• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL

PEMBELAJARAN

HERTI HERNIATI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ABSTRACT

HERTI HERNIATI. Parenting style, self-concept, motivation and academic achievement of high school students on various learning models. Supervised by MELLY LATIFAH and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

The aims of this study were to analyze parenting styles, self-concept, learning and achievement motivation of high school students. The study focused of acceleration, international, and regular class. The study involved 86 eleventh grade students who purposively selected (26 students of acceleration class, 30 students of international class, and 30 students of regular class). The primary data (parenting style, self-concept, and motivation) was collected using structured questionnaires. Student’s achievement data was collected through student’s report cards. Data was analyzed with descriptive and inferential analysis. The result showed that more than half sample perceived authoritarian parenting style. About of 97,7 percent samples have positive self-concept. Accelerated class tend to have extrinsic learning motivation, while the international and regular classes tend to be intrinsic. Accelerated classes have higher the cognitive and psychomotor achievement than international and regular class. The correlation test showed the relationships between authoritarian and authoritative parenting style with self-concept, authoritative parenting style with intrinsic motivation, authoritarian parenting style with cognitive achievement, and self-concept with motivation. The research also showed a negatively relation between intrinsic motivation and academic achievement.

Keywords : parenting styles, self-concept, motivation, and academic achievement. ABSTRAK

HERTI HERNIATI. Gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa SMA pada berbagai model pembelajaran. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa SMA. Penelitian ini difokuskan pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. Penelitian ini melibatkan 86 siswa SMA kelas XI yang dipilih secara purposive (26 siswa akselerasi, 30 siswa SBI dan 30 siswa reguler). Pengambilan data (gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar) dilakukan dengan teknik pelaporan diri menggunakan bantuan kuesioner. Data prestasi siswa dikumpulkan melalui rapor siswa. Data dianalisis dengan analisis deskriptif dan inferensia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan otoriter. Sebanyak 97,7 persen contoh memiliki konsep diri positif. Siswa akselerasi memiliki motivasi belajar yang cenderung bersifat ekstrinsik, sedangkan siswa SBI dan reguler cenderung intrinsik. Contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi kognitif dan psikomotorik yang lebih tinggi dibanding kelas SBI dan reguler. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif dengan konsep diri, gaya pengasuhan otoritatif dengan motivasi intrinsic, gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif), dan konsep diri dengan motivasi belajar. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan negatif motivasi intrinsik dengan prestasi belajar (kognitif dan psikomotorik).

(3)

RINGKASAN

HERTI HERNIATI. Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada berbagai Model Pembelajaran. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Model pembelajaran muncul sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan adalah prestasi belajar. Lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor eksternal yang memperngaruhinya yang di dalamnya termasuk adalah cara atau gaya pengasuhan orangtua. Lingkungan keluarga pun menjadi faktor pembentuk konsep diri anak berdasarkan pengalaman yang diperolehnya melalui interaksi dengan orangtua. Selanjutnya konsep diri yang baik dan lingkungan keluarga akan membentuk motivasi anak untuk pencapaian prestasi atau keberhasilannya.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa SMA pada berbagai model pembelajaran. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu: 1) mengidentifikasi karakteristik keluarga dan karakteristik contoh kelas akselerasi, SBI dan reguler, 2) mengidentifikasi gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa kelas akselerasi, SBI, dan reguler, 3) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan, 4) menganalisis hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa.

Disain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian berlokasi di dua SMA di Bogor yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan kedua sekolah tersebut memiliki karakteristik dan model pembelajaran yang berbeda. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai April hingga Mei 2011. Penentuan contoh dalam penelitian ini juga dipilih secara purposive. Contoh dalam penelitian sebanyak 86 orang siswa kelas XI yang terdiri dari 26 siswa akselerasi, 30 siswa SBI, dan 30 siswa reguler. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik keluarga dan contoh, persepsi gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar yang dikumpulkan melalui teknik self report dengan alat bantu kuesioner. Data sekunder meliputi nilai rapor siswa dan keadaan umum sekolah. Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan inferensia (uji korelasi, uji beda one way anova dan kruskal wallis).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki usia yang cenderung muda dibandingkan dengan siswa kelas SBI dan reguler (p<0,05). Lebih dari separuh contoh dalam penelitian ini merupakan anak sulung dan memiliki keluarga yang masuk dalam kategori keluarga sedang. Sebagian besar usia ayah dan ibu tergolong pada kategori dewasa madya atau kisaran usia (41-60 tahun). Lebih dari separuh orangtua contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendidikan tamat perguruan tinggi sedangkan orangtua contoh kelas reguler sebagian besarnya memiliki pendidikan tamat SMA. Meskipun terdapat perbedaan latar belakang pendidikan, namun ayah contoh dari ketiga kelas memiliki pekerjaan yang sama yaitu bekerja pada bidang swasta dan sebagian besar ibu contoh pada ketiga kelas tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga saja.

(4)

Lebih dari separuh keluarga contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendapatan diatas Rp5.000.000,00 sedangkan sebagian besar keluarga contoh kelas reguler memiliki pendapatan berkisar antara Rp3.000.000,00 sampai dengan Rp4.000.000,00.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoriter. Hampir seluruh contoh memiliki konsep diri yang positif. Contoh pada kelas akselerasi cenderung memiliki motivasi belajar yang bersifat ekstrinsik, sedangkan kelas SBI dan reguler cenderung memiliki motivasi belajar yang bersifat intrinsik. Contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi yang lebih tinggi dibanding kelas SBI dan reguler terutama dalam aspek kognitif dan psikomotoriknya. Sebaliknya, contoh pada kelas reguler memiliki prestasi (afektif) yang lebih tinggi dibandingkan contoh pada kelas akselerasi dan SBI.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif dengan konsep diri, gaya pengasuhan otoritatif dengan motivasi intrinsik, dan gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif). Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan konsep diri dengan motivasi belajar dan motivasi intrinsik berhubungan negatif dengan prestasi belajar (kognitif dan psikomotorik).

Mengingat hasil penelitian tersebut, maka disarankan kepada orangtua agar menerapkan gaya pengasuhan yang memberikan arahan yang jelas kepada anak agar membantu mengembangkan konsep diri yang positif. Selain itu juga diharapkan kepada orangtua dan sekolah untuk memberikan dukungan kepada anak sehingga memiliki motivasi yang tinggi baik intrinsik maupun ekstrinsik dan meningkatkan motivasi untuk belajar sehingga mencapai prestasi yang tinggi.

