• Tidak ada hasil yang ditemukan

Responses of Rice Genotypes to Drought Periods on Low Land Rice System.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Responses of Rice Genotypes to Drought Periods on Low Land Rice System."

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

PERIODE KEKERINGAN PADA SISTEM SAWAH

HERMAN WAFOM TUBUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Respon Beberapa Genotipe Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah” merupakan gagasan dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan

dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

Low Land Rice System. Under direction of M A. CHOZIN, E. SANTOSA and A. JUNAEDI.

The objective of this experiment was to identify responses of IR64, Ciherang, IPB-97-F-15, Menthik Fragrant, Rokan, Way Apo Buru, Jatiluhur and Silugonggo to drought. The experiment was conducted under plastic house with massive walls 4x3 m (LxW) with split plot design experiment with four replications. Drought treatments were induced at 3, 6, 9 WAT (weeks after transplanting) and control (standard rice growing). The results showed that drought at 3 and 6 WAT more reduced growth rate and yield. Yield reduction on drought at 3 and 6 WAT caused by increased of unfilled spikelet. The highest of plant canopy showed by Jatiluhur, whereas Silugonggo showed the highest on number of leaf, tiller and productive tillering than other genotypes. Jatiluhur and Silugonggo have highest percentage of flowering, whereas longest panicle showed by IPB-97-F-15. Jatiluhur showed the highest production of grain yield and harvest with lowest of unfilled spikelet percentage. There are differences in responses 8 rice genotypes to drought periods in the low land rice system. Based on the parameters of productive tillers, scores leaf rolling and leaf desication, and drought resistance index for yield, all eight genotypes can be grouped into 3 groups: Way Apo Buru Jatiluhur were tolerant; Rokan and Menthik Fragrant were sensitive; IR64, Ciherang, IPB-97-F-15 and Silugonggo were moderate to drought.

(4)

HERMAN W TUBUR. Respon Beberapa Genotipe Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah. Dibimbing oleh M. A. CHOZIN, E. SANTOSA, dan A. JUNAEDI.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi respon beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor dalam rumah plastik pada 16 unit petak tanam dengan ukuran 4 m x 3 m, tiap petak dibatasi dinding tembok dengan kedalaman 0.8 m. Penelitian disusun menggunakan rancangan split plot design dengan 4 ulangan. Perlakuan pada petak utama adalah periode pengeringan mulai 3 MST, 6 MST dan 9 MST serta kontrol (tanpa pengeringan) dan perlakuan anak petak terdiri dari 8 genotipe padi yaitu IR64, Ciherang, Way Apo Buru, IPB-97-F-15, Jatiluhur, Silugonggo dan Menthik Wangi.

Periode pengeringan mulai 3 MST dan 6 MST nyata menghambat pertumbuhan vegetatif, hasil dan komponen hasil yang ditunjukkan dengan rendahnya tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, persen pembungaan dan panjang malai, bobot basah dan kering tajuk. Pengeringan saat 3 MST dan 6 MST juga meningkatkan persen gabah hampa dan menurunkan bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir dan indeks panen.

Tanaman tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur dan IPB-97-F-15 sementara jumlah daun tertinggi ditunjukkan oleh Silugonggo. Jumlah anakan tertinggi ditunjukkan oleh IR 64, Silugonggo dan Rokan. Jumlah anakan produktif tertinggi ditunjukkan oleh Silugonggo. Persen pembungaan tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur dan Silugonggo dan malai terpanjang ditunjukkan oleh IPB-97-F-15. Bobot 1000 gabah terendah ditunjukkan oleh Rokan sementara indeks panen tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur, Silugonggo dan Ciherang. Bobot basah dan bobot kering tajuk tertinggi ditunjukkan oleh Rokan, Menthik Wangi dan IPB-97-F-15.

(5)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

HERMAN WAFOM TUBUR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Nama : Herman Wafom Tubur

NRP : A252080051

Mayor : Agronomi dan Hortikultura

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. A. Chozin, M.Agr

Ketua

Dr. Edi Santosa, SP., M.Si Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si

Anggota Anggota

Ketua Mayor

Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa

atas kasih dan kekuatan-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. M. A. Chozin,

M.Agr., Dr. E. Santosa, SP., M.Si dan Dr. Ir. A. Junaedi, M.Si selaku komisi

pembimbing atas pengertian, arahan, kesabaran dan motivasinya. Teriring ucapan

terima kasih kepada penyelenggara program BPPS dan TIM peneliti IMHERE

B.2.C. yang tergabung dalam penelitian “Studi Fisiologi dan Pengembangan Tanaman untuk Adaptasi pada Kondisi Kekeringan dan Rendah Methan” atas segenap perhatian dan dukungannya baik moril ataupun materil.

Dalam menempuh pendidikan, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian

tesis, penulis juga menyampaikan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan

dukungan doa dari mama, istri, anak dan keluarga.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan IPB, Dekan

Program Pasca Sarjana, Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura serta

teman-teman seangkatan 2008 dan senior atas dorongan dan motivasi yang diberikan.

Akhir kata, besar harapan penulis kiranya tesis ini bermanfaat untuk

memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2011

(10)

Penulis dilahirkan di Jayapura, Papua pada tanggal 14 Maret 1981 dari

ayah Musa W Tubur (alm.) dan Ibu Erna sebagai anak pertama. Penulis menikah

dengan Oliva Asem dan dikaruniai seorang putra, Jeylandro P M Tubur Asem

pada 13 April 2009.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Jayapura, dan pada tahun

yang sama penulis melanjutkan studi S1 di Universitas Negeri Papua pada

Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan

lulus pada tahun 2004. Penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Universitas

Negeri Papua pada Program Studi Agronomi sejak tahun 2005, dan pada tahun

2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister

Sains pada program studi Agronomi dan Hortikultura IPB dengan dukungan

BPPS. Penulis juga mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dalam tim

(11)

DAFTAR TABEL

Cekaman Kekeringan pada Lingkungan Tumbuh Padi ... 5

Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi terhadap Kekeringan ... 6

Sifat Perakaran dan Hubungannya dengan Cekaman Kekeringan 9 Pertumbuhan Pucuk dan Cekaman Kekeringan ... 12

Hubungan Ketersediaan Air dan Pertumbuhan Tanaman ... 15

BAHAN DAN METODE ... 18

Sensitivitas Kekeringan ... 42

(12)

1. Hubungan antara satuan Bar (atm), cm air dan pF ... 16

2. Nilai skor penggulungan daun dan tingkat kekeringan ... 22

3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan 8

genotipe padi saat 11 MST ... 28

4. Rata-rata jumlah anakan produktif. persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun 8 genotipe padi pada berbagai perlakuan

kekeringan ... 30

5. Rata-rata panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per

rumpun, dan bobot 1000 gabah. ... 31

6. Rata-rata bobot basah dan bobot kering tajuk, dan indeks panen

pada perlakuan kekeringan dan genotipe ... . 33

7. Rata-rata indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil 8

genotipe padi pada berbagai periode pengeringan ... . 34

8. Skor penggulungan dan kekeringan daun 8 genotipe pada

(13)

1. Model perlakuan periode kekeringan saat 3 MST, 6 MST, 9 MST

dan kontrol ... 20

2. Perkembangan tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan

periode kekeringan ... 24

3. Perkembangan tinggi tanaman 8 genotipe padi ... 25

4. Perkembangan jumlah daun padi pada berbagai perlakuan periode

kekeringan ... . 26

5. Perkembangan jumlah daun 8 genotipe padi ... 26

6. Pekembangan jumlah anakan padi pada berbagai periode

pengeringan ... 27

7. Perkembangan jumlah anakan 8 genotipe padi ... 28

8. Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan

kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 10 cm ... 36

9. Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan

(14)

No Halaman

1. Rekapitulasi sidik ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah

anakan saat 4-11 MST ... 55

2. Rekapitulasi sidik ragam hasil dan komponen hasil ... 56

3. Korelasi antar parameter ... 57

4. Kelembaban dan suhu dalam rumah plastik ... 58

5. Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah pada lahan percobaan ... 60

6. Deskripsi Genotipe padi yang diuji ... 61

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu sumber pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir tiga milyar penduduk dunia. Padi juga merupakan salah

satu komoditi pangan yang mampu memenuhi 32% kebutuhan kalori (Sarwar dan

Kanif 2005; Bouman et al. 2007).

