• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERSEPSI GAYA PENGASUHAN ORANGTUA DAN KONSEP DIRI TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI ATLET MUDA DI SMA NEGERI RAGUNAN JAKARTA RUSNI RAHMAISYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PERSEPSI GAYA PENGASUHAN ORANGTUA DAN KONSEP DIRI TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI ATLET MUDA DI SMA NEGERI RAGUNAN JAKARTA RUSNI RAHMAISYA"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ATLET MUDA DI SMA NEGERI RAGUNAN JAKARTA

RUSNI RAHMAISYA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2011

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua dan Konsep Diri terhadap Motivasi Berprestasi Atlet Muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011 Rusni Rahmaisya NIM. I24062235

(3)

RUSNI RAHMAISYA. Influence of Perception of Parenting Style and Self Concept toward Achievement Motivation of Young Athlete in Ragunan Jakarta Senior High School. Under direction of MELLY LATIFAH and ALFIASARI.

Self concept and sport achievement motivation are psychological factors that important for young athlete. The self concept is the result of parenting patterns, where the self concept is thought to have an influence on sport achievement motivation. Therefore this study aims to analyze the influence of perception of parenting style and self concept toward achievement motivation of young athlete in Ragunan Jakarta Senior High School. This study used cross sectional design and involved 84 students of grade tenth, eleventh, and twelfth of Ragunan Jakarta Senior High School who are still active as student were not in competition.

Analysis of the data in this study included descriptive analysis and inference analysis (correlation test, liner regression test, and multiple linear regression test).

Result showed that majority of the samples perceived their parent as authoritative (86%) followed by authoritarian (8%) and permissive (6%). The result also showed that majority of the samples had positive self concept and high sport motivation achievement. The finding also revealed that perception of parental style (β=0.189, p=0.027) and self concept (β=0.590, p=0.000) influenced positively and significantly with sport motivation of young athlete in Ragunan Jakarta Senior High School.

Key words: young athlete, parenting style, perception, self concept, sport motivation achievement.

(4)

RINGKASAN

RUSNI RAHMAISYA. Pengaruh Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua dan Konsep Diri terhadap Motivasi Berprestasi Atlet Muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan ALFIASARI.

Pencapaian prestasi atlet muda tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor, yaitu faktor fisik, teknik, dan psikologis. Faktor psikologis tersebut merupakan aspek yang penting dalam menunjang motivasi berprestasi dari seorang atlet. Dalam hal ini, penetapan sasaran dan persiapan mental menghadapi pertandingan akan memacu atlet untuk meningkatkan motivasinya, sehingga mampu meraih prestasi di bidang olahraga. Selain itu, konsep diri yang dimiliki oleh seorang atlet juga akan memberikan hasil pada penampilan atlet di arena pertandingan. Konsep diri merupakan hasil dari pola pengasuhan orangtua, dimana konsep diri tersebut diduga mempunyai pengaruh terhadap motivasi berprestasi.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi atlet muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu menganalisis: (1) karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh; (2) persepsi gaya pengasuhan orangtua, konsep diri, dan motivasi berprestasi olahraga contoh; (3) hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan persepsi gaya pengasuhan orangtua; (4) hubungan karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan persepsi gaya pengasuhan dengan konsep diri contoh; (5) hubungan karakteristik contoh, karakteristik keluarga, persepsi gaya pengasuhan, dan konsep diri dengan motivasi berprestasi olahraga contoh; (6) pengaruh persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi olahraga contoh.

Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan metode survei.

Lokasi penelitian di SMA Negeri Ragunan Jakarta yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa sekolah ini merupakan sekolah yang khusus membina atlet muda dari berbagai wilayah di Indonesia. Pengambilan data dilakukan selama dua minggu pada bulan Juli 2010. Penentuan contoh dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive. Contoh dalam penelitian ini sebanyak 84 orang yang merupakan siswa kelas X, XI, dan XII SMA Negeri Ragunan Jakarta yang masih aktif, baik sebagai siswa maupun atlet, dan tidak sedang bertanding. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik contoh, karakteristik keluarga, persepsi gaya pengasuhan orang tua, konsep diri (kompetensi atletik, perilaku/moralitas, penerimaan teman sebaya, penampilan fisik, kompetensi sekolah, dan pandangan masa depan), serta motivasi berprestasi olahraga (motivasi instrinsik dan ekstrinsik). Data tersebut dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data sekunder meliputi jumlah siswa dan keadaan umum sekolah. Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan inferensia (uji korelasi, uji regresi linier, dan uji regresi linier berganda).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempunyai persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif (86%), lainnya otoriter (8%)

(5)

(86.9%), kompetensi sekolah (91.7%), dan pandangan masa depan (98.8%).

Penelitian ini mengkategorikan motivasi berprestasi olahraga berdasarkan kombinasi antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik, yang terdiri dari motivasi intrinsik tinggi dan ekstrinsik tinggi, motivasi intrinsik tinggi dan ekstrinsik sedang, motivasi ekstrinsik tinggi dan intrinsik sedang, serta motivasi intrinsik dan ekstrinsik sedang. Hasil yang diperolehmenunjukkan bahwa sebagian besar contoh (95.2%) mempunyai motivasi intrinsik dan ekstrinsik pada kategori tinggi, motivasi instrinsik sedang dan ekstrinsik sedang mempunyai persentase 2.4 persen, begitu pula dengan motivasi intrinsik sedang dan ekstrinsik tinggi yang mempunyai persentase 2.4 persen. Sementara itu, tidak ada contoh yang berada pada kategori motivasi intrinsik tinggi dan motivasi ekstrinsik sedang.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa urutan kelahiran anak mempunyai hubungan yang nyata negatif dengan persepsi gaya pengasuhan orangtua otoritatif (p<0.01), artinya bahwa semakin sulung urutan kelahiran, maka contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif. Selain itu terdapat hubungan yang nyata positif antara pendapatan orangtua dengan persepsi gaya pengasuhan orangtua otoriter (p<0.05), hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan orangtua, maka contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoriter. Hasil uji korelasi juga menunjukkan bahwa tipe olahraga beregu/tim berhubungan nyata negatif dengan konsep diri (p<0.05), artinya bahwa semakin individu tipe olahraga contoh, maka konsep dirinya semakin positif. Selain itu, hasil uji korelasi juga menunjukkan bahwa adanya hubungan yang nyata dan positif antara persepsi gaya pengasuhan orangtua otoritatif dengan konsep diri (p<0.05) dan motivasi berprestasi olahraga (p<0.01).

