim 7.08 juta ha dan tanaman tahunan 15.31 juta ha.

Sebagai tanaman tumpangsari, penanaman dilakukan saat fase pertumbuhan awal tanaman keras yaitu saat tanaman pokok belum menghasilkan atau sampai batas terjadi naungan maksimum 50% (Sopandie et al. 2003a, Sasmita 2006). Pertanaman padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan karet dapat diusahakan sampai tahun ketiga dan untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun keempat. Bila siklus peremajaan tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit dilakukan setiap 25 tahun sekali, maka potensi pengusahaan padi gogo sebagai tanaman tumpangsari di kedua jenis perkebunan tersebut dapat mencapai luasan 12%. Pada pertanaman kelapa dalam, padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ketiga dan setelah kelapa berumur lebih dari 25 tahun baru dapat diusahakan lagi penanaman padi gogo karena mahkota tanaman kelapa sudah mengecil, sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke permukaan tanah lebih dari 75% (Toha 2005).

Menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor 79 tahun 2013 (Kementan 2013), kriteria lahan yang sesuai untuk tanaman padi gogo adalah curah hujan selama 4 bulan berturut-turut 100-400 mm bulan-1, temperatur rata-rata 24 0C-29

0

C, pada zone agroklimat (Oldeman) C2, C3, D2 dan D3, kelembaban 33%-90%, kelas drainase baik sampai sedang, tekstur tanah halus sampai sedang dengan bahan kasar <15%, kedalaman tanah lebih dari 50 cm, reaksi tanah (pH) 5.5-7.5, bahan C-organik lebih dari 1.2%, salinitas kurang dari 2 dS m-1, alkalinitas kurang dari 20%, lereng kurang dari 3% dan batuan di permukaan kurang dari 5%.Ada pula kriteria lahan cukup sesuai bagi tanaman padi gogo, yaitu curah hujan selama 4 bulan berturut-turut 75-100 mm bulan-1 atau 400-550 mm bulan-1,temperatur rata-rata 22 0C -24 0C atau 29 0C-32 0C, zone agroklimat (Oldeman) A2, B2 dan B3, kelembaban 30%-33%, drainase agak cepat sampai agak terhambat, tekstur halus sampai sedang, bahan kasar 15%-35%, kedalaman tanah 40-50 cm, reaksi tanah (pH) 5.0-5.5 atau 7.5-7.9, bahan C-organik 0.8-1.2, salinitas 2-4 dS m-1,

alkalinitas 20%-30%, lereng 3%-8% dengan bahaya erosi sangat ringan, batuan di permukaan 5%-15%.

Kondisi tanah di bawah tegakan berbeda dengan kriteria lahan di atas yaitu intensitas cahaya yang kurang optimum (rendah) yang diterima tanaman dan kondisi umum tanah perkebunan karet atau kelapa sawit yang tergolong masam dengan pH rendah. pH rendah ini menyebabkan adanya kandungan unsur aluminium yang tinggi. Pengembangan budidaya padi gogo untuk meningkatkan produksi beras saat ini berpotensi di luar pulau Jawa karena memiliki lahan kering yang lebih luas dari pulau Jawa yang hampir separuh luasnya merupakan jenis Podzolik Merah Kuning (PMK) (Trikoesoemaningtyas 2002; Bakhtiar 2007). Tanah jenis ini mengandung unsur aluminium yang tinggi. Pengembangan padi gogo di lahan kering juga mendapat kendala kekeringan karena hanya mendapatkan air dari air hujan. Musim hujan saat ini menjadi sulit diprediksi karena terjadi perubahan iklim yang menyebabkan pertumbuhan dan produksi beras dari padi gogo dapat terganggu dengan kekeringan yang datang tiba-tiba. Sebagai tanaman sela di perkebunan karet yang merupakan lahan kering, padi gogo akan mengalami kekeringan. Padi gogo juga akan mengalami kekeringan di perkebunan sawit yang mempunyai kebutuhan air yang tinggi.