Luas lahan padi dunia diperkirakan mencapai 148 juta ha, dimana 79 juta ha

diantaranya merupakan lahan padi dengan sistem irigasi (irrigated lowland rice), sementara padi tadah hujan dataran rendah (low land rice) dan dataran tinggi (up land rice) masing-masing mencapai 54 juta ha dan 14 juta ha. Dari jumlah total produksi padi dunia, 75% diantaranya dihasilkan dari sistem padi beririgasi,

sementara 19% dan 4% masing-masing disumbangkan dari padi dataran rendah

tadah hujan dan dataran tinggi tadah hujan (Maclean et al. 2002).

Menurut Dawe (2005) dan Tuong et al. (2004), 56% dari luas lahan tanaman budidaya beririgasi di dunia berada di wilayah Asia, dimana 40-46%

merupakan lahan padi dengan sistem irigasi. Kebutuhan air untuk tanaman padi

diperkirakan dua hingga tiga kali lebih tinggi dibandingkan tanaman budidaya

lainnya. FAO (2004) melaporkan bahwa rata-rata pemakaian air untuk satu kali

musim tanam padi berkisar antara 900-2250 mm, sedang menurut Bouman

et al. (2007) rata-rata pemakaian air untuk padi sawah mencapai 1300-1500 mm, dimana 25-50% dari asupan air hilang akibat perkolasi dan perembesan.

Tingginya tingkat penggunaan air pada budidaya padi dihadapkan pada

masalah kelangkaan air yang turut berdampak pada kehilangan hasil dan

penurunan produksi padi. Hanson et al. (1990) melaporkan pengaruh kekeringan telah meluas hingga mencapai 50% luas lahan padi dunia. Pandey dan Bhandari

(2007) melaporkan bahwa pada kurun waktu 1970-2002 dampak kekeringan

menyebabkan kehilangan hasil padi di Thailand mencapai 0.7 juta ton, China 1.2

juta ton dan India mencapai 5.4 juta ton, sementara dampak kekeringan

(16)

mencapai 29222 ha dan mengalami puso akibat kekeringan mencapai

3872 ha (Purwani 2006).

Kelangkaan air dan kekeringan disebabkan oleh meningkatnya persaingan

dalam penggunaan air antar sektor dan perubahan iklim. Tuong dan Bouman

(2003) mengestimasi bahwa hingga tahun 2025 kelangkaan air dan kekeringan

akan meluas pada 15-20 juta ha lahan padi di sebagian besar wilayah Asia.

Kekeringan yang terus meluas tentu akan berpengaruh terhadap penurunan

produksi dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi populasi penduduk yang terus

meningkat.

Untuk meminimalkan dampak kelangkaan air dan kekeringan terhadap

produksi padi maka beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain perlunya

mengoptimalkan produksi tanaman per satuan unit evapotranspirasi melalui

perbaikan manajemen teknik agronomi, minimalisasi penggunaan air pada tahap

persiapan lahan dan persiapan tanaman, menekan kehilangan air akibat

perkolasi, perembesan, evaporasi dan aliran permukaan, serta melakukan seleksi

varietas/genotipe padi yang toleran terhadap kekeringan (Guera et al. 1998).

Perumusan Masalah

Kekeringan merupakan penurunan kelembaban tanah atau potensial air

tanah yang disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman pada zone

perakaran yang dapat menghambat fungsi fisiologis tanaman dan turut

berpengaruh terhadap menurunnya pertumbuhan dan hasil tanaman (Takane et al. 1995).

Kekeringan memiliki kisaran yang luas, namun dilihat dari tipe lingkungan

tumbuh padi, maka resiko cekaman kekeringan pada sistem budidaya padi tadah

hujan umumnya lebih tinggi dibanding padi dengan sistem irigasi, terutama

disebabkan oleh pendeknya periode musim hujan (Maclean et al. 2007).

Respon tanaman padi terhadap kekeringan berkaitan dengan waktu dan

periode kekeringan yang berasosiasi dengan fase tumbuh (Fukai dan Cooper

1995). Hal ini menunjukkan bahwa stres kekeringan pada fase tumbuh padi yang

berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda. Tanaman padi memiliki 3 fase

(17)

Takane et al. 1995). Wopereis et al. (1996) menjelaskan stress kekeringan pada fase awal vegetatif berpengaruh pada petumbuhan anakan dan penundaan

pembungaan, sedangkan pada fase reproduktif terutama pada masa pembungaan

diketahui sangat sensitif terhadap kekeringan, diikuti dengan fase gametogenesis

(booting) dan pengisian bulir. Kekeringan pada fase reproduktif juga berpengaruh pada meningkatnya persen gabah hampa dan menurunkan bobot gabah yang

menyebabkan penurunan hasil.

Genotipe padi pada lahan kering umumnya lebih resisten terhadap

kekeringan dibandingkan genotipe padi sawah (Bouman et al. 2007), walaupun demikian terdapat variasi tingkat resistensi, pertumbuhan dan daya hasil tiap

genotipe terhadap kondisi kekeringan. Takane et al. (1995) menjelaskan pengujian dan identifikasi karakter morfofisiologi genotipe padi terhadap

kekeringan dan relevansinya dengan pertumbuhan dan hasil perlu dilakukan untuk

pengembangan genotipe yang toleran kekeringan. Salah satu pendekatan dalam

pengembangan genotipe toleran kekeringan adalah melalui identifikasi karakter

morfologi tanaman pada kondisi kekeringan pada sejumlah populasi di suatu

lingkungan target (Fukai dan Cooper 1995).

Beberapa pengujian untuk memperoleh varietas toleran kekeringan pada

beberapa genotipe padi sawah ataupun gogo telah dilakukan di tingkat lapangan

dengan stres kekeringan yang terjadi secara alami (Fukai dan Cooper 1995;

Boonjung dan Fukai 1996), namun pengujian genotipe padi pada sistem sawah

dengan kondisi kekeringan yang dapat dikontrol hingga kini belum banyak

dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui respon

beberapa varietas padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui respon beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada

sistem sawah.

2. Mengetahui tingkat sensitifitas kekeringan beberapa genotipe padi terhadap

(18)

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan:

1. Perlakuan kekeringan, genotipe dan interaksinya diduga akan berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan hasil padi.

2. Pada kondisi cekaman kekeringan genotipe padi gogo akan menunjukkan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Cekaman Kekeringan pada Lingkungan Tumbuh Padi

Karakteristik lingkungan tumbuh tanaman padi dapat dikelompokan

menjadi 3 tipe yaitu padi dataran rendah dengan sistem irigasi (irrigated lowland rice), padi dataran rendah tadah hujan (rainfed lowland rice) dan padi dataran tinggi tadah hujan (rainfed upland rice) (Bouman et al. 2007). Padi dataran tinggi lebih dikenal juga dengan istilah padi ladang atau padi gogo sementara

padi dataran rendah dikenal dengan istilah padi sawah.

Resiko cekaman kekeringan pada sistem budidaya padi tadah hujan

umumnya lebih tinggi dibanding padi dengan sistem irigasi, terutama disebabkan

oleh pendeknya periode musim hujan. Rata-rata produktivitas padi tadah hujan

dataran rendah mencapai 2.3 ton per ha sementara padi dataran tinggi cendrung

lebih rendah yaitu 1 ton per ha (Maclean et al. 2002).

Beberapa wilayah di Asia yang mengalami dampak kerusakan lahan

tertinggi akibat kekeringan antara lain Di India dengan tingkat kerusakan lahan

mencapai 20 juta ha dan Thailand mencapai 7 juta ha. Rata-rata kehilangan hasil

padi akibat kekeringan tahunan selama periode waktu 1970-2002 mencapai 5.4

juta ton di India, 1.2 juta ton di China, dan 0.7 juta ton di Thailand (Pandey dan

Bhandari 2007). Di Indonesia dampak kekeringan terhadap luasan lahan padi pada

periode 2001-2006 rata-rata mencapai 29222 ha dan mengalami puso akibat

kekeringan mencapai 3872 ha (Purwani 2006).

Penanaman padi di wilayah Asia umumnya mengikuti pola hujan bimodal

oleh karenanya stres kekeringan selama musim tanam dapat dikelompokan

menjadi 3 tipe yaitu : stres kekeringan di awal musim tanam (early stress), stres kekeringan tengah musim tanam (Mild-Intermitten stress) dan stres kekeringan akhir musim tanam (late stres) (Chang et al. 1979).

Stres kekeringan pada awal musim tanam (early stress) umumnya terjadi pada masa semai atau pembenihan (Chang et al. 1979), dimana masa kekeringan terjadi bersamaan dengan waktu transplanting. Selain beresiko terhadap bibit

(20)

transplanting sehingga benih yang digunakan telah berumur tua sehingga

berpengaruh terhadap menurunnya hasil (Maurya dan O’Toole 1986).