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada berbagai Model Pembelajaran adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Herti Herniati NIM I24070016

(6)

GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL

PEMBELAJARAN

HERTI HERNIATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(8)

Judul : Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran

Nama : Herti Herniati

NIM : I24070016

Disetujui,

Tanggal Lulus :

Ir. Melly Latifah, M.Si Pembimbing I

Dr. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran”. Banyak orang yang berperan dan berjasa dalam perjalanan pendidikan dan penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini saya ingin menghaturkan ucapan terimakasih kepada:

1. Ir. Melly Latifah, MSi dan Dr. Ir Istiqlaliyah Muflikhati, MSi sebagai pembimbing skripsi yang terus memberikan bimbingan dan saran selama penulisan, serta nasihat-nasihat yang dapat membuka wawasan serta menjadi motivator untuk menghadapi masa depan.

2. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, nasihat dan motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

3. Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc. MSc sebagai dosen penguji yang telah bersedia menguji dan memberikan saran kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini. 4. Pihak sekolah kelas akselerasi, SBI, dan reguler yang telah memberikan izin kepada

penulis dan bersedia untuk dijadikan sebagai lokasi serta contoh penelitian.

5. Orangtua yang telah mendukung dan memotivasi penulis untuk terus melakukan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain. Bapak Sukayat, MMPd dan Ibu Neneng Juhriah, merekalah orangtua yang tiada hentinya berjuang dan berdoa serta memberikan motivasi, baik dukungan moril maupun material untuk mendukung penulis selama menempuh pendidikan dan penyelesaian skripsi. Adik tersayang Rista Yulia yang selalu memberikan semangat dan keceriaan.

6. Teman-teman seperjuangan Restu Dwi Prihatina, Dinda Ayu Novariandhini, Nur Rochimah, Umu Rosidah, Karnila Sari, Puspita Herawati, Walfitri Yani, Nurul Millah dan Sari Cipta dan teman-teman IKK 44 atas persahabatan dan kebersamaan selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan segala informasi yang terdapat di dalamnya.

Bogor, November 2011

(10)

DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 6 Kegunaan Penelitian ... 6 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 Karakteristik Individu ... 7 Karakteristik Keluarga ... 8 Remaja ... 11 Gaya Pengasuhan ... 13 Konsep Diri ... 15 Motivasi Belajar ... 17 Prestasi Belajar ... 19 Model Pembelajaran ... 21 KERANGKA PEMIKIRAN... 27 METODE PENELITIAN ... 29

Desain, Lokasi, dan Waktu ... 29

Teknik Penarikan Contoh ... 29

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 29

Pengolahan dan Analisis Data ... 33

Definisi Operasional ... 34

HASIL PENELITIAN ... 37

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 37

Karakteristik Keluarga ... 38 Karakteristik Contoh ... 43 Gaya Pengasuhan ... 43 Konsep Diri ... 47 Motivasi Belajar ... 52 Prestasi Belajar ... 54

Hubungan Karakteristik Keluarga dan Contoh dengan Gaya Pengasuhan ... 56

Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Konsep Diri ... 58

Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Motivasi Belajar ... 59

Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar ... 61

Hubungan Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, dan Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar ... 63

PEMBAHASAN ... 65

Keterbatasan penelitian ……… 68

SIMPULAN DAN SARAN... 69

Simpulan ... 67

Saran ... 68

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan cara pengumpulan data………. 30

2. Jenis dan pengkategorian data………. 32

3. Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua……….. 39

4. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua………... 40

5. Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua ………... 41

6. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga……….. 43

7. Sebaran contoh berdasarkan usia contoh………. 44

8. Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan……… 45

9. Sebaran contoh berdasarkan konsep diri fisik………. 47

10. Sebaran contoh berdasarkan konsep diri etik moral……… 48

11. Sebaran contoh berdasarkan konsep diri personal……….. 49

12. Sebaran contoh berdasarkan konsep diri keluarga……….. 50

13. Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi sosial………. 51

14. Sebaran contoh berdasarkan konsep diri………. 52

15. Sebaran contoh berdasarkan motivasi intrinsik.……….. 53

16. Sebaran contoh berdasarkan motivasi ekstrinsik……… 54

17. Sebaran contoh berdasarkan motivasi (total)………. 54

18. Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar……… 55

19. Koefisien korelasi karakteristik keluarga dan contoh dengan gaya pengasuhan………... 57

20. Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan konsep diri……….. 59

21. Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi intrinsik……… 60

22. Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi ekstrinsik………. 60

23. Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi (total)……….. 61

24. Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi intrinsik….……… 59

25. Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi ekstrinsik.………. 62

26. Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi (total)……… 60

27. Koefisien korelasi gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi dengan prestasi belajar………. 63

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran……….………….. 27

2. Cara penarikan contoh………….……….. 30

3. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga……….. 42

4. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin……… 43

5. Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran………... 45

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Sebaran jawaban contoh pada instrumen persepsi gaya pengasuhan…. 77 2. Sebaran jawaban contoh pada instrumen konsep diri……… 79

3. Sebaran jawaban contoh pada instrumen motivasi belajar…………. 81

4. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests usia ibu pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler ……….. 83 5. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests pendapatan keluarga pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler…………. 84 6. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests usia contoh pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler ………….. 85

7. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests konsep diri dimensi tingkah laku keluarga pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler……… 86 8. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests motivasi intrinsik pada tiga kelompok (akselerasi, SBI,dan reguler …………. 87 9. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests prestasi pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler …………. 88 10. Hasil uji kruskal wallis pendidikan orangtua pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler ……….. 90 11. Hasil uji korelasi karakteristik dengan gaya pengasuhan…………... 91

12. Hasil uji korelasi antar gaya pengasuhan konsep diri, motivasi belajar, prestasi belajar, dan model pembelajaran……... 92

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam upaya meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan yang penting. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan, dan martabat manusia Indonesia. Upaya meningkatkan SDM dilakukan melalui upaya sadar lewat jalur pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah, salah satunya ditempuh melalui Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai tingkat pendidikan lanjutan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Peningkatan mutu pendidikan tersebut juga muncul sebagai tuntutan karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Remaja merupakan salah satu sumberdaya manusia penting sebagai pelaksana dalam transformasi teknologi dan informasi yang akan datang tentunya perlu mendapat perhatian dalam bidang pendidikan yang tidak bisa lepas dari sasaran upaya peningkatan mutu pendidikan. Menurut Semiawan (2002) peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan.

