• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penampilan Agronomi dan Toleransi Cekaman Abiotik Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penampilan Agronomi dan Toleransi Cekaman Abiotik Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN AGRONOMI DAN TOLERANSI CEKAMAN

ABIOTIK GALUR DIHAPLOID PADI GOGO

HASIL KULTUR ANTERA

KARTIKA KIRANA SANGGA MARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Cekaman Abiotik Galur Dihaploid Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO sebagai ketua dan EKO SULISTYONO sebagai anggota komisi pembimbing.

Padi gogo ialah penghasil beras alternatif selain padi sawah. Produksi beras yang dihasilkan pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak 1.81 juta ton (2.62 persen) dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi pada tahun 2013 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 0.87 juta ton dan di luar Jawa sebesar 0.94 juta ton. Namun ketersediaannya yang kontinu dari tahun ke tahun tidak terjamin akibat semakin sempitnya lahan subur dan kondisi perubahan iklim saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan budidaya padi gogo saat ini dialihkan ke lahan marjinal. Kondisi lahan marjinal ini berupa rendahnya intensitas cahaya (naungan), kandungan aluminium yang tinggi dan ancaman kekeringan yang dapat dialami tanaman secara tunggal maupun ganda. Oleh karena itu dibutuhkan galur/varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik. Upaya yang efektif untuk mendapatkan galur/varietas tersebut adalah dengan menggabungkan teknik pemuliaan konvensional dan non konvensional, yaitu teknik kultur antera. Galur-galur padi gogo hasil kultur antera yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW-56, B13-2-e. Dua varietas yaitu Batutegi dan Way Rarem digunakan sebagai kontrol.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan agronomi dan toleransi terhadap cekaman naungan, kekeringan dan aluminium pada galur-galur padi gogo hasil kultur antera dibanding varietas pembandingnya. Ada empat percobaan yang dilakukan, yaitu penampilan agronomi, uji toleransi naungan berdasarkan metode Sasmita (2006), uji toleransi kekeringan berdasarkan metode Balitpa (2009) dan klasifikasi berdasarkan Sistem Evaluasi Standard pada Padi, IRRI (1996), dan uji toleransi aluminium berdasarkan metode Bakhtiar (2007) yang telah dimodifikasi dan klasifikasi toleransi berdasarkan Balitpa (2009).

Hasil penelitian ini adalah galur B13-2-e (4.64 ton ha-1) dan WI 44 (4.05 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling tertinggi setelah varietas Way Rarem (4.95 ton ha-1), sedangkan galur III3-4-6-1 (2.49 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling terendah. Galur I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56, B13-2-e toleran terhadap naungan, galur O18-b-1 toleran terhadap kekeringan, galur O18-b-1 dan III3-4-6-1 agak toleran terhadap cekaman aluminium. Berdasarkan hasil penelitian ini, galur I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e mempunyai potensi hasil yang tergolong tinggi dan dapat digunakan sebagai tanaman sela di lahan yang ternaungi. Galur O18-b-1 dapat digunakan sebagai tanaman sela di lahan dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning dan di lahan bawah tegakan, walaupun potensi hasilnya tergolong rendah.

(3)

Stress Tolerance of Upland Rice Dihaploid Lines Obtained from Anther Culture. Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman and EKO SULISTYONO as member of the advisory committee.

Upland rice is used as an alternative for rice production to lowland rice. The rice production in 2013 increased 1.81 million tons (2.62 persen) compared to production in 2012. The increased was estimated 0.87 million tons from Java and 0.94 million tons from out of the Java. The continous production were not secured due to limited fertile land and the current climate change conditions. That caused the shifting of upland rice cultivation to marginal land. The shifting of upland rice cultivation to marginal land faces shading/low light intensity as well as high acidity and drought condition. There should be line/variety with good agronomic characters and tolerant to the stresses both single or multiple.

One of the procedure to accelerate the obtainment of the line/varieties is anther culture. A combination of conventional and non conventional breeding method can be used. Lines used in this experiment were obtained from anther culture, i.e. III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW-56, B13-2-e. Two varieties were used as checks namely Batutegi and Way Rarem. The objective of this research were to evaluate agronomic performance and tolerance of upland rice lines to abiotic stresses as compared to the control varieties. Four experiments were conducted: agronomy performance experiment, shade tolerance evaluation using Sasmita method (2006), drought tolerance evaluation using Balitpa method (2009) and classification by Standard Evaluation System of Rice, IRRI (1996), and aluminum tolerance evaluation using modified method of Bakhtiar (2007) and classification by Balitpa (2009).

The results of experiment indicated that B13-2-e (4.64 tons ha-1) and WI 44 lines (4.05 tons ha-1) showed high grain yield and the same as that of Way Rarem (4.95 tons ha-1), however III3-4-6-1 line (2.49 tons ha-1) showed low grain yield. I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56, B13-2-e lines were tolerant to shade stress, O18-b-1 was tolerant to drought, and O18-b-1 and III3-4-6-1 lines were moderate tolerant to aluminum stress. Based on this research, I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e lines has high yield potential and it can be used as mutiple crop plant on shaded soil. O18-b-1 line can be used as intercrop plant on Yellow Red Podzolic and soil under estate crops, although it had low yield potential.

(4)

PENAMPILAN AGRONOMI DAN TOLERANSI CEKAMAN

ABIOTIK GALUR DIHAPLOID PADI GOGO

HASIL KULTUR ANTERA

KARTIKA KIRANA SANGGA MARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)
(6)

Toleransi Cekaman Abiotik Galur Dihaploid Padi Gogo Hasil Kultur Antera adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(7)

Cekaman Abiotik Galur Dihaploid Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO sebagai ketua dan EKO SULISTYONO sebagai anggota komisi pembimbing.

Padi gogo ialah penghasil beras alternatif selain padi sawah. Produksi beras yang dihasilkan pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak 1.81 juta ton (2.62 persen) dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi pada tahun 2013 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 0.87 juta ton dan di luar Jawa sebesar 0.94 juta ton. Namun ketersediaannya yang kontinu dari tahun ke tahun tidak terjamin akibat semakin sempitnya lahan subur dan kondisi perubahan iklim saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan budidaya padi gogo saat ini dialihkan ke lahan marjinal. Kondisi lahan marjinal ini berupa rendahnya intensitas cahaya (naungan), kandungan aluminium yang tinggi dan ancaman kekeringan yang dapat dialami tanaman secara tunggal maupun ganda. Oleh karena itu dibutuhkan galur/varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik. Upaya yang efektif untuk mendapatkan galur/varietas tersebut adalah dengan menggabungkan teknik pemuliaan konvensional dan non konvensional, yaitu teknik kultur antera. Galur-galur padi gogo hasil kultur antera yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW-56, B13-2-e. Dua varietas yaitu Batutegi dan Way Rarem digunakan sebagai kontrol.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan agronomi dan toleransi terhadap cekaman naungan, kekeringan dan aluminium pada galur-galur padi gogo hasil kultur antera dibanding varietas pembandingnya. Ada empat percobaan yang dilakukan, yaitu penampilan agronomi, uji toleransi naungan berdasarkan metode Sasmita (2006), uji toleransi kekeringan berdasarkan metode Balitpa (2009) dan klasifikasi berdasarkan Sistem Evaluasi Standard pada Padi, IRRI (1996), dan uji toleransi aluminium berdasarkan metode Bakhtiar (2007) yang telah dimodifikasi dan klasifikasi toleransi berdasarkan Balitpa (2009).

Hasil penelitian ini adalah galur B13-2-e (4.64 ton ha-1) dan WI 44 (4.05 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling tertinggi setelah varietas Way Rarem (4.95 ton ha-1), sedangkan galur III3-4-6-1 (2.49 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling terendah. Galur I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56, B13-2-e toleran terhadap naungan, galur O18-b-1 toleran terhadap kekeringan, galur O18-b-1 dan III3-4-6-1 agak toleran terhadap cekaman aluminium. Berdasarkan hasil penelitian ini, galur I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e mempunyai potensi hasil yang tergolong tinggi dan dapat digunakan sebagai tanaman sela di lahan yang ternaungi. Galur O18-b-1 dapat digunakan sebagai tanaman sela di lahan dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning dan di lahan bawah tegakan, walaupun potensi hasilnya tergolong rendah.

(8)

Stress Tolerance of Upland Rice Dihaploid Lines Obtained from Anther Culture. Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman and EKO SULISTYONO as member of the advisory committee.

Upland rice is used as an alternative for rice production to lowland rice. The rice production in 2013 increased 1.81 million tons (2.62 persen) compared to production in 2012. The increased was estimated 0.87 million tons from Java and 0.94 million tons from out of the Java. The continous production were not secured due to limited fertile land and the current climate change conditions. That caused the shifting of upland rice cultivation to marginal land. The shifting of upland rice cultivation to marginal land faces shading/low light intensity as well as high acidity and drought condition. There should be line/variety with good agronomic characters and tolerant to the stresses both single or multiple.

