• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Kedelai

Kedelai (Glycine max (L.) Merr) termasuk famili Leguminaseae, subfamili Papiloonoideae. Karakteristik kedelai yang dibudidayakan di Indonesia merupakan tanaman semusim, tanaman tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang memiliki daun tunggal dan daun bertiga, bulu pada daun dan polong tidak terlalu padat dan umur tanaman antara 72-90 hari.

Biji merupakan komponen morfologi kedelai yang bernilai ekonomis. Bentuk biji bervariasi, mulai dari lonjong hingga bulat, dan sebagian besar kedelai yang ada di Indonesia berkriteria lonjong. Di Indonesia, pengelompokan biji kedelai terbagi atas tiga macam, yakni berukuran besar dengan berat > 14 gram/100 biji, sedang dengan berat 10-14 gram/100 biji, dan kecil dengan ukuran berat < 10 gram/100 biji (Adie dan Krisnawati, 2007).

Biji sebagian besar tersusun oleh kotiledon dan dilapisi oleh kulit biji

(testa). Antara kulit biji dan kotiledon terdapat lapisan endosperm. Warna biji kedelai bervariasi dari kuning, hijau, coklat, hitam. Pigmen kulit biji sebagian besar terletak pada lapisan palisade, terdiri dari pigmen antosianin di dalam vakuola, klorofil dalam plastida, dan berbagai kombinasi hasil uraian produk- produk pigmen tersebut. Lapisan palisade dan parenkim dalam hilum juga mengandung pigmen sehingga intensitas warnanya lebih gelap. Kotiledon pada embrio yang sudah tua umumnya berwarna hijau, kuning, atau kuning tua. , namun umumnya berwarna kuning. Kombinasi berbagai pigmen yang ada di kulit biji dan kotiledon akan membentuk warna biji yang beragam pada kedelai (Adie dan Krisnawati, 2007).

Tanaman kedelai tergolong sebagai tanaman hari pendek, yang berarti tanaman tidak akan berbunga jika panjang hari melampaui batas kritisnya. Tanaman kedelai juga peka terhadap panjang hari (fotoperiodisitas). Umumnya Varietas kedelai akan berbunga jika periode gelap yang diterima setiap harinya kurang dari 10 jam, sebaliknya Varietas kedelai akan cepat berbunga jika periode gelap berlangsung antara 1 – 16 jam per hari (Adie dan Krisnawati, 2007).

Viabilitas Benih

Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukkan dalam fenomena pertumbuhannya, gejala metabolisme, kinerja kromosom, atau garis viabilitas (Sadjad, 1994). Viabilitas benih dibagi ke dalam dua kriteria yaitu viabilitas potensial (Vp) dan vigor benih (Vg). Viabilitas potensial adalah viabilitas benih pada keadaan optimum yang secara potensial mampu menghasilkan tanaman berproduksi normal. Kondisi di lapang sering jauh dari faktor-faktor yang mendukung pertanaman, sehingga diperlukan pengujian vigor benih. Vigor benih merupakan kemampuan benih tumbuh menjadi tanaman normal yang berproduksi normal pada keadaan yang sub optimum, serta mampu bertahan ketika disimpan pada keadaan yang tidak ideal. Vigor benih terbagi atas dua klasifikasi, yaitu Vigor Kekuatan Tumbuh dan Vigor Daya Simpan (Sadjad, 1993).

Menurut Sadjad (1994), tolok ukur daya berkecambah dan berat kering (BK) merupakan tolok ukur Vp. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa struktur tumbuh pada kecambah normal tentu mempunyai kesempurnaan tumbuh yang dapat dicerminkan dari bobot bahan keringnya. Tolok ukur untuk Vg adalah Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT) dan Vigor Daya Simpan (VDS).

