• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari bahasa Latin “adolescare” (kata bendanya = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Desmita 2005). Lebih lanjut, Desmita menyebutkan bahwa batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Ahmadi dan Sholeh (2005) mengungkapkan bahwa pada masa ini terdapat beberapa fase, yaitu fase remaja awal (usia 12-14 tahun), remaja pertengahan (usia14-18 tahun), fase remaja akhir (usia 18-21 tahun). Menurut banyak ahli jiwa, fase remaja akhir berkisar pada umur 17-19 tahun atau 17-21 tahun (Kartono 1990).

Hurlock (2000) menyebutkan bahwa masa remaja dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi oleh pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis secara bervariasi. Terdapat perubahan psikologis yang sama dan bersifat universal, yaitu : 1. Meningginya emosi, yang intensitasnya tergantung paada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Meningginya emosi lebih menonjol pada masa awal periode akhir masa remaja. 2. Perubahan tubuh, minat dan peran diharapkan oleh kelompok sosial untuk diperankan menimbulkan masalah baru pada tahap ini. 3. Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah; dan 4. Sebagian besar remaja meninginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi pertanggungjawaban tersebut.

Selanjutnya Hurlock (2000) menjalaskan bahwa remaja dianggap sebagai suatu saat terjadinya ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Namun meningginya emosi terutama disebabkan oleh kondisi sosial dan kondisi baru yang membutuhkan penyesuaian. Papalia et al (2008) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa peluang sekaligus risiko. Selain itu, masa remaja merupakan masa yang menarik perhatian, karena sifat- sifat khasnya dan karena peranannya yang menetukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa (Ahmadi dan Sholeh 2005).

Ahmadi dan Sholeh (2005) mengemukakan bahwa individu pada usia remaja berada pada vitalitas optimum. Perkembangan intelektualnya berada pada taraf operasional formal, sehingga kemampuan nalarnya tinggi. Atkinson et al. (1993) mengemukakan bahwa tugas penting yang dihadapi remaja ialah

mengembangkan persepsi identitas diri. Mencari identitas diri termasuk dalam hal memutuskan apa yang penting dan patut serta memformulasikan standar tindakan dalam mengevaluasi perilaku dirinya dan juga perilaku orang lain. Hal ini mencangkup juga perasaan harga diri daan kompetensi diri. Papalia et al (2008) mengungkapkan bahwa identitas diri muncul ketika anak muda memilih nilai, bukan sekedar mengikuti pilihan orangtuanya.

Olahraga

Olahraga adalah kegiatan pelatihan jasmani, yaitu kegiatan jasmani untuk memperkaya dan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan gerak dasar maupun gerak ketrampilan (kecabangan olahraga). Kegiatan itu merupakan bentuk pendekatan ke aspek sejahtera jasmani atau sehat jasmani yang berarti juga sehat dinamis yaitu sehat yang disertai dengan kemampuan gerak yang memenuhi segala tuntutan gerak kehidupan sehari-hari, artinya ia memiliki tingkat kebugaran jasmani yang memadai (Santosadan Komariah 2007).

Aktifitas dalam olahraga dapat dibedakan menjadi aktifitas aerobik, anaerobik, dan kombinasi antara aktifitas aerobik dan anaerobik. Aktifitias aerobik merupakan aktifitas kegiatan fisik yang dilakukan pada tingkat intensitas sedang untuk jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, oksigen digunakan untuk "membakar" lemak dan gula untuk menghasilkan adenosin trifosfat yang merupakan pembawa dasar dari energi di tingkat sel. Contoh olahraga aerobic yaitu gerak jalan cepat, jogging, bola basket, sepak bola, senam, renang. Olahraga anaerobik ("tanpa oksigen") adalah kebalikan dari olahraga aerobik ("dengan oksigen"). Keduanya, aerobik dan anaerobik, lebih menggunakan energi selama melakukan aktivitas fisik. Olahraga anaerobik membakar lebih banyak kalori, membutuhkan oksigen yang lebih besar dimana oksigen tersebut tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk sel-sel dalam membakar lemak. Contoh olahraga anaerobic yaitu angkat besi, sprint 100m (Riyadi 2007).

