• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi dan Karakteristik Perkembangan Remaja

Istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Papalia, et al. 2009). Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas (puberty), yaitu proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual atau fertilitas (Papalia, et al. 2009).

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Hurlock 1980). Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Desmita 2005). Lebih lanjut, Desmita (2005) menyebutkan batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Ahmadi dan Sholeh (1991) mengungkapkan, pada masa ini terdapat beberapa fase, yaitu fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 14 tahun), remaja pertengahan (usia 14 tahun sampai dengan 18 tahun), dan fase remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun). Papalia, et al.

(2009) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja berada di pertigaan antara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisipasi dalam masyarakat dewasa. Belum lagi, masa remaja adalah masa-masa dimana mereka terlibat dalam perilaku yang menyempitkan pandangan dan membatasi pilihan mereka.

Masa remaja diawali dengan masa pubertas, dicirikan dengan perhatian subyektif yang besar pada dirinya. Menurut Freud (Santrock 2003), masa remaja termasuk dalam tahapan genital, yaitu tahapan yang berlangsung mulai puber yang ditandai dengan keinginan seksual yang mulai bangkit. Selain itu, otak remaja akan terus berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Perubahan pada struktur otak yang terkait dengan emosi, penilaian, perilaku, dan kontrol diri berlangsung antara masa pubertas dan dewasa awal, serta menjadi kecenderungan

remaja mengalami ledakan emosi dan melakukan perilaku yang beresiko. Oleh karenanya, perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja menjadi aspek penting dalam perkembangan fase ini. Adisasmito (2007) menyatakan bahwa faktor fisik mempunyai pengaruh yang besar bagi atlet dalam mencapai prestasi. Faktor fisik ini selain berhubungan dengan postur tubuh yang ideal juga berkaitan dengan daya tahan, kecepatan, fleksibilitas, koordinasi gerak, dan kekuatan seorang atlet.

Perkembangan kognitif masa remaja berada pada tahapan formal operational, dimana remaja sudah mampu berpikir abstrak (Piaget dalam Santrock 2003). Aspek kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual yang dimiliki atlet. Kemampuan intelektual dibutuhkan atlet dalam mengatasi masalah, menerapkan taktik dan strategi dalam latihan dan menghadapi pertandingan. Atlet yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi dapat dengan mudah memahami dan mencerna instruksi yang diberikan oleh pelatih dan dapat mengatasi masalah dengan teknik dan strategi yang dimilikinya (Adisasmito 2007).

Sementara itu, perkembangan sosial emosi remaja berada pada tahapan identity vs identity confusion (Erikson dalam Papalia, et al. 2009). Selama tahap pembentukan identitas ini, remaja mungkin merasakan penderitaan yang paling dalam dibandingkan pada masa-masa lainnya akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas. Kondisi demikian menyebabkan remaja merasa terisolir, cemas, dan bimbang. Pada tahapan ini orangtua sangat berperan dalam membantu anaknya untuk mengeksplorasi berbagai peranan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila anak remaja dapat mengeksplorasi peranannya dengan perilaku baik dan dapat menentukan jalur yang tepat bagi hidupnya, maka anak tersebut akan mencapai identitas positif (Theresa & Caplan dalam Desmita 2005).

Seperti halnya dengan semua periode yang penting dalam rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Adapun ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock (1980) yaitu:

1) Masa remaja sebagai periode yang penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, terutama pada

9

awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

2) Masa remaja sebagai periode peralihan. Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh laki-laki maupun perempuan.

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya.

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja agar mampu bertanggungjawab.

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.

Sementara itu, tugas perkembangan masa remaja menurut Havinghurst (Hurlock 1980), yaitu: 1) mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita; 2) mencapai peran sosial pria dan wanita;

3) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif; 4)

mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab; dan 5) mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.

Atlet Muda

Seorang atlet adalah seseorang yang terlatih atau berbakat dalam latihan atau kompetisi yang melibatkan kelincahan fisik, stamina, atau kekuatan. Seorang atlet juga dapat didefinisikan sebagai seorang peserta dalam olahraga atau permainan yang membutuhkan keterampilan fisik. Atlet juga dikenal sebagai orang yang dapat melakukan olahraga atau melakukan aktivitas fisik (Dumbnerd dalam Adisasmito 2007).