Tipe stres pada tengah musim (mild-stress intermiten) terjadi pada saat periode pertumbuhan anakan sampai pembungaan yang berdampak pada

kehilangan hasil yang tinggi. Suplai air yang terbatas selama periode tumbuh ini

menyebabkan pelayuan daun, menurunkan indeks luas daun, penutupan stomata

dan berdampak pada penurunan berat kering dan hasil padi (Boonjung 1993).

Stres akhir (late stress) umumnya terjadi ketika kultivar berumur panjang karena stres kekeringan yang terjadi bersamaan dengan periode pembungaan dan

pengisian gabah di awal musim kering. Pada kondisi stres akhir, kultivar berumur

pendek memiliki kemungkinan terhindar dari stres kekeringan (Chang et al.

1979).

Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi terhadap Kekeringan

Tanaman padi diketahui lebih peka terhadap kondisi kekeringan dibanding

beberapa jenis tanaman sereal lainnya. Tingkat kepekaaan tanaman padi terhadap

kekeringan dipengaruhi oleh anatomi daun dan akar yang berasosiasi dengan pola

penyerapan dan pelepasan air (Lafitte dan Bennet 2002). Daun padi lebih sempit

dan tidak terjadi diferensiasi sel mesofil menjadi jaringan palisade dan parenkim

spongi. Jumlah stomata pada daun padi 10 kali lebih banyak dibandingkan jenis

rerumputan yang tumbuh di daerah kering. Padi memiliki ukuran stomata yang

kecil dan terdapat perbedaan frekuensi stomata antar kultivar akibat pengaruh

lingkungan. Untuk jenis padi dataran rendah diperkirakan 30% air

ditranspirasikan setelah pembungaan melalui penikel (Bouman et al. 2007). Umumnya tanaman padi dapat beradaptasi pada kondisi terendam penuh

(complete subemergence) antara 3-4 hari walaupun demikian beberapa varietas terutama pada kelompok padi sawah di daerah bercurah hujan tinggi dapat

bertahan pada kondisi genangan lebih dari 10 hari (Maclean et al. 2002).

Padi sangat sensitif terhadap periode penggengangan yang pendek. Kondisi

kandungan air tanah yang rendah dapat menyebabkan penggulungan daun,

(21)

sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil (Yoshida 1981; Bouman

dan Tuong 2001).

Dampak langsung stres kekeringan terhadap tanaman adalah penutupan

stomata yang mulai terjadi pada kondisi potensial air daun mencapai -0.75 MPa

sehingga menurunkan laju transpirasi secara bertahap (Dingkuhn et al. 1989b). Disamping penutupan stomata, stres kekeringan juga menginduksi penggulungan

daun (leaf rolling), penurunan luas daun dan intersepsi cahaya, mempercepat pengguguran daun sehingga mengurangi total fotosintesis dan produksi biomass

(Turner et al. 1986a).

Diketahui fase tumbuh padi dari perkembangan penikel hingga masa

anthesis adalah fase yang paling peka terhadap stres air (O’Toole 1982).

Boonjung (1993) menunjukkan bahwa periode stres kekeringan selama 15 hari

setelah perkembangan malai menyebabkan produksi gabah menurun hingga 2%

per hari dimana nilai potensial air daun di pagi hari kurang dari -1.0 MPa.

Dilihat dari fase tumbuh maka fase pembungaan terutama pada masa

anthesis adalah periode yang sangat sensitif terhadap stres kekeringan karena

dapat meningkatan sterilitas spikelet (Cruz dan O’Toole 1984; Ekanayake et al.

1989). Pada kondisi iklim tropika, 13 hari setelah pembungaan akan terjadi

pengisian bulir dalam 2 tahap, tergantung pada heterogenitas bulir dalam satu

malai dan jumlah malai dalam suatu populasi tanaman (Yoshida 1981), stres air

pada masa pengisian bulir dapat membatasi laju fotosintesis namun mobilisasi

asimilat dapat terjadi untuk mengkompensasi source sehingga penghambatan

pengisian bulir dapat ditekan (O’Toole 1982).

Diketahui terdapat 4 mekanisme kemampuan adaptasi tanaman padi

terhadap kekeringan yaitu: menghindari kekeringan (drought escape); menghindari dehidrasi (dehydration avoidance), toleran kekeringan (dehydration tolerance) dan kemampuan memperbaiki sistem tumbuh setelah melewati periode stres kekeringan (drought recovery) (Arrandeau 1989).

Mekansime penghindaran terhadap kekeringan (drougth escape) berkaitan

dengan umur dan fenologi tanaman (O’Toole 1982). Kultivar berumur pendek umumya dapat menghindari stres kekeringan dibandingkan kultivar berumur

(22)

Mekanisme dehydration avoidance berkaitan dengan kemampuan tanaman mempertahankan status air tanaman terutama potensial air daun tetap tinggi

dengan cara menyerap air lebih banyak atau menggunakan air yang lebih lambat

sehingga air menjadi lebih tersedia selama periode kekeringan berikutnya

(Arrandeau 1989). Dua cara ini sangat bermanfaat pada beberapa tanaman

budidaya termasuk tanaman padi gogo, sementara pada sistem penanaman padi

sawah cendrung lebih banyak faktor pembatas seperti penghambatan pada sistem

perakaran pada kedalaman tanah tertentu dan tingkat kehilangan air yang lebih

banyak karena perkolasi, perembesan dan evaporasi (Fukai dan Cooper 1995).

Penghindaran dari dehidrasi akibat kekeringan dapat terjadi pada kondisi

lingkungan padi gogo ataupun padi dataran rendah karena menurunnya kebutuhan

evaporasi atau pemanasan yang terjadi di pucuk. Status air tanaman ditentukan

oleh keseimbangan air yang diserap melalui sistem akar dan kebutuhan air oleh

pucuk. Dengan demikian potensial air tanaman yang tinggi dapat meningkatkan

mekanisme pucuk untuk mengurangi kebutuhan air (Fukai dan Cooper 1995).

Mekanisme dehydration tolerance berkaitan dengan kemampuan tanaman meningkatkan metabolisme walaupun potensial air daun rendah. Arrandeau

(1989) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara translokasi asimilasi

dengan kemampuan toleransi tanaman padi terhadap dehidrasi. Ketika stres

kekeringan terjadi selama masa pengisian gabah, tanaman padi yang lebih toleran

terhadap dehidrasi biasanya dapat lebih meningkatkan aktivitas metabolisme

untuk beberapa tambahan waktu. Ini berarti laju translokasi asimilasi dapat terus

berlanjut untuk pengisian gabah. Dibandingkan dengan tanaman sereal lainnya,

padi diketahui lebih banyak menyimpan asimilat untuk pengisian gabah (Weng et al. 1982).

Mekanisme drought recovery berkaitan dengan kemampuan tanaman memulihkan pertumbuhan setelah melewati periode kekeringan tertentu

(Arrandeau 1989). Mekanisme ini penting ketika kekeringan terjadi pada awal

pertumbuhan dan perkembangan tanaman hal ini ditunjukkan pada beberapa

genotipe yang mampu menghasilkan lebih banyak anakan dan memproduksi

gabah setelah melewati periode kekeringan (Fukai dan Cooper 1995).

(23)

berhubungan dengan kemampuannya untuk mempertahankan daun tetap hijau

selama periode kekeringan. Mempertahankan daun tetap hijau ketika stres

kekeringan terjadi selama masa inisasi malai sangat penting karena daun yang

tetap hijau dapat memberikan lebih banyak asimilat bagi perkembangan malai

dengan demikian produksi spikelet turut meningkat (Lilley dan Fukai 1994b).

Sifat Perakaran dan Hubungannya dengan Cekaman Kekeringan

Tanaman padi, jagung dan sorgum yang tumbuh di daerah dataran tinggi

memiliki pola kepadatan dan panjang akar yang sama dan kemampuan menyerap

air dapat mencapai kedalaman 60 cm. Walaupun demikian kemampuan

penyerapan air pada tanaman padi lebih rendah dibandingkan tanaman sorgum,

hal ini menyebabkan padi lebih peka terhadap stres air dibandingkan sorghum

(Fukai dan Inthapan 1988; Intahapan dan Fukai 1988). Boonjung (1993) juga

menjelaskan perkembangan sistem perakaran padi sangat sensitif terhadap

rendahnya kandungan air tanah.

Tanaman padi memiliki variasi genotipe dalam sistem perakaran yang

berasosiasi dengan resistensi kekeringan. O’Toole (1982) menjelaskan mekanisme

adaptasi tanaman padi terhadap kekeringan yang berkaitan dengan sistem

perakaran mencakup tiga hal : 1. Kondisi ketersediaan air tanah yang rendah akan

meningkatkan panjang dan kepadatan akar, meningkatkan rasio akar : pucuk dan

konduktansi akar; 2. Kondisi air tanah yang rendah menyebabkan peningkatan

penetrasi akar pada berbagai faktor pembatas tanah baik itu faktor fisik ataupun

kimia tanah; dan 3. Terdapat kemungkinan terjadinya penyesuaian osmotik pada

akar.