Copeland dan McDonald (1995) mengemukakan bahwa proses kemunduran vigor benih secara fisiologis ditandai dengan penurunan pada daya berkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penurunan kecambah di lapang, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman, meningkatnya kepekaan terhadap lingkungan yang ekstrim akhirnya dapat menurunkan produksi tanaman. Pengujian vigor benih dapat memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan pengujian daya berkecambah, dan bermanfaat untuk melihat potensi daya simpan, prakiraan nilai penanaman atau pertumbuhan benih di lapang. Pengujian vigor benih merupakan indeks mutu benih yang lebih peka dibanding pengujian daya berkecambah, karena penurunan vigor terjadi lebih dulu sebelum penurunan perkecambahan.

Sadjad (1993) menyebutkan bahwa viabilitas benih dapat dideteksi melalui beberapa pendekatan, salah satunya melalui pendekatan fisiologis yang terbagi atas metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung apabila pengamatan

dilakukan terhadap setiap individu benih. Metode tidak langsung apabila deteksi viabilitas dilakukan terhadap sejumlah benih sekaligus. Setiap metode terdapat indikasi langsung dan tidak langsung. Pengujian viabilitas banih secara langsung menilai pertumbuhan setiap kecambah, sedangkan secara tidak langsung menilai gejala metabolismenya atau mengamati kondisi beberapa komponen makro molekul sitoplasma dan aberasi kromosom di dalam inti sel.

Pengaruh Suhu dan RH Transportasi terhadap Viabilitas Benih

Proses transportasi benih merupakan periode simpan yang relatif singkat (Sadjad, 1993). Hal ini menyebabkan faktor-faktor yang mempengaruhinya sama dengan faktor-faktor pada penyimpanan. Penelitian Sudjindro (1994) menunjukkan bahwa kombinasi beberapa lembar kain basah dan panas dari nyala lampu pada mesin pengguncang dapat menggambarkan simulasi faktor lingkungan abiotik (suhu dan RH) saat benih ditransportasikan. Ada tiga taraf dalam kombinasi tersebut yang menciptakan suhu dan kelembaban nisbi yang berbeda-beda, yakni : (1) kombinasi lima lembar kain pel basah dan tanpa nyala lampu menghasilkan suhu (25- 29)0C dan kelembaban nisbi (80-90)%, (2) kombinasi lima lembar kain pel basah dan dua lampu menyala menghasilkan suhu (30 – 35)0C dan kelembaban nisbi (65-75)%, dan (3) kombinasi lima lembar kain pel basah dan dua lampu menyala menghasilkan suhu (36 -40)0C dan kelembaban nisbi (50-60)%.

Suhu dan kelembaban nisbi udara merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi viabilitas benih (Justice dan Bass, 2002). Suhu dan kelembaban nisbi udara yang dialami benih saat transportasi ataupun translokasi cenderung tidak kondusif. Sadjad et al. (1999) menyebutkan bahwa transportasi benih yang diangkut dengan truk yang ditutup terpal dapat meningkatkan suhu di siang hari yang panas atau meningkatkan kelembaban nisbi udara akibat turun hujan, sedangkan atau di malam hari yang suhu lingkungan rendah dan udara lembab. Tidak mengherankan kalau di awal pengiriman benih dilaporkan masih memiliki (vigor konservasi sebelum tanam) yang tinggi, namun ketika sampai di tempat penanaman VKS (vigor konservasi) sudah rendah. Hal ini menunjukkan

benih. Suseno (1974) menyebutkan bahwa kemunduran benih diartikan sebagai menurunnya kualitas, sifat, atau vitalitas benih yang mengakibatkan penurunan vigor dan rendahnya pertanaman dan hasil. Menurut Baki dan Anderson (1972)

dalam Sudjindro (1994) kemunduran benih dapat ditunjukkan oleh gejala fisiologis sebagai berikut : (a) terjadinya perubahan warna benih, (b) tertundanya perkecambahan, (c) menurunnya, toleransi terhadap kondisi lingkungan suboptimum selama perkecambahan, (d) rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang sesuai, (e) peka terhadap radiasi, (f) menurunnya pertumbuhan kecambah, (g) menurunnya daya berkecambah, dan (h) meningkatnya jumlah kecambah abnormal.