Tipe atlet dalam olahraga dapat dibedakan menjadi atlet endurance (daya tahan, atlet strength (kekuatan), dan atlet beregu. Atlet daya tahan merupakan atlet yang berpartisipasi dalam olahraga yang aktifitasnya berkesinambungan (30 menit hingga 4 jam) dan melibatkan otot secara keseluruhan. Adapun contoh olahraganya yaitu, renang, lari, bersepeda, dsb. Atlet kekuatan merupakan atlet yang berpartisipasi dalam olahraga yang keberhasilan dalam olahraga tersebut sangat bergantung kepada kekuatan otot. Adapun contoh olahraganya yaitu, angkat berat, gulat, senam dsb. Atlet beregu merupakan atlet yang terdiri dari 2

orang atau lebih yang berpartisipasi dalam suatu olahraga secara bersama-sama yang terkadang dipengaruhi oleh kemampuan fisik seperti daya tahan tubuh. Adapun contoh olahraganya yaitu bola basket, sepak bola, bola voli dsb (Riyadi H 2007).

Pengetahuan Gizi

Karyadi (1997) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi sangat erat hubungannya dengan baik buruknya kualitas gizi dan makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal ialah melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah. Dicirikan dengan adanya tingkatan kronologis yang ketat untuk tingkat usia sasarannya. Sementara pendidikan informal tidak terorganisasi secara struktural dan tidak mengenal tingkatan kronologi menurut usia, keterampilan, dan pengetahuan, tetapi terselenggara setiap saat di lingkungan sekitar manusia (Hayati 2000). Pendidikan gizi menjadi landasan yang menentukan konsumsi pangan. Remaja yang memiliki pendidikan gizi yang baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan sepenunya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan (Nasution & Khomsan 1995).

Pengetahuan gizi merupakan prasyarat penting untuk terjadinya perubahan sikap dan perilaku gizi. Pengetahuan juga merupakan salah satu perimbangan seseorang dalam memilih dan mengonsumsi makanan. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya. Orang yang semakin baik pengetahuan gizinya akan lebih baik mempergunakan pertimbangan rasional dan pengetahuannya dibandingkan panca inderanya sebelum mengonsumsi makanan (Sediaoetama 1996).

Mariani (2002) menyatakan bahwa ketidaktahuan akan gizi dapat mengakibatkan sesorang salah memilih bahan dan cara menyajikannya. Akan tetapi sebaliknya, seseorang dengan pengetahuan gizi yang baik biasanya akan mempraktikan pola makan sehat agar terpenuhi kebutuhan gizinya.

Notoadmodjo (1993) mengemukakan bahwa pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertetu. Pengetahuan diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan mengenai obyek tertentu.

Selain pendapatan, peningkatan pendidikan, serta pengetahuan tentang pangan dan gizi diperlukan agar masyarakat dapat memperbaiki konsumsi pangan dan gizi sekaligus kesehatan mereka. Penetahuan didefinisikan sebagai ingatan terhadap materi atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya yang mencakup semua hal dari fakta-fakta yang sangat khusus sampai semua teori yang sangat kompleks. Pengetahuan merupakan hasil belajar yang rendah tingkatannya (Bloom 1956 diacu dalam Pranadji 1988).Riyadi (1995) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan pangan dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai, dan keadaan kesehatan seseorang.

Pengetahuan gizi sangat erat hubungannya dengan baik buruknya kualitas gizi dari makanan yang dikonsumsi. Dengan pengetahuan yang benar mengenai gizi, maka orang akan tahu dan berupaya untuk mengatur pola makannya sedemikian rupa sehingga seimbang, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Jadi masalah gizi yang timbul apakah gizi kurang atau gizi lebih sebenarnya disebabkan oleh perilaku yang salah, yakni adanya ketidak seimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizinya (Karyadi, 1997).

Pengukuran Pengetahuan Gizi

Pengukuran pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan instrument dalam bentuk tes obyektif yang paling sering digunakan. Di dalam menyusun instrument, diperlukan alternatif jawaban yang benar yang disebut

sebagai “jawaban”, sedangkan alternatif jawaban yang salah disebut distracter. Multiple choice tes dapat digunakan untuk mengukur berbagai aspek yang terkait di dalam ranah kognitif. Oleh karena itu, bentuk tes ini sangat baik untuk mengetahui pengetahuan gizi individu (Khomsan 2000).

Menurut Khomsan (2000) kategori pengetahuan gizi bisa dibagi dalam tiga kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang (di Tabel 1). Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan dalam bentuk persentase. Cut off point yang biasa digunakan yaitu.