One of the procedure to accelerate the obtainment of the line/varieties is anther culture. A combination of conventional and non conventional breeding method can be used. Lines used in this experiment were obtained from anther culture, i.e. III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW-56, B13-2-e. Two varieties were used as checks namely Batutegi and Way Rarem. The objective of this research were to evaluate agronomic performance and tolerance of upland rice lines to abiotic stresses as compared to the control varieties. Four experiments were conducted: agronomy performance experiment, shade tolerance evaluation using Sasmita method (2006), drought tolerance evaluation using Balitpa method (2009) and classification by Standard Evaluation System of Rice, IRRI (1996), and aluminum tolerance evaluation using modified method of Bakhtiar (2007) and classification by Balitpa (2009).

The results of experiment indicated that B13-2-e (4.64 tons ha-1) and WI 44 lines (4.05 tons ha-1) showed high grain yield and the same as that of Way Rarem (4.95 tons ha-1), however III3-4-6-1 line (2.49 tons ha-1) showed low grain yield. I5-10-1-1, WI-44, O18-b-1, IW-56, B13-2-e lines were tolerant to shade stress, O18-b-1 was tolerant to drought, and O18-b-1 and III3-4-6-1 lines were moderate tolerant to aluminum stress. Based on this research, I5-10-1-1, WI-44, B13-2-e lines has high yield potential and it can be used as mutiple crop plant on shaded soil. O18-b-1 line can be used as intercrop plant on Yellow Red Podzolic and soil under estate crops, although it had low yield potential.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2014

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik , atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)

PENAMPILAN AGRONOMI DAN TOLERANSI CEKAMAN

ABIOTIK GALUR DIHAPLOID PADI GOGO

HASIL KULTUR ANTERA

KARTIKA KIRANA SANGGA MARA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(11)
(12)

Padi Gogo Hasil Kultur Antera

Nama : Kartika Kirana Sangga Mara

NIM : A252100101

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bambang S. Purwoko, MSc Dr Ir Eko Sulistyono, MSi

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

sehingga tesis ini telah diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Tesis ini berjudul Penampilan Agronomi dan Toleransi Cekaman Abiotik Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Penelitian ini dilakukan di Bogor sejak bulan Desember 2011 sampai bulan April 2013. Penelitian ini merupakan penelitian yang didanai IMHERE IPB. Penelitian ini bertujuan mengetahui penampilan agronomi dan toleransi sepuluh galur padi gogo hasil kultur antera terhadap cekaman abiotik naungan, kekeringan dan cekaman aluminium dibandingkan dengan varietas pembandingnya dengan melakukan uji cepat pada fase bibit. Harapan di masa depan, para petani Indonesia dapat memproduksi padi dengan optimal dan berkelanjutan walaupun menghadapi tantangan kondisi lahan yang tidak ideal (marjinal) seperti ternaungi, ancaman kekeringan dan kandungan aluminium tinggi (pH rendah).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc dan Dr Ir Eko Sulistyono, MSi selaku pembimbing dan Dr Ir Iswari Saraswati Dewi yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr dan Dr Ir Maya Melati, MS MSc sebagai dosen penguji. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Erwina Lubis atas sarannya beserta seluruh staf rumah kaca Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih dan menyampaikan penghargaan kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian Cimanggu, Bogor dan Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi – Kebun Percobaan Muara, Bogor atas diizinkannya penelitian ini dilaksanakan di lingkungan balai. Penulis mengucapkan terima kasih atas pendanaan penelitian IMHERE IPB sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Terima kasih kepada para pelaksana teknis di lapangan di Kebun Percobaan IPB di Cikarawang, seluruh staf di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian Cimanggu, Bogor atas bantuan dan kerjasamanya. Terima kasih juga disampaikan kepada suami, papa, mama, anak, kedua saudara, adik-adik kelas Fakultas Pertanian IPB dan rekan-rekan satu angkatan Program Studi Agronomi dan Hortikultura tahun 2010 serta rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana IPB pengurus HIMMPAS atas bantuan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(14)

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 3

Hipotesis 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Botani Tanaman 3

Kultur Antera 5

Potensi Lahan 6

Adaptasi Tanaman terhadap Naungan 8

Adaptasi Tanaman terhadap Kekeringan 9

Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium 10

3 BAHAN DAN METODE 11

Waktu dan Tempat Penelitian 11

Bahan dan Alat Penelitian 11

Metode 12

1. Penampilan Agronomi 12

2. Toleransi Naungan 13

3. Toleransi Cekaman Kekeringan 15

4. Toleransi Cekaman Aluminium 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

1. Penampilan Agronomi 18

2. Toleransi Naungan 23

3. Toleransi Cekaman Kekeringan 26

4. Toleransi Cekaman Aluminium 30

5 SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 44

(15)

rendah berdasarkan uji cepat fase bibit (Sasmita 2006) 15 2. Penilaian daya toleransi kekeringan dan persentase daya tumbuh

kembali menurut Sistem Evaluasi Standard pada Padi (IRRI 1996) 16 3. Pengelompokan toleransi padi gogo terhadap cekaman aluminium

berdasarkan Balitpa (2009) 18

4. Hasil analisis ragam karakter agronomi galur-galur padi gogo hasil

kultur antera 19

5. Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif galur-galur padi gogo

hasil kultur antera 19

6. Umur berbunga dan umur panen galur-galur padi gogo hasil

kultur antera 20

7. Panjang malai, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, dan jumlah gabah total/malai galur-galur padi gogo hasil kultur antera 20 8. Persentase gabah isi, persentase gabah hampa dan kepadatan malai

galur-galur padi gogo hasil kultur antera 21 9. Bobot 1000 butir, bobot gabah per plot dan bobot gabah kering

giling galur-galur padi gogo hasil kultur antera 22 10. Persentase tanaman hidup di ruang gelap selama 7 hari berdasarkan

uji cepat fase bibit 23

11. Skor kerusakan bibit di ruang gelap selama 7 hari berdasarkan uji

cepat fase bibit 24

12. Hasil uji cepat fase bibit galur-galur padi gogo hasil kultur antera

terhadap naungan 25

13. Skor toleransi kekeringan (20 hari setelah tanam) berdasarkan

Sistem Evaluasi Standard pada Padi (IRRI 1996) 27 14. Kadar air tanah saat skoring toleransi kekeringan (24 hari setelah

tanam) 27

15. Persentase daya tumbuh kembali (30 hari setelah tanam) berdasarkan Sistem Evaluasi Standard pada Padi (IRRI 1996) 28 16. Pengelompokan galur-galur hasil kultur antera berdasarkan toleransi

kekeringan dan daya tumbuh kembali 29

17. Hasil sidik ragam peubah-peubah yang diamati dalam uji cekaman aluminium pada bibit umur 14 hari di dalam media hara 30 18. Pengaruh interaksi galur dan pemberian Al terhadap tinggi tanaman

(cm) dan panjang akar bibit (cm) umur 14 hari dalam media hara

pada 0 ppm dan 60 ppm Al 31

19. Panjang akar relatif bibit umur 14 hari dalam media hara dan

pengelompokan toleransi galur-galur padi gogo hasil kultur antera

dalam uji cekaman aluminium 32

(16)

2. Skoring daya toleransi kekeringan 16 3. Kondisi tanaman pada hari ke-13 gelap 25 4. Panjang akar bibit 14 hari dalam media hara dengan 0 dan

60 ppm aluminium 33

5. Kondisi bibit IR60080-23 (toleran aluminium) dan ITA131 (peka aluminium) dengan pemberian 0 ppm dan 60 ppm aluminium 33

DAFTAR LAMPIRAN

1. Deskripsi Varietas Batutegi 44

2. Deskripsi Varietas Way Rarem 45

3. Asal persilangan galur-galur yang digunakan 46

4. Deskripsi Varietas Kalimutu 47

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi gogo adalah penghasil beras yang banyak dibudidayakan di Indoensia setelah padi sawah. Produksi beras yang dihasilkan pada tahun 2013sebesar 70.87 juta ton gabah kering giling, mengalami peningkatan sebanyak 1.81 juta ton (2.62 persen) dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi padi pada tahun 2013 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 0.87 juta ton dan di luar Jawa sebesar 0.94 juta ton. Peningkatan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 324.39 ribu hektar (2.41 persen) dan produktivitas sebesar 0.10 kuintal/hektar (0.19 persen) (BPS 2013). Menurut Menteri Pertanian produksi gabah kering giling tahun 2013 sekitar 70 juta ton atau setara 40 juta ton beras dan kebutuhan beras nasional sebanyak 33-34 juta ton, sehingga terdapat surplus 6-7 juta ton (Suhendra 2013). Namun ketersediaannya yang kontinudari tahun ke tahun tidak dapat terjamin akibat semakin sempitnya lahan subur dan kondisi perubahan iklim saat ini.

Semakin sempitnya lahan subur dan kondisi perubahan iklim saat ini menyebabkan budidaya padi gogo saat ini dialihkan ke lahan marjinal.Budidaya padi gogo biasanya dilakukan di daerah datar/bantaran sungai, kawasan perbukitan daerah aliran sungai dan sebagai tanaman sela di perkebunan dan di hutan tanaman industri muda (Toha 2005; Nazirah 2008). Sebagai tanaman yang hasilnya dikonsumsi sendiri, petani biasanya memanfaatkan lahan kering yang ada tanpa mengelola dan memelihara lahan dengan baik. Kondisi ini mendorong penggunaan pola tanam tumpangsari dengan tanaman semusim (jagung, kacang-kacangan, ubi kayu) dan tahunan (jati, karet, kelapa) untuk mendapatkan hasil yang lebih menguntungkan dan stabil bagi petani dan sebagai tindakan konservasi tanah.