Transportasi Benih Sesungguhnya

Teknik transportasi benih sangat diperlukan karena seringkali lokasi sumber benih dengan lokasi persemaian mempunyai jarak yang jauh. Teknik ini menjadi sangat penting khususnya bagi benih-benih bersifat rekalsitran seperti kemenyan dengan kadar air awal (30-50)%. Transportasi benih kemenyan sebaiknya digunakan kendaraan yang tidak terbuka dan mengunakan bahan pelembab seperti serbuk sabut kelapa dengan wadah poros. Penggunaan kendaraan terbuka tanpa bahan pelembab akan mengakibatkan penurunan kadar air secara drastis dari kadar air sekitar 50% menjadi sekitar 30%. Hal ini akan mengakibatkan daya berkecambahnya menurun dari 80% pada kendaraan ternaungi dengan bahan pelembab menjadi 33% pada kendaraan terbuka tanpa bahan pelembab (Yuniarti et al., 2005). Transportasi pada benih kenaf menyebabkan penurunan viabilitas benih. Hal ini disebabkan oleh keadaan benih kenaf yang berlemak sehingga peka terhadap guncangan saat transportasi. Selain itu, faktor lingkungan juga mempengaruhi viabilitas benih kenaf selama transportasi. Kondisi udara yang semakin panas dan kering menyebabkan penurunan Viabilitas potensial dan Vigor Daya Simpan benih (Sudjindro, 1994). Desai et al. (1997) menyebutkan bahwa transportasi benih dari lapang ke penyimpanan, antar gudang simpan, atau dari tempat penyimpanan ke tempat penanaman juga melibatkan periode penyimpanan yang dapat menyebabkan kerusakan bila tidak tertangani dengan baik. Desai et al. (1997) juga

menambahkan bahwa benih yang mengalami transportasi dengan kereta api selama beberapa hari mengalami kelembaban dan suhu yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan penurunan daya berkecambah. Benih yang diangkut dengan truk pick-up selama sehari dan mengalami deraan suhu lingkungan 440C akan mengalami suhu lebih tinggi pada benihnya hingga 600C. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menjaga kemampuan berkecambah benih harus lebih mempertimbangkan aspek periode simpan benih secara menyeluruh, bukan hanya terkait pada waktu penyimpanan saja. Hal ini disebabkan prinsip-prinsip penyimpanan benih yang baik berlaku untuk semua tahapan dalam kehidupan benih, meskipun seringkali pembahasan hanya berpusat pada tempat penyimpanan.

Mesin Simulasi Transportasi

Mesin pengguncang benih diciptakan untuk membuat simulasi transportasi yang sebenarnya. Guncangan pada mesin lebih bersifat vertikal daripada horizontal. Mesin pengguncang terdiri atas tiga bak mini yang berfungsi sebagai wadah tempat meletakkan benih (kotak). Saat percobaan berlangsung, benih-benih di dalam wadah ditutupi kain terpal. Kotak tersebut diguncangkan oleh sebuah elektromotor yang putarannya diperkecil dengan memodifikasi puli sedangkan perubahan gerakan berputar ke gerakan vertikal dengan memodifikasi engkol. Gerakan naik turun kotak dibuat dengan bantuan pegas yang dipasang pada ke empat ujung dasar kotak (Sadjad, 1994). Hentakan yang terjadi pada mesin ini rata-rata 72 hentakan setiap menitnya. Hentakan ini menggambarkan guncangan yang terjadi pada benih selama transportasi berlangsung.