Tabel 1Cut off point Pengetahuan Gizi

Kategori pengetahuan gizi Skor

Baik >80%

Sedang 60%-80%

Kurang <60%

Sumber: Khomsan 2000

Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Banyak cara untuk melakukan penilaian status gizi terhadap individu yaitu dengan cara penilaian status gizi secara antropometri, secara biokimia, secara klinis dan juga dengan asupan pangan (Arisman 2004).

Metode antropometri merupakan pengukuran ukuran tubuh dan komposisi tubuh secara kasar. Pengukuran ini dapat berubah-ubah sesuai dengan usia dan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Antropometri merupakan salah satu metode yang digunakan dalam melakukan penilaian status gizi secara langsung. Pengukuran antropometri mempunyai keuntungan dalam menyediakan informasi status gizi pada masa lampau yang tidak dapat diperoleh dengan teknik penilaian yang lain (Gibson 2005). Pengukuran antropometri dapat digunakan dengan cepat, mudah, dan dapat dipercaya. Menurut Roedjito (1988) ukuran fisik seseorang sangat berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu, ukuran antropometri diakui sebagai indeks yang paling baik dan dapat diandalkan dalam penentuan status gizi untuk negara berkembang. Hal ini sangat penting karena penilaian status gizi lain lebih sulit dan lebih mahal.

Metode antropometri juga menggunakan pengukuran-pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh. Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi, sehingga bermanfaat terutama pada keadaan dimana terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri juga dapat digunakan untuk mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau, hal ini tidak dapat diperoleh (dengan tingkat kepercayaan yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi 2003).

Parameter-parameter yang biasanya diukur dalam pemeriksaan status gizi secara antropometri meliputi berat badan, tinggi badan, tebal lipatan kulit

(biseps, triseps, subscapula, suprailliac), lingkar lengan, lingkar kepala dan dada (Arisman 2004). Kategori remaja metode pengukuran status gizi menurut antropometri yang umumnya dilakukan adalah metode pengukuran status gizi antropometri berdasarkan IMT/U. Pengukuran status gizi dengan parameter IMT menurut umur (IMT/U) direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja, nilai titik batas disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai titik batas yang direkomendasikan untuk remaja berdasarkan IMT/U

Status gizi Kategori

Kurus -3 SD ≤ Z-score ≤ -2SD Normal -2 SD ≤ Z-score ≤ +1 SD At risk +1 SD ≤ Z-score ≤ +2 SD Gemuk +2 SD ≤ Z-score ≤+3 Obese Z-score ≥ +3 SD Sumber: Depkes 1996 Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok dengan tujuan tertentu. Tujuan mengonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992).

Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) banyak hal yang mempengaruhi konsumsi pangan individu diantaranya faktor ekonomi dan harga, serta factor sosio budaya dan religi yang ada di suatu daerah. Selain itu faktor kesehatan individu juga berpengaruh dalam konsumsi pangan, serta faktor fisiologis individu juga sangat menentukan jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi oleh individu.

Survei diet atau penilaian konsumsi pangan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan tingkat asupan gizi perorangan atau kelompok. Dalam melakukan penilaian konsumsi pangan banyak terjadi bias yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidaksesuaian dalam menggunakan alat ukur, waktu pengumpulan data yang tidak tepat, instrumen tidak sesuai dengan tujuan, kemampuan dalam mengumpulkan data, daya ingat responden, dan daftar komposisi makanan yang digunakan tidak sesuai dengan makanan yang dikonsumsi responden sehingga interpretasi hasil yang kurang tepat. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang baik dalam melakukan survei konsumsi pangan baik untuk individu, kelompok, maupun rumah tangga.

Walaupun data konsumsi pangan sering digunakan sebagai salah satu metode penentuan status gizi, namun survei konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung (Supariasa, Bakri, Fajar 2002).

Supariasa et al. (2002) menjelaskan bahwa dalam survei konsumsi pangan terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode kuantitatif, serta gabungan dari metode keduanya. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan, dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitaif digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM), dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM).

Metode yang biasa digunakan dalam menilai konsumsi pangan baik tingkat individu, keluarga maupun masyarakat antara lain metode penimbangan (weighed method), metode mengingat-ingat (recall method), riwayat makan (dietary history), frekuensi pangan (food frequency) dan metode kombinasi

(Kusharto & Sa’adiyyah 2008).

