• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cekaman Kekeringan pada Lingkungan Tumbuh Padi

Karakteristik lingkungan tumbuh tanaman padi dapat dikelompokan menjadi 3 tipe yaitu padi dataran rendah dengan sistem irigasi (irrigated lowland rice), padi dataran rendah tadah hujan (rainfed lowland rice) dan padi dataran tinggi tadah hujan (rainfed upland rice) (Bouman et al. 2007). Padi dataran tinggi lebih dikenal juga dengan istilah padi ladang atau padi gogo sementara padi dataran rendah dikenal dengan istilah padi sawah.

Resiko cekaman kekeringan pada sistem budidaya padi tadah hujan umumnya lebih tinggi dibanding padi dengan sistem irigasi, terutama disebabkan oleh pendeknya periode musim hujan. Rata-rata produktivitas padi tadah hujan dataran rendah mencapai 2.3 ton per ha sementara padi dataran tinggi cendrung lebih rendah yaitu 1 ton per ha (Maclean et al. 2002).

Beberapa wilayah di Asia yang mengalami dampak kerusakan lahan tertinggi akibat kekeringan antara lain Di India dengan tingkat kerusakan lahan mencapai 20 juta ha dan Thailand mencapai 7 juta ha. Rata-rata kehilangan hasil padi akibat kekeringan tahunan selama periode waktu 1970-2002 mencapai 5.4 juta ton di India, 1.2 juta ton di China, dan 0.7 juta ton di Thailand (Pandey dan

Bhandari 2007). Di Indonesia dampak kekeringan terhadap luasan lahan padi pada

periode 2001-2006 rata-rata mencapai 29222 ha dan mengalami puso akibat kekeringan mencapai 3872 ha (Purwani 2006).

Penanaman padi di wilayah Asia umumnya mengikuti pola hujan bimodal oleh karenanya stres kekeringan selama musim tanam dapat dikelompokan menjadi 3 tipe yaitu : stres kekeringan di awal musim tanam (early stress), stres kekeringan tengah musim tanam (Mild-Intermitten stress) dan stres kekeringan akhir musim tanam (late stres) (Chang et al. 1979).

Stres kekeringan pada awal musim tanam (early stress) umumnya terjadi pada masa semai atau pembenihan (Chang et al. 1979), dimana masa kekeringan terjadi bersamaan dengan waktu transplanting. Selain beresiko terhadap bibit muda yang rentan terhadap stres kekeringan, dapat juga memperlambat proses

transplanting sehingga benih yang digunakan telah berumur tua sehingga berpengaruh terhadap menurunnya hasil (Maurya dan O’Toole 1986).

Tipe stres pada tengah musim (mild-stress intermiten) terjadi pada saat periode pertumbuhan anakan sampai pembungaan yang berdampak pada kehilangan hasil yang tinggi. Suplai air yang terbatas selama periode tumbuh ini menyebabkan pelayuan daun, menurunkan indeks luas daun, penutupan stomata dan berdampak pada penurunan berat kering dan hasil padi (Boonjung 1993).

Stres akhir (late stress) umumnya terjadi ketika kultivar berumur panjang karena stres kekeringan yang terjadi bersamaan dengan periode pembungaan dan pengisian gabah di awal musim kering. Pada kondisi stres akhir, kultivar berumur pendek memiliki kemungkinan terhindar dari stres kekeringan (Chang et al.

1979).

Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi terhadap Kekeringan

Tanaman padi diketahui lebih peka terhadap kondisi kekeringan dibanding beberapa jenis tanaman sereal lainnya. Tingkat kepekaaan tanaman padi terhadap kekeringan dipengaruhi oleh anatomi daun dan akar yang berasosiasi dengan pola penyerapan dan pelepasan air (Lafitte dan Bennet 2002). Daun padi lebih sempit dan tidak terjadi diferensiasi sel mesofil menjadi jaringan palisade dan parenkim spongi. Jumlah stomata pada daun padi 10 kali lebih banyak dibandingkan jenis rerumputan yang tumbuh di daerah kering. Padi memiliki ukuran stomata yang kecil dan terdapat perbedaan frekuensi stomata antar kultivar akibat pengaruh lingkungan. Untuk jenis padi dataran rendah diperkirakan 30% air ditranspirasikan setelah pembungaan melalui penikel (Bouman et al. 2007).

