• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lidah Buaya

Tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) termasuk dalam famili Liliacea. Lidah buaya yang ditanam di Indonesia khususnya di Pontianak termasuk kategori Aloe vera chinensis Baker. Tanaman ini berdaun tebal dan banyak mengandung air dengan duri-duri lunak pada tepi daun serta tersusun secara roset. Tanaman ini memiliki bunga merah dan perakaran yang tipis (Aguilar dan Brink 1999). Tanaman Lidah buaya dapat tumbuh pada ketinggian 0-1 500 m dpl dengan kisaran suhu 16-33 oC dengan curah hujan tahunan 1 000 - 3 000 mm/tahun (Briggs dan Calvin 1987). Tanah dengan drainase baik dan memiliki kadar bahan organik tinggi disukai oleh tanaman ini. Selain itu juga tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah gambut yang memiliki pH rendah.

Lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air karena dari segi fisiologis tumbuhan tanaman ini termasuk jenis CAM (Crassulacea Acid Metabolism) dengan sifat tahan kekeringan (Furnawanthi 2002). Tanaman jenis ini memiliki mekanisme fiksasi CO2 pada malam hari dan berfotosintetis pada siang dengan stomata tertutup, sehingga dapat mengurangi kehilangan air lewat penguapan (Gardner et al. 1991). Hal ini juga didukung dengan bentuk daunnya yang sekulen dan memiliki lapisan kutikula yang tebal sehingga dapat mengurangi penguapan lewat daun (Aguilar dan Brink 1999). Perlakuan frekuensi penyiraman tanaman lidah buaya menunjukkan bahwa frekuensi penyiraman 1 kali seminggu cenderung lebih efisien yang ditunjukkan oleh hasil bobot basah tertinggi 243 g pada 16 minggu setelah tanam dibandingkan dengan frekuensi penyiraman 2 kali dan 3 kali seminggu berturut-turut menghasilkan bobot basah 199 g dan 230 g (Aminah 2003).

Komposisi terbesar tanaman lidah buaya adalah air (99.5%) akan tetapi tanaman ini juga kaya akan lemak, karbohidrat, protein, vitamin A dan C serta asam amino. Lidah buaya mengandung mineral berupa Ca (458 ppm), P (20.10 ppm), Fe (1.18 ppm), Mg (60.80 ppm), Mn (1.04 ppm), K (797 ppm), Na (84.4 ppm) dan Cu (0.11 ppm) (Furnawanthi 2002). Bagian tanaman lidah buaya yang

memiliki nilai ekonomis adalah pelepah daunnya. Pelepah daun lidah buaya dikatakan berkualitas baik harus memiliki kriteria tertentu (Tabel 1).

Tabel 1. Standarisasi Produk Pelepah Lidah Buaya

Spesifikasi Satuan Mutu 1 Mutu II Mutu III Berat pelepah segar kg > 1.3 0.9-1.2 0.5-0.9

Warna daun - 100 % Seragam Hijau Segar < 25 % Seragam Hijau Segar < 75 % Seragam Hijau Segar Panjang daun cm > 50 40-50 <50 Pelepah cacat dan busuk % 0 0 0

Sumber: Dinas Urusan Pangan Pontianak 2002.

Untuk menghasilkan pelepah yang bermutu baik diperlukan pemeliharaan tanaman secara intensif, pemupukan merupakan salah satu kegiatan yang penting agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Sebenarnya belum ada rekomendasi pemupukan yang tepat untuk tanaman lidah buaya. Pada budidaya lidah buaya yang dilakukan oleh petani Pontianak, pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk organik maupun anorganik yang dilakukan secara kontinyu berdasarkan umur tanaman. Pemupukan dasar diberikan 3-4 hari sebelum tanam, dengan dosis 200 g pupuk kandang/tanaman, 20 g Urea/tanaman, 10 g SP 36/tanaman, 25 g abu bakaran/ tanaman dan 25 g kulit udang/tanaman. Pemupukan susulan tahun pertama diberikan 2 bulan sekali dimulai pada 1.5 sampai 2 bulan setelah tanam dengan dosis 20 g Urea/tanaman, 10 g TSP/tanaman, dan 10 g KCl/tanaman, sedangkan pupuk kandang, abu bakaran dan kulit udang diberikan setiap 6 bulan sekali, dengan dosis 250 sampai 300 g pupuk kandang/tanaman, 30-50 g abu bakaran/tanaman dan 25-40 g kulit udang/tanaman (Dinas Urusan Pangan Pontianak 2002).