Pada bagian atas wadah, terdapat lampu pijar yang digunakan untuk mengatur suhu. Lampu pijar ini seolah menggambarkan panas dari sinar matahari. Kelembaban udara (RH) dibuat dengan meletakkan kain basah di bawah wadah benih (Sadjad, 1994).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor, Dramaga-Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai Varietas Wilis (biji kecil) dan Varietas Grobogan (biji besar), air bebas ion, kertas tisu, kemasan plastik polypropylene (PP) dengan ketebalan 0.8 mm, kertas stensil, dan kain pel dengan ukuran (59 x 38) cm dan berat per lembar 131,4 gram . Peralatan yang digunakan adalah mesin simulasi transportasi (Gambar Lampiran 1 dan 2),

telethermometer, Electric conductivity meter, Alat Pengecambah Benih (APB) tipe IPB 72 – 1, alat pengepres kertas IPB 75-1, desikator, dan oven.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Faktorial dalam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak yang terdiri dari dua faktor. Faktor yang pertama adalah lama guncangan (G) yang terdiri dari empat taraf, G1 : 0 jam, G2 : 3 jam,

G3 : 6 jam, G4 : 9 jam. Faktor yang kedua adalah kombinasi suhu dan RH (S)

yang terdiri dari tiga taraf, S1: (25- 29)0C/RH (80-90) %, S2: (30 – 35)0C/RH (65-

75) %, dan S3 : (36 -40) 0C/RH (50-60) %.

Penelitian ini menggunakan 12 kombinasi perlakuan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga setiap Varietas didapat 36 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan menggunakan contoh benih sebanyak 250 butir.

Model linier dari rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Bi + Gj + Rk + GSjk + ∑ijkl

dimana :

Yijk = nilai peubah yang diamati

Bi = pengaruh blok ke -i

Gj = pengaruh lama guncangan pada taraf ke-j

Sk = pengaruh suhu/RH pada taraf ke-k

GSjk = pengaruh interaksi antara lama guncangan pada taraf ke-j dan

suhu/RH pada taraf ke-k ∑ijkl = pengaruh acak

Penelitian simulasi transportasi, dilakukan juga penelitian pada transportasi sesungguhnya. Penelitian ini dilaksanakan untuk melakukan perbandingan terhadap hasil dari penelitian utama. Metode penelitian ini adalah dengan mengemas benih menggunakan plastik kedap udara masing-masing 1 kg untuk setiap varietas kemudian ditransportasikan dengan mobil box sejauh 1500 km selama 7 hari.

Pengujian terhadap hasil pengamatan dilakukan dengan uji-F. Jika hasilnya berbeda nyata, dilakukan uji lanjut DMRT pada taraf 5%. Uji t-student dilakukan untuk membandingkan penelitian simulasi transportasi dengan transportasi sesungguhnya.

Penelitian simulasi transportasi dan transportasi sesungguhnya masing- masing menggunakan dua Varietas benih kedelai yang berbeda, yakni Varietas Wilis dan Varietas Grobogan. Pengamatan terhadap kedua Varietas benih kedelai ini dilakukan secara terpisah.

Pelaksanaan Penelitian

Kain kering seberat ± 131 gram direndam dalam 150 ml air hingga jenuh. Kain basah tersebut kemudian diletakkan di bawah setiap bak untuk menciptakan kelembaban nisbi udara. Lalu, benih sebanyak 250 butir dikemas dalam kantong plastik PP dan dimasukkan pada setiap bak. Lampu yang terdapat di atas bak dinyalakan sesuai dengan perlakuan.

Kondisi suhu/RH selama percobaan diperoleh dari kombinasi kain lembab pada bawah bak dan nyala lampu yang terletak di atas bak. Kondisi suhu (25- 29)0C dan RH (80-90) % didapat dari kombinasi 13 lembar kain lembab tanpa nyala lampu. Kondisi suhu (30 – 35)0C dan RH (65-75) % didapat dari kombinasi

8 lembar kain lembab dan 3 nyala lampu. Kondisi suhu (36 -40) 0C dan RH (50- 60) % didapat dari kombinasi 5 lembar kain lembab dan 4 nyala lampu.

Setelah itu, mesin dinyalakan dengan menyesuaikan lama guncangan. Pengamatan terhadap perubahan suhu dan RH dilakukan satu jam sekali dengan alat tele- thermometer.