Hal ini menunjukkan bahwa semakin contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif, maka semakin positif konsep diri dan semakin tinggi motivasi berprestasi olahraganya. Aspek-aspek konsep diri yang memiliki hubungan nyata positif terhadap motivasi berprestasi olahraga, yaitu kompetensi atletik, perilaku/moralitas, penerimaan teman sebaya, dan pandangan masa depan, dengan masing-masing koefisien korelasi sebesar 0.351, 0.460, 0.398, 0.579.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin positif konsep diri maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi olahraganya.

Hasil uji regresi linier berganda pada Model 1 (pengaruh persepsi gaya pengasuhan orangtua terhadap konsep diri) menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi yang sudah disesuaikan (Adjusted R Square) sebesar 0.059 dan 95.1 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model maupun variabel lain yang tidak diteliti. Persepsi gaya pengasuhan otoritatif (β=0.237, p=0.035) berpengaruh positif (p<0.05). Artinya, peningkatan satu skor gaya pengasuhan yang dipersepsikan contoh adalah otoritatif akan meningkatkan 0.237 skor konsep diri.

Hasil uji regresi linier pada Model 2 (pengaruh konsep diri terhadap motivasi berprestasi olahraga) menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi yang sudah disesuaikan (Adjusted R Square) sebesar 0.147 dan 85.3 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model maupun variabel lain yang tidak diteliti. Konsep diri berpengaruh positif (p<0.01) terhadap motivasi berprestasi olahraga (β=0.397, p=0.000). Artinya, peningkatan satu skor konsep diri akan meningkatkan 0.397

(6)

skor motivasi berprestasi olahraga. Hasil uji regresi linier berganda pada Model 3 (pengaruh persepsi gaya pengasuhan dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi olahraga) menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi yang sudah disesuaikan (Adjusted R Square) sebesar 0.442 dan 55.8 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model maupun variabel lain yang tidak diteliti. Persepsi gaya pengasuhan otoritatif (β=0.189, p=0.027) dan konsep diri (β=0.590, p=0.000) berpengaruh positif terhadap motivasi berprestasi. Berdasarkan hasil uji regresi pada Model 1 dan Model 2 terlihat bahwa apabila persepsi gaya pengasuhan otoritatif dan konsep diri diuji pengaruh secara terpisah, masing-masing mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi motivasi berprestasi olahraga contoh. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada Model 3 ketika konsep diri dan persepsi gaya pengasuhan otoritatif diuji dalam satu uji pengaruh, maka pengaruh dari kedua variabel tersebut terlihat signifikan terhadap motivasi berprestasi olahraga contoh. Hal ini didasari oleh adanya gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian dari diri seorang anak, sehingga anak mempunyai konsep diri yang positif yang dapat mendukung meningkatnya motivasi berprestasi olahraga contoh.

Mengingat hasil penelitian tersebut, maka disarankan kepada orangtua untuk lebih menerapkan gaya pengasuhan otoritatif yang memiliki kontrol dan kehangatan yang tinggi. Selain itu, disarankan kepada orangtua, guru, dan pelatih untuk lebih memberikan dukungan terhadap atlet muda, sehingga atlet muda mempunyai konsep diri yang positif dan motivasi berprestasi olahraga yang besar.

Kata kunci: persepsi, gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi berprestasi.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh skripsi ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh skripsi dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(8)

PENGARUH PERSEPSI GAYA PENGASUHAN ORANGTUA DAN KONSEP DIRI TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI

ATLET MUDA DI SMA NEGERI RAGUNAN JAKARTA

RUSNI RAHMAISYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2011

(9)

Nama : Rusni Rahmaisya NIM : I24062235

Disetujui, Pembimbing

Ir. Melly Latifah, M.Si Alfiasari, SP., M.Si

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua dan Konsep Diri terhadap Motivasi Berprestasi Atlet Muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung, memotivasi dan memberikan doa serta semangat, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ir. Melly Latifah, M.Si dan Alfiasari, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, dukungan, perhatian, sumbangan pikiran dan kerjasama dalam penulisan skripsi ini.

2. Neti Hernawati, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan sebagai dosen penguji skripsi untuk saran dan kritik yang telah diberikan kepada penulis untuk perbaikan skripsi.

3. Ir. Retnaningsih, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.

4. Bapak Santo selaku kepala bagian kesiswaan SMA Negeri Ragunan Jakarta atas bantuan, kemudahan dan kerjasama yang diberikan dalam proses pengambilan data.

5. Kedua orang tua penulis H. Nandi Rustandi dan Hj. Eni Solehani, dan kedua kakak penulis Rista Meilani dan Regi Danuwijaya, serta Rikiansyah Wahyu Saputra dan keluarga besar yang selalu memberikan doa dan dukungan, baik secara fisik maupun non fisik.

6. Seluruh staf pengajar Institut Pertanian Bogor pada umumnya dan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen pada khususnya yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB.

(11)

melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman IKK 43 (Gina, Jaim, Mira, Anggi, Ririn, Ditha, Liaw, Arina, Ayu, Fatma, Ade, Untari, Husni, Lutfi, Andi, Dinar, Rahmi, Vivi, Tri, Laura, Slyvia, Gita, Irma, Avi, Elis, Syifa, Fetty, Elis, Erika, Yulya, Ninik, Najwa, Shanti, Suci, Ina, Siti, Anay, dan Mei) yang selalu saling memberikan semangat, motivasi dan doa selama penyusunan skripsi, serta sebuah kebersamaan yang sangat indah selama masa perkuliahan.

9. Medina Rachmawati dan Shely Septiana dari Labshcool Pendidikan Karakter IPB-ISFA.

10. Kepada seluruh pihak yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan doa selama penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan segala informasi yang terdapat didalamnya.

Bogor, Januari 2011 Rusni Rahmaisya

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Mei 1988 dari pasangan H.

Nandi Rustandi dan Hj. Eni Solehani. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Pada Tahun 1994, penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Cimanggu Kecil, kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 7 Bogor.