Tingginya penyesuaian osmotik pada akar memungkinkan tanaman lebih

banyak menyerap air tanah. Tanaman akan lebih toleran terhadap kekeringan dan

memiliki kemampuan untuk memperbaiki sistem pertumbuhan setelah melewati

masa stres kekeringan. Walaupun demikian belum banyak penelitian yang

menunjukkan pengaruh penyesuaian osmotik pada akar dan hubungannya dengan

resistensi tanaman terhadap kekeringan (Fukai dan Cooper 1995).

Terdapat variasi yang luas diantara galur padi yang memiliki kepadatan

(24)

akar dibawah 30 cm memiliki sistem perakaran yang lebih panjang (Fukai dan

Cooper 1995), lebih lanjut Yosida dan Hasegawa (1982) menjelaskan bahwa

rasio panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan pucuk adalah indeks resistensi

tanaman padi terhadap kekeringan (avoidance) sebab sistem perakaran yang lebih panjang dan lebih padat lebih memiliki kemampuan untuk menyerap air dan laju

transpirasi akan lebih rendah dengan rasio akar terhadap pucuk yang kecil.

Hasil skrining yang dilakukan Yosida dan Hasegawa (1982) pada 1081

galur menemukan bahwa rasio akar yang lebih dalam terhadap pucuk cendrung

memiliki jumlah anakan yang sedikit. Karakter ini sesuai dengan ciri genotipe

padi tradisional lahan kering. Selama sistem perkaran padi tersusun atas akar

nodal, galur yang memiliki banyak anakan akan lebih memiliki lebih banyak akar,

terutama pada anakan sekunder dan tersier yang tumbuh lebih lambat akan lebih

banyak memiliki akar pendek. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur yang

memiliki sedikit perkembangan anakan berasosiasi dengan tingginya kepadatan

perakaran pada kedalaman tanah. Beberapa akar diantaranya memiliki diameter

yang luas dan karenanya memiliki pembuluh xylem dengan banyak axial

konduktansi.

Penelitian hubungan antara panjang akar pada kedalaman tertentu dan

jumlah air yang diekstrak dari suatu permukaan tanah sangat jarang dilakukan.

Puckridge dan O’Toole (1981) menemukan bahwa Kultivar Kinandang Patong dengan sistem akar yang dalam dapat mengekstraksi lebih banyak air pada

kedalaman 40-70 cm dibandingkan kultivar IR20 dan IR36 yang memiliki akar

dangkal. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Mambani dan Lal (1983b,c). Lilley

dan Fukai (1994) menunjukkan juga bahwa variasi ekstraksi air pada 4 kultivar

padi dataran tinggi secara langsung berhubungan dengan kepadatan panjang akar

yang tinggi.

Panjang akar berpengaruh juga terhadap tingginya potensial air daun dan

menunda terjadinya kematian daun selama kekeringan (Mambani dan Lal 1983a;

Cruz dan O’Toole 1985; Ekanayake et al. 1985a). Liley dan Fukai (1994b) menjelaskan bahwa terdapat indikasi bahwa kultivar dengan akar yang panjang

memiliki penampilan yang lebih baik dibandingkan kultivar lain terutama pada

(25)

langsung antara total panjang akar dan hasil gabah ketika hanya terdapat satu

periode kekeringan yang panjang. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur dengan

sistem perakaran yang luas dapat lebih bertahan ketika terjadi beberapa periode

kekeringan seperti misalnya stres kekeringan intermitten.

Galur dengan panjang akar mencapai 40-80 cm pada daerah dataran tinggi

sangat bermanfaat untuk sistem pertanaman padi tadah hujan. Pada penelitian

yang dilakukan di daerah dataran rendah dimana stres air diberikan selama 45-75

hari setelah transplanting, hasil gabah pada 30 galur tidak berkaitan dengan

karakteristik perakaran pada kondisi sistem pertanaman aeroponik (Ingram et al.

1990). Walaupun demikian pada beberapa lahan tadah hujan dataran rendah

dimana tidak dilakukan praktek pelumpuran, pada kondisi tekstur tanah liat

berpasir, variasi genotipe panjang akar pada kedalaman tanah akan terekspresi dan

akar yang panjang dan luas adalah karakter yang bermanfaat (Fukai dan Cooper

1995).

Galur padi dengan sistem perakaran yang panjang diketahui memiliki sifat

toleran terhadap kondisi kemasaman tanah, galur ini diketahui juga memiliki

penampilan yang baik pada kondisi kesuburan tanah rendah (Cattivelli et al.

2008). Karakteristik perakaran lain yang dianggap penting dan mempengaruhi

laju aliran air dari akar ke pucuk adalah sifat resistensi akar axial. Tanaman padi

seringkali tidak mampu mengekstrak air melalui lapisan tanah yang sangat dalam

karena meningkatnya resistensi axial yang disebabkan oleh meningkatnya jarak

pucuk dan kecilnya diameter akar. Yambao et al. (1992) mengobservasi bahwa terdapat variasi genotipe pada ketebalan akar yang berasosiasi dengan diameter

xylem, walaupun peningkatan diameter pembuluh xylem tidak secara langsung

meningkatkan resistensi padi terhadap kekeringan.

Gomathinayagam et al. (1989) menjelaskan bahwa pertumbuhan akar seminal dapat digunakan untuk melakukan skrining untuk akar pada tanaman padi

(26)

dan hubungannya dengan penapisan terhadap resistensi kekeringan (O’Toole dan Bland 1987).

Pertumbuhan Pucuk dan Cekaman Kekeringan

O’Toole (1982) menjelaskan bahwa terdapat 3 mekanisme adaptasi tanaman terhadap kekeringan dan hubungannya dengan pertumbuhan pucuk yaitu:

akumulasi asam amino atau regulator pertumbuhan; mekanisme drought avoindance dan penyesuaian osmotik (osmotic adjustment).

Berkaitan dengan akumulasi asam amino, Dingkuhn et al. (1991a), menemukan bahwa terdapat perbedaan antara genotipe dalam akumulasi asam

abcisic (ABA), tapi perbedaan tersebut tidak berhubungan dengan sifat fisiologi

suatu galur dibawah kondisi stres air. Disamping itu stres kekeringan juga

menginduksi akumulasi prolin yang berkorelasi positif dengan penyesuaian

osmotik.

Padi diketahui memiliki sedikit lapisan lilin pada epicuticular dan memiliki

konduktansi kutikula yang tinggi dibandingkan jenis serealia lainnya (O’Toole

dan Seiber 1979). Hal ini mengindikasikan padi akan mengalami kehilangan air

walaupun stomata menutup dan mengakibatkan kematian daun yang lebih cepat.

O’Toole (1982) menjelaskan terdapat variasi genotipe yang luas dalam hal kuantitas epicuticular lilin, walaupun demikian peran epicuticular lilin selama

pertumbuhan pada kondisi stres air dan hubungannya dengan proses pemulihan

tanaman belum banyak diketahui. Pada penelitian terkini, ditemukan bahwa

terdapat variasi konduktansi epidermal pada beberapa galur tapi tidak ada indikasi

yang menunjukkan bahwa konduktansi epidermal dapat mempertahankan daun

tetap hijau pada periode waktu yang lama (Cattivelli et al. 2008).

Konduktansi difusi dan penggulungan daun merupakan bagian dari

mekanisme avoidance kekeringan pada beberapa genotipe (O’Toole dan Cruz, 1980). Variasi konduktansi difusi dan penggulungan daun berkaitan dengan

kemampuan tanaman mengekstrak air dari tanah, yang cendrung merujuk pada

perbedaan sistem akar. Kemampuan akar mengekstrak air dari tanah turut

menentukan status air daun. Galur yang dapat mempertahankan potensial air daun

(27)

penggulungan daun (O’Toole dan Moya 1978). Walaupun demikian hubungan antara penggulungan daun dan potensial air daun bervariasi pada tiap galur dan

terdapat kemungkinan lain yang disebabkan adanya pengaruh penyesuaian

osmotik, galur dengan penyesuaian osmotik yang tinggi cendrung dapat

meningkatkan potensial turgor sel pada kondisi potensial air daun rendah (Turner

et al. 1986a; Fukai dan Inthapan 1988). Hubungan ini juga terjadi pada beberapa jenis tanaman serealia lainnya akan tetapi bukti penelitian yang kuat sangat

terbatas untuk tanaman padi (Cattivelli et al. 2008).