Rancangan simulasi ini diharapkan mampu melakukan pendugaan terhadap viabilitas benih selama transportasi. Penelitian Sudjindro (1994) menyatakan bahwa transportasi aktual pada benih kenaf menyebabkan penurunan viabilitas benih. Hal ini disebabkan oleh keadaan benih kenaf yang berlemak sehingga peka terhadap guncangan saat transportasi. Faktor lingkungan juga mempengaruhi viabilitas benih kenaf selama transportasi. Kondisi udara yang semakin panas dan kering menyebabkan penurunan Viabilitas Potensial (Vp) dan Vigor Daya Simpan (VDS). Hasil penelitian Pramono (1997) menunjukkan bahwa

benih kedelai yang ditransportasikan dengan kadar air awal lebih rendah, yakni 10-13% memiliki VKT yang relatif lebih baik dibandingkan benih dengan kadar air

awal 17-20%. Daya berkecambah benih kedelai juga lebih baik jika ditransportasikan menggunakan rak, sehingga antar kemasan benih tidak bergesekan.

Pengamatan

1. Kadar Air Benih

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode oven suhu rendah konstan dengan suhu 103 ± 2°C, selama 17 ± 1 jam. Cawan porselin beserta tutup ditimbang (M1). Benih diambil sebanyak 2 ulangan untuk setiap percobaan. Benih diambil sebanyak ±5 gram kemudian ditimbang (M2). Setelah itu, dimasukkan ke dalam oven. Setelah 17 ± 1 jam benih diangkat dan langsung dimasukkan ke dalam desikator selama ± 30 menit untuk menyerap panas, kemudian dilakukan penimbangan kembali (M3). Rumus untuk menghitung kadar air benih adalah sebagai berikut :

Keterangan : M1= bobot cawan kosong

M2= bobot cawan+benih sebelum dioven M3= bobot cawan+benih setelah dioven 2. Daya Berkecambah (DB)

Benih sebanyak 25 butir per ulangan ditanam pada substrat kertas stensil dengan metode pengujian UKDdp, kemudian dimasukkan ke dalam APB IPB 72-1. Pengamatan terhadap kecambah normal dan benih tidak tumbuh dilakukan pada hitungan pertama (3 HST) dan pengamatan kedua pada 5 HST. Kecambah yang diamati adalah kecambah normal, kecambah abnormal, benih segar tidak tumbuh, dan benih mati. Persen daya berkecambah dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

3. IV (Indeks Vigor)

Penghitungan Indeks Vigor (IV) dilakukan berdasarkan persentase kecambah normal pada pengamatan pertama ( KN hitungan I) yaitu pada hari ke- 3. Rumus menghitung nilai Indeks Vigor adalah :

4. Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)

Pengukuran Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) dilakukan di akhir pengamatan. Caranya dengan membuang bagian kotiledon dari kecambah dan dioven selama (3 x 24) jam pada suhu 60ºC. Setelah itu, benih dimasukkan ke dalam desikator selama ±15 menit dan setelah dingin ditimbang berat keringnya. BKKN dihitung berdasarkan nilai rata-rata berat kering kecambah normal.

5. Keserempakan Tumbuh Benih (KST)

Metode pengujian sama dengan daya berkecambah. Pengamatan dilakukan pada 4 HST dengan menghitung persentase jumlah kecambah normal kuat terhadap jumlah benih yang ditanam. Kriteria kecambah normal kuat yang diamati adalah kecambah dengan panjang minimal empat kali ukuran benih. Persen KST dapat dihitung dengan rumus :

6. Kecepatan Tumbuh Benih (KCT)

Metode pengujian sama dengan daya berkecambah. Pengamatan dilakukan setiap hari, mulai awal pengujian sampai 5HST. Nilai kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan persen kecambah normal dalam satuan waktu etmal dengan rumus sebagai berikut :