Pada Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 7 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, dan Minor Komunikasi, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai anggota Divisi Humasi (2007/2008) dan Ketua Divisi English Club (2008/2009). Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kepanitian yang diadakan baik di dalam maupun di luar kampus, serta mengikuti beberapa penulisan karya ilmiah. Penulis juga mengikuti kegiatan Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan dengan judul “Kaos Berkarakter untuk Meningkatkan Rasa Cinta Tanah Air” tahun 2008, dan PKM program pengabdian masyarakat dengan judul “Program Penerapan Kecerdasan Majemuk untuk Peningkatan Kualitas Anak Usia Pra-Sekolah di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor” tahun 2010.

(13)

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan ... 5

Kegunaan Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Remaja... 7

Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua ... 10

Konsep Diri ... 20

Motivasi Berprestasi ... 24

KERANGKA PEMIKIRAN ... 27

METODE PENELITIAN ... 30

Desain, Tempat, dan Waktu ... 30

Contoh dan Teknik Penarikan Contoh ... 30

Jenis, Cara Pengumpulan Data, dan Cara Pengukuran Variabel ... 31

Pengolahan dan Analisis Data ... 35

Definisi Operasional ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 40

Karakteristik Contoh ... 42

Karakteristik Keluarga ... 45

Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua ... 50

Konsep Diri ... 51

Motivasi Berprestasi ... 57

Hubungan antara Karakteristik Contoh, Karakteristik Keluarga dan Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua ... 58

Hubungan antara Persepsi Gaya Pengasuhan Orang Tua, Konsep Diri, dengan Motivasi Berprestasi ... 60

(14)

Halaman Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga

dengan Konsep Diri dan Motivasi Berprestasi ... 63

Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi ... 65

Pengaruh Persepsi Gaya Pengasuhan dan Konsep Diri terhadap Motivasi Berprestasi ... 67

SIMPULAN DAN SARAN ... 70

Simpulan... 70

Saran... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN ... 75

(15)

Halaman

1 Jenis dan skala data ... 33

2 Daftar siswa SMA Negeri Ragunan Jakarta ... 42

3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin ... 43

4 Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga... 45

5 Sebaran contoh berdasarkan suku bangsa orangtua ... 47

6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua ... 48

7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua ... 48

8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua ... 49

9 Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua ... 51

10 Sebaran contoh berdasarkan aspek konsep diri, rataan, dan standar deviasi ... 52

11 Sebaran contoh berdasarkan motivasi berprestasi intrinsik maupun ekstrinsik ... 58

12 Koefisien korelasi antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dengan persepsi gaya pengasuhan ... 60

13 Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri ... 61

14 Koefisien korelasi antara persepsi gaya pengasuhan, konsep diri, dengan motivasi berprestasi ... 62

15 Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua dan motivasi berprestasi ... 63

16 Koefisien korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri dan motivasi berprestasi ... 65

17 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dan motivasi berprestasi ... 66

18 Koefisien korelasi antara aspek konsep diri dengan motivasi berprestasi ... 67

19 Koefisien uji regresi persepsi gaya pengasuhan terhadap konsep diri .... 68

20 Koefisien uji regresi persepsi konsep diri terhadap motivasi berprestasi ... 68

21 Koefisien uji regresi persepsi gaya pengasuhan dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi ... 69

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran... 29

2 Teknik pengambilan contoh... 31

3 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran... 43

4 Sebaran contoh berdasarkan tipe olahraga... 44

5 Sebaran contoh berdasarkan status orangtua... 46

(17)

Halaman 1 Hasil pengukuran kuesioner persepsi gaya pengasuhan ... 76 2 Hasil pengukuran kuesioner konsep diri ... 78 3 Hasil pengukuran kuesioner motivasi berprestasi ... 80

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia pernah berjaya pada Sea Games periode tahun 1977-1999, namun hal ini terus menurun seiring dengan berjalannya waktu. Sungguh ironi ketika nama Indonesia pernah begitu menggema di seluruh wilayah Asia Tenggara. Dari tahun ke tahun, prestasi olahraga Indonesia cenderung menurun.

Contohnya di Olimpiade Sydney 2000, Indonesia masih ada di peringkat ke-37 dan unggul atas Thailand di peringkat ke-47, tetapi empat tahun kemudian di Olimpiade Athena 2004, Indonesia hanya berada pada peringkat ke-48. Thailand malah melonjak ke peringkat ke-25 di Olimpiade Athena 2004. Prestasi altet Indonesia kini mengalami penurunan, hal ini terbukti dari Sea Games ke-24 tahun 2007 menempatkan Indonesia di posisi empat besar. Indonesia berada di bawah Thailand dan Vietnam, dimana Thailand yang memperoleh posisi satu sebagai juara umum. Namun pada Sea Games 2009 yang telah usai, tim Merah Putih total mengoleksi 43 emas, 53 perak, dan 74 perunggu dan menduduki peringkat ketiga.

Meski Indonesia tertinggal 42 emas dari Thailand, namun catatan ini jauh lebih baik dari SEA Games 2007 lalu karena saat itu Indonesia berada di peringkat keempat.

Atlet Indonesia yang diterjunkan ke Sea Games 2007 di Nakhon Ratchasima, Thailand, sebagian besar merupakan kategori senior dengan persentase mencapai 70 persen. Hal ini pula yang menunjukkan faktor penyebab penurunan prestasi atlet Indonesia yang salah satunya disebabkan karena masih didominasi oleh atlet senior yang tentu saja prestasinya sudah tidak segemilang seperti waktu muda. Kondisi ini jelas membuat cemas karena muncul kekhawatiran bahwa generasai penerus atlet Indonesia di masa datang akan habis, yang berarti pula prestasi olahraga nasional akan sulit maju. Oleh karenanya, untuk mengatasi keterbatasan jumlah atlet nasional, tak ada jalan lain kecuali berkonsentrasi pada pembinaan atlet muda. Kemampuan mereka perlu diasah dalam kompetisi nasional maupun internasional yang berkualitas sebelum benar- benar menjadi atlet hebat di level senior. Momen ini harus dimanfaatkan dalam rangka pembinaan atlet muda.

(19)

Terdapat tiga pilar utama dalam pencapaian prestasi atlet, yaitu faktor fisik, faktor teknik, dan faktor psikologis (Adisasmito 2007). Fisik yang prima merupakan salah satu aset penting yang harus dipertahankan oleh seorang atlet.

Jadi untuk menjadi atlet yang unggul harus dapat menjaga kondisi fisiknya dengan baik karena fisik yang baik merupakan salah satu modal untuk berprestasi.