Kondisi ini juga didorong oleh kondisi seperti pada tahun 2009-2010, yaitu budidaya padi sawah mengalami pengurangan luas panen sebesar 60 652 ha di Pulau Jawa dan di luar Jawa terjadi penambahan 16 366 ha akibat tidak ada lagi potensi perluasan sawah dan alih fungsi lahan yang tidak dapat dikendalikan (Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, 2010). Konversi lahan dan degradasi lahan menyebabkan ketersediaan lahan pertanian makin terbatas (Djaenudin 2008). Sebagai tanaman penghasil beras alternatif, kondisi ini menunjukkan bahwa dibutuhkan budidaya padi gogo yang optimal untuk mengganti kehilangan hasil gabah dari lahan sawah khususnya di luar Jawa dan merupakan upaya peningkatanketahanan pangan.Kondisi lahan di luar Jawa umumnya berupa lahan kering dengan intensitas curah hujan yang rendah dan didominasi jenis tanah Podzolik Merah Kuning (PMK). Tahun 2012, luas lahan kering di Pulau Jawa 3 823 334 ha dan di luar Pulau Jawa 31 047 088 ha (Kementan 2014a).

(18)

Kendala lain yaitu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya penyakit blas (Pyricularia grisea).

Naungan akan menurunkan aktivitas fotosintesis yang akan mengakibatkan penurunan fotosintat. Karakter padi gogo toleran naungan mempunyai kemampuan meningkatkan luas area penangkapan cahaya dan meningkatkan tinggi tanaman sehingga fotosintesis relatif optimum (Sasmita 2006). Kondisi naungan akan mempengaruhi mekanisme fisiologi di dalam jaringan seperti penurunan aktivitas enzim Rubisco, nisbah klorofil a/b dan aktivitas enzim SPS (sucrose phosphate synthase) (Lautt et al. 2000; Sopandie et al. 2003a).

Cekaman kekeringan akan menghasilkan penurunan bobot gabah/rumpun, peningkatan akumulasi prolin (Lestari 2006; Mostajeran dan Rahimi-Eichi 2009), penurunan kandungan klorofil total (Lestari 2006), peningkatan kandungan gula terlarut di daun (Mostajeran dan Rahimi-Eichi 2009). Menurut Boonjung dan Fukai (1996) efek cekaman air terhadap hasil paling berat ketika kekeringan terjadi saat perkembangan malai yaitu antesis tertunda, jumlah gabah per malai berkurang sampai 60% pada sawah irigasi (kontrol) dan persentase gabah isi berkurang sampai nol dalam satu rumpun. Penurunan hasil gabah 20% lebih rendah dari kontrol disebabkan oleh produksi bahan kering yang rendah saat periode kekeringandan periode pemulihan. Ketika kemarau terjadi pada saat pengisian gabah, persentase gabah isi berkurang 40% dan bobot individu gabah menurun 20%.

Pengaruh cekaman aluminium pada tanaman terlihat pada pertumbuhan akar yang terhambat (Bakhtiar et al. 2009). Cekaman aluminium (Al) menyebabkan gangguan mitosis pada jaringan meristem akar sehingga akar tidak berkembang normal, terlihat tebal dan pendek, serta perpanjangan akar terhambat (Marschner 1995). Al yang diserap akar akan menghambat penyerapan unsur hara yang lain terutama unsur P dan K. Cekaman aluminium dapat menyebabkan serapan P jaringan sangat rendah sedangkan serapan N dan K jaringan rendah. Tanaman toleran aluminium mempunyai kemampuan efisien dalam menyerap dan menggunakan N (Jagau 2000), P (Swasti 2004), dan K (Trikoesoemaningtyas 2002).

Baik cekaman tunggal maupun ganda yang dialami tanaman akan menurunkan produktivitas hasil padi gogo. Salah satu upaya yang efektif untuk mengatasi kendala ini adalah dengan memperbaiki adaptasi tanaman padi gogo terhadap cekaman-cekaman tersebut. Informasi mekanisme adaptasi tanaman secara fisiologis yang telah didapatkan digunakan dalam program perakitan varietas yang diinginkan.

Salah satu teknik pemuliaan dan bioteknologi tanaman yang digunakan untuk mendapatkan varietas dengan karakter yang diinginkan dalam waktu yang relatif singkat dan lebih hemat dalam biaya dan tenaga adalah teknik kultur antera (Dewi dan Purwoko 2012). Teknik ini merupakan teknik kultur in vitro melalui proses androgenesis untuk mendapatkan tanaman dihaploid yang homozigos penuh dan seperti tanaman diploid biasa yang fertil (Dewi dan Purwoko 2011). Teknik ini menghasilkan generasi tanaman dihaploid pertama (DH0) dalam waktu kurang dari satu tahun dan karakter agronominya dapat segera dievaluasi pada generasi DH1 dan DH2 (Dewi dan Purwoko 2001).

(19)

IG-38,IW-56, WI-44, GI-7 (Sasmita 2006) yang galur IG-19 dan IW-56 konsisten toleran terhadap naungan alami dan cukup adaptif terhadap kondisi tumpang sari dengan jagung (Sasmita et al. 2006), O18-b-1 dan B13-2-e toleran aluminium (Purwoko et al. 2010), III3-4-6-1 dan I5-10-1-1 toleran aluminium (Herawati et al. 2008). Set galur tersebut telah diuji di delapan lokasi di Indonesia (Sulaeman et al. 2011). Galur-galur tersebut sudah dikarakterisasi namunperlu diuji penampilan agronomi dan toleransinya terhadap cekaman abiotik. Sifat toleransi terhadap jenis kondisi lingkungan abiotik tertentu yang dimiliki galur tersebut belum diketahui secara pasti. Sebuah galur dapat memiliki sifat toleransi tunggal ataupun ganda. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan menambah informasi tentang sifat khusus galur yang akan dilepas sebagai varietas.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui penampilan agronomi galur-galur dihaploid padi gogo dibandingkan varietas pembandingnya di lingkungan yang optimum.

2. Menguji toleransi cekaman naungan, kekeringan dan aluminium galur-galur dihaploid padi gogo dibandingkan varietas pembanding peka dan pembanding toleran dari masing-masing jenis cekaman dengan uji cepat fase bibit

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan yaitu:

1. Terdapat galuryang mempunyai penampilan agronomi (komponen hasil dan hasil) yang lebih baik dari varietas pembanding.

2. Terdapat galur toleran naungan dan/atau cekaman kekeringan dan/atau cekaman aluminium dibandingkan varietas pembanding toleran dari masing-masing jenis cekaman.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Padi gogo termasuk ke dalam divisi Spermatophyta,subdivisi Angiospermae,kelas Monocotyledonae,famili Gramineae (Poaceae), genus Oryza Linn, spesies Oryza sativa L.Genus Oryza yang dibudidayakan adalah Oryza sativa L. di Asia dan Oryza glaberrima di Afrika yang berasal dari leluhur yang sama Oryza perennis Moench. Oryza sativa L berkembang menjadi tiga ras ekogeografik yaitu sinica/japonica, indica dan javanica (De Datta 1981; Manurung dan Ismunadji 1986).

(20)

primordia malai. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga. Fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai masak panen (De Datta 1981; Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a). Varietas berumur 120 hari yang ditanam di daerah tropis, fase vegetatifnya memerlukan waktu 60 hari, fase reproduktif 30 hari dan fase pemasakan 30 hari (Manurung dan Ismunadji 1988).

Fase vegetatif merupakan fase yang menyebabkan perbedaan umur panen, sebab lama fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan. Fase vegetatif ditunjukkan dengan jumlah anakan bertambah dengan cepat, tanaman semakin tinggi, daun tumbuh secara regular. Anakan yang tumbuh terdiri atas anakan produktif (menghasilkan malai) dan anakan tidak produktif (tidak menghasilkan malai lalu mati) (Manurung dan Ismunadji 1988, Makarim dan Suhartatik 2009a). Menurut De Datta (1981) di negara tropis, daun pertama biasanya muncul tiga hari setelah disebar dan fase bibit termasuk dalam waktu dari munculnya sampai sesaat sebelum kemunculan anakan pertama.

Fase reproduktif ditandai dengan pemanjangan beberapa ruas teratas pada batang, berkurangnya laju penambahan jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Pembungaan adalah stadia keluarnya malai, sedangkan anthesis segera mulai setelah pembungaan (heading). Pembungaan ini memerlukan waktu 10-14 hari. Fase pembungaan adalah saat 50% bunga telah muncul pada pertanaman padi. Antesis memerlukan waktu 7-10 hari. Pertumbuhan mencapai maksimal pada saat sebelum bunga keluar dari pelepah daun. Fase pemasakan terdiri atas masak susu, menguning dan masak panen. Fase ini memerlukan waktu sekitar 30 hari dan ditandai dengan penuaan daun. Fase ini sangat dipengaruhi suhu (Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).

Gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam. Biji disebut karyopsis yang terdiri atas embrio dan endosperma yang diselimuti oleh lapisan aleuron, kemudian tegmen dan lapisan terluar yang disebut perikarp. Bobot gabah beragam dari 12-44 mg pada kadar air 0%, sedangkan bobot sekam rata-rata adalah 20% bobot gabah. Umumnya jenis indica memiliki dormansi selama beberapa minggu dan sifat ini sesuai untuk daerah tropik karena suhu dan kelembaban sangat sesuai untuk perkecambahan (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Menurut De Datta (1981) akar padi berupa akar serabut yang terdiri atas akar seminal dan akar adventif sekunder. Menurut Makarim dan Suhartatik (2009a) akar padi berupa akar serabut yang terdiri atas akar primer dan akar sekunder. Apabila terjadi gangguan fisik terhadap akar primer, maka pertumbuhan akar-akar seminal lainnya akar dipercepat. Akar-akar seminal selanjutnya akan digantikan oleh akar-akar sekunder yang tumbuh dari buku terbawah batang. Akar-akar ini disebut adventif atau akar-akar buku karena tumbuh dari bagian tanaman yang bukan embrio atau munculnya bukan dari akar yang telah tumbuh sebelumnya. Perkembangan akar sangat dipengaruhi oleh tersedianya N, yaitu kadar N lebih dari 1% pada batang. Perakaran beberapa varietas padi juga dapat melepas eksudat berupa senyawa organik ke sekitarnya (Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).

(21)

membedakan padi dengan rumput saat stadia bibit. Daun teratas disebut daun bendera yang posisi dan ukurannya tampak berbeda dari daun yang lain (De Datta 1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Sifat daun yang dikehendaki adalah daun yang tumbuhnya tegak, tebal, kecil dan pendek. Indeks luas daun akan mencapai maksimum kira-kira sebelum berbunga dengan nilai optimal 4-7. Kumpulan daun (tajuk) yang menangkap radiasi surya untuk fotosintesis mempunyai nilai skewness, semakin kecil nilai skewness maka semakin luas bagian daun tanaman di bagian atas dan semakin berat biomas yang dihasilkan (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Batang terdiri atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku. Daun dantunas (anakan) tumbuh pada buku. Pada permulaan stadia tumbuh batang yang terdiri atas pelepah-pelepah daun dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut kemudian memanjang dan berongga setelah tanaman memasuki stadia reproduktif (De Datta 1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Jumlah buku sama dengan jumlah daun ditambah dua, yakni satu buku untuk tumbuhnya koleoptil dan yang satu lagi buku terakhir yang menjadi dasar malai. Sifat batang yang dikehendaki adalah pendek dan kaku karena tanaman menjadi tahan rebah, perbandingan antara gabah dan jerami lebih seimbang dan tanggap terhadap pemupukan nitrogen (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai dinamakan spikelet yang pada hakikatnya adalah bunga yang terdiri atas tangkai, bakal buah, lemma, palea, putik dan benang sari serta beberapa organ lainnya yang bersifat inferior. Tiap unit bunga padi pada hakikatnya adalah floret yang hanya terdiri atas satu bunga. Satu floret berisi satu bunga dan satu bunga terdiri atas satu organ betina (pistil) dan enam organ jantan (stamen) (De Datta 1981; Makarim dan Suhartatik 2009a). Malai terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang sekunder (Makarim dan Suhartatik 2009a).

Anakan tumbuh saat tanaman padi berdaun 4 atau 5 daun. Perkembangan anakan berhubungan dengan perkembangan daun. Tumbuhnya anakan dan akar terjadi pada saat yang sama dan buku yang sama kecuali pada daun pertama (saat berkecambah). Anakan padi berpola anakan berganda (Manurung dan Ismunadji 1988; Makarim dan Suhartatik 2009a).

Kultur Antera

(22)

akan haploid. Tanaman dihaploid dapat diperoleh secara spontan, atau diinduksi dengan perlakuan kolkisin dan dipangkas atau ratooning pada tanaman haploid. Tanaman dihaploid yang dihasilkan kultur antera ini bersifat homozigos penuh dan breed true, karena kedua kopi informasi genetik pada tanaman tersebut identik.

Tanaman homozigos mempunyai sifat-sifat unggul yang diperlukan dalam pemuliaaan tanaman. Tanaman homozigos yang dihasilkan pada keturunan pertama akan memudahkan seleksi fenotipe bagi karakter-karakter yang bersifat kuantitatif tanpa disukarkan oleh hubungan dominan resesif seperti pada tanaman heterozigos sehingga pemuliaan dapat lebih singkat karena dapat menghilangkan sebagian besar dari kegiatan seleksi per generasi (6-8 generasi) yang umum pada pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996). Tanaman-tanaman dengan homozigositas tinggi (F1 dan F2) segera dapat diperoleh pada generasi tanaman dihaploid pertama (DH0) dalam waktu kurang dari satu tahun.

Aplikasi kultur antera dalam pemuliaan tanaman padi telah berhasil mendapatkan berbagai varietas unggul di Cina dan Korea. Kultur antera dapat digunakan untuk perakitan varietas baru dan untuk mendapatkan genotipe baru yang spesifik yang sebelumnya tidak pernah ditemukan pada varietas lokal maupun pada koleksi plasma nutfah, seperti varietas padi tahan penyakit blas, toleran suhu rendah, dan toleran tanah salin (Dewi dan Purwoko 2001). Herawati et al. (2008) yang melakukan kultur antera persilangan enam kombinasi tetua telah menghasilkan tanaman dihaploid 53.5 % dari total tanaman hijau yang diperoleh.

Zhang (1992) melaporkan bahwa kultur anter menghasilkan tanaman haploid, tanaman dihaploid yang diperoleh secara spontan dan tanaman dengan ploidi lebih tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan sedini mungkin sesuai tujuan penelitian.

Potensi Lahan

Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2012 luas lahan kering Indonesia 34870422 ha terdiri atas lahan di Pulau Jawa dengan sawah nonirigasi 770 957 ha, tegal/kebun 2 662 467 ha, ladang/huma 351195 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan 38715 ha; dan di luar Pulau Jawa dengan sawah nonirigasi 2 399 733 ha, tegal/kebun 8 963 752 ha, ladang/huma 5 343 732 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan 14 339 871 ha (Kementan 2013a). Pada tahun yang sama,luas panen padi ladang 1 164 318 ha, produksi 3 867 726 ton dan produktivitas 33 ku/ha (Kementan 2013bcd).

(23)

sekitar 16.90 juta ha, yaitu 3.50 juta ha berupa lahan rawa dan 13.40 juta ha lainnya nonrawa. Lahan potensial untuk pertanian lahan kering tersedia 68.64 juta ha, yaitu untuk tanaman semusim 25.09 juta ha dan untuk tanaman tahunan 43.55 juta ha. Lahan yang masih tersedia untuk ekstensifikasi diperkirakan sekitar 22.39 juta ha, yaitu untuk tanaman semusim 7.08 juta ha dan tanaman tahunan 15.31 juta ha.

Sebagai tanaman tumpangsari, penanaman dilakukan saat fase pertumbuhan awal tanaman keras yaitu saat tanaman pokok belum menghasilkan atau sampai batas terjadi naungan maksimum 50% (Sopandie et al. 2003a, Sasmita 2006). Pertanaman padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan karet dapat diusahakan sampai tahun ketiga dan untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun keempat. Bila siklus peremajaan tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit dilakukan setiap 25 tahun sekali, maka potensi pengusahaan padi gogo sebagai tanaman tumpangsari di kedua jenis perkebunan tersebut dapat mencapai luasan 12%. Pada pertanaman kelapa dalam, padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ketiga dan setelah kelapa berumur lebih dari 25 tahun baru dapat diusahakan lagi penanaman padi gogo karena mahkota tanaman kelapa sudah mengecil, sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke permukaan tanah lebih dari 75% (Toha 2005).

Menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor 79 tahun 2013 (Kementan 2013), kriteria lahan yang sesuai untuk tanaman padi gogo adalah curah hujan selama 4 bulan berturut-turut 100-400 mm bulan-1, temperatur rata-rata 24 0C-29

0

C, pada zone agroklimat (Oldeman) C2, C3, D2 dan D3, kelembaban 33%-90%, kelas drainase baik sampai sedang, tekstur tanah halus sampai sedang dengan bahan kasar <15%, kedalaman tanah lebih dari 50 cm, reaksi tanah (pH) 5.5-7.5, bahan C-organik lebih dari 1.2%, salinitas kurang dari 2 dS m-1, alkalinitas kurang dari 20%, lereng kurang dari 3% dan batuan di permukaan kurang dari 5%.Ada pula kriteria lahan cukup sesuai bagi tanaman padi gogo, yaitu curah hujan selama 4 bulan berturut-turut 75-100 mm bulan-1 atau 400-550 mm bulan-1,temperatur rata-rata 22 0C -24 0C atau 29 0C-32 0C, zone agroklimat (Oldeman) A2, B2 dan B3, kelembaban 30%-33%, drainase agak cepat sampai agak terhambat, tekstur halus sampai sedang, bahan kasar 15%-35%, kedalaman tanah 40-50 cm, reaksi tanah (pH) 5.0-5.5 atau 7.5-7.9, bahan C-organik 0.8-1.2, salinitas 2-4 dS m-1, alkalinitas 20%-30%, lereng 3%-8% dengan bahaya erosi sangat ringan, batuan di permukaan 5%-15%.

(24)

Sebagai tanaman sela di perkebunan karet yang merupakan lahan kering, padi gogo akan mengalami kekeringan. Padi gogo juga akan mengalami kekeringan di perkebunan sawit yang mempunyai kebutuhan air yang tinggi.