Atlet muda adalah atlet yang berusia remaja yang mendapat binaan khusus dan mengikuti pertandingan kelas junior, salah satunya Youth Olympic di tingkat internasional. Adisasmito (2007) menyatakan bahwa atlet muda mempunyai energi yang cukup besar untuk berprestasi. Energi memberi kekuatan pada sebuah perilaku berolahraga, dimana perilaku tersebut akan mengarahkan seorang atlet untuk berprestasi dan tentu saja ingin menjadi yang terbaik, tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga di tingkat internasional.

Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua

Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi stimulus (rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indera manusia (Desmita 2009). Persepsi pada dasarnya menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya, dimana setelah individu menginderakan objek di lingkungannya, kemudian ia memproses hasil penginderaannya itu sehingga timbul makna tentang suatu objek. Persepsi gaya pengasuhan orangtua adalah makna yang timbul dari sebuah proses pengasuhan dan gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada seorang anak. Atlet muda berada pada rentang usia remaja, di mana menurut Paiget (Desmita 2009), remaja memiliki perkembangan kognitif yang berada pada tahapan keempat (operasional formal) yang ditunjukkan dengan kemampuan menerapkan operasi dasar terhadap ide dan berbagai objek abstrak dengan ciri mampu berfikir abstrak, berfikir deduktif, berfikir hipotetik, dan memecahkan masalah secara sistematik. Remaja

11

telah memiliki kemampuan untuk mempersepsikan gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orangtuanya.

Pengasuhan adalah saat dimana orangtua menerapkan suatu seri keputusan mengenai interaksi dan sosialisasi antara orangtua dengan anak. Pengasuhan merupakan tindakan yang dilakukan orangtua agar anaknya dapat bertanggung jawab, memberikan kontribusi sebagai anggota dari masyarakat termasuk apa yang dilakukan ketika menghadapi emosi yang ditunjukan anak seperti menangis, agresif, berbohong atau menunjukkan kompetensi yang kurang dalam hal pendidikan (Brooks 2001). Brooks (2001) juga menjelaskan bahwa pengasuhan adalah interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak. Interaksi yang terjadi diantara keduanya saling mempengaruhi dan merupakan proses yang berkelanjutan. Deskripsi gaya pengasuhan didasarkan pada dua elemen, yaitu gaya pelatih emosi (parental emotional styles) dan gaya pendisiplinan (parental disciplinary styles).

Pendekatan Teoritis tentang Gaya Pengasuhan

Gottman dan Declaire (1997) mengemukakan empat jenis gaya pengasuhan pada elemen pelatih emosi (parental emotional styles) yang diterapkan oleh orangtua, yaitu gaya pelatih emosi, gaya pengabai emosi, gaya tidak menyetujui, dan gaya pengasuhan Laissez-faire. Orangtua memiliki ciri-ciri yang berbeda pada keempat gaya tersebut.

1. Gaya Pelatih Emosi

Orangtua dengan gaya pengasuhan ini mampu menilai emosi negatif anak sebagai kesempatan untuk menciptakan keakraban dan dapat mentolerir waktu untuk mengalami kesedihan, kemarahan, dan ketakutan anak tanpa kehilangan kesabarannya (Gottman & Declaire 1997). Orangtua mengajarkan anak untuk memahami emosi yang dirasakannya, sehingga anak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif dari seorang anak dapat dijadikan sebagai kesempatan yang penting untuk menerapakan gaya pengasuhan. Gottman dan Declaire (1997) juga mengemukakan bahwa orangtua dengan gaya pengasuhan pelatih emosi mampu mendengarkan perasaan seorang anak, memberikan pengarahan untuk mengatur emosi dari

seorang anak, dan memberikan pelajaran kepada anak tentang cara memecahkan suatu masalah.

