• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga

Pengertian keluarga menurut UU Nomor 10 Tahun 1992 adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah, dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama (Puspitawati 2009).

Tujuan dan Fungsi Keluarga

Tujuan dari terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan suatu struktur atau hierarkis yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis para anggotanya dan untuk memelihara kebiasaan atau budaya masyarakat yang lebih luas (Puspitawati 2009). Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1996) menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga meliputi:

1. Fungsi keagamaan yaitu keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insane-insan agamais yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Fungsi sosial budaya yaitu memberikan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

3. Fungsi cinta kasih yaitu keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.

5. Fungsi reproduksi merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan yaitu dengan memberi peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupan di masa depan.

7. Fungsi ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.

8. Fungsi pembinaan lingkungan yaitu memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah.

Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian anggota keluarganya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya orangtua dan anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan keluarga adalah reproduksi, adopsi dan sosialisasi. Fungsi keluarga dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Fungsi pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan, pakaian dan tempat tinggal adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang harus dipenuhi keluarga. Rumah dan sandang memberikan perlindungan dan merupakan sumber ekspresi bagi kebutuhan gizi, sehingga mampu melaksanakan segala aktivitasnya. Memelihara kesehatan adalah juga tanggung jawab keluarga.

2. Fungsi perkembangan anggota keluarga. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar dari anggota keluarga, maka kesempatan berkembang yang lebih luas dapat dibangun. Melalui kesempatan yang lebih banyak, individu dan keluarga akan mendapatkan ekspresi yang lebih banyak dalam aspek budaya, intelektual dan aspek sosial.

Pendekatan Teori Struktural Fungsional

Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat

meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sosial. Terdapat beberapa bagian dalam dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku. Adapun persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga menurut Levy (Megawangi 1999) sebagai sistem dapat berfungsi adalah:

1. Diferensiasi peran: Serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga. maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. 2. Alokasi solidaritas: Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta,

kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.

3. Alokasi ekonomi: Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Direfensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.

4. Alokasi politik: Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.

5. Alokasi integrasi dan ekspresi: Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Pendekatan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Dinyatakan oleh Chapman (2000) diacu dalam Puspitawati (2006) bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi

penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah (Puspitawati 2009).

Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga. mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya (BKKBN 1996). Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita/hr. Selain itu, Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan adalah suatu kondisi tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari (Saefuddin et al. 2003).

BPS (2008) menyebutkan secara absolut penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Jawa sebesar 12,04 juta jiwa dan pada tahun 2008 sebesar 11,42 juta jiwa. Angka ini merupakan angka paling besar jika dibandingkan dengan lima pulau lainnya. Jumlah penduduk miskin di Kawasan Barat Indonesia (KBI) pada tahun 2007 dan 2008 berturut-turut tercatat 17,24 juta jiwa dan 16,24 juta jiwa. Sementara di Kawasan Timur Indonesia (KTI) berturut-turut tercatat 6,37 juta jiwa dan 5,95 juta jiwa. Meskipun demikian persentase penduduk miskin di KTI lebih besar dibandingkan dengan di KBI.

Tabel 1 Jumlah dan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan menurut pulau, 2007 dan 2008

Pulau

Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk Miskin 2007 2008 2007 2008 Sumatera 5,10 4,73 17,52 16,02 Jawa 12,04 11,42 21,31 10,05 Bali+Nusa Tenggara 1,70 1,60 22,51 20,98 Kalimantan 0,94 0,85 12,02 10,69 Sulawesi 2,37 2,22 20,88 19,30 Maluku+Papua 1,46 1,38 40,41 37,35

Kawasan Barat Indonesia 17,24 16,24 19,81 18,47

Kawasan Timur Indonesia 6,37 5,95 22,05 20,31

Indonesia 23,61 22,19 20,39 18,93

Sumber: BPS 2008

Garis kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Penghitungan

Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (BPS 2008). Dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2008 garis kemiskinan penduduk Indonesia menunjukkan peningkatan yang terus-menerus sehingga hal ini berdampak pada jumlah peduduk miskin yang semakin meningkat pula dari tahun 1996 hingga tahun 2008. Pada tahun 1996-1998 terjadi peningkatan garis kemiskinan yang sangat tajam yaitu dari Rp.42.032,- sampai Rp.96.959,- (kota) dan Rp.31.466,- sampai Rp.72.780,- (desa). Hal ini terkait dengan adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok meningkat.