Adaptasi Tanaman terhadap Naungan

Naungan menyebabkan intensitas cahaya yang rendah yang diterima tanaman di bawah titik kompensasi cahayanya. Titik kompensasi cahaya setiap tanaman berbeda-beda berdasarkan spesies dan kondisi perkembangannya. Naungan secara langsung menghambat proses fotosintesis karena menghambat penerimaan energi foton cahaya. Titik kompensasi cahaya tanaman yang tumbuh di habitat yang cerah (sun plants) antara 10-20 µmol m-2 s-1 dan tanaman yang tumbuh di habitat ternaungi (shade plants) antara 1-5 µmol m-2 s-1 (Taiz dan Zeiger 2002). Menurut Sulistyono (1998) rata-rata intensitas cahaya pada naungan 0%, 25% dan 50% berturut-turut 307.2, 241.9 dan 136.4 kal cm-2hari-1 sedangkan padi membutuhkan minimum 265 kal cm-2 hari-1(Las 1983). Adaptasi tanaman terhadap naungan ada dua yaitu mekanisme penghindaran dan toleransi. Tanaman yang melakukan toleransi akan melakukan penurunan titik kompensasi cahaya dan respirasi yang efisien. Tanaman yang melakukan mekanisme penghindaran melakukan perubahan-perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis yang efisien (Levitt 1980).

Sasmita (2008) melaporkan bahwa secara morfologi terjadi peningkatan ukuran daun (jumlah, panjang dan lebar, ketebalan, ketegakan daun), luas daun bendera lebih sempit (efisiensi cahaya rendah), jumlah anakan produktif dapat dipertahankan (area penangkapan cahaya lebih luas), sudut anakan/batang lebih tegak, panjang ruas batang lebih panjang, tanaman lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang toleran mempunyai kemampuan meningkatkan luas areal penangkapan cahaya (total luas daun) sampai peningkatan jumlah unit fotosintetik per area penangkapan cahaya serta dengan aktivitas fisiologinya yang dapat disebut avoidance.

Daun sebagai tempat terjadinya fotosintesis mengalami perubahan anatomi untuk mencapai efisiensi penangkapan cahaya dengan meningkatkan jumlah unit

fotosintetik. Perubahan itu tampak pada varietas toleran pada kondisi naungan 50% antara lain peningkatan kandungan klorofil a dan b, penurunan rasio klorofil a/b, berkurangnya ketebalan daun, penurunan kandungan pigmen daun lebih rendah pada kedelai (Muhuria et al. 2006) dan padi gogo (Sasmita 2008), berkurangnya kepadatan trikoma (bulu daun) pada kedelai (Muhuria et al. 2006) dan kacang hijau (Sundari et al. 2008), peningkatan luas daun pada kedelai (Muhuria et al. 2006) dan talas (Djukri dan Purwoko 2003), peningkatan jumlah stomata pada kacang hijau (Sundari et al. 2006) dan padi gogo (Sasmita 2008).

Adapun perubahan morfologi dan anatomi seperti tanaman yang tinggi, daun yang luas dan jumlah anakan yang tidak terlalu banyak menjadi karakter agronomi yang berkaitan dengan potensi produksi yang tinggi pada kondisi intesitas cahaya rendah (Sulistyono et al. 1999). Hasil penelitian Hafsah (2000) menunjukkan besar kecilnya kerebahan berkorelasi positif dengan jumlah anakan dan panjang batang seperti pada varietas Jatiluhur yang toleran naungan ditanam dengan kondisi naungan 25% menunjukkan kerebahan yang tinggi dibandingkan Kalimutu yang peka.

Menurut Sopandieet al. (2003a) naungan akan menurunkan aktivitas fotosintesis yang akan menurunkan hasil fotosintat. Tanaman toleran mempunyai tingkat efisiensi penerimaan cahaya yang lebih tinggi pada kondisi normal dan terutama saat ternaungi dibanding tanaman yang peka. Tanaman toleran mempunyai hasil relatif lebih tinggi dibanding tanaman peka. Naungan juga akan menurunkan nisbah klorofil a/b. Penurunan nisbah klorofil a/b saat ternaungi lebih besar pada tanaman peka dibanding yang toleran. Penurunan terjadi karena jumlah klorofil b meningkat.