2. Gaya Pengabai Emosi

Gottman dan Declaire (1997) mengemukakan tipe orangtua pengabai emosi tidak mendukung perkembangan kecerdasan emosi anak karena umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengenal emosi, tidak memahami bagaimana timbulnya emosi dan bagaimana mengatasi emosi. Orangtua dengan gaya pengabai emosi umumnya tidak memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengatasi emosi anak, menolak perasaan negatif anak, tidak tahu teknik untuk mengatasi emosi negatif anak, dan percaya bahwa emosi negatif sebagai ceminan buruknya keterampilan pengasuhan. Orangtua dengan gaya pengabai emosi ini juga lebih memfokuskan untuk menghilangkan emosi negatif anak daripada mengelola emosi negatif tersebut.

3. Gaya Tidak Menyetujui

Gaya pengasuhan ini mirip dengan gaya pengabai emosi dan seringkali dilakukan dengan cara yang lebih negatif, dimana orangtua tidak hanya mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan emosi negatif anaknya, namun tidak menyetujui perbuatan anak (Gottman & Declaire 1997). Orangtua dengan gaya tidak menyetujui ini juga mempercayai bahwa emosi negatif anak merupakan cerminan dari perilaku buruk seorang anak.

4. Gaya Pengasuhan Laissez-faire

Orangtua dengan gaya pengasuhan ini menerima ungkapan atau ekspresi emosi anak, namun gagal dalam memberitahukan kepada anak bagaimana mengatasi perasaan yang dialami oleh anak (Gottman & Declaire 1997). Gaya pengasuhan ini memiliki kedudukan yang hampir sama dengan gaya pengabai emosi maupun tidak menyetujui. Oleh sebab itu, anak dari orangtua dengan gaya pengasuhan laissez-faire tidak mampu belajar mengatur emosi, dan seringkali anak tidak memiliki kemapuan untuk menenangkan diri sendiri saat mereka marah, sedih, ataupun gelisah.

Sementara itu, Rohner (1986) mengemukakan gaya pengasuhan yang dilihat dari dimensi kehangatan (warmth dimension) yang mencerminkan apakah orangtua menerima atau menolak keberadaan anak. Adapun teori gaya

13

pengasuhan yang dikemukakan oleh Rohner (1986) adalah Parental Acceptance-Rejection (PAR). Gaya pengasuhan parental acceptance menggambarkan kehangatan, penerimaan, dan kasih sayang orangtua kepada anaknya, yang diekspresikan baik secara fisik maupun verbal. Ekspresi dari kehangatan yang ditunjukkan orangtua secara fisik adalah memeluk, mencium, tersenyum, memperdulikan, dan mendukung anak. Ekspresi verbal dari orangtua adalah memberikan penghargaan, mengatakan hal yang menyenangkan bagi anak, menyanyikan lagu ataupun membacakan cerita yang disukai oleh anaknya.

Berbeda halnya dengan parental acceptance, gaya pengasuhan parental rejection tidak memberikan kehangatan, penerimaan, dan kasih sayang dari orangtua kepada anak. Lebih lanjut Rohner (1986) mengemukakan tiga bentuk parental rejection, yaitu 1) hostility and aggression, 2) indifference and neglect, 3) undifferentiated rejection.

1. Hostility and Aggression

Rohner (1986) mengemukakan bahwa hostility merupakan perasaan psikologis dari dalam diri seseorang. Adapun perasaan tersebut meliputi perasaan marah, dendam, kebencian, dan permusuhan yang dilakukan orangtua terhadap anak. Sedangkan aggression merupakan perilaku agresi dalam bentuk fisik dan verbal. Agresi dalam bentuk fisik diantarnya memukul, menggigit, mendorong, dan mengguncang badan anak. Di sisi lain, agresi dalam bentuk verbal adalah berkata kasar, mengutuk, tidak ramah, meremehkan, dan bertindak kejam kepada anak.

2. Indefference and Neglect

Indefference and neglect adalah tindakan pengabaian dari orangtua.