Tabel 2 Garis kemiskinan, jumlah, dan persentase penduduk miskin 1996-2008 Tahun Garis Kemiskinan Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin

Kota Desa Kota Desa Kota dan Desa

Kota Desa Kota dan Desa 1996 42.032 31.466 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47 1998 96.959 72.780 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23 1999 92.409 74.272 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 91.632 73.648 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 2001 100.011 80.382 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 2002 130.499 96.512 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 2003 138.803 105.888 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 2004 143.455 108.725 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 2005 150.799 117.259 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 2006 174.290 130.584 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75 2007 187.942 146.837 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 2008 204.896 161.831 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42 Sumber: BPS 2008

Catatan: 1. Referensi waktu untuk seluruh data adalah Februari, kecuali data tahun 1998 (Desember) dan tahun 2006-2008 (Maret)

2. Data mulai tahun 1999 tanpa timor-timur.

Kemiskinan sering diukur berdasarkan indikator-indikator yang melekat pada seorang individu atau sebuah rumahtangga. Menurut Pakpahan et al. (1995), kemiskinan sering digambarkan oleh satu atau kombinasi dari tingkat pendapatan yang rendah, tingkat kematian balita yang tinggi, tingkat nutrisi rendah, kualitas perumahan yang buruk, dan lain-lain. Pengkategorian kemiskinan menurut indikator-indikator tersebut adalah upaya pengkategorian berdasarkan akibat (consequences atau output).

Indikator kemiskinan yang digunakan dalam data BKKBN ada lima, yaitu: (1) tidak dapat beribadah secara rutin; (2) tidak dapat makan minimal dua kali

sehari; (3) tidak memiliki pakaian berbeda untuk setiap kegiatan; (4) jika salah satu anggota keluarga sakit tidak dapat memberikan pengobatan modern dan (5) bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. Adapun BPS menetapkan 14 kriteria keluarga miskin, seperti yang disosialisasikan oleh Djalil (2005), rumahtangga yang memiliki ciri rumahtangga miskin, yaitu:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah atau tembok tanpa diplester.

4. Tidak punya fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumahtangga lain.

5. Sumber penerangan rumahtangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar/minyak tanah/arang. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala rumahtangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp.600.000,- per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumahtangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp.500.000,- seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal

motor. atau barang modal lainnya.

Ada satu kriteria tambahan lagi, tidak hanya terdapat dalam leaflet bahan sosialisasi Departemen Komunikasi dan Informatika tentang kriteria rumahtangga miskin, yaitu rumahtangga yang tidak pernah menerima kredit usaha UKM/KUKM setahun lalu.

Keadaan keluarga yang serba kekurangan terjadi bukan karena kehendak keluarga yang bersangkutan, tetapi karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh keluarga telah membuat mereka menjadi Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. BKKBN (1996) menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan keluarga masuk dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I yaitu:

1. Faktor internal a. Kesakitan b. Kebodohan c. Ketidaktahuan d. Ketidakterampilan e. Ketertinggalan teknologi f. Ketidakpunyaan modal 2. Faktor eksternal

a. Struktur sosial ekonomi yang menghambat peluang untuk berusaha dan meningkatkan pendapatan.

b. Nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang dukung upaya peningkatan kualitas keluarga.

c. Kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembangunan yang menyalahgunakan keluarga atau diri mereka sendiri.

3. Keluarga yang gagal adalah keluarga yang gagal kehilangan hampir semua energi karena permasalahan yang terjadi.

4. Keluarga penekan adalah keluarga yang tidak membebaskan para anggotanya untuk mengungkapkan perasaan secara spontan.

5. Keluarga yang berantakan adalah keluarga yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari sehingga tidak ada waktu yang digunakan untuk bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain.

6. Keluarga yang “mandeg” adalah keluarga yang tidak sanggup dan khawatir untuk tumbuh sehingga tidak punya arah.

7. Keluarga yang dibuat-buat adalah keluarga yang terjadi karena menetapkan keputusan secara kolektif dan aktif untuk menghindari keputusan membentuk kaluarga baru lagi.

8. Keluarga yang terganggu adalah keluarga yang mengalami masa kritis.

9. Keluarga yang terobsesi adalah keluarga yang memiliki komponen keluarga “mandeg” dan terganggu, sehingga tipe keluarga ini tidak berkembang.

10. Keluarga yang tumbuh adalah keluarga yang dapat bangkit kembali dan mampu menghadapi masalah baik dalam mengatasi krisis dan konflik yang ada.