Munculnya program-program belajar yang diselenggarakan sekolah, seperti adanya program kelas SBI dan akselerasi disamping kelas reguler merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diharapkan dapat mendorong prestasi dan keberhasilan siswa. Kelas internasional lebih digambarkan pada kelas yang dirintis dengan kurikulum lokal namun dengan taraf internasional, diperuntukkan bagi siswa yang berbakat, mempunyai potensi, dan ditunjang sejumlah fasilitas yang berbeda dibanding kelas reguler.

Program akselerasi diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, yang membutuhkan program berdiferensiasi atau pendidikan khusus di luar jangkauan apa yang diberikan dalam program sekolah biasa (Semiun 2006). Adanya kelas akselerasi tersebut dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan bagi siswa dengan Intelligence Quotient (IQ) tinggi, karena sesuai pendapat Terman diacu dalam Hawadi (2004) yang menyatakan bahwa

(14)

siswa dengan IQ diatas normal akan superior dalam kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap moral.

Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan adalah prestasi belajar siswa. Prestasi belajar adalah hasil suatu penilaian dibidang pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai (Winkel 1989). Menurut Dalyono (2001) prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam manusia yang terdiri dari faktor fisiologis (karena sakit, karena kurang sehat, karena cacat tubuh), dan faktor psikologis (intelegensi, bakat, minat, motivasi dan faktor kesehatan mental). Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dan mass media.

Lingkungan keluarga memang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Selain itu keluarga juga merupakan fondasi primer bagi perkembangan anak, karena keluarga merupakan tempat anak untuk menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya.

Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar dari pendidikan di sekolah. Bloom (1976) menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan faktor luar sekolah telah secara luas berpengaruh terhadap siswa. Siswa hidup di kelas pada suatu sekolah relatif singkat, sebagian besar waktunya dipergunakan siswa untuk bertempat tinggal di rumah. Keluarga telah mengajarkan anak berbahasa, kemampuan untuk belajar dari orang dewasa dan beberapa kualitas dan kebutuhan berprestasi, kebiasaan bekerja dan perhatian terhadap tugas yang merupakan dasar terhadap pekerjaan di sekolah.

Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulan dalam masyarakat. Keadaan keluarga yang harmonis akan menimbulkan rasa nyaman dan aman. Perasaan nyaman tersebut meningkatkan motivasi atau menjadikan anak

(15)

bersemangat melakukan sesuatu untuk dirinya dan orang lain, tidak terkecuali dalam hal belajar. Rasa aman muncul pada saat orang tua dapat menghargai keberadaan anak dan paham tentang bagaimana pengasuhan yang tepat untuk anak. Rasa aman yang tertanam tersebut akan menimbulkan suatu kepercayaan pada diri sendiri dan mampu memandang keadaan diri sendiri (konsep diri). Pada masa remaja yang kondisi perkembangannya masih labil memungkinkan terbentuknya konsep diri positif bila didukung oleh lingkungan sosial dan keluarga.

Dalam pencarian identitas diri diharapkan remaja dapat membentuk konsep dirinya yang positif karena akan berpengaruh terhadap pemikirannya, perilakunya, serta pendidikan dalam pencapaian prestasi belajar (Santrock 2007). Dalam melakukan sesuatu, bersikap serta bertindak motivasi diperlukan untuk memaksimalkan tujuan individu. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) motivasi adalah dorongan atau kehendak yang menyebabkan timbulnya semacam kekuatan agar seseorang itu berbuat atau bertindak, dengan kata lain bertingkah laku. Tumbuhnya motivasi dalam diri seseorang senantiasa dilandasi oleh adanya kesadaran diri berkenaan dengan hakikat dan keberadaan kehidupannya masing-masing. Selain adanya motivasi, konsep diri yang ada pada remaja juga menentukan prestasi belajarnya. Hal ini berpengaruh terhadap pendidikan yang dilakukan oleh remaja.

Perumusan Masalah

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, salah satunya adalah pelaksanaan program akselerasi dan kelas internasional dari sekolah yang bertaraf internasional. Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh penyediaan fasilitas bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik diatas rata-rata agar potensi dapat berkembang secara maksimal dan tidak terjadi underachiever (suatu kondisi kemampuan intelektual tinggi/luar biasa yang tidak terlayani secara makasimal, berakibat pada penurunan kinerja intelektual) (Farmer 1993). Hasil penelitian Departemen Pendidikan Nasional tahun 2001 menemukan bahwa pada 20 SMA

(16)

unggulan di Indonesia terdapat 21,75 persen siswa dengan kecerdasan umum prestasinya di bawah rerata sedangkan para siswa yang tergolong berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa sebesar 9,7 persen. Pada hasil temuan sebelumnya juga diungkapkan bahwa masih tinggi siswa yang dikategorikan berbakat istimewa mengalami underachiever pada SD dan SMP (2-5%) dan SMA sebesar delapan persen (Depdikbud 1997). Namun apakah dengan adanya program akselerasi dan SBI benar-benar dapat meminimalisasi underachiever dan dapat memotivasi siswa sehingga mereka menjadi lulusan dengan prestasi yang tinggi?

Menurut Southern dan Jones (1991) disamping memiliki kelebihan, program akselerasi juga memiliki sejumlah dampak negatif yang merugikan, diantaranya di bidang akademis, penyesuaian emosional, dan penyesuaian sosial. Pada bidang akademis, siswa dimungkinkan tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru, tertinggal dari teman sebayanya, dan menjadi siswa yang gagal. Hal tersebut dikarenakan isi pelajaran yang diberikan terlalu jauh atau terlalu tinggi untuk siswa. Selain itu juga siswa akan kekurangan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berfikirnya. Pada bidang penyesuaian emosional, dengan adanya dorongan untuk berprestasi secara konstan menjadikan siswa akselerasi frustasi dan pada penyesuaian sosialnya frekuensi hubungan siswa akaselerasi dengan teman sebayanya akan berkurang.

Hasil penelitian Ary (2005) menyebutkan bahwa siswa akselerasi cenderung mendapat labelling dari masyarakat sebagai anak pintar, hal tersebut dapat membentuk konsep diri yang positif dan negatif, tergantung siswa mempersepsikan labelling tersebut. Siswa yang mempersepsikannya sebagai sesuatu yang positif akan terbentuk menjadi konsep diri yang positif untuk selanjutnya dapat meningkatkan motivasi untuk meraih prestasi dan sebaliknya.