Berbeda dengan hostility, indifference hanya mempunyai satu motif untuk menyia-nyiakan atau mengabaikan kehadiran anak (Rohner 1986). Dalam teori PAR, neglect diartikan sebagai ketidakhadiran kedua orangtua di sisi anaknya, sehingga anak merasa sendiri karena tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Sekalipun orangtua berada di dekat anaknya, namun orangtua tidak memberikan akses kepada anak untuk berinteraksi dengan orangtuanya. Hal ini dikarenakan orangtua tidak merespon kehadiran maupun interaksi dari seorang anak.

3. Undifferentiated Rejection

Undifferentiated rejection adalah perasaan dari seorang anak yang merasa bahwa dirinya tidak dicintai, tidak diinginkan, atau ditolak orangtuanya tanpa alasan yang diketahui oleh anak (Rohner 1986). Seorang anak merasa bahwa orangtuanya tidak menunjukkan kemarahan atau sebab kemarahannya, tidak juga mengabaikan anaknya, namun seorang anak merasakan bahwa orangtuanya tidak peduli padanya.

Pada teori lain, Baumrind (1967) mengemukakan gaya pengasuhan dengan elemen gaya pendisiplinan (parental disciplinary styles). Menurut Baumrind (1967), gaya pengasuhan memiliki dua komponen utama, yaitu demandingness (kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Demandingness adalah kecenderungan untuk menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa, sedangkan responsiveness merupakan kecenderungan bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak.

Baumrind (1991) mengemukakan 4 (empat) macam gaya pengasuhan orangtua yakni: authoritarian (otoriter), authoritative (otoritatif), permissive (permisif), dan uninvolved/unengaged (tak terlibat). Keempat gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian (otoriter)

Gaya pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya.

Orangtua yang bergaya otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Selain itu, orangtua sulit menerima pandangan anaknya dan orangtua tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua keinginannya. Orangtua yang bergaya otoriter meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik

15

setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya dan setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orangtuanya (Baumrind 1967). Orangtua akan mencoba mengontrol anak dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan dan selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya.

Orangtua yang bergaya otoriter selalu berusaha mengarahkan, menentukan dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar yang dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang mutlak seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orangtuanya. Gaya pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang anak terhadap orangtuanya (Rice 1996). Gaya pengasuhan ini menyebabkan seorang anak akan kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock 2003). Seorang anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan ini cenderung akan mengucilkan dirinya dan kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind 1967).

Baumrind (1967) mengemukakan bahwa seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orangtua dengan gaya pengasuhan otoriter cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya, namun dibalik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan anak cenderung untuk selalu tergantung pada orangtuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Hal ini disebabkan karena semuanya disandarkan

pada aturan dan kehendak orangtuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang anak yang berada dalam asuhan orangtua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.

2. Authoritative (otoritatif)

Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan otoritatif. Orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional (Baumrind 1967). Hal ini menyebabkan orangtua mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.

Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas (Baumrind 1967). Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga.

Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang otoritatif.

Dalam keluarga yang otoritatif, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima, maka orangtua yang otoritatif akan memberikan dukungan. Tetapi jika orangtua tidak menerima, maka orangtua akan menjelaskan alasannya mengapa dirinya tidak menerima keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada orangtua dan anak untuk memahami pandangan orang lain

17

yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (Santrock 2003).

Orangtua yang otoritatif selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif (Baumrind 1967). Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang otoritatif akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan kasih sayang. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga.

Santrock (2003) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak.

Anak-anak yang hidup dalam keluarga yang otoritatif akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, dan memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

3. Permissive (permisif)

Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan gaya pengasuhan yang permisif (Baumrind 1967). Orangtua yang permisif akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Orangtua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau

tidak mematuhinya, maka orangtua yang permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orangtua dengan gaya pengasuhan permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya (Baumrind 1967).

Orangtua yang cenderung atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya dan lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari gaya pengasuhan dari orangtua yang permisif.

Gaya pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permisif karena mereka menganggap bahwa anak harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa (Baumrind 1967). Orangtua yang

Gaya pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permisif karena mereka menganggap bahwa anak harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa (Baumrind 1967). Orangtua yang

Dokumen terkait