KCT

=

Keterangan : i = kurun waktu perkecambahan (5 hari)

d = tambahan persentase kecambah normal per etmal 7. Daya Hantar Listrik (DHL)

Benih kedelai sebanyak 50 butir diambil secara acak, kemudian ditimbang, lalu direndam dengaan air bebas ion sebanyak 25 ml di dalam botol gelas selama 24 jam. Setelah itu, air rendaman diukur daya hantar listriknya dengan alat Electric conductivity meter. Nilai DHL diukur dengan menggunakan rumus :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Simulasi Transportasi

Hasil analisis ragam pengaruh lama guncangan dan kondisi suhu/RH dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan 14. Tabel 1 menunjukkan rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh faktor lama guncangan, suhu/RH, dan interaksi antar kedua faktor terhadap tolok ukur Daya Hantar Listrik (DHL), Daya Berkecambah (DB), Indeks Vigor (IV), Kecepatan Tumbuh (KCT), Keserempakan

Tumbuh (KST), Kadar Air (KA), dan Bobot Kering Kecambah Normal (BKKN)

pada benih kedelai Varietas Wilis dan Grobogan.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Lama Guncangan dan Kondisi Suhu/RH terhadap Tolok Ukur Daya Hantar Listrik (DHL), Daya Berkecambah (DB), Indeks Vigor (IV), Kecepatan Tumbuh (KCT), Keserempakan Tumbuh (KST), Kadar Air (KA), dan Bobot

Kering Kecambah Normal (BKKN) pada Benih Kedelai Varietas Wilis dan Grobogan.

Ket : * = berpengaruh nyata pada uji-F 5% ** = berpengaruh sangat nyata pada uji-F 1% tn = tidak nyata

No Tolok ukur Lama guncangan Suhu/RH GxS kk (%) Percobaan 1 : Varietas Wilis

1. DHL ** tn tn 4.7 2. DB * tn tn 7.7 3. IV * tn tn 19.4 4. KCT * tn tn 7.1 5. KST tn tn tn 8.7 6. KA tn tn tn 4.5 7. BKKN tn tn tn 7.4

Percobaan II : Varietas Grobogan

1. DHL * tn tn 10.9 2. DB tn tn tn 8.7 3. IV tn tn tn 22.6 4. KCT tn tn tn 10.5 5. KST * tn tn 14.9 6. KA * * * 4.7 7. BKKN tn tn tn 8.7

Hasil rekapitulasi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa faktor lama guncangan berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur Uji Daya Hantar Listrik (DHL) dan berpengaruh nyata terhadap tolok ukur Daya Berkecambah (DB), Indeks Vigor (IV), dan Kecepatan Tumbuh (KCT) pada Varietas Wilis. Pada

Varietas Grobogan, faktor lama guncangan berpengaruh nyata terhadap tolok ukur uji Daya Hantar Listrik (DHL), Keserempakan Tumbuh (KST) dan Kadar Air

(KA).

Faktor kondisi suhu/RH tidak memberikan pengaruh nyata terhadap semua tolok ukur pada kedua Varietas benih kedelai, kecuali terhadap KA benih pada benih Varietas Grobogan. Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap semua tolok ukur yang diamati.

Pengaruh Lama Guncangan terhadap Viabilitas Potensial

Daya berkecambah adalah tolok ukur viabilitas potensial atau viabilitas optimum yang menunjukkan kemampuan benih untuk berkecambah normal dalam kondisi lingkungan yang optimum selama waktu yang ditentukan (Sadjad, 1993). Semakin besar nilai DB, maka semakin besar viabilitas potensial benih tersebut.

Pengaruh faktor lama guncangan terhadap tolok ukur DB pada Varietas Wilis dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan lama guncangan menaikkan secara nyata sejak benih diguncang selama 3 jam.