Umumnya tanaman padi dapat beradaptasi pada kondisi terendam penuh (complete subemergence) antara 3-4 hari walaupun demikian beberapa varietas terutama pada kelompok padi sawah di daerah bercurah hujan tinggi dapat bertahan pada kondisi genangan lebih dari 10 hari (Maclean et al. 2002).

Padi sangat sensitif terhadap periode penggengangan yang pendek. Kondisi kandungan air tanah yang rendah dapat menyebabkan penggulungan daun, mengurangi permukaan luas daun, menurunkan laju fotosintesis dan ukuran sink

sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil (Yoshida 1981; Bouman dan Tuong 2001).

Dampak langsung stres kekeringan terhadap tanaman adalah penutupan stomata yang mulai terjadi pada kondisi potensial air daun mencapai -0.75 MPa sehingga menurunkan laju transpirasi secara bertahap (Dingkuhn et al. 1989b). Disamping penutupan stomata, stres kekeringan juga menginduksi penggulungan daun (leaf rolling), penurunan luas daun dan intersepsi cahaya, mempercepat pengguguran daun sehingga mengurangi total fotosintesis dan produksi biomass (Turner et al. 1986a).

Diketahui fase tumbuh padi dari perkembangan penikel hingga masa

anthesis adalah fase yang paling peka terhadap stres air (O’Toole 1982).

Boonjung (1993) menunjukkan bahwa periode stres kekeringan selama 15 hari setelah perkembangan malai menyebabkan produksi gabah menurun hingga 2% per hari dimana nilai potensial air daun di pagi hari kurang dari -1.0 MPa.

Dilihat dari fase tumbuh maka fase pembungaan terutama pada masa anthesis adalah periode yang sangat sensitif terhadap stres kekeringan karena dapat meningkatan sterilitas spikelet (Cruz dan O’Toole 1984; Ekanayake et al.

1989). Pada kondisi iklim tropika, 13 hari setelah pembungaan akan terjadi pengisian bulir dalam 2 tahap, tergantung pada heterogenitas bulir dalam satu malai dan jumlah malai dalam suatu populasi tanaman (Yoshida 1981), stres air pada masa pengisian bulir dapat membatasi laju fotosintesis namun mobilisasi asimilat dapat terjadi untuk mengkompensasi source sehingga penghambatan

pengisian bulir dapat ditekan (O’Toole 1982).

Diketahui terdapat 4 mekanisme kemampuan adaptasi tanaman padi terhadap kekeringan yaitu: menghindari kekeringan (drought escape); menghindari dehidrasi (dehydration avoidance), toleran kekeringan (dehydration tolerance) dan kemampuan memperbaiki sistem tumbuh setelah melewati periode stres kekeringan (drought recovery) (Arrandeau 1989).

Mekansime penghindaran terhadap kekeringan (drougth escape) berkaitan

dengan umur dan fenologi tanaman (O’Toole 1982). Kultivar berumur pendek umumya dapat menghindari stres kekeringan dibandingkan kultivar berumur panjang (Arrandeau 1989).