Pemberdayaan Sosial

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang penanganannya membutuhkan keterkaitan berbagai pihak. Kemiskinan di Indonesia diiringi oleh masalah kesenjangan baik antargolongan penduduk maupun pembangunan antarwilayah, yang diantaranya ditunjukkan oleh buruknya kondisi pendidikan dan kesehatan serta rendahnya tingkat pendapatan dan daya beli, sebagaimana tercermin dari rendahnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pemerintah sejak tahun 1960-an telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sajak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada akhir tahun 1980-an, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Pada tahun 1997, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 Tahun 1998 (Sumodiningrat 2009).

Program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), dan program pembangunan

sektoral telah berhasil memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan (Sumodiningrat 2009).

Upaya penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk membebaskan dan melindungi masyarakat dari kemiskinan beserta segala penyebabnya. Upaya yang dimaksud tidak saja diarahkan untuk mengatasi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga dalam rangka membangun semangat dan kemandirian masyarakat miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai pelaku dalam berbagai tahap pembangunan. Dalam konteks inilah, pendekatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin menjadi sangat penting dan strategis. Menurut Sumodiningrat (2009) pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan yang tersedia di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan menurut Nasdian (2003) pemberdayaan merupakan suatu upaya menumbuhkan peran serta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di lingkungannya. Berbeda dengan Suharto (2005) yang mengartikan pemberdayaan sebagai serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan dengan tujuan adanya perubahan sosial yang mencakup masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan dan mampu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Sumodiningrat (2009) upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui strategi yang terdiri atas lima komponen, yaitu:

(1) Modal usaha, yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan. Caranya dengan mengembangkan mekanisme penyaluran dana bantuan dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan sosial ekonomi produktif unggulan sehingga dapat menjamin surplus untuk tabungan dan akumulasi modal masyarakat.

(2) Sumber daya manusia, yaitu memperkuat kapasitas sumber daya manusia di pedesaan. Caranya dengan meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi pendamping dan kelompok masyarakat miskin guna meningkatkan produktivitas dan daya saing di tingkat desa melalui pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan.

(3) Prasarana dan sarana, yaitu mengembangkan prasarana dan sarana pedesaan serta jaringan pemasaran, sehingga masyarakat pedesaan dengan mudah mendapatkan input produksi dan menjual produk ke pasar local, regional, nasional, bahkan internasional melalui kemitraan dengan dunia usaha dan penyedia jasa pendukung lainnya.

(4) Penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi, yaitu upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat agar proses alih informasi dan teknologi; penyaluran dana dan investasi; proses produksi, distribusi, dan pemasaran; serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai kondisi lokal.

(5) Sistem informasi, yaitu meningkatkan kemampuan pemantauan, pengendalian, dan pelaporan berbasis sistem informasi manajemen dan sistem informasi geografis.

Program-program penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada pendekatan pemberdayaan masyarakat justru memberikan hasil yang lebih efektif dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik. Mengingat ada bermacam-macam tingkat sosial ekonomi masyarakat maka setiap tingkatan kemiskinan tersebut harus ditangani dengan solusi yang tepat. Berikut ini grand strategy pemberdayaan penduduk miskin melalui konsep tiga klaster (Sumodiningrat 2009).

(1) Klaster 1, memberdayakan masyarakat miskin. Pada klaster 1 ini diperuntukkan bagi mereka yang termasuk dalam kelas the poorest of the poor. Kelompok ini harus diberikan bantuan langsung karena memang mereka sangat miskin sehingga perlu mendapat perlindungan dan bantuan sosial. Filosofinya, kelompok masyarakat seperti ini diberi “ikan” agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa program pada klaster ini antara

lain: PKH, Raskin, BOS, Jamkesmas, bantuan sosial untuk pengungsi korban bencana, bantuan untuk kelompok lansia, BLT.

(2) Klaster 2, menuju kemandirian. Filosofi program klaster 2 ini diibaratkan sebagai kail. Dengan demikian, penerima program ini adalah mereka yang sudah dapat diajari bagaimana mencari ikan atau mengail. Pada program ini masyarakat tidak diberi ikan melainkan pancing, dengan harapan mereka bisa mencari ikan sendiri. Contoh program dalam klaster ini adalah PNPM mandiri.

(3) Klaster 3, menciptakan usaha mikro, kecil, dan menengah. Klaster ini menampung kelompok-kelompok masyarakat yang telah diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya. Filosofinya, kelompok masyarakat ini sudah diberi kail, jala, dan perahu. Pada klaster 3 ini, skema pendanaan menggunakan kredit dengan bunga pasar. Program yang termasuk dalam klaster ini adalah KUR mikro dan UMKM.