Hasil penelitian Supriyadi (2001) menunjukkan bahwa dosis pupuk

optimum untuk tanaman lidah buaya adalah 50 g Urea/tanaman, 18 g SP 36/tanaman dan 20 g KCl/tanaman. Aminah (2003) melaporkan bahwa dosis

pelepah terlebar pada semua perlakuan pemberian dosis pupuk kandang pada tanaman lidah buaya. Dari hasil penelitian Gintings (2003) diperoleh dosis optimum kalium 17.9 g KCl/tanaman yang dapat menghasilkan bobot optimum 429 g pada umur 5 bulan setelah tanam. Hasil penelitian pemberian abu janjang kelapa sawit pada tanaman lidah buaya di lahan gambut Indragiri Hilir diperoleh dosis optimum abu janjang kelapa sawit adalah 97.9 g per tanaman (Kurnianingsih 2004). Pemberian hara mikro Fe, Mn, Zn, dan Cu pada tanaman lidah buaya dapat meningkatkan panjang pelepah lidah buaya dan hara Cu merupakan faktor pembatas pertumbuhan lidah buaya ditunjukkan dengan penurunan bobot basah pelepah sebesar 36.3% (Tatipata 2005)

Tanah Gambut

Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik yang terdekomposisi secara anaerobik. Hal ini bisa terjadi karena pembentukan gambut pada umumnya terjadi pada daerah cekungan dengan genangan air. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya akumulasi bahan organik dengan kondisi anaerob. Laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dari pada proses dekomposisinya karena kondisi anaerob dapat menghambat oksidasi bahan organik oleh mikro organisme. Penguraian bahan organik hanya dapat dilakukan oleh bakteri anaerob, cendawan, dan ganggang (Hakim et al. 1989). Istilah gambut sendiri berasal dari salah satu nama kecamatan (kecamatan Gambut) di daerah Kalimantan Selatan, karena pada awalnya tanah-tanah organik banyak diusahakan dan dikembangkan oleh suku Banjar (Sabiham 1996).

Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia, yang sebagian besar terletak di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia gambut tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya, akan tetapi tidak seluruh lahan gambut ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, hanya sekitar 5,6 juta hektar lahan gambut yang dapat dikembangkan (Subagyo et al. 1996). Gambut tropika umumnya memiliki kebasaan yang tinggi karena umumnya berada di dataran rendah sekitar lembah sungai dengan iklim

bercurah hujan tinggi. Gambut tropika juga memiliki sifat kering tidak balik (irreversible drying). Dalam pengelolaan lahan gambut perlu memperhatikan sifat-sifat gambut dengan sistem tata air untuk menjaga keseimbangan muka air sampai pada batas kritis. (Sumotarto 1998).

Berdasarkan sifat meneralisasinya atau dekomposisinya gambut dibagi atas tiga kategori yaitu : (1) fibrik adalah tanah gambut yang masih bersifat mentah, (2) hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami dekomposisi dan bersifat separuh matang, (3) saprik adalah tanah gambut dengan tingkat dekomposisi lanjut dan bersifat matang sampai sangat matang (Notohadiprawiro 1998)