Mekanisme dehydration avoidance berkaitan dengan kemampuan tanaman mempertahankan status air tanaman terutama potensial air daun tetap tinggi dengan cara menyerap air lebih banyak atau menggunakan air yang lebih lambat sehingga air menjadi lebih tersedia selama periode kekeringan berikutnya (Arrandeau 1989). Dua cara ini sangat bermanfaat pada beberapa tanaman budidaya termasuk tanaman padi gogo, sementara pada sistem penanaman padi sawah cendrung lebih banyak faktor pembatas seperti penghambatan pada sistem perakaran pada kedalaman tanah tertentu dan tingkat kehilangan air yang lebih banyak karena perkolasi, perembesan dan evaporasi (Fukai dan Cooper 1995). Penghindaran dari dehidrasi akibat kekeringan dapat terjadi pada kondisi lingkungan padi gogo ataupun padi dataran rendah karena menurunnya kebutuhan evaporasi atau pemanasan yang terjadi di pucuk. Status air tanaman ditentukan oleh keseimbangan air yang diserap melalui sistem akar dan kebutuhan air oleh pucuk. Dengan demikian potensial air tanaman yang tinggi dapat meningkatkan mekanisme pucuk untuk mengurangi kebutuhan air (Fukai dan Cooper 1995).

Mekanisme dehydration tolerance berkaitan dengan kemampuan tanaman meningkatkan metabolisme walaupun potensial air daun rendah. Arrandeau (1989) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara translokasi asimilasi dengan kemampuan toleransi tanaman padi terhadap dehidrasi. Ketika stres kekeringan terjadi selama masa pengisian gabah, tanaman padi yang lebih toleran terhadap dehidrasi biasanya dapat lebih meningkatkan aktivitas metabolisme untuk beberapa tambahan waktu. Ini berarti laju translokasi asimilasi dapat terus berlanjut untuk pengisian gabah. Dibandingkan dengan tanaman sereal lainnya, padi diketahui lebih banyak menyimpan asimilat untuk pengisian gabah (Weng et al. 1982).

Mekanisme drought recovery berkaitan dengan kemampuan tanaman memulihkan pertumbuhan setelah melewati periode kekeringan tertentu (Arrandeau 1989). Mekanisme ini penting ketika kekeringan terjadi pada awal pertumbuhan dan perkembangan tanaman hal ini ditunjukkan pada beberapa genotipe yang mampu menghasilkan lebih banyak anakan dan memproduksi gabah setelah melewati periode kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Kemampuan tanaman untuk memperbaiki sistem metabolisme akibat kekeringan

berhubungan dengan kemampuannya untuk mempertahankan daun tetap hijau selama periode kekeringan. Mempertahankan daun tetap hijau ketika stres kekeringan terjadi selama masa inisasi malai sangat penting karena daun yang tetap hijau dapat memberikan lebih banyak asimilat bagi perkembangan malai dengan demikian produksi spikelet turut meningkat (Lilley dan Fukai 1994b).

Sifat Perakaran dan Hubungannya dengan Cekaman Kekeringan

Tanaman padi, jagung dan sorgum yang tumbuh di daerah dataran tinggi memiliki pola kepadatan dan panjang akar yang sama dan kemampuan menyerap air dapat mencapai kedalaman 60 cm. Walaupun demikian kemampuan penyerapan air pada tanaman padi lebih rendah dibandingkan tanaman sorgum, hal ini menyebabkan padi lebih peka terhadap stres air dibandingkan sorghum (Fukai dan Inthapan 1988; Intahapan dan Fukai 1988). Boonjung (1993) juga menjelaskan perkembangan sistem perakaran padi sangat sensitif terhadap rendahnya kandungan air tanah.

Tanaman padi memiliki variasi genotipe dalam sistem perakaran yang

berasosiasi dengan resistensi kekeringan. O’Toole (1982) menjelaskan mekanisme

adaptasi tanaman padi terhadap kekeringan yang berkaitan dengan sistem perakaran mencakup tiga hal : 1. Kondisi ketersediaan air tanah yang rendah akan meningkatkan panjang dan kepadatan akar, meningkatkan rasio akar : pucuk dan konduktansi akar; 2. Kondisi air tanah yang rendah menyebabkan peningkatan penetrasi akar pada berbagai faktor pembatas tanah baik itu faktor fisik ataupun kimia tanah; dan 3. Terdapat kemungkinan terjadinya penyesuaian osmotik pada akar.