Adaptasi Tanaman terhadap Naungan

Naungan menyebabkan intensitas cahaya yang rendah yang diterima tanaman di bawah titik kompensasi cahayanya. Titik kompensasi cahaya setiap tanaman berbeda-beda berdasarkan spesies dan kondisi perkembangannya. Naungan secara langsung menghambat proses fotosintesis karena menghambat penerimaan energi foton cahaya. Titik kompensasi cahaya tanaman yang tumbuh di habitat yang cerah (sun plants) antara 10-20 µmol m-2 s-1 dan tanaman yang tumbuh di habitat ternaungi (shade plants) antara 1-5 µmol m-2 s-1 (Taiz dan Zeiger 2002). Menurut Sulistyono (1998) rata-rata intensitas cahaya pada naungan 0%, 25% dan 50% berturut-turut 307.2, 241.9 dan 136.4 kal cm-2hari-1 sedangkan padi membutuhkan minimum 265 kal cm-2 hari-1(Las 1983). Adaptasi tanaman terhadap naungan ada dua yaitu mekanisme penghindaran dan toleransi. Tanaman yang melakukan toleransi akan melakukan penurunan titik kompensasi cahaya dan respirasi yang efisien. Tanaman yang melakukan mekanisme penghindaran melakukan perubahan-perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis yang efisien (Levitt 1980).

Sasmita (2008) melaporkan bahwa secara morfologi terjadi peningkatan ukuran daun (jumlah, panjang dan lebar, ketebalan, ketegakan daun), luas daun bendera lebih sempit (efisiensi cahaya rendah), jumlah anakan produktif dapat dipertahankan (area penangkapan cahaya lebih luas), sudut anakan/batang lebih tegak, panjang ruas batang lebih panjang, tanaman lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang toleran mempunyai kemampuan meningkatkan luas areal penangkapan cahaya (total luas daun) sampai peningkatan jumlah unit fotosintetik per area penangkapan cahaya serta dengan aktivitas fisiologinya yang dapat disebut avoidance.

Daun sebagai tempat terjadinya fotosintesis mengalami perubahan anatomi untuk mencapai efisiensi penangkapan cahaya dengan meningkatkan jumlah unit fotosintetik. Perubahan itu tampak pada varietas toleran pada kondisi naungan 50% antara lain peningkatan kandungan klorofil a dan b, penurunan rasio klorofil a/b, berkurangnya ketebalan daun, penurunan kandungan pigmen daun lebih rendah pada kedelai (Muhuria et al. 2006) dan padi gogo (Sasmita 2008), berkurangnya kepadatan trikoma (bulu daun) pada kedelai (Muhuria et al. 2006) dan kacang hijau (Sundari et al. 2008), peningkatan luas daun pada kedelai (Muhuria et al. 2006) dan talas (Djukri dan Purwoko 2003), peningkatan jumlah stomata pada kacang hijau (Sundari et al. 2006) dan padi gogo (Sasmita 2008).

(25)

dengan kondisi naungan 25% menunjukkan kerebahan yang tinggi dibandingkan Kalimutu yang peka.

Menurut Sopandieet al. (2003a) naungan akan menurunkan aktivitas fotosintesis yang akan menurunkan hasil fotosintat. Tanaman toleran mempunyai tingkat efisiensi penerimaan cahaya yang lebih tinggi pada kondisi normal dan terutama saat ternaungi dibanding tanaman yang peka. Tanaman toleran mempunyai hasil relatif lebih tinggi dibanding tanaman peka. Naungan juga akan menurunkan nisbah klorofil a/b. Penurunan nisbah klorofil a/b saat ternaungi lebih besar pada tanaman peka dibanding yang toleran. Penurunan terjadi karena jumlah klorofil b meningkat.

Adaptasi Tanaman terhadap Kekeringan

Kekeringan dapat didefinisikan sebagai situasi lingkungan terjadinya penurunan potensial air tanah di daerah perakaran tanaman. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh evapotranspirasi lapisan bajak yang lebih besar dibanding kebutuhan irigasi. Misalnya penurunan potensial air tanah menurunkan potensial air seluruh tanaman atau bagian organ tanaman. Kekeringan mempengaruhi hasil secara biologis dan ekonomis dengan menghambat banyak fungsi fisiologi disebabkan defisit air (Kobata 1995).

Jaleel et al. (2009) menjelaskan bahwa cekaman kekeringan adalah faktor pembatas yang penting pada fase awal pertumbuhan dan pembentukan tanaman. Cekaman kekeringan menghambat pembelahan sel dikarenakan terjadinya kerusakan mitosis dan pemanjangan sel dikarenakan kehilangan tekanan turgor. Kedua penyebab itu mengakibatkan pertumbuhan berkurang. Tanaman akan mengalami penurunan bobot kering dan basah. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi produktivitas per tanaman yang dapat dipanen.

Padi bereaksi terhadap stres kekeringan dengan mengurangi tinggi tanaman dan luas daun (Asch et al. 2005). Menurut Suardi (2002) faktor tanaman yang berkorelasi dengan kekeringan adalah diameter akar dan indeks luas daun (ILD). Semakin besar diameter akar maka semakin tinggi toleransi tanaman terhadap kekeringan. Semakin tinggi indeks luas daun maka toleransi tanaman terhadap kekeringan semakin rendah. Bobot kering akar dan panjang akar tidak menunjukkan korelasi nyata dengan toleransi terhadap kekeringan.

Pembandingan dua kultivar padi gogo yang peka dan toleran yang diberikan enam hari periode kering kemudian diairi kembali selama empat hari oleh Trillana et al. (2001) menghasilkan proses pemulihan dari cekaman kekeringan kultivar yang toleran lebih cepat dibanding yang peka, tetapi keduanya mempunyai diameter akar yang hampir sama.

(26)

Cekaman kekeringan juga mengakibatkan penurunan klorofil total. Menurut Pieter dan Souki (2005) cekaman kekeringan melemahkan aktivitas PS II pada daun bendera tanaman padi, kandungan klorofil berkurang, namun demikian cekaman kekeringan menyebabkan kandungan pigmen xantofil pada daun meningkat, yang berfungsi menyerap kelebihan cahaya di bawah penyinaran yang tinggi pada kondisi kekeringan.

Tanaman yang melakukan mekanisme drought avoidance menjaga tekanan turgor sel dengan salah satunya menggulung daun. Menurut Qian-yu et al. (2003), setiap bertambah satu skala indeks daun menggulung, konduktansi stomata pada varietas peka, moderat, tidak peka (toleran) dan laju transpirasi masing-masing menurun. Indeks daun menggulung menghasilkan penurunan besar pada laju fotosintesis bersih yang pada varietas peka lebih rendah dibandingkan dengan varietas toleran. Hal itu juga menunjukkan bahwa varietas dengan indeks daun menggulung moderat meningkatkan efisiensi penggunaan air, dan efek indeks daun menggulung pada efisiensi penggunaan air menunjukkan perubahan laju fotosintesis bersih dan laju transpirasi pada varietas peka, tetapi varietas toleran hanya berubah pada laju transpirasi secara nyata. Walaupun demikian, menurut Pantuwan et al. (2002) karakter tajuk seperti potensial osmotik, temperatur daun, daun menggulung, kematian daun mempunyai sedikit pengaruh pada hasil gabah di bawah kondisi kekeringan yang berbeda.

Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium

Cekaman aluminium adalah kondisi saat tanaman mengalami hambatan pertumbuhan akibat adanya aluminium (Al) terlarut di dalam tanah berupa ion Al3+ pada pH rendah 4.5-4.0 atau kurang bagi kebanyakan tanaman kecuali tanaman toleran asam seperti Hydrangea dan teh (Takenaga 1995). Menurut Matsumoto (2000) aluminium adalah unsur dalam tanah dan berada sebagai satu kompleks stabil dengan oksigen dan silikat dalam kondisi netral dan tanah bersifat asam lemah. Ketika pH tanah lebih rendah daripada 4.5–5.0, Al terlarut dalam air tanah dan diserap oleh akar tanaman.

(27)

pada kemampuan tanaman menyerap air dan hara (Famoso et al. 2010). Plasma membran menjadi target kerusakan oleh aluminium seperti pada kedelai (Gunse et al. 2003) dan tanaman tingkat tinggi (Ma 2007).

Panjang akar relatif dan pertambahan panjang akar relatif merupakan tolak ukur yang paling baik untuk digunakan dalam menentukan ketenggangan tanaman jagung terhadap cekaman Al (Syafruddinet al. 2006). Panjang akar relatif mempunyai korelasi positif dan nyata pada metode kultur hara (Bakhtiar 2007). Menurut Bakhtiar et al. (2009) padi gogo varietas tenggang Al ditentukan oleh hambatan pemanjangan akar dan kandungan Al akar.

Dampak aluminium terhadap penyerapan unsur hara sangat besar terutama pada asam fosforik, kalsium dan magnesium, aluminium sering menghalangi pengambilan unsur hara tersebut dan menyebabkan defisiensi unsur tersebut. Defisiensi fosfat sangat memungkinkan menyebabkan sejumlah besar akumulasi aluminium pada epidermis dan korteks akar sama seperti pada nukleus dan sitoplasma sel. Kelebihan aluminium menurunkan aktivitas metabolisme tanaman (Takenaga 1995).