Tanah gambut yang memiliki ketebalan tinggi (lebih dari 3 m) umumnya tidak subur karena vegetasi pembentuknya terdiri dari vegetasi yang miskin unsur hara yaitu tanaman dan pepohonan dengan kadar kayu tinggi yang memiliki sifat sulit terdekomposisi.Sifat kimia tanah gambut sangat beragam dari yang subur sampai yang sangat miskin. Berdasarkan kesuburannya gambut dibagi atas dua kategori yaitu ombrogenous dan topogenous. Topogenous lebih dapat dimanfaatkan bagi pertanian karena gambut topogenous mengandung relatif banyak unsur hara (Rismunandar 2001). Tanah gambut umumnya mempunyai kadar abu yang sangat rendah, dimana kadar abu dalam gambut merupakan gambaran kesuburan tanah gambut. Semakin tinggi kadar abu maka semakin subur gambut tersebut. Kadar abu gambut daerah tropika sekitar 1%. Kadar abu yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya kadar mineral yang berbeda. Semakin tinggi kadar abu akan semakin mempengaruhi kadar P2O5 dan K2O (Hardjowigeno 1996). Tanah gambut tropik pada umumnya memiliki lignin 60%, sedangkan komponen lain seperti selulosa, hemiselulosa dan protein umumnya 11%, hal ini karena bahan dasar gambut tropik adalah kayu-kayuan. Tanah gambut memiliki kadar hara relatif lebih rendah, baik unsur mikro dan makro, jika dibandingkan dengan tanah mineral. Umumnya kadar hara dalam gambut lebih rendah pada bagian bawah dibandingkan lapisan atas, karena sebagian besar unsur tersebut terlibat dalam daur hara dan kebanyakan tersimpan dalam vegetasi setempat (Driessen 1978).

Tanaman pada umumnya sulit tumbuh pada kondisi alami tanah gambut. Tanah gambut memiliki reaksi masam sampai sangat masam dengan KTK yang tinggi, dan kejenuhan basa yang rendah. Kondisi demikian tidak menunjang terciptanya laju dan penyediaan hara yang memadai bagi tanaman terutama basa-basa K, Ca, Mg, dan unsur mikro. Secara umum kejenuhan basa gambut harus mencapai 30% agar tanaman dapat menyerap basa-basa yang dibutuhkan (Soepardi dan Surowinoto 1982). Kadar bahan organik gambut menyebabkan hara mikro membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah tersedia (Stevenson 1982). Tingkat kesuburan gambut dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut yang ditentukan oleh sifat, bahan penyusun, dan tingkat dekomposisinya, semakin tinggi tingkat kematangan gambut akan semakin baik sifat fisik kimia tanahnya (Hardjowigeno 1996).

Berdasarkan karakteristiknya tanah gambut kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, maka diperlukan pengelolaan yang tepat untuk meningkatkan potensi gambut (Driessen dan Soepraptohardjo 1974). Banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan gambut bagi pertumbuhan tanaman dan bertujuan menambah hara ke dalam tanah untuk persediaan hara bagi tanaman. Upaya tersebut meliputi pemberian abu tanah gambut, pengapuran, pencampuran bahan gambut dengan tanah mineral dan pemupukan. Pemberian abu bakaran tanah gambut memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan tanaman kerena adanya tambahan hara dari abu, tetapi memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanah gambut tersebut (Ismunadji dan Soepardi 1984).

Hara pada Lahan Gambut dan Tanaman

Nitrogen

Kadar Nitrogen (N) pada tanah gambut berkisar 2 000 dan 4 000 kg N/ha pada lapisan 0 – 20 cm, dimana ketersediaannya bagi tanaman kurang dari 3 % dan selebihnya terdapat sebagai bahan organik yang komplek. Nisbah C

dan N pada umumnya lebar, maka N yang ada dalam tanah gambut kurang tersedia (Driessen 1978). Nitrogen tanah dalam kompleks organik dapat tersedia bagi tanaman apabila sudah diubah bentuk menjadi N anorganik melalui proses mineralisasi yang meliputi tiga proses yaitu aminasi, amonifikasi dan nitrifikasi (Stevenson 1982; Tisdale et al. 1985).

Hasil penelitian Nasoetion, Sudarsono, dan Soepardi (1977) pada tanah gambut Delta Upang dengan menggunakan 100 sampai 400 ppm N, setelah 4 minggu jumlah NH4+ terfiksasi berkisar antara 28 sampai 76%. Fiksasi tertinggi terjadi pada dosis 100 ppm N, dan menurun pada dosis yang lebih tinggi.