Tingginya penyesuaian osmotik pada akar memungkinkan tanaman lebih banyak menyerap air tanah. Tanaman akan lebih toleran terhadap kekeringan dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki sistem pertumbuhan setelah melewati masa stres kekeringan. Walaupun demikian belum banyak penelitian yang menunjukkan pengaruh penyesuaian osmotik pada akar dan hubungannya dengan resistensi tanaman terhadap kekeringan (Fukai dan Cooper 1995).

Terdapat variasi yang luas diantara galur padi yang memiliki kepadatan panjang akar kurang dari 30 cm. Secara umum galur dengan densitas panjang

akar dibawah 30 cm memiliki sistem perakaran yang lebih panjang (Fukai dan Cooper 1995), lebih lanjut Yosida dan Hasegawa (1982) menjelaskan bahwa rasio panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan pucuk adalah indeks resistensi tanaman padi terhadap kekeringan (avoidance) sebab sistem perakaran yang lebih panjang dan lebih padat lebih memiliki kemampuan untuk menyerap air dan laju transpirasi akan lebih rendah dengan rasio akar terhadap pucuk yang kecil.

Hasil skrining yang dilakukan Yosida dan Hasegawa (1982) pada 1081 galur menemukan bahwa rasio akar yang lebih dalam terhadap pucuk cendrung memiliki jumlah anakan yang sedikit. Karakter ini sesuai dengan ciri genotipe padi tradisional lahan kering. Selama sistem perkaran padi tersusun atas akar nodal, galur yang memiliki banyak anakan akan lebih memiliki lebih banyak akar, terutama pada anakan sekunder dan tersier yang tumbuh lebih lambat akan lebih banyak memiliki akar pendek. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur yang memiliki sedikit perkembangan anakan berasosiasi dengan tingginya kepadatan perakaran pada kedalaman tanah. Beberapa akar diantaranya memiliki diameter yang luas dan karenanya memiliki pembuluh xylem dengan banyak axial konduktansi.

Penelitian hubungan antara panjang akar pada kedalaman tertentu dan jumlah air yang diekstrak dari suatu permukaan tanah sangat jarang dilakukan.

Puckridge dan O’Toole (1981) menemukan bahwa Kultivar Kinandang Patong dengan sistem akar yang dalam dapat mengekstraksi lebih banyak air pada kedalaman 40-70 cm dibandingkan kultivar IR20 dan IR36 yang memiliki akar dangkal. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Mambani dan Lal (1983b,c). Lilley dan Fukai (1994) menunjukkan juga bahwa variasi ekstraksi air pada 4 kultivar padi dataran tinggi secara langsung berhubungan dengan kepadatan panjang akar yang tinggi.

Panjang akar berpengaruh juga terhadap tingginya potensial air daun dan menunda terjadinya kematian daun selama kekeringan (Mambani dan Lal 1983a;

Cruz dan O’Toole 1985; Ekanayake et al. 1985a). Liley dan Fukai (1994b) menjelaskan bahwa terdapat indikasi bahwa kultivar dengan akar yang panjang memiliki penampilan yang lebih baik dibandingkan kultivar lain terutama pada kondisi stres ditengah periode tumbuh (mild stress), tapi tidak terdapat hubungan

langsung antara total panjang akar dan hasil gabah ketika hanya terdapat satu periode kekeringan yang panjang. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur dengan sistem perakaran yang luas dapat lebih bertahan ketika terjadi beberapa periode kekeringan seperti misalnya stres kekeringan intermitten.

Galur dengan panjang akar mencapai 40-80 cm pada daerah dataran tinggi sangat bermanfaat untuk sistem pertanaman padi tadah hujan. Pada penelitian yang dilakukan di daerah dataran rendah dimana stres air diberikan selama 45-75 hari setelah transplanting, hasil gabah pada 30 galur tidak berkaitan dengan karakteristik perakaran pada kondisi sistem pertanaman aeroponik (Ingram et al.

1990). Walaupun demikian pada beberapa lahan tadah hujan dataran rendah dimana tidak dilakukan praktek pelumpuran, pada kondisi tekstur tanah liat berpasir, variasi genotipe panjang akar pada kedalaman tanah akan terekspresi dan akar yang panjang dan luas adalah karakter yang bermanfaat (Fukai dan Cooper 1995).