Penyesuaian osmotik berpengaruh terhadap penggulungan daun pada

beberapa galur padi (Hsiao et al. 1984). Dingkuhn et al. (1989a) menemukan adanya korelasi antara penggulungan daun dan potensial air pada kondisi stres di

tengah periode pertumbuhan padi (mild stress), yang menunjukkan bahwa penggulungan daun berkorelasi positif terhadap meningkatnya potensial air daun.

Hal ini berbeda pada beberapa galur yang memiliki kemampuan untuk

mempertahankan potensial air daun tetap tinggi dengan derajat penggulungan

daun yang kecil. Secara umum penggulungan daun adalah salah satu strategi

tanaman untuk tumbuh dan berhubungan dengan mekanisme avoidance untuk

menjaga potensial air daun tetap tinggi.

Penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) adalah suatu mekanisme adaptif tanaman dalam merespon efek lingkungan tumbuh yang beragam, seperti

kekeringan, salinitas dan temperatur rendah, akumulasi larutan dalam sel dan

penurunan potensial osmotik demikian halnya terhadap kondisi stres air

(Steponkus et al. 1982; Turner et al. 1986b). Potensial osmotik yang rendah menyebabkan peningkatan turgor sel seiring dengan turunnya potensial air.

Penyesuaian osmotik terjadi sangat cepat pada tanaman padi terutama karena

stres air yang diukur melalui potensial air daun dibandingkan dengan tanaman

sorghum dan jagung (Fukai dan Inthapan 1988). Penyesuaian osmotik pada padi

sangat berperan penting terutama pada fase awal periode kekeringan.

Dengan penyesuaian osmotik, tekanan turgor yang tinggi relatif dapat

dipertahankan walaupun terjadi pengurangan potensial air di daun (Cutler et al.

1980). Penyesuaian osmotik dapat menunda penggulungan dan kematian daun

(28)

sebagai faktor penentu respon tanaman terhadap kekurangan air tanah. Pendapat

terkini menunjukkan bahwa respon pucuk terhadap kekeringan secara langsung

melalui signal akar (root signal) (Ludlow et al. 1989). Hingga kini belum ada pengujian pada tanaman padi dan hubungannya dengan signal akar yang kuat

dengan kecepatan respon suatu spesies terhadap kekeringan (Cattivelli et al.

2008).

Steponkus et al. (1982) menunjukkan bahwa terdapat variasi yang kecil untuk penyesuaian osmotik pada 4 kultivar padi yang memiliki penyesuaian

osmotik maksimum antara 0.3-0.5 MPa. Pada studi lapangan, terdapat variasi

dalam penyesuaian osmotik dengan nilai maksimum 0.5 MPa pada Kultivar padi

dataran rendah dan lebih rendah pada kultivar padi dataran tinggi pada 7 kultivar

yang berbeda (Turner et al. 1986b). Perbedaan yang ada berkaitan dengan perkembangan pola stres air pada kultivar ini dan kemampuan penyesuaian yang

luas pada kultivar dataran rendah berkaitan dengan paparan stres kumulatif yang

luas.

Belum banyak bukti dan kajian yang mengindikasikan bahwa variasi

genotipe dalam penyesuaian osmotik memiliki pengaruh yang positif terhadap

pertumbuhan dan hasil padi. Henderson et al. (1993) menunjukkan adanya indikasi beberapa pengaruh positif penyesuaian osmotik dalam menetralkan

rendahnya potensial air daun sehingga tetap mendukung retensi daun tetap hijau

(leaf green retention). Karena penyesuaian osmotik pada tanaman padi berlangsung sangat cepat dan penyesuaian osmotik maksimum terjadi selama

periode kekeringan, maka penyesuaian osmotik dapat efektif sebagai buffer

dalam melawan kematian akibat stres sedang atau stres intermitten (Fukai dan

Cooper 1995).

Beberapa argumen menunjukkan bahwa pada beberapa kondisi, penyesuaian

osmotik tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tanaman

dan hasil gabah (Munns 1988). Dengan demikian, upaya peningkatan resistensi

kekeringan, dalam kaitannya dengan penyesuaian osmotik perlu diuji dibawah

kondisi stres yang bervariasi, sebelum digunakan sebagai kriteria seleksi pada

(29)

Pengaruh mekanisme penyesuaian osmotik terhadap hasil lebih banyak

diketahui pada sorghum dibandingkan padi. Beberapa penelitian lapang dengan

menggunakan varietas hibrida komersial pada level penyesuaian osmotik yang

berbeda menunjukkan adanya hubungan antara tekanan osmotik dan hasil

tanaman pada kondisi stres sebelum anthesis atau selama masa pengisian gabah

(Wright et al. 1983; Ludlow et al. 1990; Santamaria et al. 1990). Produksi gabah yang dicapai pada kondisi stres air dan pada kondisi air tersedia akan meningkat

secara linear disertai meningkatnya penyesuaian osmotik maksimum pada varietas

hibrida.

Dibandingkan dengan varietas hibrida yang memiliki penyesuaian osmotik

rendah maka varietas yang memiliki penyesuaian osmotik tinggi mampu

mengekstrak lebih banyak air, dan terjadi peningkatan pada produksi gabah dan

translokasi asimilat selama masa pre-anthesis. Tanaman yang memiliki

mekanisme penyesuaian osmotik yang tinggi mampu menghasilkan 0.5 ton per ha

produksi gabah dibandingkan tanaman dengan mekanisme penyesuaian osmotik

lebih rendah (Fukai dan Cooper 1995). Pada kondisi air yang terbatas, kelompok

tanaman yang mampu memproduksi gabah tertinggi memiliki retensi warna hijau

daun yang lebih baik selama masa pengisian gabah dan lebih banyak

memproduksi gabah pertanaman (Cattivelli et al. 2008).

Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada padi yang ditumbuhkan dalam

pot dalam lingkungan yang dikontrol menunjukkan bahwa pada umur tanaman 25

hari selama siklus kekeringan menunjukkan kisaran nilai maksimum penyesuaian

osmotik antara 0,4-1,7 MPa pada 59 galur dengan latar belakang lingkungan

adaptasi yang berbeda (Cattivelli et al. 2008).

Hubungan Ketersediaan Air dan Pertumbuhan Tanaman

Tanaman sering dipengaruhi oleh berbagai bentuk stres seperti kekeringan,

temperatur rendah, garam, genangan, panas dan logam berat yang berpengaruh

langsung terhadap kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Jaleel et al.

2009). Kekeringan merupakan salah satu bentuk stres yang berkaitan dengan

fenomena meteorologi dan berasosiasi dengan rendahnya curah hujan dan

(30)

Terdapat 3 tipe kekeringan yaitu kekeringan meteorologi, hidrologi, sosial

ekonomi dan pertanian. Kekeringan meteorologi berkaitan dengan rendahnya

curah hujan selama periode waktu tertentu. Kekeringan hidrologi berkaitan

dengan rendahnya ketersediaan air di daerah sungai, danau dan daerah aquifers

yang diantaranya dimanfaatkan untuk kepentingan irigasi, wisata ataupun

transportasi. Kekeringan sosial ekonomi merupakan refleksi hubungan antara

suplai dan kebutuhan air untuk beragam kebutuhan sosial dan ekonomi (WMO

2006). Tipe kekeringan pertanian berkaitan rendahnya ketersediaan air tanah

untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kekeringan dalam konsep pertanian

juga dapat diartikan sebagai penurunan kelembaban potensial tanah yang

disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman pada daerah perakaran

tanaman dan berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil (Takane et al. 1995). Kekeringan berkaitan juga dengan ketersediaan air terutama dalam

menunjang pertumbuhan tanaman. Air bagi tanaman berperan sebagai unsur hara,

pelarut unsur hara dan penyusun sel tanaman. Ketersediaan air yang rendah

secara mendasar menurunkan pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman

(Gardner 1991; Ashari 2006). Tanaman menyerap dari dalam tanah dipengaruhi

oleh organ akar dan sifat fisik tanah yang berkaitan dengan gaya-gaya adhesi,

kohesi dan gravitasi (Hardjowigeno 2007).

Tabel 1. Hubungan antara satuan Bar (atm), cm air dan pF.

Bar kPa Mpa cm tinggi kolom air pF

(31)

menahan air tersebut dalam tanah. Tegangan diukur dalam bar, kPa (kilo pascal),

atmosfir, cm air, atau logaritma dari cm air yang disebut pF. Satuan bar dan

atmosfer sering dianggap sama karena 1 atm = 1.0127 bar (Tabel 1).