Keberadaan Al dalam jumlah banyak di rhizosfer dapat menghambat absorbsi hara terutama P dan dapat merusak jaringan akar. Tanaman yang toleran masih dapat menerima Al di sel dengan melakukan mekanisme pengkelatan oleh senyawa organik. Kedelai memanfaatkan asam sitrat dan asam malat di sel dan asam sitrat di luar sel (eksternal) (Kasim et al. 2001), gandum memanfaatkan asam malat di akar (De Andrade et al. 2011).

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Ada empat percobaan yang dilakukan yaitu percobaan penampilan agronomi, pengujian toleransi naungan, cekaman kekeringan dan cekaman aluminium. Percobaan karakterisasi agronomi dilakukan di Kebun Percobaan IPB di Cikarawang pada bulan Desember 2011 – Maret 2012. Percobaan toleransi naungan dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Cimanggu, Bogor sejak pertengahan bulan Desember 2012 sampai Februari 2013. Percobaan toleransi kekeringan dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitan Tanaman Padi, Bogor sejak pertengahan bulan Desember 2012 sampai awal Februari 2013. Percobaan toleransi cekaman aluminium (Al) dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Cimanggu, Bogor sejak pertengahan Februari sampai April 2013.

Bahan dan Alat Penelitian

(28)

1) dan Way Rarem (Lampiran 2). Asal persilangan galur disajikan pada Lampiran 3. Percobaan ini menggunakan pupuk Urea, SP-36, KCl, pupuk kandang,insektisida, fungisida dan perekat insektisida/fungisida. Alat yang digunakan antara lain timbangan analitik, penggaris, meteran, counter hand, pengukur kadar air, alat-alat pertanian.

Percobaan toleransi naungan menggunakan metode uji cepat fase bibit dan penilaian toleransi (berdasarkan persentase tanaman hidup dan skor kerusakan bibit) menurut Sasmita (2006). Bahan yang digunakan ialah dua belas galur yang sama pada percobaan penampilan agronomi ditambah varietas pembanding peka naungan Kalimutu (Lampiran 4) dan pembanding toleran naungan Jatiluhur (Lampiran 5), media tanah, pupuk NPK 15:15:15. Alat yang digunakan antara lain cawan petri, kertas saring, empat buah bak plastik, rak kayu, kain hitam, empat buah karton hitam, jarum pentul, penggaris, kertas label, amplop coklat, timbangan analitik.

Percobaan toleransi cekaman kekeringan menggunakan metode Balitpa (2009). Metode ini membandingkan dua belas genotipe yang sama pada percobaan penampilan agronomi dengan varietas pembanding peka kekeringan IR20 dan pembanding toleran kekeringan yaitu Salumpikit. Bahan yang digunakan yaitu dua belas galur/varietas yang sama dengan percobaan penampilan agronomi, varietas IR20 dan Salumpikit, media tanah, pupuk kandang, Furadan, pupuk Urea, SP-36 dan KCl.Alat yang digunakan antara lain dua buahbak tembok, cangkul, tali rafia, batang bambu penahan plastik pelindung air, paranet 3 m x 4 m, plastik pelindung air 3 m x 4 m, penggaris, oven, tensiometer.

Percobaan toleransi cekaman aluminium (Al) menggunakan metode Bakhtiar (2007) yang telah dimodifikasi (dengan menyatukan seluruh galur/varietas dalam satu wadah/bak) dan penilaian toleransi berdasarkan Balitpa (2009) yaitu berdasarkan nilai panjang akar relatif. Percobaan ini menggunakan larutan hara Yoshida (Yoshida et al. 1976) yang ditambah larutan AlCl3.6H2O 0

ppm dan 60 ppm. Genotipe yang digunakan yaitu dua belas genotipe yang sama dengan percobaan penampilan agronomi ditambah pembanding peka Al ITA131 dan pembanding toleran Al IR60080-23. Bahan lain yang digunakan yaitu akuades, larutan hara Yoshida (Yoshida et al. 1976), larutan AlCl3.6H2O, larutan

HgCl2, larutan NaHCO30.1 N atau HCl 0.1 N dan media arang sekam

(perkecambahan). Alat yang digunakan antara lain pH meter, kertas lakmus, enam buah styrofoamyang mempunyai 60 lubang, enam buah bak plastikukuran 56 cm x 26 cm x 18 cm, dua baki plastik ukuran 32 cm x 24 cm x 4 cm, busa lunak, dua pengaduk kayu, dua buah drum, dua buah pipet 10 ml, pipet 50 ml, gelas ukur ukuran 500 ml dan 1 l, tisu, aerator beserta selangnya, kertas label, penggaris dan amplop coklat.

Metode

1. Penampilan Agronomi

(29)

Yij = µ + Bi + Uj+ ijk

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan pada faktor B taraf ke-i faktor U taraf ke-j.

µ = rataan.

Bi = pengaruh faktor galur B

Uj = pengaruh faktor ulangan U

ij = pengaruh acak yang menyebar normal

i = 1, 2, 3, ..., 12. j = 1, 2, 3, 4.

Satuan percobaan berupa petakan lahan berukuran 4 m x 5 m. Pengolahan tanah dilakukan dua kali, yaitu pada 14 dan 7 hari sebelum tanam. Tanah yang telah diolah kemudian dibuat petakan untuk tiap unit percobaan. Jarak tanam 30 cm x 15 cm sehingga pada petakan terdapat 13 baris dan di tiap baris terdapat 33 lubang tanam (populasi per petak 429 rumpun). Benih ditanam langsung dengan cara tugal, jumlah benih 3-5 butir tiap lubang.

Dosis pupuk yang digunakan adalah 10 ton pupuk kandang per ha, 200 kg Urea per ha, 100 kg SP-36 per ha dan 100 kg KCl ha. Pupuk kandang,40 kg Urea per ha, 100 kg SP-36 per hadan 100 kg KCl per ha diberikan saat tanam sebagai pupuk dasar, 80 kg Urea per ha pada 4 MST sebagai pemupukan ke-2 dan 80 kg Urea per ha pada 7 MST sebagai pemupukan ke-3. Penyiangan dilakukan pada 4 MST, 7 MST dan 10 MST. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan secara intensif sesuai kebutuhan.Selanjutnya bila tidak ada hujan, penyiraman dilakukan tiap hari hingga 10 HST.

Pengamatan dilakukan terhadap karakter agronomi, jumlah curah hujan, kelembaban relatif dan temperatur selama masa tanam sampai panen. Karakter agronomi yang diamati yaitu jumlah anakan pada umur 50 HST (batang /rumpun), umur berbunga (hari) dihitung jika telah muncul malai 50% dari populasi tanaman, umur panen (hari) dihitung jika telah muncul 90% malai siap dipanen, tinggi tanaman saat panen (cm) diukur dari leher akar sampai leher malai, jumlah anakan total dan anakan produktif pada saat panen (batang/rumpun), panjang malai (cm) diukur dari leher malai sampai ujung malai, jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai (butir), jumlah gabah total per malai (butir), menghitung persentase gabah isi dan hampa (%), kepadatan malai (butir/cm), bobot gabah 1000 butir (g) yaitu 1000 butir gabah bernas ditimbang dengan kadar air ± 14%, bobot gabah setiap plot (kg petak-1), bobot gabah kering giling (kg) yaitu bobot gabah setiap plot pada kadar air gabah 14%. Data dianalisis ragam, apabila berpengaruh nyata maka diuji lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil/LSD pada taraf 5% dan 10%.

2. Toleransi Naungan.

(30)

Yij = µ + Bi + Kj + ij

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan pada faktor B taraf ke-i dan ulangan ke-j.

µ = rataan.

Bi = pengaruh faktor galur B ke-i.

Kj = pengaruh kelompok (ulangan) K ke-j.

ij = pengaruh acak yang menyebar normal.

i = 1, 2, 3, ..., 14. j = 1, 2, 3, 4.

Benih padi gogo dikecambahkan di atas kertas saring yang diberi air dalam cawan petri selama tiga hari, kemudian ditanam dalam bak plastik ukuran 56 cm x 26 cm x 18 cm berisi media (tanah yang diberi 0.75 gram pupuk NPK 15:15:15 per bak). Ada 4 bak plastik yang harus disiapkan. Tiap bak ditanami kecambah sebanyak 14 baris untuk 14 galur. Tiap galur terdiri atas sepuluh tanaman (kecambah). Kecambah ditumbuhkan selama 10 hari pada kondisi cahaya penuh, selanjutnya bibit dipindahkan ke dalam ruang gelap. Pemeliharaan tanaman untuk menjaga tidak kekurangan air dan gangguan hama dan penyakit dilakukan sesuai keperluan.

Gambar 1 Skoring naungan. ǂ Keterangan: 1 = 0-10% bagian daun mengering, 3=10%-30% bagian daun mengering, 5=30%-50% bagian daun mengering, 7=50%-70% bagian daun mengering, dan 9= >70% bagian daun mengering. Skor ≥5 menunjukkan vigor bibit kurang baik/tidak hidup.