Galur padi dengan sistem perakaran yang panjang diketahui memiliki sifat toleran terhadap kondisi kemasaman tanah, galur ini diketahui juga memiliki penampilan yang baik pada kondisi kesuburan tanah rendah (Cattivelli et al.

2008). Karakteristik perakaran lain yang dianggap penting dan mempengaruhi laju aliran air dari akar ke pucuk adalah sifat resistensi akar axial. Tanaman padi seringkali tidak mampu mengekstrak air melalui lapisan tanah yang sangat dalam karena meningkatnya resistensi axial yang disebabkan oleh meningkatnya jarak pucuk dan kecilnya diameter akar. Yambao et al. (1992) mengobservasi bahwa terdapat variasi genotipe pada ketebalan akar yang berasosiasi dengan diameter xylem, walaupun peningkatan diameter pembuluh xylem tidak secara langsung meningkatkan resistensi padi terhadap kekeringan.

Gomathinayagam et al. (1989) menjelaskan bahwa pertumbuhan akar seminal dapat digunakan untuk melakukan skrining untuk akar pada tanaman padi terutama yang berkaitan dengan kemampuan resistensi dorongan akar (root push resistance). Tanaman yang memiliki resistensi dorongan akar cendrung mampu mempertahankan potensial air daun tetap tinggi (Ekanayake et al. 1985b). Resistensi dorongan akar dapat digunakan untuk menghitung sistem perakaran

dan hubungannya dengan penapisan terhadap resistensi kekeringan (O’Toole dan

Bland 1987).

Pertumbuhan Pucuk dan Cekaman Kekeringan

O’Toole (1982) menjelaskan bahwa terdapat 3 mekanisme adaptasi tanaman terhadap kekeringan dan hubungannya dengan pertumbuhan pucuk yaitu: akumulasi asam amino atau regulator pertumbuhan; mekanisme drought avoindance dan penyesuaian osmotik (osmotic adjustment).

Berkaitan dengan akumulasi asam amino, Dingkuhn et al. (1991a), menemukan bahwa terdapat perbedaan antara genotipe dalam akumulasi asam abcisic (ABA), tapi perbedaan tersebut tidak berhubungan dengan sifat fisiologi suatu galur dibawah kondisi stres air. Disamping itu stres kekeringan juga menginduksi akumulasi prolin yang berkorelasi positif dengan penyesuaian osmotik.

Padi diketahui memiliki sedikit lapisan lilin pada epicuticular dan memiliki

konduktansi kutikula yang tinggi dibandingkan jenis serealia lainnya (O’Toole

dan Seiber 1979). Hal ini mengindikasikan padi akan mengalami kehilangan air walaupun stomata menutup dan mengakibatkan kematian daun yang lebih cepat.

O’Toole (1982) menjelaskan terdapat variasi genotipe yang luas dalam hal kuantitas epicuticular lilin, walaupun demikian peran epicuticular lilin selama pertumbuhan pada kondisi stres air dan hubungannya dengan proses pemulihan tanaman belum banyak diketahui. Pada penelitian terkini, ditemukan bahwa terdapat variasi konduktansi epidermal pada beberapa galur tapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa konduktansi epidermal dapat mempertahankan daun tetap hijau pada periode waktu yang lama (Cattivelli et al. 2008).