Kebiasaan Makan

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makan seseorang (Suhardjo, 1989). Kebiasaan makan berasal dari kata kebiasaan dan makan. Kebiasaan adalah perilaku yang diperoleh dari pola praktek. Kebiasaan makan merupakan tindakan manusia (what people do, practise) terhadap makanan yang dipengaruhi oleh pengetahuan (what people thing) dan perasaan atau apa yang dirasakan (what people feel) serta persepsi (what people perceive) (Khumaidi, 1989).

Kebiasaan makan dapat diartikan sebagai cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya (Hardinsyah, Suhardjo & Riyadi, 1988). Kebiasaan terbentuk dalam diri seseorang akibat proses sosialisasi yang diperoleh dari lingkungannya (Pranadji, 1988).

Sarapan pagi

Salah satu kebiasaan makan yang sangat penting adalah kebiasaan makan pagi atau sarapan. Sarapan adalah makanan terpenting sepanjang hari. Para atlet harus benar-benar memperhatikan kebiasaan sarapan karena menyebabkan atlet lebih produktif dan berenergi tinggi. Bila tidak dibiasakan sarapan, kemampuan untuk berkonsentrasi akan hilang dan berkerja kurang efisien (Sumosardjuno1992). Demikian pula menurut Clark (1996), bila melupakan sarapan pagi menyebabkan tidak mampu berkonsentrasi pada pagi berikutnya, kerja dan belajar kurang cermat, cepat marah dan kurang bisa mengontrol diri atau kekurangan tenaga untuk latihan sore. Melupakan sarapan untuk menghemat kalori adalah pendekatan yang tidak sukses untuk mengurangi berat badan.

Makanan cemilan

Makanan cemilan mengandung jumlah kalori dan lemak tinggi disamping juga menggunakan bahan pengawet, MSG, garam atau gula berlebih. Tetapi tidak semua makanan cemilan demikian. Ada banyak makanan cemilan yang baik bagi tubuh seperti buah-buahan dan sayuran. Clark (1996) mengungkapkan kebiasaan memakan makanan kecil (cemilan) sebenarnya baik bila dipergunakan dengan bijaksana yaitu memilih cemilan yang banyak mengandung zat gizi. Ada tiga kunci dalam memilih makanan kecil (cemilan) yaitu jenis, tidak berlebihan, dan kemanfaatan.

Suplemen

Suplemen adalah makanan tambahan yang berisi vitamin atau mineral. Clark (1996) menyatakan bahwa olahraga tidak meningkatkan kebutuhan vitamin. Karena olahraga tidak membakar vitamin. Bila selalu mendapatkan makanan seimbang tidak diperlukan suplementasi. Kebutuhan vitamin B meningkat selama aktivitas yang berat, tetapi kebutuhan ini akan dipengaruhi dengan ditingkatkannya masukan kalori selama olahraga berat.

Vitamin jika dikonsumsi terlalu banyak dapat menyebabkan toksik. Misalnya, vitamin B6 yang dikonsumsi lebih dari 1,0 gram per hari dalam jangka berbulan-bulan dapat berakibat hilangnya koordinasi otot dan paralysis (Husaini, 2000). Suplemen zat gizi yang berupa obat, makanan atau minuman yang banyak beredar dipasaran dengan berbagai merk hanya diperuntukkan bagi atlet pada kondisi tertentu. Hati-hati dalam mengonsumsi suplemen secara berlebihan, lebih baik konsultasikan kepada dokter terlebih dahulu.

Sikap Gizi

Menurut Azwar (2004) sikap merupakan suatu bentuk respon evaluatif. Respon akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang mengkehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.

Sikap seseorang dapat diketahui dan kecenderungan seseorang tersebut dalam bertingkah laku terhadap suatu objek tertentu. Sikap tersebut karena ada faktor pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agam, serta pengaruh faktor emosional (Azwar 2004).

Menurut Notoatmodjo (2003) sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan mengarahkan [erilaku secara langsung. Dengan demikian sikap positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sebaliknya sikap negatif akan mrnumbuhkan perilaku yang negatif saja, seperti menolak, menjauhi, meninggalkan, bahkan sampai hal-hal merusak.