Penelitian Kusumawardhani (2000) terhadap siswa SMA kelas akselerasi dan reguler, menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tentang konsep belajar dan motivasi belajar antara siswa kelas akselerasi dengan siswa kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki konsep belajar dan motivasi yang efektif lebih tinggi mempengaruhi proses belajar mereka dibandingkan dengan siswa kelas reguler.

(17)

Permasalahan lain yang muncul adalah masih banyaknya siswa yang berpotensi dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata di kelas akselerasi (IQ minimal 130) dan internasional namun tidak berprestasi (underachiever) (Munandar 2004). Padahal tujuan dari dilaksanakannya program akselerasi dan kelas SBI juga untuk meningkatkan mutu pendidikan serta prestasi siswa. Permasalahan tersebut mungkin disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar seperi gaya pengasuhan orangtua, konsep diri, dan motivasi belajar siswa.

Setiap orangtua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlak. Akan tetapi banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa caranya mendidik membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya. Menurut Slameto (2003) bahwa salah satu yang mempengaruhi prestasi belajar anak adalah lingkungan keluarga termasuk didalamnya pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua kepada anak. Hal ini berkaitan dengan peran orangtua dalam memikul tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik, guru dan pemimpin bagi anak-anaknya.

Interaksi anak dengan orangtua atau lingkungannya akan membentuk konsep diri. Konsep diri tersebut dapat berhubungan atau bahkan mempengaruhi prestasi karena dengan adanya konsep diri yang positif atau tinggi maka siswa akan mampu mengarahkan tindakannya dengan tepat sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Menurut hasil penelitian Gunawan (2010), siswa yang memandang dan mempersepsikan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang baik, percaya diri untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki kemungkinan tidak akan mengalami kesulitan untuk meraih prestasi belajar. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa pencapaian prestasi seorang siswa tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah faktor internal (dalam diri siswa) dan faktor ekternal (dari luar diri siswa). Berdasarkan paparan tersebut, maka yang menjadi pertanyaan peneliti adalah:

1. Bagaimana karakteristik siswa dan karakteristik keluarga pada kelas akselerasi, SBI dan reguler?

2. Bagaimana gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI dan reguler?

(18)

3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan orangtua?

4. Adakah hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa?

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler.

2. Mengidentifikasi gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler.

3. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan.

4. Menganalisis hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak terkait. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan pemikiran dan keilmuan yang telah diterima di bangku kuliah terutama dalam bidang perkembangan anak. Bagi institusi IPB, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang referensi baru bagi civitas akademika khususnya di bidang perkembangan anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak sekolah, dan orang tua mengenai hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar, Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa atau peneliti yang tertarik dengan topik penelitian sejenis.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Indvidu Umur

Menurut L.Kohlberg diacu dalam Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak menjalani tahap perkembangan secara berurutan. Setiap tahap selanjutnya lebih majemuk daripada tahap sebelumnya. Tahap-tahap ini berkaitan dengan usia anak. Anak yang lebih tua diharapkan berada pada tahap yang lebih tinggi. Kecepatan anak dalam menjalani dan melalui tahap-tahap perkembangan ini tidak sama, tergantung dari inteligensi dan pengaruh sosial.

Usia anak dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikologis anak. Pada usia tertentu emosi dapat berkurang dan bertambah. Dengan meningkatnya usia, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan (Hurlock 1980)

Jenis Kelamin

Jenis kelamin anak mempengaruhi perkembangan secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung berasal dari kondisi hormon yang mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam perkembangan fisik dan psikologis anak perempuan dan laki-laki. Pengaruh tidak langsung dari jenis kelamin terhadap perkembangan timbul dari kondisi lingkungan. Individu laki-laki dan perempuan pertama kali dibentuk oleh keluarga, selanjutnya oleh kelompok teman sebaya dan sekolah serta kelak oleh kelompok masyarakat sesuai dengan jenis kelaminnya (Hurlock 1991).

Lebih lanjut Hurlock (1980) menyatakan jenis kelamin individu penting bagi perkembangan selama hidupnya karena setiap tahunnya individu mengalami peningkatan tekanan-tekanan budaya dari para orangtua, guru, kelompok sebaya dan masyarakat yyang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap dan perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelaminnya. Selain itu, pengalaman belajar juga ditentukan oleh jenis kelamin individu. Di rumah, di sekolah, dan di dalam kelompok bermain, individu belajar apa yang dianggap pantas untuk anggota-anggota jenis kelamin mereka. Sikap orangtua pun menjadi hal terpenting

(20)

sehubungan dengan jenis kelamin individu Penelitian tentang kecenderungan jenis kelamin yang disukai menunjukkan bahwa anggapan tradisional yang lebih menyukai anak laki-laki terlebih sebagai anak pertama, masih banyak ditemukan. Kuatnya pemilihan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap-sikap orangtua yang selanjutnya mempengaruhi perilaku mereka kepada anak dan hubungan mereka dengan anak.

Urutan Kelahiran

Urutan kelahiran memiliki peranan yang penting dalam hubungan antar saudara sekandung. Individu yang lahir lebih dulu digambarkan lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan saudara sekandung mereka. Tuntutan orangtua dan standar yang tinggi ditetapkan bagi anak sulung agar dapat meraih keberhasilan (Santrock 2003).

Beberapa penelitian terhadap anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa anak pertama cenderung lebih cerdas dan berprestasi lebih tinggi daripada adik-adiknya. Akan tetapi di pihak lain sedikit bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut disebabkan karena perbedaan waktu lahir, melainkan disebabkan oleh kondisi-kondisi lingkungan yang mendorong pengembangan intelektual anak. Anak pertama tidak hanya memperolah lebih banyak rangsangan intelektual daripada anak-anak yang lahir kemudian, tetapi mereka juga memperoleh kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka daripada adik-adiknya (Hurlock 1980).

Karakteristik Keluarga Pengertian dan Teori Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Bergest dan Locke 1960). Menurut Undang Undang nomor 10 tahun

(21)

1992, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.

Salah satu teori yang melandasi institusi keluarga adalah teori struktural fungsional. Pendekatan teori struktural fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasikan dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Pendekatan struktural fungsional ini menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostasis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan (Megawangi 1999).

Lebih lanjut Megawangi (1999) menyatakan bahwa penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang diterapkan. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban keluarga akan tercipta jika ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya serta patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut. Pada aspek fungsional, arti aspek diakitkan dengan bagaimana sebuah sistem dalam masyarakat atau keluarga dapat berhubungan menjadi satu kesatuan yang solid. Kepentingan paternalistik sosial (struktur) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan karena merupakan suatu mekanisasi sosial agar seorang anak mengetahui posisi dan kedudukannya, sehingga ia akan mendapatkan tempat dalam masyarakat kelak setelah dewasa.