Konduktansi difusi dan penggulungan daun merupakan bagian dari mekanisme avoidance kekeringan pada beberapa genotipe (O’Toole dan Cruz,

1980). Variasi konduktansi difusi dan penggulungan daun berkaitan dengan kemampuan tanaman mengekstrak air dari tanah, yang cendrung merujuk pada perbedaan sistem akar. Kemampuan akar mengekstrak air dari tanah turut menentukan status air daun. Galur yang dapat mempertahankan potensial air daun tetap tinggi dapat meningkatkan konduktansi daun dan menurunkan tingkat

penggulungan daun (O’Toole dan Moya 1978). Walaupun demikian hubungan antara penggulungan daun dan potensial air daun bervariasi pada tiap galur dan terdapat kemungkinan lain yang disebabkan adanya pengaruh penyesuaian osmotik, galur dengan penyesuaian osmotik yang tinggi cendrung dapat meningkatkan potensial turgor sel pada kondisi potensial air daun rendah (Turner

et al. 1986a; Fukai dan Inthapan 1988). Hubungan ini juga terjadi pada beberapa jenis tanaman serealia lainnya akan tetapi bukti penelitian yang kuat sangat terbatas untuk tanaman padi (Cattivelli et al. 2008).

Penyesuaian osmotik berpengaruh terhadap penggulungan daun pada beberapa galur padi (Hsiao et al. 1984). Dingkuhn et al. (1989a) menemukan adanya korelasi antara penggulungan daun dan potensial air pada kondisi stres di tengah periode pertumbuhan padi (mild stress), yang menunjukkan bahwa penggulungan daun berkorelasi positif terhadap meningkatnya potensial air daun. Hal ini berbeda pada beberapa galur yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan potensial air daun tetap tinggi dengan derajat penggulungan daun yang kecil. Secara umum penggulungan daun adalah salah satu strategi tanaman untuk tumbuh dan berhubungan dengan mekanisme avoidance untuk menjaga potensial air daun tetap tinggi.

Penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) adalah suatu mekanisme adaptif tanaman dalam merespon efek lingkungan tumbuh yang beragam, seperti kekeringan, salinitas dan temperatur rendah, akumulasi larutan dalam sel dan penurunan potensial osmotik demikian halnya terhadap kondisi stres air (Steponkus et al. 1982; Turner et al. 1986b). Potensial osmotik yang rendah menyebabkan peningkatan turgor sel seiring dengan turunnya potensial air. Penyesuaian osmotik terjadi sangat cepat pada tanaman padi terutama karena stres air yang diukur melalui potensial air daun dibandingkan dengan tanaman sorghum dan jagung (Fukai dan Inthapan 1988). Penyesuaian osmotik pada padi sangat berperan penting terutama pada fase awal periode kekeringan.

Dengan penyesuaian osmotik, tekanan turgor yang tinggi relatif dapat dipertahankan walaupun terjadi pengurangan potensial air di daun (Cutler et al.

1980). Penyesuaian osmotik dapat menunda penggulungan dan kematian daun dapat (Hsiao et al. 1984), walaupun demikian tekanan turgor tidak selalu penting

sebagai faktor penentu respon tanaman terhadap kekurangan air tanah. Pendapat terkini menunjukkan bahwa respon pucuk terhadap kekeringan secara langsung melalui signal akar (root signal) (Ludlow et al. 1989). Hingga kini belum ada pengujian pada tanaman padi dan hubungannya dengan signal akar yang kuat dengan kecepatan respon suatu spesies terhadap kekeringan (Cattivelli et al.

2008).

Steponkus et al. (1982) menunjukkan bahwa terdapat variasi yang kecil untuk penyesuaian osmotik pada 4 kultivar padi yang memiliki penyesuaian osmotik maksimum antara 0.3-0.5 MPa. Pada studi lapangan, terdapat variasi dalam penyesuaian osmotik dengan nilai maksimum 0.5 MPa pada Kultivar padi dataran rendah dan lebih rendah pada kultivar padi dataran tinggi pada 7 kultivar yang berbeda (Turner et al. 1986b). Perbedaan yang ada berkaitan dengan perkembangan pola stres air pada kultivar ini dan kemampuan penyesuaian yang luas pada kultivar dataran rendah berkaitan dengan paparan stres kumulatif yang luas.