Faktor teknik berhubungan erat dengan keterampilan khusus yang dimiliki oleh atlet dan bisa ditingkatkan untuk menghasilkan prestasi yang maksimal. Latihan yang teratur dan intensif dengan baik dan benar dapat mengembangkan keterampilan khusus dan mengoptimalkan keterampilan atlet tersebut. Selain itu, faktor psikologis sangat penting dalam dunia olahraga karena berfungsi sebagai penggerak atau pengarah penampilan atlet. Hal ini dikarenakan 80 persen faktor kemenangan atlet ditentukan oleh faktor psikologis (Adisasmito 2007). Faktor psikologis dari seorang atlet terkait dengan perasaan dan pikiran atet tersebut (Nasution 2008). Lebih lanjut Nasution (2008) mengemukakan aspek-aspek faktor psikologis dari seorang atlet, yaitu pengelolaan emosi, pengembangan diri, peningkatan daya konsentrasi, penetapan sasaran, dan persiapan mental menghadapi pertandingan. Faktor psikologis tersebut merupakan aspek yang penting dalam menunjang motivasi berprestasi dari seorang atlet. Dalam hal ini, penetapan sasaran dan persiapan mental menghadapi pertandingan akan memacu atlet untuk meningkatkan motivasinya, sehingga mampu meraih prestasi di bidang olahraga. Selain itu, konsep diri yang dimiliki oleh seorang atlet juga akan memberikan hasil pada penampilan atlet di arena pertandingan.

Seperti uraian sebelumnya, untuk menempa mental dan daya juang atlet membutuhkan waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, para atlet perlu menerima pembinaan sedini mungkin. Atlet muda yang berada pada usia remaja merupakan potensi yang dimiliki bangsa ini karena mereka masih mempunyai energi yang kuat dan daya juang yang tinggi untuk mengharumkan nama bangsa (Adisasmito 2007). Atlet muda sebagai sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan modal utama dalam pembangunan di bidang olahraga pada suatu negara. Oleh karenanya, diperlukan pembinaan sedini mungkin untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam bidang olahraga.

(20)

3

Atlet muda berada pada periode remaja pertengahan hingga remaja akhir, di mana atlet muda tersebut memperoleh pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas. Menurut Erikson (Santrock 2003), remaja yang berada pada tahapan usia remaja tersebut berada pada tahapan identity vs identitiy confusion dimana pada saat tersebut individu mencari dan diharapkan menemukan siapa mereka, mereka sebetulnya apa, dan kemana mereka menuju dalam hidupnya. Selain itu, atlet muda usia remaja berada pada masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian jati diri (ego identitiy).

Proses pembentukan seorang individu terbentuk dalam sebuah keluarga karena keluarga merupakan tempat pertama dan utama seorang individu memperoleh pendidikan dan keterampilan untuk bekal hidupnya di masa yang akan datang. Orangtua memberikan pendidikan kepada anaknya melalui proses pengasuhan. Hurlock (1980) menyatakan bahwa peran orangtua terhadap anak merupakan hal yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak. Sunarti (2004) mengemukakan bahwa gaya pengasuhan merupakan pola perilaku orangtua yang paling menonjol atau yang paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari, termasuk pola orangtua dalam mendisiplinkan anak, menanamkan nilai-nilai hidup, mengajarkan keterampilan hidup, dan mengelola emosi.

Hasil dari proses pengasuhan ini berkaitan erat dengan pembentukan konsep diri seorang individu. Lingkungan pengasuhan seorang individu dan bagaimana ia dibesarkan akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya.

Setiap individu mempunyai konsep diri yang berbeda satu sama lain. Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang.

Bagaimana seseorang memandang dirinya akan terlihat dari keseluruhan perilakunya, yang juga akan mencerminkan konsep diri yang dimilikinya (Desmita 2009). Di sisi lain, McClelland (Garliah & Nasution 2005) menyatakan bahwa bagaimana cara orangtua mengasuh anak mempunyai pengaruh terhadap motivasi berprestasi anak. Lebih lanjut, McClelland (Garliah & Nasution 2005) menyatakan bahwa bagaimana cara orangtua bertindak sebagai orangtua yang

(21)

melakukan atau menerapkan pola asuh terhadap anak memegang peranan penting dalam menanamkan dan membina dorongan berprestasi pada anak.

Sementara itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Rola (2006) menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara konsep diri dan motivasi berprestasi pada anak usia remaja yang berada di lingkungan pesantren, yaitu semakin positif konsep diri seorang remaja, maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi akademik. Hasil peneilitian lain yang dilakukan oleh Barker, et al. (2000) menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausal antara konsep diri dengan motivasi berprestasi, khususnya motivasi intrinsik dari seorang remaja. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsep diri memegang peranan penting dalam membentuk motivasi berprestasi anak.

Penelitian mengenai remaja sudah banyak dilakukan, namun penelitian tentang atlet muda tidak sebanyak penelitian tentang remaja pada umumnya. Hal inilah yang menarik minta peneliti sehingga peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai aspek psikologis atlet muda, seperti konsep diri dan motivasi berprestasi (dalam hal ini motivasi berprestasi olahraga dari atlet muda). Seperti yang telah diuraikan, hasil-hasil penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi berprestasi. Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian guna mengetahui keterkaitan gaya pengasuhan orangtua yang dipersepsikan oleh atlet muda, konsep diri, dan motivasi berprestasi olahraga pada altet muda yang berada pada rentang usia remaja (adolescence).

Perumusan Masalah

Pencapaian prestasi di bidang olahraga sangat penting bagi seorang atlet muda. Pencapaian prestasi tersebut tidak terlepas dari motivasi untuk berprestasi sebagai seorang atlet. Hal ini dikarenakan motivasi berprestasi merupakan aspek psikologis yang mempunyai peranan penting dalam pencapain prestasi dari seorang atlet. Motivasi berprestasi itu sendiri diduga terkait dengan gaya pengasuhan dari orangtua dan konsep diri atlet muda itu sendiri. Atlet muda dalam penelitian ini adalah siswa di SMA Negeri Ragunan Jakarta yang berasal

(22)

5

dari berbagai wilayah di Indonesia, yang dibina secara khusus dalam bidang olahraga untuk mencapai prestasi guna mengharumkan nama bangsa. Pengalaman sebagai seorang remaja yang dituntut untuk berprestasi sebagai atlet muda dan hidup mandiri jauh dari orangtua, memunculkan berbagai pertanyaan tentang individu atlet muda itu sendiri. Sementara itu, pada saat peneliti melakukan observasi, terlihat bahwa pembinaan kepada atlet muda lebih menitikberatkan pada pembinaan secara fisik dan teknis, sehingga peneliti merasa perlu untuk melihat aspek psikolgis dari atlet muda itu sendiri. Berdasarkan paparan tersebut, maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik atlet muda dan keluarga atlet muda?