Anak merupakan bagian dari suatu keluarga, lingkungan di sekitar kehidupan anak tergambar melalui teori bioekologi Bronfenbrenner. Bronfenbrenner (1974) dalam teori bioekologinya (bioecological theory) menjelaskan cakupan berbagai proses yang saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan individu. Setiap organisme biologis berkembang dalam konteks sistem ekologi yang mendukung atau mengekang perkembangannya. Menurut Bronfenbrenner, perkembangan muncul melalui berbagai proses rutin yang semakin kompleks, aktif, interaksi dua arah antara individu yang berkembang dan

(22)

lingkungan terdekatnya. Proses tersebut dimulai dari lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan luar tempat tinggal yang berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial seperti pola-pola budaya dan sejarah yang mempengaruhi keluarga, sekolah dan hampir seluruh aspek kehidupan individu. Selanjutnya Bronfenbrenner mengidentifikasi lima sistem kontekstual yang saling berhubungan, mulai dari yang paling dekat hingga yang terluas, yaitu mikrosistem (suatu lingkungan dimana anak berinteraksi sehari-hari, dan bertatap muka dengan orang lain), mesosistem (hubungan antara dua atau lebih mikrosistem), eksosistem (hubungan antara dua atau lebih lingkungan yang salah satunya mengendalikan anak), makrosistem (keseluruhan pola budaya suatu masyarakat), dan kronosistem (pengaruh waktu pada sistem perkembangan yang lain).

Tingkat pendidikan

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Lebih lanjut Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan bahwa potensi yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda untuk satu orang ke orang lain. Ada yang memiliki potensi lebih tinggi pada segi-segi kualitas fisik (kesegaran jasmani, kesehatan, serta daya tahan fisik sehingga dapat melakukan kegiatan yang produktif), sementara yang lain mempunyai potensi yang lebih pada segi kualitas nonfisik (kualitas kepribadian,kecerdasan, ketahanan mental, dan kemandirian). Pendapatan Keluarga

Keadaan sosial ekonomi dapat mempengaruhi kehidupan keluarga. Ekonomi dalam keluarga dapat digunakan salah satunya sebagai pemeliharaan anak dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang cukup menyebabkan orangtua lebih mempunyai waktu untuk membimbing anak karena orangtua tidak lagi memikirkan tentang keadaan ekonomi yang kurang (Hurlock 1980). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan orangtua memperlakukan anak dengan kurang perhatian dan tidak memiliki waktu untuk membimbing anak karena terlalu memikirkan keadaan ekonominya.

(23)

Besar Keluarga

Kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan corak hubungan antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap tersaing dan tersisih. Hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan yang dapat berakibat buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa jumlah keluarga mempengaruhi hubungan antara orang tua dengan anak. Anak yang berasal dari keluarga besar memiliki hubungan yang kurang erat dengan orang tuanya karena perhatian dari orang tua terbagi. Semakin besar keluarga maka akan semakin sedikit waktu yang dikeluarkan orang tua untuk merawat dan mengasuh anak.

Pekerjaan Orangtua

Masyarakat Indonesia masa kini telah menerima perempuan untuk berkarya di luar rumah baik untuk bekerja mencari nafkah maupun untuk melakukan aktivitas dalam masyarakat. Menurut Rowatt (1990) diacu dalam Supriyantini (2002) menyatakan pekerjaan seorang suami tidaklah berkurang walaupun istrinya juga turut bekerja. Pekerjaan suami bahkan terlihat bertambah sibuk jika istrinya tidak bekerja. Banyak suami secara eksplisit dan implisit mengharapkan peran sitri menjadi suatu sistem pendukung bagi pekerjaan mereka.

Remaja

Santrock (2003) mengartikan remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai kemandirian.

Lebih lanjut Santrock menggambarkan bahwa masa remaja terdiri atas remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal (early adolescence) diperkirakan sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup perubahan pubertas yang tinggi. Remaja akhir (late adolescence) menunjuk pada masa sekitar setelah 15 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan ekplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir dibandingkan dengan dalam masa remaja awal.

(24)

Disamping pertumbuhan fisik yang pesat, remaja juga mengalami perkembangan kognitif. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Santrock 2007), remaja berada pada tahap formal operasional yang merupakan tahap akhir dari perkembangan kognisi.

Remaja umumnya sudah mampu berfikir secara abstrak, hipotetis, menggunakan logika, membedakan antara fakta dan fantasi, mengelola perasaan, dan juga berpikir secara deduktif maupun induktif. Pada tahapan kognitif formal operasional ini remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau preposisi (Santrock 2007).

Namun demikian, perkembangan kognitif remaja belum matang, terbukti dengan adanya egosentrisme pada remaja. Hal ini dikarenakan tidak semua remaja dapat menjadi pemikir formal operasional sepenuhnya karena pengaruh subjektifitas dalam diri yang masih sangat kuat (Santrock 2007).

Selain pertumbuhan fisik dan pematangan organ reproduksi serta perkembangan kognitif dan moral, remaja juga mengalami perkembangan sosial. Menurut teori Psikososial Erickson (Santrock 2002), pada masa remaja seorang individu sedang mengembangkan sikap Identity vs. Identity Confusion. Artinya, pada masa remaja seorang individu berada pada fase belajar untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya.

Pada fase Identity vs Identity Confusion remaja menjalani perasaan atau kesadaran akan jati dirinya. Remaja dihadapkan pada berbagai hal yang menyangkut keberadaan dirinya, masa depannya, peran-peran sosialnya dalam keluarga dan masyarakat serta kehidupan beragama (Yusuf 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila pada fase ini remaja berhasil memahami dirinya, peran-perannya, dan makna hidup beragama, maka ia akan menemukan jati dirinya, dalam arti ia akan memiliki kepribadian yang sehat. Sebaliknya, apabila gagal, maka ia akan mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingungan ini berdampak kurang baik bagi remaja, remaja akan cenderung kurang baik dalam menyesuaikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan remaja tersebut dapat berjalan dengan maksimal dengan adanya dukungan dari lingkungan remaja. Prestasi yang dimiliki atau

(25)

diraih oleh remaja tidak bisa dilepaskan dari dorongan untuk berprestasi (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Dorongan berprestasi adalah sesuatu yang ada dan menjadi ciri dari kepribadian seseorang remaja, sesuatu mengenai apa yang ada dan dibawa dari lahir. Namun, di pihak lain dorongan berprestasi ternyata dalam banyak hal adalah sesuatu yang ditumbuhkan, dikembangkan, hasil dari mempelajari melalui interaksi dengan lingkungan (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Gunarsa dan Gunarsa (2004) juga menjelaskan bahwa dorongan berprestasi pada remaja sangat penting diperhatikan. Hal ini dikarenakan remaja yang memiliki dorongan berprestasi tinggi adalah modal dalam asset suatu bangsa yang sedang membangun dan kaitannya dengan penggalian sumber daya manusia.