(31)

mengering (Gambar 1). Skor ≤ 3 menunjukkan vigor bibit baik dengan daun relatif segar. Skor ≥5 menunjukkan vigor bibit kurang baik/tidak hidup. Skor kerusakan bibit varietas peka naungan mencapai skor 5 (tidak hidup) pada tujuh hari gelap. Hal ini menjadi dasar pengamatan persentase tanaman hidup dan skor kerusakan bibit dilakukan sampai umur tujuh hari gelap. Pengelompokan toleransi galur dilakukan berdasarkan persentase tanaman hidup dengan mempertimbangkan skor kerusakan bibit menurut Sasmita (2006) pada Tabel 1. Hasil pengamatan skor kerusakan bibit diuji dengan Uji Friedman taraf 5%. Hasil pengamatan persentase tanaman hidup pada hari ke-7 dianalisis ragam dan apabila berpengaruh nyata diuji lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil/LSD pada taraf 5%.

Tabel 1 Klasifikasi toleransi galur padi gogo terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan uji cepat fase bibit (Sasmita 2006)

Persentase Tanaman Hidup Skor Kerusakan Bibit Kategori

≥ 60 < 5 = 7

Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok tiga ulangan dan galur padi gogo sebagai faktor. Setiap satuan percobaan terdiri atas sepuluh tanaman. Model aditif linear:

Yij = µ + Bi + Uj+ ij

Keterangan

Yij = nilai pengamatan pada faktor B taraf ke-i dan faktor U taraf ke-j.

µ = rataan.

Bi = pengaruh faktor galur B ke-i.

Uj = pengaruh kelompok U ke-j.

ij = pengaruh acak yang menyebar normal

i = 1, 2, 3, ..., 14. j = 1, 2, 3.

(32)

itu tanaman tidak disiram dan dibiarkan tumbuh sampai varietas pembanding peka (IR20) (sebanyak 80%) telah mencapai ≥50% daun mengering, yaitu pada hari kesepuluh sejak tanaman tidak disiram (10 hari). Penyiraman dilakukan sampai terjadi perkolasi. Penilaian toleransi terhadap kekeringan dilakukan pada hari ke-10 tersebut.

Saat penilaian toleransi terhadap kekeringan dilakukan, kadar air tanah sedalam 20 dan 40 cm diukur pada masing-masing kedalaman lima titik di antara ulangan. Setelah skoring toleransi terhadap kekeringan dilakukan, semua galur yang diuji disiram kembali dan dipelihara selama 10 hari, kemudian dinilai daya tumbuh kembali (recovery ability).

Tabel 2 Penilaian daya toleransi kekeringan dan persentase daya tumbuh kembali menurut Sistem Evaluasi Standard pada Padi (IRRI 1996)

Daya toleransi kekeringan Daya tumbuh kembali

Nilai Kriteria Keterangan Nilai Kriteria Keterangan

0 Sangat toleran Tidak ada gejala

Penilaian toleransi kekeringan berdasarkan prosedur yang telah baku yang ditunjukkan oleh Tabel 2. Skoring daya toleransi kekeringan ditunjukkan oleh Gambar 2. Pengamatan yang dilakukan adalah daya toleransi kekeringan, daya tumbuh kembali, dan kadar air pada kedalaman 20 cm dan 40 cm masing-masing lima titik. Hasil pengamatan daya toleransi kekeringan dan daya tumbuh kembali diuji dengan Uji Friedman taraf 5%.

Gambar 2 Skoring daya toleransi kekeringan ǂ Keterangan: 0=sangat toleran=tidak ada gejala, 1=toleran=ujung daun mengering, 3=agak toleran= ¼ ujung daun kering, 5=moderat=¼ - ½ ujung daun ada yang kering, 7=agak peka=½ - 2/3 ujung daun ada yang kering, 9=peka= semua daun kering.

4. Toleransi Cekaman Aluminium

Percobaan ini menggunakanrancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan ulangan sebagai kelompok. Perlakuan Al dalam larutan hara Yoshida

(33)

(Yoshida et al. 1976) sebagai petak utama, terdiri atas 0 ppm dan 60 ppm. Galur padi gogo sebagai anak petak. Model aditif linear:

Yijk = µ + Ai + ik + Bj + (AB)ij + Uk + ijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan

ke-k. µ = rataan.

Ai = pengaruh faktorkonsentrasiAlCl3.6H2O A dalam kultur hara ke-i.

ik = pengaruh acak dari petak utama A yang menyebar normal.

Bj = pengaruh faktor galur B ke-j.

(AB)ij = interaksi faktor larutan Yoshida yang ditambah larutan AlCl3.6H2O A

dan galur padi gogo B.

Uk = pengaruh aditif dari kelompok U ke-k.

ijk = pengaruh acak yang menyebar normal (galat).

i = 1, 2.

j = 1, 2, 3, ..., 14. k = 1, 2, 3.

Sebanyak 45 g benih dari tiap galur dioven selama 3 x 24 jam pada suhu 450C kemudian dibagi untuk tiga ulangan. Setiap 15 g benih yang telah disiapkan, masing-masing diambil 50 butir benih bernas untuk dikecambahkan. Benih padi gogo dikecambahkan di atas kertas saring yang diberi sedikit air dalam cawan petri selama tiga hari.

Benih disemai di dalam bak persemaian dengan media sekam yang telah dibilas tiga kali. Pengecambahan benih dilakukan dalam gelap selama tujuh hari. Air akuades disiapkan sedini mungkin sampai pada dua hari sebelum perlakuan di media hara dua drum telah terisi air akuades. Dua drum air akuades masing-masing 120 l. Satu drum digunakan untuk membuat larutan hara sebanyak 114 l. Larutan hara ini dipindahkan ke dalam enam bak plastik, tiga bak plastik hanya berisi 19 l larutan hara dan tiga bak plastik berisi larutan hara dan Al sebanyak 19 l. Al yang diberikan yaitu sebanyak 60 ppm (2.22 µmol) larutan AlCl3.6H2O.Satu

drum air akuades yang lain digunakan untuk mengganti air yang hilang akibat transpirasi di rumah kaca (tiap dua hari sekali).

Sebanyak empat bibit padi dari setiap galur yang sehat, normal, panjang akar seragam dan mempunyai tinggi ± 10 cm dipilih untuk bahan percobaan. Batang bibit dibalut dengan gabus/busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang-lubang styrofoam yang telah disiapkan dan diapungkan pada larutan hara dalam bak. Setiap bak terdiri atas 14 galur. Setiap galur terdiri atas empat bibit. Satu styrofoam terdiri atas 56 lubang. Setiap bak mendapat oksigen dari dua selang yang berasal dari satu aerator.

Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan menambahkan aquades setiap dua hari sekali dengan pH tetap dipertahankan sekitar 4.0 ± 0.1 dengan penambahan NaHCO3 0.1 N (menaikkan pH) atau HCl 0.1 N (menurunkan pH).

(34)

Pengamatan yang dilakukan yaitu panjang akar yang diukur dari batas leher sampai ujung akar pada umur 14 hari dalam media kultur hara, tinggi tanaman, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering tanaman, nisbah bobot akar/tajuk (NAT), panjang akar relatif (PAR). Pengamatan bobot kering dilakukan setelah proses pengeringan tanaman. Proses pengeringan tanaman berumur 14 hari dalam media hara yang telah diukur panjang akar dan tinggi tanaman, dilakukan dengan menjemur tanaman selama satu minggu di dalam rumah kaca dengan posisi di atas amplop. Tanaman yang telah kering dimasukkan kembali ke dalam amplop kemudian disimpan dalam plastik hitam (per kelompok).

Tabel 3 Pengelompokan toleransi padi gogo terhadap cekaman aluminium (Balitpa 2009)

Nilai Panjang Akar Relatif Kategori

>0.70 Toleran

0.63-0.70 Agak toleran

<0.63 Peka

Data dianalisis ragam, apabila berpengaruh nyata diuji lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil/LSD pada taraf 5%. Toleransi padi gogo terhadap cekaman aluminium berdasarkan nilai panjang akar relatif (PAR) dikelompokkan menjadi tiga kategori yang ditunjukkan Tabel 3. Nisbah bobot akar/tajuk (NAT) adalah perbandingan antara bobot kering akar dengan bobot kering tajuk. Panjang akar relatif (PAR) adalah perbandingan antara panjang akar pada perlakuan Al dibanding panjang akar pada perlakuan tanpa Al.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penampilan Agronomi

Berdasarkan data BMKG (2013), kebun percobaan IPB, Cikarawang berada pada ketinggian sekitar 207 m di atas permukaan laut. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Maret 2012 dan tertinggi pada bulan Februari 2012 dengan rentang 136 mm per bulan-538 mm per bulan. Suhu rata-rata per bulan antara 25.1 0C-26.1 0C. Suhu maksimum per bulan antara 29.7 0C-31.8 0C. Suhu minimum per bulan antara 22.8 0C-23.1 0C. Kelembaban udara nisbi antara 80%-87%. Curah hujan yang tinggi pada bulan Februari 2012 mengakibatkan kelembaban udara tinggi (87%). Kondisi awal pertanaman baik dan tidak ada serangan OPT yang berarti. Adapun jenis OPT yang menyerang yaitu walang sangit, uret, belalang, penyakit blas daun. Pada akhir bulan Februari 2012 menjelang panen, kondisi curah hujan tinggi yang disertai angin menyebabkan banyak tanaman yang mengalami rebah. Hasil analisis ragam karakter agronomi tanaman ditunjukkan oleh Tabel 4.