Tabel 2. Pengaruh Faktor Lama Guncangan terhadap Tolok Ukur DB Benih Kedelai Varietas Wilis

Lama guncangan DB (%) 0 jam 100.00 a 3 jam 86.67 b 6 jam 84.00 b 9 jam 80.89 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Penurunan DB yang terjadi setelah benih diguncang adalah sebesar 19.11%, yakni dari 100 ke 80.89. Besarnya nilai penurunan yang terjadi mengindikasikan benih Varietas Wilis cenderung tidak tahan terhadap guncangan.

Hal ini diduga akibat waktu pemanenan Wilis saat cuaca basah, dimana kondisi suhu dan kelembapan tinggi. Menurut Adisarwanto dan Rini (2002) benih yang dipanen dalam kondisi suhu dan kelembaban tinggi akan mengalami proses respirasi dalam benih sehingga daya tumbuh benih akan cepat menurun. Kuswanto (2003) menambahkan bahwa benih yang dipanen saat cuaca basah akan memiliki daya tahan yang lebih rendah dibanding benih yang dipanen saat cuaca kering.

Daya tumbuh benih Varietas Wilis yang lebih rendah ini terlihat pada Gambar 1, dimana penampakkan benihnya yang kusam dan bentuknya kurang seragam.

Gambar 1. Perwujudan Fisik Benih Kedelai Varietas Wilis dan Grobogan Sadjad (1993) mengatakan bahwa benih bermutu adalah benih yang baik secara mutu genetik, fisiologis, dan fisik. Benih bermutu secara mutu fisik ini diantaranya menunjukkan perwujudan yang seragam bentuk, ukuran, warna, dan berat per jumlah atau volume. Menurut Adisarwanto dan Rini (2007), benih yang diperoleh dari pertanaman musim hujan dapat menyebabkan daya berkecambah benih yang rendah dan persentase biji yang menjadi benih rendah akibat mutu fisik yang buruk.

Pengaruh faktor lama guncangan terhadap tolok ukur DB pada Varietas Grobogan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan lama guncangan tidak memberikan pengaruh terhadap tolok ukur DB.

Tabel 3. Pengaruh Faktor Lama Guncangan terhadap Tolok Ukur DB Benih Kedelai Varietas Grobogan

Lama guncangan DB 0 jam 88.00 a 3 jam 87.11 a 6 jam 84.89 a 9 jam 82.67 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Penurunan DB yang terjadi pada Varietas Grobogan setelah benih diguncang selama 9 jam adalah sebesar 6 %, yakni dari 88 ke 82.67. Nilai DB awal yang dimiliki Varietas Grobogan cukup rendah, namun ia mampu mempertahankan viabilitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan lama guncangan hingga 9 jam tidak mampu menurunkan viabilitas potensial benih kedelai Varietas Grobogan melalui tolok ukur DB.

Bobot Kering Kecambah Normal (BKKN) merupakan tolok ukur untuk viabilitas potensial. BKKN mengindikasikan status viabilitas benih secara tidak langsung karena berkaitan dengan sumber energy untuk pertumbuhannya yang dihasilkan dari perombakkan cadangan bahan energi dalam benih. Benih yang memiliki viabilitas potensial tinggi, akan memiliki BKKN yang tinggi pula, namun faktor lama guncangan dan kondisi suhu/RH tidak memberikan pengaruh yang nyata pada tolok ukur BKKN untuk kedua Varietas Wilis dan Grobogan. Hal ini diduga akibat ukuran kecambah yang tidak seragam, sehingga perbedaan nilai BBKN antar satuan percobaan tidak terlalu signifikan.

Pengaruh Lama Guncangan terhadap Vigor Daya Simpan

Pengujian Daya Hantar Listrik merupakan salah satu parameter yang mengindikasikan Vigor Daya Simpan benih. Semakin tinggi nilainya, maka viabilitas benih akan semakin turun. Hal ini disebabkan oleh kerusakan yang menyebabkan kebocoran elektrolit pada benih tersebut (ISTA, 2007).

Pengaruh faktor lama guncangan terhadap tolok ukur DHL pada varietas Wilis dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan lama

Dokumen terkait