Kandungan air pada kapasitas lapang ditunjukkan oleh kandungan air pada

titik layu permanen adalah pada tegangan 15 bar (1500 kPa), air yang tersedia

bagi tanaman adalah air yang terdapat pada tegangan 1/3 - 15 bar atau 33

kPa-1500 kPa.

Keadaan tanah yang cukup lembab menunjukkan jumlah air terbanyak yang

dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi kondisi ini disebut dengan

kapasitas lapang. Air dalam tanah dapat dibedakan dalam 2 kelompok yaitu air

higroskopik dan kapiler. Sebagian besar air tersedia dalam tanah dan dapat diserap

oleh tanaman disebut air kapiler, sedangkan kondisi dimana kandungan air tanah

cukup namun tanaman tidak dapat menyerap air tersebut disebut air higroskopis

(Ashari 2006; Hardjowigeno 2007).

Suatu kondisi dimana tanaman tidak lagi mampu menyerap air dan menjadi

layu disebut dengan titik layu (wilting point). Respon titik layu dapat bersifat balik namun juga tidak balik dan bervariasi antar spesies. Respon titik layu yang

dapat balik berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk tetap bertumbuh saat

pemberian air dilakukan setelah melewati periode kekeringan tertentu, sementara

respon layu permanen umumnya tanaman tidak dapat melakukan aktivitas

tumbuh, daun tetap mengalami pelayuan walaupun telah diberikan air

(32)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah

Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September 2010.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bibit padi

yang terdiri dari 8 genotipe : IR64 dan Ciherang (padi sawah varietas unggul),

IPB-97-F-15 (padi sawah tipe baru), Way Apo Buru (padi type amphibi),

Jatiluhur, Silugonggo (padi gogo), Menthik Wangi (padi sawah varietas lokal) dan

Rokan (padi hibrida). Alat-alat yang digunakan tensiometer, meteran,

termohigrometer, timbangan analitik, oven, trai semai dan kamera.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan split plot dengan

dua faktor perlakuan yaitu faktor periode kekeringan (petak utama) yang terdiri

dari periode pengeringan mulai 3 minggu setelah tranplanting, pengeringan mulai

6 MST, pengeringan mulai 9 MST dan kontrol (tanpa pengeringan). Faktor

genotipe (anak petak) yang terdiri dari 8 genotipe yaitu : IR64 dan Ciherang

(padi sawah varietas unggul), IPB-97-F-15 (padi sawah tipe baru), Way Apo Buru

(padi type amphibi), Jatiluhur, Silugonggo (padi gogo), Menthik Wangi (padi

sawah varietas lokal) dan Rokan (padi hibrida). Kombinasi faktor perlakuan

periode kekeringan dan genotipe menghasilkan 32 kombinasi perlakuan yang

diulang 4 kali sehingga terdapat 128 satuan percobaan.

Model linier rancangan split plot:

Yijk = µ + Kk + αi + ik + j+ ik+ (α )ij + ijk

Yijk : Nilai pengamatan faktor perlakuan kekeringan ke-i, dan perlakuan

faktor genotipe ke-j dan blok ke-k

(33)

Kk : Pengaruh pengelompokan ke-k; k= 1, 2, 3, 4

αi : Pengaruh faktor kekeringan (petak utama) ke-i =; i=1,…4

j : Pengaruh faktor varietas (anak petak) ke-j. j=1,2,…8 ik : Komponen galat dari faktor kekeringan (petak utama)

ik : Komponen galat dari faktor varietas (anak petak)

(α )ij : Pengaruh interaksi antara faktor kekeringan dan faktor varietas

ijk : Pengaruh galat dari interaksi antara faktor kekeringan dan faktor

varietas

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan rumah plastik dan petak tanam

Rumah plastik dibangun dengan ukuran 20 m x 15 m, tinggi rangka

bangunan kurang lebih 2.2-4.5 m. Dalam rumah plastik dibuat bak tanam dengan

ukuran 400 x 300 cm sebanyak 16 bak dengan sekat dinding tembok sedalam

0.8 m. Jarak petak antar perlakuan 35 cm dan jarak petak antar ulangan 35 cm.

Pada tiap bak tanam dilengkapi jaringan pipa inlet berdiameter 1 inchi dan outlet

berdiameter 2 inchi. Sebelum dilakukan penanaman, terlebih dahulu dilakukan

penggenangan selama 5 hari dan 2 kali pengolahan tanah.

Persiapan benih dan penanaman

Untuk menyeragamkan daya kecambah, benih dioven selama 48 jam pada

suhu 450 C. Setelah benih dioven, selanjutnya benih dari masing-masing genotipe

ditimbang sebanyak 35 g dan direndam dalam air selama 5 jam. Setelah dilakukan

perendaman, benih untuk tiap genotipe disemai pada bak semai hingga tanaman

berumur 12 hari.

Pada tiap petak percobaan ditanami 8 genotipe, tiap genotipe terdiri dari 30

tanaman dalam 2 barisan tanaman dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dan jarak

tanam antar genotipe 25 cm. Pada kedua sisi petak ditanam tanaman pinggir.

Jumlah populasi per petak adalah 270 populasi, dan jumlah total populasi tanaman

(34)

Pemeliharaan tanaman

Pemiliharaan tanaman dilakukan pemupukan dalam 3 tahap menggunakan

pupuk dasar 37.5 kg N/ha, 36 kg P2O5/ha, dan 60 kg K2O/ha diberikan 1 minggu

setelah tanam (MST) dan untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan 37.5 kg

N/ha pada 5 MST dan 9 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara

kimia sesuai kondisi dan kebutuhan di lapangan.

Pengaturan pengairan untuk perlakuan pengeringan

Untuk pengaturan perlakuan pengeringan dilakukan penghentian pemberian

air pada tiap petak tanam sesuai perlakuan periode pengeringan. Untuk perlakuan

periode pengeringan mulai 3 MST (minggu setelah tanam) pemberian air

dihentikan saat tanaman berumur 3 MST hingga panen, periode pengeringan 6

MST pemberian air dihentikan ketika tanaman berumur 6 MST hingga panen dan

periode pengeringan 9 MST pemberian air dihentikan ketika tanaman berumur 9

MST hingga panen, sedangkan untuk perlakuan kontrol pemberian air terus

dilakukan hingga menjelang panen (Gambar 1). Pada penggenangan awal tinggi

muka air dipertahankan 2.5 cm dari permukaan tanah.

(35)

Parameter Pengamatan

Pertumbuhan vegetatif

Parameter pertumbuhan vegetatif yang diamati adalah tinggi tanaman,

jumlah daun dan jumlah anakan dihitung tiap minggu sejak tanaman berumur 2

MST hingga 11 MST. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari permukaan

tanah hingga daun tertinggi, namun saat setelah membentuk malai pengukuran

tinggi dilakukan hingga malai tertinggi. Jumlah daun dan jumlah anakan dihitung

per rumpun dari tiap tanaman sample dengan menggunakan alat bantu hand counter. Daun yang dihitung adalah daun yang masih hijau. Jumlah anakan dihitung per rumpun dari tiap tanaman contoh.

Hasil dan komponen hasil

Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah jumlah anakan produktif,

dihitung sejak pembentukan malai berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan

malai. Persen pembungaan, ditentukan berdasarkan jumlah tanaman yang

menghasilkan bunga pada tiap genotipe. Umur berbunga (hari), umur berbunga

diamati pada saat tiap genotipe mulai menghasilkan bunga. Panjang malai (cm),

diukur pada saat sebelum panen dari pangkal hingga ujung malai dari 3 malai

pada tiap tanaman contoh. Bobot gabah per rumpun (g) ditentukan dengan

menimbang total gabah di setiap rumpun setelah kering angin selama 3 hari.

Persen gabah hampa (%), dihitung setelah panen dengan membandingkan bobot

gabah hampa terhadap gabah isi. Bobot 1000 butir (g), ditentukan dengan dengan

menimbang 1000 gabah bernas dari setiap rumpun setelah dijemur 3 hari. Bobot

basah dan bobot kering tajuk tanaman (g), bobot basah tajuk dihitung dengan

ditimbang pada saat panen dan bobot kering tajuk dihitung dengan menimbang

berat kering tanaman setelah dikeringkan dalam oven pada suhu 800 C selama 48

jam.

Indeks panen ditentukan berdasarkan persamaan :

Indeks Panen = Bobot kering gabah Bobot kering tajuk

(36)

Sensitifitas kekeringan (Drougth sensitivity)

Penentuan sensitifitas kekeringan dilakukan berdasarkan indeks ketahanan

kekeringan untuk daya hasil, skor penggulungan daun dan kekeringan daun.