2. Bagaimana persepsi gaya pengasuhan orangtua, konsep diri, dan motivasi berprestasi atlet muda?

3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik atlet muda dengan persepsi gaya pengasuhan orangtua?

4. Bagaimana hubungan karakteristik atlet muda, karakteristik keluarga, dan persepsi gaya pengasuhan dengan konsep diri dan motivasi berprestasi atlet muda?

5. Bagaimana pengaruh persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi atlet muda?

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi altet muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis karakteristik contoh dan karekteristik keluarga contoh.

2. Menganalisis persepsi gaya pengasuhan orangtua, konsep diri, dan motivasi berprestasi contoh.

3. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan persepsi gaya pengasuhan orangtua.

(23)

4. Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan persepsi gaya pengasuhan orangtua dengan konsep diri dan motivasi berprestasi olahraga contoh.

5. Menganalisis pengaruh persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi olahraga contoh.

Kegunaan Penelitian

Beberapa kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi orangtua, penelitian ini berguna untuk menerapkan gaya pengasuhan yang dapat mendukung konsep diri dan motivasi berprestasi khususnya pada atlet muda.

2. Bagi SMA Negeri Ragunan Jakarta, penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan gambaran mengenai konsep diri dan motivasi berprestasi atlet muda yang bersekolah di SMA Negeri Ragunan Jakarta serta faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri dan motivasi berprestasi atlet muda, hal ini dikarenakan faktor psikologis juga sangat penting bagi seorang atlet, bukan hanya faktor fisik dan teknis saja.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu dan menjadi landasan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

Definisi dan Karakteristik Perkembangan Remaja

Istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Papalia, et al. 2009). Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas (puberty), yaitu proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual atau fertilitas (Papalia, et al. 2009).

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Hurlock 1980). Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Desmita 2005). Lebih lanjut, Desmita (2005) menyebutkan batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Ahmadi dan Sholeh (1991) mengungkapkan, pada masa ini terdapat beberapa fase, yaitu fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 14 tahun), remaja pertengahan (usia 14 tahun sampai dengan 18 tahun), dan fase remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun). Papalia, et al.

(2009) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja berada di pertigaan antara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisipasi dalam masyarakat dewasa. Belum lagi, masa remaja adalah masa-masa dimana mereka terlibat dalam perilaku yang menyempitkan pandangan dan membatasi pilihan mereka.

Masa remaja diawali dengan masa pubertas, dicirikan dengan perhatian subyektif yang besar pada dirinya. Menurut Freud (Santrock 2003), masa remaja termasuk dalam tahapan genital, yaitu tahapan yang berlangsung mulai puber yang ditandai dengan keinginan seksual yang mulai bangkit. Selain itu, otak remaja akan terus berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Perubahan pada struktur otak yang terkait dengan emosi, penilaian, perilaku, dan kontrol diri berlangsung antara masa pubertas dan dewasa awal, serta menjadi kecenderungan

(25)

remaja mengalami ledakan emosi dan melakukan perilaku yang beresiko. Oleh karenanya, perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja menjadi aspek penting dalam perkembangan fase ini. Adisasmito (2007) menyatakan bahwa faktor fisik mempunyai pengaruh yang besar bagi atlet dalam mencapai prestasi. Faktor fisik ini selain berhubungan dengan postur tubuh yang ideal juga berkaitan dengan daya tahan, kecepatan, fleksibilitas, koordinasi gerak, dan kekuatan seorang atlet.

Perkembangan kognitif masa remaja berada pada tahapan formal operational, dimana remaja sudah mampu berpikir abstrak (Piaget dalam Santrock 2003). Aspek kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual yang dimiliki atlet. Kemampuan intelektual dibutuhkan atlet dalam mengatasi masalah, menerapkan taktik dan strategi dalam latihan dan menghadapi pertandingan. Atlet yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi dapat dengan mudah memahami dan mencerna instruksi yang diberikan oleh pelatih dan dapat mengatasi masalah dengan teknik dan strategi yang dimilikinya (Adisasmito 2007).

Sementara itu, perkembangan sosial emosi remaja berada pada tahapan identity vs identity confusion (Erikson dalam Papalia, et al. 2009). Selama tahap pembentukan identitas ini, remaja mungkin merasakan penderitaan yang paling dalam dibandingkan pada masa-masa lainnya akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas. Kondisi demikian menyebabkan remaja merasa terisolir, cemas, dan bimbang. Pada tahapan ini orangtua sangat berperan dalam membantu anaknya untuk mengeksplorasi berbagai peranan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila anak remaja dapat mengeksplorasi peranannya dengan perilaku baik dan dapat menentukan jalur yang tepat bagi hidupnya, maka anak tersebut akan mencapai identitas positif (Theresa & Caplan dalam Desmita 2005).

Seperti halnya dengan semua periode yang penting dalam rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Adapun ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock (1980) yaitu:

1) Masa remaja sebagai periode yang penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, terutama pada

(26)

9

awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

2) Masa remaja sebagai periode peralihan. Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh laki-laki maupun perempuan.

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya.

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja agar mampu bertanggungjawab.

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.

Sementara itu, tugas perkembangan masa remaja menurut Havinghurst (Hurlock 1980), yaitu: 1) mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita; 2) mencapai peran sosial pria dan wanita;

3) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif; 4)

(27)

mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab; dan 5) mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.

Atlet Muda

Seorang atlet adalah seseorang yang terlatih atau berbakat dalam latihan atau kompetisi yang melibatkan kelincahan fisik, stamina, atau kekuatan. Seorang atlet juga dapat didefinisikan sebagai seorang peserta dalam olahraga atau permainan yang membutuhkan keterampilan fisik. Atlet juga dikenal sebagai orang yang dapat melakukan olahraga atau melakukan aktivitas fisik (Dumbnerd dalam Adisasmito 2007).