Berdasarkan fungsinya nitrogen termasuk ke dalam unsur yang berperan dalam penyimpanan energi dan transfer energi. Unsur N dalam tanaman banyak berperan dalam pembentukan dan pembelahan sel, sehingga unsur ini banyak ditemui pada bagian-bagian vegetatif tanaman (Gardner et al. 1991). Nitrogen dalam tanaman merupakan senyawa penyusun asam amino, asam nukleat dan purin, di dalam tanaman nitrogen dalam bentuk anorganik terakumulasi dalam bentuk nitrat (NO3-) dan nitrogen organik banyak ditemui dalam molekul protein (Jones et al. 1991).

Kadar nitrogen dalam tanaman rata-rata berkisar antara 2-4% dan bisa mencapai 6% dari bobot kering jaringan (Gardner et al. 1991). Nitrogen dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk bentuk ion nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+) yang kemudian diubah menjadi bentuk reduksi menjadi NH2- (Bennet 1994). Nitrogen merupakan hara yang mudah bergerak dalam tanaman, unsur N bergerak dari daun tua ke daun-daun yang lebih muda sehingga kadar N terbesar dalam tanaman terdapat pada daun-daun muda (Gardner et al. 1991). Kadar N total dalam jaringan tanaman akan menurun dengan meningkatnya umur jaringan tersebut (Jones et al. 1991).

Kekurangan nitrogen banyak ditemui pada daun-daun tua dibandingkan pada daun yang lebih muda. Gejala awal defisiensi ditandai dengan daun yang menguning dan klorosis karena terjadi penghambatan sintetis klorofil (Salisbury dan Ross 1992). Kekurangan nitrogen dapat mengganggu

pertumbuhan tanaman, gejala yang ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang kerdil dan menguning. Pada tanaman buah-buahan kadar N rendah dapat menyebabkan penurunan hasil panen baik secara kualitas dan kuantitas. (Gardner et al. 1991)

Kelebihan akan hara ini juga dapat berdampak negatif bagi pertumbuhan dan hasil tanaman, gejala yang ditunjukkan adalah daun yang berwarna hijau tua dan sukulen serta rentan terhadap serangan hama dan penyakit (Jones et al. 1991). Pertumbuhan tanaman pada kondisi N berlebihan menyebabkan tanaman menjadi kerdil. Hasil tanaman juga dipengaruhi oleh kondisi kelebihan unsur hara ini, misalnya pada kentang dapat menyebabkan ukuran umbi yang kecil dan dapat mengakibatkan buah tanaman tomat pecah pada saat matang, serta terjadi hambatan pada fese pembungaan dan pembentukan biji (Salisbury dan Ross 1992). Masitah (2003), melaporkan bahwa pemberian nitrogen 15 g/tanaman pada tanaman lidah buaya memberikan hasil bobot basah tanaman tertinggi dan terjadi penurunan bobot basah pada taraf nitrogen yang lebih tinggi.

Fosfor

Secara umum P pada tanah organik terdapat dalam bentuk senyawa fosfor organik, jumlahnya kurang lebih 75%. Bentuk P-anorganik dalam tanah berikatan kuat dengan besi, kalsium, dan alumunium (Tisdale et al. 1985). Dari ketiga bentuk ikatan tersebut yang penting adalah P-anorganik yang berikatan dengan kalsium, terutama dalam mono dan di-kalsium fosfat dimana bentuk ini yang paling tersedia bagi tanaman (Buckman dan Brady 1980).

Dalam tanah sebagian besar P-organik dijumpai dalam bentuk fitin, asam nukleat, dan asam fosfolipid. Ketiga P-organik tersebut merupakan 40-50% P-organik dalam tanah. Bentuk fitin merupakan bentuk yang dapat diserap langsung oleh tanaman (Tisdale et al. 1985) namun pada pH rendah fitin dapat tidak tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Fe dan Al menjadi Fe dan Al fitat yang sukar larut. Ketersediaan hara bagi tanaman banyak dipengaruhi

oleh pH tanaman, pada pH rendah P banyak diikat oleh Fe dan Al sedangkan pH terlalu tinggi P diikat oleh Ca, pH ideal bagi ketersediaan hara P adalah 6 sampai 7 (Hakim et al 1989). Kadar P dikatakan rendah pada tanaman bila kadarnya lebih kecil dari 60 kg /ha. Kadar P pada gambut lapis atas Riau berkisar antara 0,06-0,36% setara dengan 13 sampai 17,8 kg/ha (Suharjo dan Widjaja-Adhi 1976)