Belum banyak bukti dan kajian yang mengindikasikan bahwa variasi genotipe dalam penyesuaian osmotik memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan dan hasil padi. Henderson et al. (1993) menunjukkan adanya indikasi beberapa pengaruh positif penyesuaian osmotik dalam menetralkan rendahnya potensial air daun sehingga tetap mendukung retensi daun tetap hijau (leaf green retention). Karena penyesuaian osmotik pada tanaman padi berlangsung sangat cepat dan penyesuaian osmotik maksimum terjadi selama periode kekeringan, maka penyesuaian osmotik dapat efektif sebagai buffer

dalam melawan kematian akibat stres sedang atau stres intermitten (Fukai dan Cooper 1995).

Beberapa argumen menunjukkan bahwa pada beberapa kondisi, penyesuaian osmotik tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil gabah (Munns 1988). Dengan demikian, upaya peningkatan resistensi kekeringan, dalam kaitannya dengan penyesuaian osmotik perlu diuji dibawah kondisi stres yang bervariasi, sebelum digunakan sebagai kriteria seleksi pada program pemuliaan tanaman.

Pengaruh mekanisme penyesuaian osmotik terhadap hasil lebih banyak diketahui pada sorghum dibandingkan padi. Beberapa penelitian lapang dengan menggunakan varietas hibrida komersial pada level penyesuaian osmotik yang berbeda menunjukkan adanya hubungan antara tekanan osmotik dan hasil tanaman pada kondisi stres sebelum anthesis atau selama masa pengisian gabah (Wright et al. 1983; Ludlow et al. 1990; Santamaria et al. 1990). Produksi gabah yang dicapai pada kondisi stres air dan pada kondisi air tersedia akan meningkat secara linear disertai meningkatnya penyesuaian osmotik maksimum pada varietas hibrida.

Dibandingkan dengan varietas hibrida yang memiliki penyesuaian osmotik rendah maka varietas yang memiliki penyesuaian osmotik tinggi mampu mengekstrak lebih banyak air, dan terjadi peningkatan pada produksi gabah dan translokasi asimilat selama masa pre-anthesis. Tanaman yang memiliki mekanisme penyesuaian osmotik yang tinggi mampu menghasilkan 0.5 ton per ha produksi gabah dibandingkan tanaman dengan mekanisme penyesuaian osmotik lebih rendah (Fukai dan Cooper 1995). Pada kondisi air yang terbatas, kelompok tanaman yang mampu memproduksi gabah tertinggi memiliki retensi warna hijau daun yang lebih baik selama masa pengisian gabah dan lebih banyak memproduksi gabah pertanaman (Cattivelli et al. 2008).

Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada padi yang ditumbuhkan dalam pot dalam lingkungan yang dikontrol menunjukkan bahwa pada umur tanaman 25 hari selama siklus kekeringan menunjukkan kisaran nilai maksimum penyesuaian osmotik antara 0,4-1,7 MPa pada 59 galur dengan latar belakang lingkungan adaptasi yang berbeda (Cattivelli et al. 2008).

Hubungan Ketersediaan Air dan Pertumbuhan Tanaman

Tanaman sering dipengaruhi oleh berbagai bentuk stres seperti kekeringan, temperatur rendah, garam, genangan, panas dan logam berat yang berpengaruh langsung terhadap kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Jaleel et al.

2009). Kekeringan merupakan salah satu bentuk stres yang berkaitan dengan fenomena meteorologi dan berasosiasi dengan rendahnya curah hujan dan ketersediaan air (Jaleel et al. 2009).

Terdapat 3 tipe kekeringan yaitu kekeringan meteorologi, hidrologi, sosial ekonomi dan pertanian. Kekeringan meteorologi berkaitan dengan rendahnya curah hujan selama periode waktu tertentu. Kekeringan hidrologi berkaitan dengan rendahnya ketersediaan air di daerah sungai, danau dan daerah aquifers yang diantaranya dimanfaatkan untuk kepentingan irigasi, wisata ataupun transportasi. Kekeringan sosial ekonomi merupakan refleksi hubungan antara suplai dan kebutuhan air untuk beragam kebutuhan sosial dan ekonomi (WMO 2006). Tipe kekeringan pertanian berkaitan rendahnya ketersediaan air tanah

Dokumen terkait