Atlet muda adalah atlet yang berusia remaja yang mendapat binaan khusus dan mengikuti pertandingan kelas junior, salah satunya Youth Olympic di tingkat internasional. Adisasmito (2007) menyatakan bahwa atlet muda mempunyai energi yang cukup besar untuk berprestasi. Energi memberi kekuatan pada sebuah perilaku berolahraga, dimana perilaku tersebut akan mengarahkan seorang atlet untuk berprestasi dan tentu saja ingin menjadi yang terbaik, tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga di tingkat internasional.

Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua

Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi stimulus (rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indera manusia (Desmita 2009). Persepsi pada dasarnya menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya, dimana setelah individu menginderakan objek di lingkungannya, kemudian ia memproses hasil penginderaannya itu sehingga timbul makna tentang suatu objek. Persepsi gaya pengasuhan orangtua adalah makna yang timbul dari sebuah proses pengasuhan dan gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada seorang anak. Atlet muda berada pada rentang usia remaja, di mana menurut Paiget (Desmita 2009), remaja memiliki perkembangan kognitif yang berada pada tahapan keempat (operasional formal) yang ditunjukkan dengan kemampuan menerapkan operasi dasar terhadap ide dan berbagai objek abstrak dengan ciri mampu berfikir abstrak, berfikir deduktif, berfikir hipotetik, dan memecahkan masalah secara sistematik. Remaja

(28)

11

telah memiliki kemampuan untuk mempersepsikan gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orangtuanya.

Pengasuhan adalah saat dimana orangtua menerapkan suatu seri keputusan mengenai interaksi dan sosialisasi antara orangtua dengan anak. Pengasuhan merupakan tindakan yang dilakukan orangtua agar anaknya dapat bertanggung jawab, memberikan kontribusi sebagai anggota dari masyarakat termasuk apa yang dilakukan ketika menghadapi emosi yang ditunjukan anak seperti menangis, agresif, berbohong atau menunjukkan kompetensi yang kurang dalam hal pendidikan (Brooks 2001). Brooks (2001) juga menjelaskan bahwa pengasuhan adalah interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak. Interaksi yang terjadi diantara keduanya saling mempengaruhi dan merupakan proses yang berkelanjutan. Deskripsi gaya pengasuhan didasarkan pada dua elemen, yaitu gaya pelatih emosi (parental emotional styles) dan gaya pendisiplinan (parental disciplinary styles).

Pendekatan Teoritis tentang Gaya Pengasuhan

Gottman dan Declaire (1997) mengemukakan empat jenis gaya pengasuhan pada elemen pelatih emosi (parental emotional styles) yang diterapkan oleh orangtua, yaitu gaya pelatih emosi, gaya pengabai emosi, gaya tidak menyetujui, dan gaya pengasuhan Laissez-faire. Orangtua memiliki ciri-ciri yang berbeda pada keempat gaya tersebut.

1. Gaya Pelatih Emosi

Orangtua dengan gaya pengasuhan ini mampu menilai emosi negatif anak sebagai kesempatan untuk menciptakan keakraban dan dapat mentolerir waktu untuk mengalami kesedihan, kemarahan, dan ketakutan anak tanpa kehilangan kesabarannya (Gottman & Declaire 1997). Orangtua mengajarkan anak untuk memahami emosi yang dirasakannya, sehingga anak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif dari seorang anak dapat dijadikan sebagai kesempatan yang penting untuk menerapakan gaya pengasuhan. Gottman dan Declaire (1997) juga mengemukakan bahwa orangtua dengan gaya pengasuhan pelatih emosi mampu mendengarkan perasaan seorang anak, memberikan pengarahan untuk mengatur emosi dari

(29)

seorang anak, dan memberikan pelajaran kepada anak tentang cara memecahkan suatu masalah.

2. Gaya Pengabai Emosi

Gottman dan Declaire (1997) mengemukakan tipe orangtua pengabai emosi tidak mendukung perkembangan kecerdasan emosi anak karena umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengenal emosi, tidak memahami bagaimana timbulnya emosi dan bagaimana mengatasi emosi. Orangtua dengan gaya pengabai emosi umumnya tidak memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengatasi emosi anak, menolak perasaan negatif anak, tidak tahu teknik untuk mengatasi emosi negatif anak, dan percaya bahwa emosi negatif sebagai ceminan buruknya keterampilan pengasuhan. Orangtua dengan gaya pengabai emosi ini juga lebih memfokuskan untuk menghilangkan emosi negatif anak daripada mengelola emosi negatif tersebut.

3. Gaya Tidak Menyetujui

Gaya pengasuhan ini mirip dengan gaya pengabai emosi dan seringkali dilakukan dengan cara yang lebih negatif, dimana orangtua tidak hanya mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan emosi negatif anaknya, namun tidak menyetujui perbuatan anak (Gottman & Declaire 1997). Orangtua dengan gaya tidak menyetujui ini juga mempercayai bahwa emosi negatif anak merupakan cerminan dari perilaku buruk seorang anak.

4. Gaya Pengasuhan Laissez-faire

Orangtua dengan gaya pengasuhan ini menerima ungkapan atau ekspresi emosi anak, namun gagal dalam memberitahukan kepada anak bagaimana mengatasi perasaan yang dialami oleh anak (Gottman & Declaire 1997). Gaya pengasuhan ini memiliki kedudukan yang hampir sama dengan gaya pengabai emosi maupun tidak menyetujui. Oleh sebab itu, anak dari orangtua dengan gaya pengasuhan laissez-faire tidak mampu belajar mengatur emosi, dan seringkali anak tidak memiliki kemapuan untuk menenangkan diri sendiri saat mereka marah, sedih, ataupun gelisah.

Sementara itu, Rohner (1986) mengemukakan gaya pengasuhan yang dilihat dari dimensi kehangatan (warmth dimension) yang mencerminkan apakah orangtua menerima atau menolak keberadaan anak. Adapun teori gaya

(30)

13

pengasuhan yang dikemukakan oleh Rohner (1986) adalah Parental Acceptance- Rejection (PAR). Gaya pengasuhan parental acceptance menggambarkan kehangatan, penerimaan, dan kasih sayang orangtua kepada anaknya, yang diekspresikan baik secara fisik maupun verbal. Ekspresi dari kehangatan yang ditunjukkan orangtua secara fisik adalah memeluk, mencium, tersenyum, memperdulikan, dan mendukung anak. Ekspresi verbal dari orangtua adalah memberikan penghargaan, mengatakan hal yang menyenangkan bagi anak, menyanyikan lagu ataupun membacakan cerita yang disukai oleh anaknya.