Indeks ketahanan kekeringan ditentukan dengan membandingkan bobot gabah per

rumpun (g) tiap genotipe pada perlakuan kontrol terhadap bobot gabah per

rumpun tiap genotipe pada tiap perlakuan kekeringan. Persamaan Indeks

ketahanan kekeringan untuk daya hasil = 1 - (Kn - Hnj) / Kn

Kn : Daya hasil genotipe ke-n (1,2,3,…8) pada perlakuan kontrol

Hnj : Daya hasil genotipe ke-n (1,2,3,….8) pada perlakuan kekeringan ke-j

(1,2,3,4).

Tingkat penggulungan daun dan kekeringan daun dilakukan secara visual

mengacu pada sistem standar evaluasi untuk tanaman padi (2002) berdasarkan

nilai skor 1-9 (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai skor penggulungan daun dan tingkat kekeringan.

Skor Penggulungan daun Skor Kekeringan

0 Daun sehat/daun tidak

Parameter lingkungan tumbuh yang diamati adalah suhu, kelembaban

harian, potensial air tanah mulai 1 minggu setelah perlakuan kekeringan

menggunakan tensiometer. Penentuan potensial air tanah untuk tiap pengamatan

dilakukan pada durasi 15-20 menit. Analisis sifat kimia tanah yaitu pH-H2O dan

(37)

dapat ditukar (K, Na, Ca, Mg-dd) dan kemasaman dapat tukar (Al dan H-dd)

dilakukan sebelum penanaman.

Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi dan analisis statistik

menggunakan analisis sidik ragam dengan alat bantu SAS versi 9.1. Jika terdapat

perlakuan yang berpengaruh nyata berdasarkan uji F, untuk melihat perbedaan

(38)

0

Rekapitulasi sidik ragam pengaruh periode kekeringan, genotipe dan

interaksinya terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan saat 4-11

MST disajikan pada Lampiran 1. Pengaruh periode kekeringan nyata terhadap

pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan setelah 5 MST, sedangkan

terhadap jumlah daun setelah 7 MST. Pengaruh genotipe nyata terhadap tinggi

tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan sejak 4 MST hingga 11 MST. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon tinggi tanaman, jumlah daun dan

jumlah anakan pada tiap genotipe. Pengaruh interaksi kekeringan dan genotipe

nyata hanya terhadap jumlah daun saat 7 MST, 8 MST dan 9 MST, sedangkan

terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan tidak nyata.

Pengaruh perlakuan pengeringan terhadap perkembangan tinggi tanaman,

jumlah daun dan jumlah anakan tampak nyata seiring dengan meningkatnya level

kekeringan. Pengeringan secara nyata menghambat perkembangan tinggi tanaman

terutama pada perlakuan pengeringan mulai 3 MST pada durasi 3 minggu setelah

perlakuan kekeringan dilakukan, sementara pengaruh penghambatan terhadap

jumlah daun terjadi pada durasi 5 minggu setelah perlakuan kekeringan dilakukan.

(39)

0

Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa respon perkembangan tinggi tanaman

saat 2-11 MST pada perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST, 9 MST dan

kontrol tidak menunjukkan perbedaan namun setelah 5 MST perkembangan

tinggi tanaman pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST yang tampak

tertekan. Respon hambatan perkembangan tinggi tanaman pada perlakuan

pengeringan sejak 3 MST mulai tampak pada saat umur tanaman mencapai

6 MST yang ditunjukkan dengan melandainya pertumbuhan tinggi yang diduga

berkaitan dengan perlakuan pengeringan dan berasosiasi dengan penurunan

potensial air tanah. Pada saat 6 MST, tinggi tanaman pada pengeringan 3 MST

hanya mencapai 92.01 cm berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan

6 MST (97.13 cm) dan 9 MST (98.94 cm) dan kontrol (98.32 cm).

Dari 8 genotipe padi yang digunakan dalam penelitian, terdapat perbedaan

perkembangan tinggi tanaman sejak 3 MST. Perkembangan tinggi tanaman

tertinggi ditunjukkan oleh genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur sedangkan terendah

ditunjukkan oleh IR64 (Gambar 3).

Gambar 3. Perkembangan tinggi tanaman 8 genotipe padi

Perkembangan jumlah daun sampai dengan 5 MST pada berbagai

perlakuan periode pengeringan tidak menunjukkan perbedaan, namun pada saat

umur tanaman mencapai 6 MST perkembangan daun pada periode pengeringan

sejak 3 MST tampak lebih tertekan (Gambar 4). Jumlah daun pada periode

pengeringan sejak 3 MST hanya mencapai 29.8 daun berbeda nyata lebih

(40)

0

Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru

kontrol (32.3 daun). Pada Gambar 4 dapat dijelaskan juga bahwa setelah

8 MST jumlah daun pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST

ataupun kontrol mengalami penurunan karena mengalami kekeringan. Beberapa

daun mengalami kekeringan terutama pada perlakuan periode pengeringan sejak

3 MST yang ditunjukkan dengan jumlah daun yang mengering lebih tinggi

dibandingkan perlakuan kekeringan 6 MST, 9 MST ataupun kontrol.

Gambar 4. Perkembangan jumlah daun padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan.

Perkembangan jumlah daun pada 8 genotipe padi saat 2-11 MST

menunjukkan kisaran antara 1.3-2.2 daun. Perkembangan jumlah daun terendah

pada tiap minggu ditunjukkan pada genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur berbeda

nyata lebih rendah dibandingkan IR64, Rokan, Menthik Wangi dan Silugonggo

(Gambar 5).

(41)

0

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah anakan pada

umur tanaman 2-5 MST baik pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST,

6 MST, 9 MST ataupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Ketika umur

tanaman mencapai 6 MST, jumlah anakan pada perlakuan pengeringan sejak 3

MST tampak lebih tertekan yaitu hanya mencapai 8.0 anakan berbeda nyata

lebih rendah dibandingkan pengeringan sejak 6 MST (9.1), 9 MST (9.3)

ataupun kontrol (9.1).

Gambar 6. Pekembangan jumlah anakan padi pada berbagai periode pengeringan.

Pada Gambar 6 dapat ditunjukkan juga bahwa saat umur tanaman mencapai

6 MST, tanaman yang mendapat perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST

telah mengalami kondisi kekeringan selama 3 minggu, sedangkan tanaman yang

mendapat perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST belum

berada dalam kondisi cekaman kekeringan. Dengan demikian perkembangan

jumlah anakan tampak lebih tertekan pada periode perlakuan pengeringan sejak

3 MST dan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan periode

pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST.

Perkembangan jumlah anakan pada 2-6 MST pada 8 genotipe padi

menunjukkan variasi antara 2.4-8.2. Hingga 6 MST, jumlah anakan tertinggi

ditunjukkan oleh genotipe Silugongogo (11.2), sedangkan terendah ditunjukkan

(42)

0

Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru

Gambar 7. Perkembangan jumlah anakan 8 genotipe padi.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa sampai dengan 11 MST

perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan padi pada

perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST sangat tertekan dibandingkan

dengan perlakuan pengeringan saat 9 MST dan kontrol. Tinggi tanaman pada

periode kekeringan 3 MST dan 6 MST masing-masing hanya mencapai 98.10

cm dan 103.72 cm, berbeda nyata lebih rendah dibandingkan kontrol (110.80 cm).

(43)

Pada Tabel 3 dapat ditunjukkan juga bahwa walaupun perkembangan tinggi

tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada perlakuan pengeringan sejak

9 MST tampak lebih rendah dibandingkan kontrol namun secara keseluruhan

respon pertumbuhan vegetatif pada pengeringan sejak 9 MST tidak menunjukkan

perberbedaan yang nyata dengan kontrol. Hal ini memberikan petunjuk bahwa

ketika terjadi kekeringan saat 9 MST pada sistem padi sawah tadah hujan diduga

tidak berpengaruh terhadap perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan

jumlah anakan.

Respon tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada 8 genotipe

sangat bervariasi dan berkisar antara 94.93-124.30 cm. Tanaman tertinggi

ditunjukkan oleh genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur masing-masing 124.70 cm

dan 122.47 cm dan berbeda nyata dibanding genotipe lainnya. Jumlah daun antar

genotipe juga menunjukkan variasi antara 18.5-31.4. Jumlah daun terbanyak

ditunjukkan Silugonggo (31.4), IR64 (29.5) dan Rokan (29.3), sedangkan

terendah pada Jatiluhur (18.5) dan IPB-97-F-15 (19.55). Jumlah anakan terbanyak

ditunjukkan oleh Rokan (9.2), kemudian disusul Silugonggo dan IR64 (8.7),

sedangkan terendah ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (3.2).