(35)

anakan paling sedikit dimiliki galur III3-4-6-1 (9.2 batang) yang tidak berbeda nyata dengan varietas Batutegi (9.8 batang) dan Way Rarem (10.7 batang), galur O18-b-1 (11.2 batang), IG-19 (10.7 batang), dan IG-38 (10.9 batang).

Tabel 4 Hasil analisis ragam karakter agronomi galur-galur padi gogo hasil kultur antera nyata pada α 10%, § berdasarkan hasil transformasi dengan akar kuadrat.

Tabel 5 Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif galur-galur padi gogo hasil kultur antera

(36)

Galur yang membutuhkan masa vegetatif paling lama yaitu 82 hari ialah varitas Batutegi (Tabel 6). Umur berbunga paling singkat dimiliki oleh galur O18-b-1 (64 hari). Umur berbunga yang panjang menunjukkan fase vegetatif yang panjang.Galur yang memiliki masa vegetatif lebih dari 75 hari, memiliki umur panen lebih dari 105 hari. Galur O18-b-1 (91.5 hari) mempunyai umur panen paling singkat dibanding galur lainnya dan varietas pembandingnya. Varietas Batutegi mempunyai umur panen yang paling lama (112.0 hari).

Tabel 6 Umur berbunga dan umur panen galur-galur padi gogo hasil kultur antera Galur Umur berbunga Umur panen

(hari) (hari)

berbeda nyata berdasarkan Uji BNT/LSD α 5%.

Tabel 7 Panjang malai, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, dan jumlah gabah total/malai galur-galur padi gogo hasil kultur antera

Galur

ǂ Angka pada kolom sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji BNT/LSD

α 5%.

(37)

panjang malai varietas Way Rarem (23.32 cm). Jumlah gabah isi paling banyak dimiliki varietas Batutegi (242.5 butir) dan paling sedikit dimiliki galur IW-56 (87.3 butir). Jumlah gabah isi galur III3-4-6-1 (154.5 butir) dan I5-10-1-1 (155.6 butir) tidak berbeda nyata dengan varietas Way Rarem (177.6 butir).

Jumlah gabah hampa galur-galur hasil kultur antera III3-4-6-1 (25.8 butir), O18-b-1 (22.5 butir) dan IG-19 (23.7 butir) sama dengan jumlah gabah hampa varietas Way Rarem (Tabel 7). Jumlah gabah hampa varietas Batutegi (70.0 butir) adalah yang terbanyak. Jumlah gabah hampa paling sedikit dimiliki galur WI-44 (10.1 butir), IW-67 (9.0 butir) dan IG-38 (9.9 butir). Jumlah gabah total galur-galur hasil kultur antera berada di bawah varietas pembanding (Batutegi dan Way Rarem). Jumlah gabah total galur III3-4-6-1 (180.4 butir) dan I5-10-1-1 (173.2 butir) tidak berbeda nyata dengan varietas Way Rarem (198.6 butir).Jumlah gabah total per malai terbanyak dimiliki varietas Batutegi (312.6 butir) dan paling sedikit dimiliki galur IW-67 (100.2 butir).

Pada Tabel 8, persentase gabah isi terbanyak dimiliki oleh galur IG-38 (92.3%) yang tidak beerbeda nyata dengan varietas Way Rarem (89.3%), WI-44 (91.8%), IW-67 (91.0), I5-10-1-1 (89.8%), O18-b-1 (86.4%) dan B13-2-e (87.0%). Persentase gabah isi paling rendah dimiliki varietas Batutegi (77.3%). Persentase gabah hampa tertinggi dimiliki varietas Batutegi (22.8%). Persentase gabah hampa galur IG-19 (17.6%) dan IW-56 (16.5%) tidak berbeda nyata dengan varietas Batutegi. Persentase gabah hampa paling rendah dimiliki galur IG-38 (7.8%).

Tabel 8 Persentase gabah isi, persentase gabah hampa dan kepadatan malai galur-galur padi gogo hasil kultur antera

Galur Persentase gabah isi Persentase gabah hampa Kepadatan malai

(%) (%) (butir/cm)

ǂ Angka pada kolom sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji BNT/LSD

α 5%.

(38)

termasuk varietas padi gogo unggul nasional dan baru dirilis tahun 2001 yang memiliki keunggulan tanamannyatinggi, jumlah gabah per malainya banyak (malai yang lebat), bentuk gabah bulat sedang dan tahan terhadap penyakit blas dan bercak coklat (BB Padi 2010).

Bobot 1000 butir tertinggi dihasilkan oleh galur IG-38 (38.99 g), IG-19 (38.11 g), dan GI-7 (38.07 g) (Tabel 9). Bobot 1000 butir terendah dihasilkan oleh I5-10-1-1 (23.45 g) yang tidak berbeda nyata dengan varietas Batutegi (23.96 g) dan galur IW-56 (24.30 g). Bobot gabah kering giling (GKG) yang dihasilkan galur-galur hasil kultur antera masih berada di bawah varietas Way Rarem (4.95 ton ha-1). Galur dengan bobot GKG yang tidak berbeda nyata dengan varietas

Tabel 9 Bobot 1000 butir, bobot gabah per plot dan bobot gabah kering giling galur-galur padi gogo hasil kultur antera

Galur

ǂ Angka pada kolom bobot 1 000 butir yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan

Uji BNT/LSD α 5%. Angka pada kolom bobot gabah kering giling yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji BNT/LSD α 10%.

(39)

singkat/genjah, mempunyai bobot GKG agak rendah (2.91 ton ha-1) walaupun karakter gabahnya tidak mudah rontok.

2. Toleransi Naungan

Galur GI-7, IG-19, IG-38, varietas Batutegi dan Kalimutu mempunyai persentase tanaman hidup di bawah 40% yang dikategorikan peka (Tabel 10). Persentase tanaman hidup paling tinggi ditunjukkan oleh galur B13-2-e (95%), yang tidak berbeda nyata dengan galur I5-10-1-1 (92.5%) dan WI-44 (92.5%). Persentase tanaman hidup paling rendah dimiliki oleh galur IG-19, IG-38 dan varietas Batutegi (masing-masing 0%).

Tabel 10 Persentase tanaman hidup di ruang gelap selama 7 hari berdasarkan uji cepat fase bibit

Galur Lama hari di ruang gelap

3 hari 5 hari 7 hari

III3-4-6-1 100a 100.0a 50.0c

I5-10-1-1 100a 100.0a 92.5ab

WI-44 100a 100.0a 92.5ab

GI-7 100a 100.0a 2.5d

O18-b-1 100a 100.0a 70.0bc

IW-67 100a 100.0a 55.0c

IG-19 100a 100.0a 0d

IG-38 100a 97.5ab 0d

IW-56 100a 100.0a 67.5c

B13-2-e 100a 100.0a 95.0a

Batutegi 100a 95.0b 0d

Way Rarem 100a 100.0a 50.0c

Kalimutu 100a 100.0a 2.5d

Jatiluhur 100a 100.0a 65.0c

P . * ** Koefisien keragaman 0 2.0 36.2 Rata-rata (%) 100 99.5 45.9 ǂ * dan ** berpengaruh nyata pada α 5% dan 1%. Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji BNT/LSD α 5%.

Gambar

Gambar 1  Skoring naungan. ǂ Keterangan: 1 = 0-10% bagian daun mengering, 3=10%-30%          bagian daun mengering, 5=30%-50% bagian daun mengering, 7=50%-70% bagian         daun mengering, dan 9= >70% bagian daun mengering
Tabel 4  Hasil analisis ragam karakter agronomi galur-galur padi gogo hasil kultur   antera
Tabel 7  Panjang malai, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai,    dan jumlah gabah total/malai galur-galur padi gogo hasil kultur antera
Tabel 9  Bobot 1000 butir, bobot gabah per plot dan bobot gabah kering   giling galur-galur padi gogo hasil kultur antera
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sifat tanah dan status hara yang meliputi pH, Corganik, N total, P tersedia, K tukar, Ca tukar, Mg tukar, Na tukar, KTK dan KB baik pada tanah sawah tadah hujan dan irigasi

Menurut NAECY (National Association for the Education of Young Children) , PAUD dimulai saat kelahiran hingga anak berusia 8 tahun. Batita dan balita mengalami

beberapa kelompok petani tambak yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dari panen tersebut, salah satu programnya adalah memberi pelatihan yaitu cara membuat makanan

Adapun saran-sarannya adalah sebagai berikut: (a)Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Utara disarankan lebih meningkatkan pelayanan kepada pengusaha kena

Akan tetapi, ada atau tidaknya hubungan antara hobi cosplay dengan konsep diri anggota Komunitas Cosplay Medan ini yang menjadi pertanyaan dan menimbulkan rasa ingin tahu

Padang yang tengah berbenah diri menjadi kota industri, kota per­dagangan dan kota pari­wi­sata harus dihadapkan dengan per­soalan persoalan besar yang tak kalah dari kota kota

Langkah- langkah tersebut di atas bukan merupakan barang mati yang tidak bisa diubah, tetapi masih dapat diubah dengan langkah- langkah yang lain, sepanjang cara atau langkah

Namun kenyataannya sistem instalasi pengolahan air laut atau sea water reverse osmosis tidak begitu efesian didalam masyarakat, terbukti dengan sedikit atau segelintir