Berbeda halnya dengan parental acceptance, gaya pengasuhan parental rejection tidak memberikan kehangatan, penerimaan, dan kasih sayang dari orangtua kepada anak. Lebih lanjut Rohner (1986) mengemukakan tiga bentuk parental rejection, yaitu 1) hostility and aggression, 2) indifference and neglect, 3) undifferentiated rejection.

1. Hostility and Aggression

Rohner (1986) mengemukakan bahwa hostility merupakan perasaan psikologis dari dalam diri seseorang. Adapun perasaan tersebut meliputi perasaan marah, dendam, kebencian, dan permusuhan yang dilakukan orangtua terhadap anak. Sedangkan aggression merupakan perilaku agresi dalam bentuk fisik dan verbal. Agresi dalam bentuk fisik diantarnya memukul, menggigit, mendorong, dan mengguncang badan anak. Di sisi lain, agresi dalam bentuk verbal adalah berkata kasar, mengutuk, tidak ramah, meremehkan, dan bertindak kejam kepada anak.

2. Indefference and Neglect

Indefference and neglect adalah tindakan pengabaian dari orangtua.

Berbeda dengan hostility, indifference hanya mempunyai satu motif untuk menyia-nyiakan atau mengabaikan kehadiran anak (Rohner 1986). Dalam teori PAR, neglect diartikan sebagai ketidakhadiran kedua orangtua di sisi anaknya, sehingga anak merasa sendiri karena tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Sekalipun orangtua berada di dekat anaknya, namun orangtua tidak memberikan akses kepada anak untuk berinteraksi dengan orangtuanya. Hal ini dikarenakan orangtua tidak merespon kehadiran maupun interaksi dari seorang anak.

(31)

3. Undifferentiated Rejection

Undifferentiated rejection adalah perasaan dari seorang anak yang merasa bahwa dirinya tidak dicintai, tidak diinginkan, atau ditolak orangtuanya tanpa alasan yang diketahui oleh anak (Rohner 1986). Seorang anak merasa bahwa orangtuanya tidak menunjukkan kemarahan atau sebab kemarahannya, tidak juga mengabaikan anaknya, namun seorang anak merasakan bahwa orangtuanya tidak peduli padanya.

Pada teori lain, Baumrind (1967) mengemukakan gaya pengasuhan dengan elemen gaya pendisiplinan (parental disciplinary styles). Menurut Baumrind (1967), gaya pengasuhan memiliki dua komponen utama, yaitu demandingness (kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Demandingness adalah kecenderungan untuk menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa, sedangkan responsiveness merupakan kecenderungan bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak.

Baumrind (1991) mengemukakan 4 (empat) macam gaya pengasuhan orangtua yakni: authoritarian (otoriter), authoritative (otoritatif), permissive (permisif), dan uninvolved/unengaged (tak terlibat). Keempat gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian (otoriter)

Gaya pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya.

Orangtua yang bergaya otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Selain itu, orangtua sulit menerima pandangan anaknya dan orangtua tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua keinginannya. Orangtua yang bergaya otoriter meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik

(32)

15

setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya dan setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orangtuanya (Baumrind 1967). Orangtua akan mencoba mengontrol anak dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan dan selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya.

Orangtua yang bergaya otoriter selalu berusaha mengarahkan, menentukan dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar yang dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang mutlak seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orangtuanya. Gaya pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang anak terhadap orangtuanya (Rice 1996). Gaya pengasuhan ini menyebabkan seorang anak akan kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock 2003). Seorang anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan ini cenderung akan mengucilkan dirinya dan kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind 1967).

Baumrind (1967) mengemukakan bahwa seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orangtua dengan gaya pengasuhan otoriter cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya, namun dibalik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan anak cenderung untuk selalu tergantung pada orangtuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Hal ini disebabkan karena semuanya disandarkan

(33)

pada aturan dan kehendak orangtuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang anak yang berada dalam asuhan orangtua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.

2. Authoritative (otoritatif)

Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan otoritatif. Orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional (Baumrind 1967). Hal ini menyebabkan orangtua mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.

Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas (Baumrind 1967). Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan- harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga.

Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang otoritatif.

Dalam keluarga yang otoritatif, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima, maka orangtua yang otoritatif akan memberikan dukungan. Tetapi jika orangtua tidak menerima, maka orangtua akan menjelaskan alasannya mengapa dirinya tidak menerima keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada orangtua dan anak untuk memahami pandangan orang lain

(34)

17

yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (Santrock 2003).

Orangtua yang otoritatif selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif (Baumrind 1967). Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang otoritatif akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan kasih sayang. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self- detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga.

Santrock (2003) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak.

Anak-anak yang hidup dalam keluarga yang otoritatif akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, dan memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

3. Permissive (permisif)

Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan gaya pengasuhan yang permisif (Baumrind 1967). Orangtua yang permisif akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Orangtua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau

(35)

tidak mematuhinya, maka orangtua yang permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orangtua dengan gaya pengasuhan permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya (Baumrind 1967).

Orangtua yang cenderung atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya dan lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari gaya pengasuhan dari orangtua yang permisif.

Gaya pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permisif karena mereka menganggap bahwa anak harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa (Baumrind 1967). Orangtua yang permisif bersikap lunak, lemah, dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderung tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anaknya, dan memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap anak menurut pandangan orangtua yang permisif adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang anak (Steinberg 1999).

Menurut Baumrind (1971), anak yang berada dalam pengasuhan orangtua yang permisif sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, dan tidak tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial anak kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat

(36)

19

buruk, tidak mampu mengarahkan diri, dan tidak bertanggungjawab (Santrock 2003).

Meskipun di satu sisi gaya pengasuhan yang permisif dapat memberikan anak kebebasan untuk bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggungjawab. Anak yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orangtua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika anak menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orangtua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orangtuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice 1996).

4. Uninvolved/unengaged (tidak terlibat)

Gaya pengasuhan tidak terlibat adalah gaya pengasuhan dimana orangtua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan anaknya (Baumrind 1967). Gaya pengasuhan orangtua yang tidak terlibat lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang permisif karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan yang kabur.