Gaya Pengasuhan

Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan adalah interaksi yang terjadi antara pengasuh dengan yang diasuh, meliputi bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap aktivitas sehari-hari yang berlangsung secara rutin, sehingga terbentuk suatu pola yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pendidik atau pengasuh. Pengasuhan orangtua terhadap anak berlangsung melalui ucapan, perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperhatikan atau dilakukan oleh anak. Dengan demikian, sikap dan perilaku orangtua dijadikan sebagai patokan untuk ditiru, kemudian apa yang ditiru akan diterapkan dalam dirinya. Oleh karena itu, suasana hubungan antar anggota keluarga dapat mempengaruhi kualitas pengasuhan, dimana hubungan yang harmonis dalam keluarga dapat menumbuhkan suasana yang kondusif bagi terselenggaranya pengasuhan yang berkualitas.

Menurut Hastuti (2008) pengasuhan adalah interaksi orangtua terhadap anaknya yang didalamnya meliputi pemeliharaan, perlindungan, pemberian kasih sayang dan pengarahan kepada anak. Sedangkan gaya pengasuhan itu sendiri merupakan cara berinteraksi orangtua terhadap anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak.

Di bidang pendidikan, orangtua memiliki pengaruh besar terhadap prestasi akademik anak. Adapun peran yang dapat orangtua lakukan untuk menunjang

(26)

prestasi akademik anak antara lain, menyediakan tempat yang kondusif di rumah untuk anak belajar, menyediakan buku-buku referensi sebagai sarana pembelajaran anak, mengatur waktu kegiatan anak, memperhatikan kegiatan anak di rumah dan di sekolah (Papalia & Olds 2009).

Selain peran yang telah disebutkan, peran pengasuhan tidak kalah penting dalam mempengaruhi prestasi akademik anak. Hasil penelitian Nguyen dan Cheung (2009) menunjukkan bahwa secara umum, ayah cenderung menerapkan gaya pengasuhan melalui otoritas dan merangsang realitas anak. Sedangkan ibu cenderung memberi kesenangan pada keinginan anak untuk memberi dorongan pada anak. Akan tetapi pada dasarnya dalam mengasuh anak, ayah dan ibu harus memiliki filosofi manajemen yang sama. Hawadi (2001) menyatakan bahwa orangtua yang efektif adalah orangtua yang senantiasa terlibat dalam pendidikan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan anak termasuk bertemu dengan guru di awal tahun pelajaran. Oleh karena itu, partisipasi orangtua terhadap belajar anak merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi anak.

Baumrind (1972) diacu dalam Goleman (1997) merekomendasikan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu otoriter, otoritatif, dan permissif. Otoriter, yaitu terdapat banyak pembatasan dan mengharapkan ketaatan tingkah laku tanpa memberi penjelasan kepada anak-anak. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman.

Otoritatif, yaitu menentukan batas-batas tetapi jauh lebih luwes, memberi penjelasan kepada anak mereka, dan memberi kehangatan. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu. Mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara anak

(27)

dan orangtua, memperkuat standar-standar perilaku. Orangtua tidak mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata.

Permissif, yaitu orangtua bersikap hangat dan komunikatif terhadap anak-anak mereka tetapi memberikan sedikit pembatasan terhadap tingkah laku. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan.

Gaya pengasuhan menunjukkan kepribadian orangtua dan teknik yang dilakukan saat berhubungan sehari-hari dengan anak yang diasuhnya. Teori yang ada telah memperlihatkan bukti-bukti gaya pengasuhan otoritatif sebagai gaya pengasuhan paling efektif dan efisien dalam membentuk kualitas anak.

Konsep Diri

Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya adalah persepsi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, serta tujuan, harapan, dan keinginannya (Fitts 1971).

Definisi lain dari konsep diri disebutkan oleh Gunawan (2005), yang menyatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi atau pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang terbentuk melalui pengalaman hidup dan interaksinya dengan lingkungan dan juga karena pengaruh dari orang-orang yang dianggap penting atau dijadikan panutan. Konsep diri merupakan fondasi yang sangat penting untuk keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan di bidang akademis, melainkan yang lebih penting adalah keberhasilan hidup. Orang yang memiliki konsep diri yang buruk akan sangat sulit berhasil dan hanya akan menjalani hidup sebagai manusia rata-rata.

Pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil (balita) dimana anak belajar dari lingkungannya. Dalam proses pembelajaran itu secara perlahan

(28)

tetapi pasti konsep diri anak mulai terbentuk. Namun, masa kritis pembentukan konsep diri justru terjadi saat anak memasuki sekolah dasar (Gunawan 2005). Konsep diri diperjelas selama masa remaja akhir ketika anak muda mengatur konsep diri sendiri di sekitar nilai, tujuan, dan kompetensi yang didapat selama masa kanak-kanak.

Menurut Sunaryo (2002) beberapa hal yang penting dan perlu dipahami terkait konsep diri, yaitu: konsep diri dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara bertahap, positif ditandai dengan kemampuan intelektual, negatif ditandai dengan hubungan individu dan hubungan sosial yang maladaptif, penguasaan lingkungan terbentuk karena peran keluarga, dan penerimaan keluarga akan kemampuan anak sesuai dengan perkembangannya sangat mendorong aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya.