Hasil dan Komponen Hasil

Pengaruh perlakuan periode kekeringan dan genotipe nyata terhadap jumlah

anakan produktif, persen pembungaan, panjang malai, persen gabah hampa,

bobot gabah per rumpun, bobot 1000 gabah, bobot basah dan bobot kering tajuk

serta indeks panen, sedangkan pengaruh interaksi hanya nyata terhadap jumlah

anakan produktif, persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun (Lampiran 2).

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa respon jumlah anakan produktif pada

sebagian besar genotipe tidak berbeda nyata baik pada perlakuan pengeringan

sejak 6 MST ataupun 9 MST. Walaupun demikian respon yang berbeda

ditunjukkan oleh genotipe Rokan dengan jumlah anakan produktif yang

berkurang secara nyata baik pada pengeringan sejak 3 MST ataupun 6 MST

masing-masing 1.1 dan 2.4 dibandingkan dengan pengeringan saat 9 MST (5.8)

dan kontrol (5.7). Genotipe Jatiluhur yang diketahui sebagai tipe padi gogo

(44)

kekeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 MST masing-masing 4.0, 5.0 dan 5.1

anakan produktif.

Tabel 4. Rata-rata jumlah anakan produktif. persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun 8 genotipe padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan.

Genotipe Periode Kekeringan

3 MST 6 MST 9 MST Kontrol

Jumlah anakan produktif per rumpun

IR64 3.7 hijk 6.8 bcde 8.3 ab 8.1 ab

Selain menekan perkembangan anakan produktif, periode pengeringan

sejak 3 MST juga nyata menurunkan persen pembungaan 8 genotipe padi

dibandingkan dengan kontrol. Secara keseluruhan persen pembungaan terendah

ditunjukkan oleh Rokan (2.9%) pada perlakuan periode kekeringan sejak 3 MST.

Periode pengeringan sejak 6 MST juga menurunkan persen pembungaan namun

(45)

Jatiluhur dan Menthik Wangi tidak nyata dibandingkan dengan pengeringan saat

9 MST dan kontrol.

Periode pengeringan sejak 3 MST juga nyata menurunkan bobot gabah per

rumpun pada sebagian besar genotipe. Bobot gabah per rumpun pada

IPB-97-F-15 (11.88 g), IR64 (12.23 g), Rokan (12.87 g) dan Menthik Wangi (13.17 g)

pada pengeringan saat 3 MST berbeda nyata lebih rendah dibandingkan

pengeringan saat 6 MST dan 9 MST serta kontrol. Respon bobot gabah per

rumpun yang berbeda ditunjukkan pada genotipe Jatiluhur. Jatiluhur yang

diketahui sebagai padi gogo memiliki bobot gabah per rumpun yang tidak nyata

baik pada pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST ataupun kontrol (Tabel 4).

Pada Tabel 5 dapat ditunjukkan bahwa pengaruh pengeringan sejak 3 MST

secara nyata menurunkan panjang malai dan meningkatkan persen gabah hampa.

Sedangkan penurunan bobot 1000 gabah tampak nyata pada pengeringan sejak

3 MST dan 6 MST dibandingkan pengeringan sejak 9 MST dan kontrol.

Tabel 5. Rata-rata panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per rumpun, dan bobot 1000 gabah. perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.

Panjang malai pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST hanya mencapai

20.92 cm berbeda nyata lebih pendek dibandingkan periode pengeringan saat

(46)

dengan panjang malai pada perlakuan kontrol maka penurunan panjang malai

pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST mencapai 3.78 cm, sedangkan pada

pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST masing-masing mencapai 1.30 cm dan

0.42 cm. Rata-rata panjang malai pada 8 genotipe padi menunjukkan variasi

antara 22.12-26.67 cm. Genotipe dengan malai terpanjang ditunjukkan oleh

IPB-97-F-15 (26.67 cm), sedangkan malai terpendek ditunjukkan oleh Ciherang

(22.11 cm), Jatiluhur (22.41 cm), Silugonggo (22.69 cm) dan IR64 (22.52 cm).

Secara keseluruhan perlakuan periode kekeringan baik sejak 3 MST, 6

MST atau 9 MST meningkatkan persen gabah hampa (Tabel 5). Hal ini dapat

dilihat pada tingginya persen gabah hampa baik pada perlakuan periode

kekeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 MST dibandingkan dengan kontrol.

Persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan pada periode kekeringan sejak 3 MST

(72.1%) berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan periode kekeringan sejak 6

MST (53.0%) dan 9 MST (50.3%). Variasi persen gabah hampa antar genotipe

berkisar antara 35.4-66.8%. Persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan oleh

Rokan (66.81%) dan tidak berbeda nyata dengan IR64 (63.13%) sedangkan

terendah ditunjukkan oleh Jatiluhur (35.40%).

Perlakuan kekeringan juga berpengaruh terhadap penurunan bobot 1000

butir terutama periode kekeringan sejak 3 MST dan 6 MST masing-masing 17.74

g dan 21.07 g berbeda nyata lebih rendah dibandingkan periode kekeringan sejak

9 MST (25.92 g) dan kontrol (26.41 g) (Tabel 5). Persentase penurunan bobot

1000 butir akibat pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST masing-masing mencapai

32.8% dan 20.2%, sementara pengeringan saat 9 MST hanya menurunkan bobot

1000 gabah sebesar 1.9% dibandingkan dengan kontrol. Kisaran bobot 1000

gabah pada tiap genotipe antara 19.23-24.82 g. Bobot 1000 gabah tertinggi

ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (24.82) sedangkan terendah ditunjukkan oleh

Rokan (19.32 g).

Selain menurunkan bobot 1000 gabah, perlakuan periode kekeringan sejak

3 MST juga secara nyata menurunkan bobot kering tajuk dan indeks panen,

sementara penurunan bobot basah tajuk akibat perlakuan pengeringan sejak

3 MST dan 6 MST tidak berbeda nyata (Tabel 6). Berbeda dengan pengaruh

(47)

nyata terhadap penurunan bobot basah basah dan bobot kering tajuk serta indeks

perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.

Pada Tabel 6 dapat dilihat juga bahwa bobot basah tajuk 8 genotipe

padi menunjukkan kisaran antara 106.94-208.75 g. Bobot basah tajuk tertinggi

ditunjukkan oleh Rokan (208.75 g) yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan

7 genotipe lainnya sedangkan terendah ditunjukkan oleh IR64 (106.94 g).

Genotipe Rokan memiliki bobot kering tajuk tertinggi yaitu 107.77 g dan tidak

berbeda nyata dengan Way Apo Buru (97.23 g), sedangkan bobot kering terendah

ditunjukkan oleh IR64 (74.56 g) dan tidak berbeda nyata dengan Ciherang (76.72

g), Jatiluhur (77.35 g), Menthik Wangi (83.55 g) dan Silugonggo (86.24 g).

Indeks panen pada 8 genotipe padi menunjukkan kisaran antara 0.21-0.37.

Indeks panen terendah ditunjukkan oleh Rokan (0.12) yang berbeda nyata

lebih rendah dibandingkan 7 genotipe lainnya, sedangkan indeks panen tertinggi

Gambar

Tabel  1. Hubungan antara satuan Bar (atm), cm air dan pF.
Gambar 1. Model perlakuan periode kekeringan saat 3 MST, 6 MST, 9 MST dan
Gambar 5. Perkembangan jumlah daun 8 genotipe padi.
Gambar  6.  Pekembangan jumlah anakan padi pada berbagai periode
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi hara makro dan bentuk media secara tunggal memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rerata saat tumbuh

Permasalahan yang tak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah untuk menangani permasalahan di bagian hulu sungai Citarum sering menjadikan masyarakat sebagai objek

Hal ini diperkuat dengan fakta: pegawai jarang menangani pekerjaan berat, sebagian kecil pegawai kurang mampu bekerja sesuai target, ada beberapa pegawai yang kurang

Hasil pengujian pengaruh tidak langsung Variabel Makroekonomi BI Rate, Inflasi, dan Kurs Rupiah terhadap jumlah Dana Pihak Ketiga DPK pada Bank Umum Syariah BUS dengan

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya pada penggunaan sampel perusahaan yaitu perusahaan yang konsisten terdaftar di LQ45 Bursa Efek

Pedoman observasi ini digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan model pembelajaran sejauh mana model experiential Kolb dapat terlaksana dalam proses belajar mengajar. Observasi

Setelah pengguna yakin punya kemampuan menggunakan komputer dan percaya akan teknologi maka akan meningkat apakah teknologi tersebut bermanfaat (PU) dan mudah