Di dalam sikap ada tiga komponen yaitu :

1. Komponen kognitif, yang menyangkut pengertian, kepercayaan, motif, dan sebagainya.

2. Komponen efektif, yang memrikan proses internal yang berkembang sebagai bagian dari emosi dan perasaan.

3. Komponen perilaku yang membentuk kecenderungan tertentu dan mengarahkannya pada suatu tindakan tertentu.

Sikap bersifat relatif tetap, stabil, dan terus menerus. Suatu sikap yang sudah tumbuh dalam psikis seseorang tidak mudah akan berubah. Secara umum diketahu bahwa sikap itu terbentuk melalui pengetahuan (akal) dan pengalaman. Bahkan untuk membentuk sikap diperlukan penguatan-penguatan yang sebgaja dilakukan. Sikap mengandung komponen efektif, sikap terbentuk dari pengalaman seseorang, bertambah dan berkembang dalam psikis yang lain, merupakan proses internal, melibatkan keseluruhan pribadi dalam menanggapi objek pada suatu situasi.

Sikap gizi merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap suatu pernyataan (statement) yang diajukan. Sikap gizi

sering kali terkait erat dengan pengetahuan gizi. Mereka yang berpengetahuan gizi baik, cenderung akan memiliki sikap gizi yang baik pula. Sikap gizi dikategorikan ke dalam kalsifikasi kurang (<60), sedang (60-79), dan baik (≥80). Sikap gizi akan sangat berperan untuk mengubah praktik atau perilaku gizi. Hanya saja perilkau konsumsi pangan seseorang sering kali dipengaruhi oleh faktor yang lebih kompleks (khomsan et al. 2009).

Survei Konsumsi Makanan Food Recall 24 jam

Metode food Recall 24 jam merupakan salah satu metode dalam melakukan survei konsumsi pangan dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Mengingat kembali dan mencatat jumlah serta jenis pangan dan minuman yang telah dikonsumsi selama 24 jam merupakan metode pengumpulan data yang paling banyak digunakan dan paling mudah digunakan (Arisman, 2004). Hal yang perlu diketahui bahwa dengan menggunakan metode recall 24 jam maka data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Untuk mendapatkan data kuantitatif maka jumlah konsumsi pangan individu ditanyakan secara lebih jelas dan teliti dengan menggunakan alat ukur rumah tangga seperti sendok, gelas, piring, mangkuk, dan lain-lain (Superiasa et al. 2002).

Metode recall ini mencatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu. Pengukuran konsumsi biasanya diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT, setelah itu baru dikonversikan ke dalam satuan berat. Metode recall ini murah, dan tidak memakan waktu

banyak (Kusharto & Sa’adiyyah 2008).

Pengukuran jika hanya dilakukan sebanyak satu kali (1x24 jam) maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Pengukuran recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Pengukuran sebaiknya dilakukan minimal dua kali (2x24 jam) tanpa berturut-turut sehingga dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu (Gibson 2005). Metode ini cukup baik diterapkan dalam survei terhadap suatu kelompok masyarakat karena setiap orang telah memiliki menu yang relatif tetap selama seminggu kecuali pada hari libur tertentu atau

ketika mereka diundang menghadiri jamuan tertentu. Keberhasilan metode recall 24 jam ini sangat ditentukan oleh daya ingat responden, kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara, kemampuan responden dalam memperkirakan ukuran makanan yang telah dimakan, dan derajat motivasi. Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan mutu data recall 24 jam maka sebaiknya dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut) tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari(Arisman 2004).

Kecukupan Gizi Atlet

Kecukupan gizi merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh, dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Sandjaja et al 2009). Kecukupan zat gizi seseorang yang berprofesi sebagai atlet dengan bukan atlet akan berbeda karena orang yang berprofesi sebagai atlet akan memiliki tingkat aktivitas atau latihan yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang bukan berprofesi sebagai atlet.

Jenis aktivitas fisik misalnya adalah berjalan, berkebun, melakukan pekerjaan rumah tangga, menari, dan juga mencuci mobil juga termasuk ke dalam aktivitas fisik (Hoeger & Hoeger 2005). Menurut Almatsier (2001) aktivitas fisik memerlukan energi di luar kebutuhan untuk metabolisme basal. Pada saat melakukan aktivitas fisik, otot memerlukan tambahan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan selama

Dokumen terkait