Orangtua yang demikian hanya fokus pada penyediaan kebutuhan materi/fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri/psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikannya, padahal kebutuhan immateri/psikis seorang anak lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi/fisik (Baumrind 1967).

Baumrind (1971) menyatakan bahwa anak dari orangtua yang memiliki gaya pengasuhan tidak terlibat, ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang memiliki orangtua dengan gaya pengasuhan otoritatif. Masalah perilaku tersebut misalnya perilaku seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka

(37)

dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi, remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan, menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orangtuanya karena merasa telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orangtuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak.

Gaya pengasuhan yang diteliti dalam penelitian ini adalah gaya pengasuhan pendisiplinan yang dikemukakan oleh Baumrind (1991). Hal ini disesuaikan dengan variabel yang diteliti yaitu konsep diri dan motivasi berprestasi dan juga contoh dalam penelitian ini yang merupakan atlet muda yang berada pada rentang usia remaja.

Konsep Diri

Konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan Hoffnung (Desmita 2009), mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Santrock (2003) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu, Atwater (Desmita 2009) menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasikan konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image yang mengacu pada kesadaran tentang tubuhnya dan bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self yaitu bagaimana cita-cita dan harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.

Konsep diri mengacu pada evaluasi diri atau persepsi diri, dan itu mewakili bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri (Hadley, et al. 2008).

Konsep diri mencerminkan bagaimana seorang remaja mengevaluasi dirinya dimana ia mempunyai pandangan positif maupun negatif mengenai dirinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadley, et al. (2008) menggambarkan konsep diri

(38)

21

yang mencerminkan bagaimana individu mengevaluasi dirinya dapat dilihat dari beberapa aspek. Adapun enam aspek yang dapat membentuk konsep diri remaja adalah 1) kompetensi atletik, yaitu bagaimana seseorang memandang kemampuan dirinya dalam bidang olahraga; 2) perilaku atau moralitas, yaitu berkaitan dengan bagaimana seseorang memandang perilakunya; 3) penerimaan teman sebaya, yaitu bagaimana seseorang memandang penerimaan dan hubungan dengan teman sebayanya; 4) penampilan fisik, yaitu berkaitan dengan pandangan seseorang terhadap penampilan fisik yang dimilikinya; 5) kompetensi sekolah, yaitu bagaimana seseorag memandang kemampuan akademik di sekolah; dan 6) pandangan masa depan, yaitu bagaimana seseorang memandang masa depan bagi dirinya.

Konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencakup keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan (Desmita 2009).

Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir sehingga konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa (Desmita 2009). Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua turut memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Peart, et al. (2007) mengatakan bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Selain itu, seseorang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Sebaliknya, seseorang dengan konsep diri yang negatif jika seseorang meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak kompeten, gagal, tidak menarik, tidak disukai, dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Seseorang dengan konsep diri yang negatif akan cenderung bersikap pesimis terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya.

Konsep diri mempunyai tiga dimensi yang secara umum dikemukakan oleh para ahli meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda. Calhoun

(39)

dan Acocella (Desmita 2005) menyebutkan tiga dimensi utama dari konsep diri, yaitu: dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan, dan dimensi penilaian. Centi (1993) menyebutkan ketiga dimensi dengan istilah dimensi gambaran diri (self image), dimensi cita-cita diri (self ideal), dan dimensi penilaian diri (self evaluation).

Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan tentang gambaran diri (self image), yaitu apa yang kita ketahui tentang diri sendiri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri seseorang. Gambaran diri tersebut pada akhirnya akan membentuk citra diri. Gambaran diri tersebut merupakan kesimpulan dari pandangan seseorang dalam berbagai peran yang ia pegang. Gambaran diri yang dimiliki oleh seseorang seringkali tidak sesuai dengan gambaran orang lain atau masyarakat tentang dirinya. Dimensi kedua dari konsep diri adalah dimensi harapan atau diri yang dicita-citakan di masa depan (self ideal). Ketika seseorang mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa dirinya sebenarnya, pada saat yang sama seseorang juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa dirinya di masa mendatang.

Pengharapan ini merupakan diri ideal (self ideal) atau diri yang dicita-citakan.

Cita-cita diri seseorang akan menentukan konsep diri dan perilakunya. Dimensi ketiga dari konsep diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya (self evaluation). Penilaian diri merupakan pandangan kita tentang harga atau kewajaran kita sebagai seorang pribadi. Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya (Desmita 2009). Artinya perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya.

Santrock (2003) menyebutkan sejumlah karakteristik penting perkembangan konsep diri pada masa remaja, yaitu:

1) Abstrack and idealistic, pada masa remaja seorang individu mungkin membuat gambaran tentang dirinya dengan kata-kata yang abstrak dan realistik. Meskipun tidak semua remaja menggambarkan diri mereka dengan cara yang idealis, namun sebagian besar remaja membedakan antara dirinya yang sebenarnya dengan diri yang diidamkannya.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran.
Tabel 1   Jenis dan skala data
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin
Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan status orangtua
+2

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat terdapat pengaruh kuat dan begitu pentingnya gaya belajar siswa dan motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar yang dapat dicapai siswa,

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan antara Penerimaan Orangtua dan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Remaja Penyandang Tunadaksa” adalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah : (1) ada hubungan positif dan signifikan antara persepsi mahasiswa terhadap penggunaan media pembelajaran dengan motivasi

Penelitian korelasional ini bertujuan untuk menguji hubungan persepsi dukungan sosial dan motivasi berprestasi siswa yang berasrama di SMA Van Lith Muntilan.. Hipotesis yang

(ρ) = 0,005 &lt; 0,05, dan r = -0,501, sehingga ditetapkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara gaya kepemimpinan otoriter dengan motivasi berprestasi atlet

Dengan demikian berdasarkan pada uraian diatas, maka variabel yang berpengaruh terhadap turunnya kinerja pegawai adalah gaya kepemimpinan, motivasi berprestasi, dan

Untuk mengetahui hubungan antara persepsi siswa terhadap pengasuhan orangtua, motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa di SDN Se Kecamatan Tanete

Hasil temuan terakhir bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri, komitmen, dan motivasi berprestasi secara bersama-sama dengan prestasi re- nang