Fitts (1971) menyatakan bahwa terdapat dua dimensi yaitu dimensi eksternal dan dimensi internal. Dimensi internal terdiri dari: (1) diri identitas (the identity self) yang merupakan aspek yang paling dasar dari konsep diri, merupakan label dan simbol yang dikenakan pada diri oleh seseorang untuk menjelaskan dirinya dan membentuk identitasnya. Setiap elemen dari identitas akan mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan dunia fenomenologisnya, yaitu cara ia merespon terhadap dunianya atau berinteraksi dengan dunianya dan observasi serta penilaian yang ia buat mengenai dirinya bila ia berfungsi. Elemen-elemen identitas terus bertambah mengikuti tumbuh dan meluasnya kemampuan, kegiatan seseorang, keanggotaan kelompok dan sumber-sumber identifikasi; (2) diri pelaku (the behavioral self), seseorang melakukan sesuatu sesuai dorongan stimuli internal dan eksternal. Konsekuensi perilaku tersebut mempengaruhi kelanjutan atau disudahinya perilaku itu sendiri, juga menentukan apakah suatu perilaku akan diabstraksikan, disimbolisasikan dan digabungkan ke dalam diri identitas; (3) diri penilai (the judging self ), interaksi antara diri identitas dan diri pelaku serta integrasinya ke dalam konsep diri melibatkan diri penilai. Salah satu kapasitas manusia adalah kemampuan untuk sadar akan dirinya serta mengamati dirinya dalam bertindak dan menilai diri sendiri diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penetap standar, pengkhayal, pembanding, dan terutama sebagai penilai

(29)

Dimensi eksternal merupakan bagian-bagian diri dengan macam-macam label seperti diri fisik, diri etik moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial. Dimensi eksternal diri banyaknya tergantung dari peran-peran, kegiatan-kegiatan dan nilai-nilai dari orang bersangkutan, namun yang paling umum adalah kelima diri tersebut.

Hubungan antara Konsep Diri dengan Prestasi Belajar

Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk (Rini 2002).

Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan konsep diri yang positif untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, karena konsep diri berkorelasi dengan prestasi, motivasi dan tujuan pribadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dari berbagai karakteristik siswa yang tidak mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi erat hubungannya dengan rendahnya konsep diri yang dimiliki. Area yang paling konsisten sehubungan dengan rendahnya konsep diri dalam berprestasi adalah rendahnya self image, dan buruknya self esteem yang berpengaruh terhadap perilaku (Tarmidi 2006). Selanjutnya hasil penelitian Rola (2006) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi individu adalah konsep diri yang dimilikinya. Jika individu menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya, sehingga terdapat hubungan positif antara konsep diri terhadap prestasi belajar.

Motivasi Belajar

Menurut Nasution (2003) motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari dan mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui motivasi diharapkan siswa memiliki usaha untuk membangun kondisi sehingga memiliki keinginan dan minat serta bersedia melakukan sesuatu. Dalam belajar, tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan

(30)

kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut. Dalam kenyataannya semakin besar motif yang ada dalam diri seseorang, akan semakin kuat motivasi belajarnya (Halim 2005).

Motif yang ada pada setiap orang dalam melakukan suatu kegiatan dapat berbeda satu sama lain. Selain itu, seseorang dapat mempunyai motif lebih dari satu jenis. Menurut Santrock (2008) terdapat dua macam motivasi, yaitu motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan) dan sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Lebih lanjut Sardiman (2006) menyatakan motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.

Motivasi intrinsik merupakan motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri) (Santrock 2007). Sedangkan menurut Sardiman (2006) Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Seorang siswa melakukan belajar karena didorong tujuan ingin mendapatkan pengetahuan, nilai dan keterampilan.

Menurut Dimyati (2002) ada empat hal yang mempengaruhi motivasi dalam belajar adalah cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, dan kondisi lingkungan siswa.

Cita-cita. Motivasi belajar tampak dalam keinginan seseorang sejak kecil, seperti keinginan belajar makan, berjalan dan sebagainya, keinginan berhasilnya keinginan tersebut menumbuhkan kemauan untuk selanjutnya menjadi rangsangan cita-cita di masa depannya. Tumbuhnya cita-cita yang dibarengi dengan perkembangan akal, moral, kemauan, bahasa, perkembangan kepribadian dan nilai-nilai kehidupan. Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar baik internal maupun eksternal, sebab terciptanya cita-cita akan mewujudkan motivasi diri.

Kemampuan siswa. Keinginan seorang anak perlu dibarengi dengan kemampuan mencapainya keinginan tersebut. Misal seperti anak yang berkeinginan untuk pandai membaca. Dalam rangka mewujudkan keinginannya

(31)

untuk membaca, anak harus diperkenalkan kepada jenis huruf dan seperangkat tata eja abjadnya.

Kondisi siswa. Kondisi kesehatan jasmani dan rohani seorang siswa akan mempengaruhi tingkat keinginan untuk melakukan sesuatu, seperti dalam kondisi sakit, seorang siswa akan malas belajar, dan sebaliknya ketika seorang siswa dalam keadaan sehat, maka keinginan untuk belajar dan melakukannya terlihat cukup tinggi.

Kondisi lingkungan siswa. Kondisi lingkungan yang ada di sekeliling siswa sangat berpengaruh besar terhadap munculnya motivasi, baik lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan tempat dimana ia bersosialisasi. Pandangan di atas sangat menekankan bahwa kompetensi dan kondisi yang ada dalam diri siswa selain faktor yang timbul dari luar diri siswa itu sendiri, ternyata dalam proses belajar sangat memerlukan dukungan lain berupan harapan atau bahkan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan belajar yang dilakukan agar benar-benar menghasilkan berbagai aspek dan indikator yang sesuai atau yang diinginkan dari perbuatan belajarnya selama perbuatan atau kegiatan belajar itu mengarah pada perubahan-perubahan pribadi siswa secara positif.

Prestasi Belajar

Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto 2003).

Sudjana (2000) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan-perubahan aspek lain yang ada pada individu belajar.

Seorang guru harus menetapkan batas minimal keberhasilan belajar siswa untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat prestasi siswa. Menurut Syah (2004) ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut

(32)

adalah norma skala angka dari nol sampai sepuluh dan norma skala angka dari nol sampai seratus.

Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala nol (0) sampai sepuluh (10) adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala nol (0) sampai seratus (100) adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat meneyelesaikan lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, siswa dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar.