PKH (Program Keluarga Harapan)

Pada tahun 2007, pemerintah melaksanakan PKH dalam rangka upaya penanggulangan kemiskinan. Program ini pada prinsipnya memberikan bantuan tunai kepada rumahtangga sangat miskin melalui persyaratan menyekolahkan anaknya untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun dan memeriksakan kesehatan serta pemberian makanan bergizi kepada anak-anak usia balita dan ibu hamil atau menyusui. Untuk jangka pendek, bantuan ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin. Sedangkan untuk jangka waktu yang lebih panjang, melalui peningkatan pendidikan serta perbaikan kondisi kesehatan dan gizi, dapat memutus rantai kemiskinan.

Pemilihan Penerima Bantuan dan Syarat Program

Penerima bantuan PKH adalah rumahtangga sangat miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun (atau usia 15-18 tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar) dan atau ibu hamil/nifas. PKH memberikan bantuan tunai kepada RTSM dengan mewajibkan RTSM tersebut mengikuti persyaratan yang ditetapkan program, yaitu: (i) menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan dan menghadiri kelas minimal 85

persen hari sekolah atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung, dan (ii) melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0-6 tahun, ibu hamil dan ibu nifas. Bantuan tunai hanya akan diberikan kepada RTSM yang telah terpilih sebagai peserta PKH dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam program. Agar pemenuhan syarat ini efektif, maka bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumahtangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi, atau kakak perempuan). Hal ini karena umumnya ibu bertanggung jawab atas kesehatan, nutrisi, dan pendidikan anak-anaknya.

Kewajiban Peserta PKH Kesehatan

Kewajiban peserta PKH Kesehatan adalah mengunjungi fasilitas kesehatan (seperti; Puskesmas, Pustu, Polindes, Posyandu, Bidan desa), dengan persyaratan waktu kunjungan sesuai Tabel 3:

Tabel 3 Kewajiban peserta PKH dalam mengunjungi fasilitas kesehatan

Sasaran Peserta Kewajiban

Ibu hamil Sekurangnya 3 bulan sekali

Ibu melahirkan Harus ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih Ibu nifas Sekurangnya setiap 1 bulan setelah lahir selama

dua bulan

Bayi usia 0-11 Sekurangnya setiap 1 bulan sekali Bayi usia 1-6 tahun Sekurangnya setiap 3 bulan sekali

Ketika mengunjungi fasilitas kesehatan tersebut, setiap peserta PKH berhak mendapatkan seluruh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan.

Kewajiban Peserta PKH Pendidikan

Peserta PKH yang memiliki anak usia sekolah (6-15 tahun) namun belum terdaftar di sekolah wajib mendaftarkan anak tersebut ke sekolah SD/MI atau SMP/MTs atau satuan pendidikan setara SD atau SMP. Setelah terdaftar di satuan pendidikan. anak tesebut harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen hari sekolah atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung. Untuk memudahkan, jika peserta PKH yang memiliki anak usia sekolah (6-15 tahun), anak-anak tersebut harus mendaftar di sekolah dan harus hadir

sekurang-kurangnya 85 persen setiap saat. Jika memiliki anak usia 15-18 tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar dan atau buta aksara, maka harus mendaftarkan anak tersebut ke sekolah terdekat atau satuan pendidikan non formal (seperti misalnya, keaksaraan fungsional, Paket A setara SD atau Paket B setara SMP atau pesantren setara SD/SMP). Jika telah terdaftar, anak tersebut harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen hari sekolah atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung. Untuk anak yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dandiketahui bahwa mereka tidak bisa mengikuti program sekolah/satuan pendidikan biasa (misalnya anak yang sudah lama diluar sistem sekolah, anak buta huruf, anak dengan kebutuhan khusus dan lain-lain), maka Ibu dari RTSM peserta PKH harus mengikutkan anak tersebut kedalam program persiapan pendidikan (seperti: rumah singgah, rumah perlindungan sosial anak (RPSA), panti sosial asuhan anak, dll) dan selanjutnya mendaftarkan anak tersebut ke satuan pendidikan formal atau non formal–Pendidikan Luar Sekolah (Pendidikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sanggar kegiatan belajar (SKB), dsb). Ketika melakukan pendaftaran anak ke satuan pendidikan tersebut. Ibu RTSM akan didampingi oleh pendamping PKH dari kantor UPPKH Kecamatan. Informasi nama sekolah dan atau nama penyelenggara pendidikan non formal selanjutnya harus dilaporkan ke pendamping PKH untuk keperluan

Dokumen terkait