Adaptasi Tanaman terhadap Kekeringan

Kekeringan dapat didefinisikan sebagai situasi lingkungan terjadinya penurunan potensial air tanah di daerah perakaran tanaman. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh evapotranspirasi lapisan bajak yang lebih besar dibanding kebutuhan irigasi. Misalnya penurunan potensial air tanah menurunkan potensial air seluruh tanaman atau bagian organ tanaman. Kekeringan mempengaruhi hasil secara biologis dan ekonomis dengan menghambat banyak fungsi fisiologi disebabkan defisit air (Kobata 1995).

Jaleel et al. (2009) menjelaskan bahwa cekaman kekeringan adalah faktor pembatas yang penting pada fase awal pertumbuhan dan pembentukan tanaman. Cekaman kekeringan menghambat pembelahan sel dikarenakan terjadinya kerusakan mitosis dan pemanjangan sel dikarenakan kehilangan tekanan turgor. Kedua penyebab itu mengakibatkan pertumbuhan berkurang. Tanaman akan mengalami penurunan bobot kering dan basah. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi produktivitas per tanaman yang dapat dipanen.

Padi bereaksi terhadap stres kekeringan dengan mengurangi tinggi tanaman dan luas daun (Asch et al. 2005). Menurut Suardi (2002) faktor tanaman yang berkorelasi dengan kekeringan adalah diameter akar dan indeks luas daun (ILD). Semakin besar diameter akar maka semakin tinggi toleransi tanaman terhadap kekeringan. Semakin tinggi indeks luas daun maka toleransi tanaman terhadap

kekeringan semakin rendah. Bobot kering akar dan panjang akar tidak menunjukkan korelasi nyata dengan toleransi terhadap kekeringan.

Pembandingan dua kultivar padi gogo yang peka dan toleran yang diberikan enam hari periode kering kemudian diairi kembali selama empat hari oleh Trillana et al. (2001) menghasilkan proses pemulihan dari cekaman kekeringan kultivar yang toleran lebih cepat dibanding yang peka, tetapi keduanya mempunyai diameter akar yang hampir sama.

Gejala daun berwarna kuning sampai coklat dan menggulung termasuk gejala tanaman yang mengalami cekaman kekeringan. Menurut Jaleel et al. (2009), perubahan pigmen fotosintetis adalah yang terpenting dari toleransi kekeringan. Salah satu pigmen fotosintetis, karotenoid menunjukkan peran yang beragam dalam toleransi kekeringan termasuk pemanenan cahaya dan pelindung dari kerusakan oksidatif akibat kekeringan. Oleh sebab itu peningkatan kandungan karotenoid secara spesifik penting dalam toleransi cekaman kekeringan.

Cekaman kekeringan juga mengakibatkan penurunan klorofil total. Menurut Pieter dan Souki (2005) cekaman kekeringan melemahkan aktivitas PS II pada daun bendera tanaman padi, kandungan klorofil berkurang, namun demikian cekaman kekeringan menyebabkan kandungan pigmen xantofil pada daun meningkat, yang berfungsi menyerap kelebihan cahaya di bawah penyinaran yang tinggi pada kondisi kekeringan.