Penilaian prestasi belajar ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Evaluasi prestasi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan tes tertulis maupun dengan tes lisan dan perbuatan. Evaluasi prestasi afektif dapat dilakukan dengan menggunakan skala likert dan atau diferensial semantik yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap siswa mulai sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap sesuatu yang harus direspon. Evaluasi prestasi psikomotor dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku jasmaniah siswa dicatat dalam format observasi ketrampilan melakukan pekerjaan tertentu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan ke dalam dua faktor yaitu, faktor internal (faktor fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sosial). Metode belajar yang dilaksanakan seorang anak, akan menentukan hasil belajar. Jika hasil yang diperoleh tidak memuaskan, dapat karena sifat malas belajar seorang anak atau sikap orangtua yang memperhatikan rasa kecewa atau menekan anak. Namun sebaliknya, anak akan berhasil dalam belajar, apabila orangtua mendampingi, membimbing serta mendorong dalam mencapai prestasi yang memuaskan (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Hubungan antara Pengasuhan terhadap Prestasi Belajar

Pengasuhan yang diterapkan orangtua (ibu) berpengaruh pada prestasi belajar seseorang. Menurut Rohner (1986), pengasuhan ibu dengan penuh kasih sayang, hangat akan membuat anak lebih terampil dalam mengelola emosi, bergaul, dan meningkatkan dalam bidang akademis. Menurut Steinberg (1993), orangtua yang hangat terlibat penerimaan secara langsung dapat mempengaruhi

(33)

pencapaian prestasi seorang anak di sekolahnya didukung pula hasil penelitian bahwa remaja yang orangtuanya menerima, terlibat dan demokratis memberi skor lebih tinggi dalam ukuran prestasi akademik. Hubungan antara ibu dengan anak dengan penuh kasih sayang akan mendorong anak untuk memotivasi dalam mencapai prestasi belajar (Gunarsa & Gunarsa 2001).

Zanden (1993) menyatakan bahwa anak yang memiliki orangtua yang bahagia dalam perkawinannya lebih memiliki rasa aman secara emosional, sehingga tampak lebih memiliki kesempatan untuk mengambangkan intelektual, sebaliknya perselisihan perkawinan yang menghantarkan pada perpisahan dapat menciptakan kecenderungan antisosial pada anak-anak yang menyebabkan mereka ditolak guru dan gagal di sekolah. Begitu pula menurut Djamarah (2002), bahwa anak yang sulit dalam prestasi belajar di sekolah disebabkan oleh hubungan suami istri yang penuh dengan ketegangan, tidak harmonis, dan penuh dengan konflik.

Model Pembelajaran Akselerasi

Program percepatan belajar atau akselerasi, merupakan bagian kebijakan pendidikan jalur formal pada program layanan khusus peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan keberbakatan akademik istimewa. Semiawan dalam Gunarsa (2004) membagi dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model pembelajaran dan yang kedua adalah akselerasi kurikulum atau akselerasi program. Perumusan pertama menunjuk pada siswa yang dapat melompat kelas. Sementara itu, perumusan yang kedua menunjuk pada peningkatan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dilakukan dalam kelas khusus, kelompok khusus, atau sekolah khusus dalam waktu tertentu.

Menurut Semiawan (2002) kurikulum yang sesuai dengan karakter anak yang berkemampuan kecerdasan di atas rata-rata telah didiskusikan dan disusun oleh pusat pengembangan kurikulum sejak 1981. Sebelum uji coba pelaksanaan program anak berbakat dilaksanakan tahun 1984, kurikulum berdeferensiasi telah dibuat. Dengan adanya hal tersebut kemampuan guru harus selalu ditingkatkan, misalnya kecekatan dalam hal menganalisis kurikulum sesuai perkembangan anak

(34)

dan kebutuhan penanjakan kemampuan fikir atau mental anak dan membuat anak senang belajar.

Kurikulum yang digunakan pada program akselerasi adalah kurikulum nasional dan muatan lokal, yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi yang esensi dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika serta mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, linier, dan konvergen utuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa depan. Dengan demikian kurikulum program akselerasi adalah kurikulum yang diberlakukan untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, sehingga lulusan program akselerasi memiliki kualitas dan standar kompetensi yang sama dengan lulusan program reguler. Perbedaannya hanya terletak pada waktu keseluruhan yang ditempuh dalam menyelesaikan pendidikannya lebih cepat bila dibanding dengan program reguler (Semiawan 2002).

Kurikulum akselerasi ini dikembangkan secara diferensiatif. Artinya kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Diferensiasi dalam kurikulum akselerasi menurut Cledening dan Davies, (1983) diacu dalam Hawadi (2001) adalah isi pelajaran yang menunjuk pada konsep dan proses kognitif tingkat tinggi, strategi intruksional yang akomodatif dengan gaya belajar anak berbakat dan rencana yang memfasilitasi kinerja siswa. Proses pembelajaran siswa akselerasi sama dengan siswa reguler. Jika peserta didik akselerasi dikumpulkan dalam satu kelas tersendiri maka guru dan siswa dapat menerapkan berbagai strategi belajar. Ciri dominan proses belajar yang khas pada siswa akselerasi adalah pembelajaran individual atau mandiri lebih kontras dilaksanakan daripada siswa reguler.

Sekolah Bertaraf Internasional

Adanya kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional didasarkan pada landasan hukum yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3 yang didalamnya menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah mengembangkan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Anonim, 2006).

(35)

Salah satu tujuan pembangunan sekolah bertaraf internasional adalah untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik (Haryana 2007).

Lebih lanjut Haryana (2007) menyebutkan bahwa terdapat karakteristik untuk menjadi sekolah internasional dan juga memiliki beberapa ciri dalam proses pembelajarannya. Sekolah atau madrasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.

Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery; (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang semuanya telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6) dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen internasional.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik individu, karakteristik keluarga,     gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar, dan prestasi belajar
Gambar 2 Bagan cara pengambilan contoh
Tabel 2 Jenis data dan pengkategorian data
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satubentuk aktivitas luar kelas adalah penjelajahan di sekitar lingkungan sekolah akan menarik dan aman apabila dilakukan dengan perencanaan dan persiapan

ABSTRACT 

Tujuan dari penelitian tindakan ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika melalui penggunaan Pendekatan CBSA pada peserta didik kelas V.A SDN 18

game interaktif dalam pembelajaran seni tari pada siswa kelas VII F di SMP.. Negeri 3 Cimahi, dapat dilihat dan diamati dari hasil analisis data

Dari fungsi linear berikut, yang memiliki nilai gradien paling besar adalah ….. Fungsi kuadrat yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini mempunyai persamaan

Sekolah Tinggi Film Indonesia merupakan bangunan tinggi dengan kondisi tanah yang datar, maka sistem pondasi dan jenis pondasi yang akan digunakan adalah...  Bangunan

[r]

Sahabat MQ/ Rekaman pembicaraan telepon yang mengungkap adanya rekayasa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK beredar luas// Komisi III DPR mendesak agar rekaman tersebut