Tanaman yang melakukan mekanisme drought avoidance menjaga tekanan turgor sel dengan salah satunya menggulung daun. Menurut Qian-yu et al. (2003), setiap bertambah satu skala indeks daun menggulung, konduktansi stomata pada varietas peka, moderat, tidak peka (toleran) dan laju transpirasi masing-masing menurun. Indeks daun menggulung menghasilkan penurunan besar pada laju fotosintesis bersih yang pada varietas peka lebih rendah dibandingkan dengan varietas toleran. Hal itu juga menunjukkan bahwa varietas dengan indeks daun menggulung moderat meningkatkan efisiensi penggunaan air, dan efek indeks daun menggulung pada efisiensi penggunaan air menunjukkan perubahan laju fotosintesis bersih dan laju transpirasi pada varietas peka, tetapi varietas toleran hanya berubah pada laju transpirasi secara nyata. Walaupun demikian, menurut Pantuwan et al. (2002) karakter tajuk seperti potensial osmotik, temperatur daun, daun menggulung, kematian daun mempunyai sedikit pengaruh pada hasil gabah di bawah kondisi kekeringan yang berbeda.

Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium

Cekaman aluminium adalah kondisi saat tanaman mengalami hambatan pertumbuhan akibat adanya aluminium (Al) terlarut di dalam tanah berupa ion Al3+ pada pH rendah 4.5-4.0 atau kurang bagi kebanyakan tanaman kecuali tanaman toleran asam seperti Hydrangea dan teh (Takenaga 1995). Menurut Matsumoto (2000) aluminium adalah unsur dalam tanah dan berada sebagai satu kompleks stabil dengan oksigen dan silikat dalam kondisi netral dan tanah bersifat asam lemah. Ketika pH tanah lebih rendah daripada 4.5–5.0, Al terlarut dalam air tanah dan diserap oleh akar tanaman.

Cekaman aluminium menghambat penyerapan hara oleh akar tanaman. Selain itu kelebihan aluminium merusak kebanyakan tanaman pada konsentrasi

10-20 ppm. Pertumbuhan akan terhambat terutama pada pemanjangan (elongasi) akar tanaman (Marschner 1995; Takenaga 1995;Matsumoto 2000; Cai et al. 2011), menghalangi perkembangan sistem perakaran (Takenaga 1995; Kasim et al. 2001; Roslim et al. 2010) dan meningkatkan kandungan Al di ujung akar (Cai et al. 2011).Tanaman peka Al menyerap lebih banyak Al dibanding tanaman toleran Al (Matsumoto 2000; Cai et al. 2011). Cekaman Al menyebabkan gangguan mitosis pada jaringan meristem akar sehingga akar tidak berkembang normal, terlihat tebal dan pendek (Marschner 1995; Bakhtiar 2007), mengeras terutama pada tanaman peka terjadi lignifikasi (Ma et al. 2012), mudah patah, ujung akar tidak lancip karena terjadi penghambatan pembelahan sel di ujung-ujung akar misalnya pada sorgum (Agustina et al. 2010 ), percabangan akar tidak teratur, dan akar lebih banyak tumbuh dari leher akar. Al3+ menyebabkan penghambatan pertumbuhan akar yang cepat yang menyebabkan berkurangnya dan pengkerdilan sistem perakaran, sehingga mengakibatkan dampak langsung pada kemampuan tanaman menyerap air dan hara (Famoso et al. 2010). Plasma membran menjadi target kerusakan oleh aluminium seperti pada kedelai (Gunse et al. 2003) dan tanaman tingkat tinggi (Ma 2007).

Panjang akar relatif dan pertambahan panjang akar relatif merupakan tolak ukur yang paling baik untuk digunakan dalam menentukan ketenggangan tanaman jagung terhadap cekaman Al (Syafruddinet al. 2006). Panjang akar relatif mempunyai korelasi positif dan nyata pada metode kultur hara (Bakhtiar 2007). Menurut Bakhtiar et al. (2009) padi gogo varietas tenggang Al ditentukan oleh hambatan pemanjangan akar dan kandungan Al akar.

Dampak aluminium terhadap penyerapan unsur hara sangat besar terutama pada asam fosforik, kalsium dan magnesium, aluminium sering menghalangi pengambilan unsur hara tersebut dan menyebabkan defisiensi unsur tersebut. Defisiensi fosfat sangat memungkinkan menyebabkan sejumlah besar akumulasi

Dokumen terkait