Fosfor berdasarkan fungsinya tegolong dalam hara yang berperan dalam penyusun dan transfer energi (Gardner et al. 1991). Hal ini disebabkan oleh fungsi P yang merupakan komponen dari ATP (Adenin Triphosphat) dan ADP (Adenosin Diphosphat) yang banyak berperan dalam banyak reaksi transfer energi (Salisbury dan Ross 1992). Di dalam tanaman P merupakan komponen pembentukan enzim dan protein seperti : ATP dan ADP yang berperan dalam transfer energi, DNA (Dioxyribulonukleotida Acid) dan RNA (Ribolusa nucleotide Acid) yang berperan dalam informasi genetik serta phitin (Jones et al. 1991).

Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion bervalensi tunggal H2PO4

-dan kurang diserap dalam bentuk ion bervalensi dua HPO4-2. Akar secara aktif menyerap P dari larutan tanah yang berkonsentrasi rendah dan menyimpannya dalam tanaman pada konsentrasi sampai lebih dari 1 000 kali (Gardner et al.

1991). Penumpukkan P dalam tanaman terjadi pada daun muda, dan biji yang sedang berkembang (Salisbury dan Ross 1992). Kadar P dalam jaringan tanaman berkisar antara 0.15 – 1.0% dari bobot keringnya, dan terbesar terdapat pada daun muda dan tangkai daunnya (Jones et al. 1991).

Gejala kekurangan P biasanya mulai tampak pada daun yang lebih dewasa, tanaman menjadi kerdil dan berwarna hijau tua, pertumbuhan tanaman menjadi lambat dan kerdil (Salisbury dan Ross 1992). Pada tanaman yang mengalami kekurangan P terjadi penimbunan gula yang ditunjukkan oleh pigmentasi antosianin pada bagian dasar batang dan urat daun (Gardner et al.

1991)

Kelebihan hara P menunjukan gejala defisiensi unsur hara mikro utamanya Fe dan Zn. Gejala kekurangan unsur hara Fe dan Zn yaitu terjadi

klorosis pada daun muda. Kelebihan hara P dapat mengakibatkan tergganggunya metabolisme dalam tanaman, kadar P lebih besar dari 100% dapat menyebabkan keracunan pada tanaman (Jones 1989).

Kalium

Kalium pada tanah gambut pada umumnya rendah karena K merupakan kation basa yang mempunyai afinitas rendah dan berikatan dengan asam organik, sehingga ikatannya mudah tercuci. Pemberian amelioran pada umumnya dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanaman. Abu tanaman pada tanah gambut berfungsi sebagai amelioran atau bahan pembenah tanah. Abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah dan kadar hara gambut dengan memasok hara dan mempercepat lapisan olah tanah yang lebih baik sifat fisiknya (Radjagukguk 1990).

Pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan hasil jagung, pH, daya hantar listrik, kadar kalium tanaman, kalium dapat ditukar, kadar boron tersedia bagi tanaman dan kadar boron dalam tanaman (Ginting 1990). Menurut Panjaitan (1983) abu janjang kelapa sawit dapat menaikkan pH tanah dimana semakin tinggi dosis abu janjang semakin naik pula pH tanah. Kurnianingsih (2004) melaporkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pH dari 3.2 menjadi 4, terjadi juga peningkatan P dan K pada lahan gambut sebesar 150.3 – 602.7 mg/100g P dan dan 78.3-141 mg/100 g K. Penggunaan limbah abu janjang kelapa sawit sebagai sumber hara kalium disarankan berdasarkan dosis pupuk KCl yang dianjurkan pada suatu daerah tertentu atau pH pada ketersediaan hara optimum.

Kalium termasuk dalam unsur hara esensial yang berfungsi dalam keseimbangan muatan listrik (Gardner et al. 1991). Penyerapan K dilakukan secara aktif dalam bentuk ion K+ dan translokasinya berlawanan dengan gradien listrik dan konsentrasi kimia. Kalium banyak dijumpai dalam tanaman bagian muda dan sedang aktif tumbuh seperti: tunas, daun muda, dan ujung

akar (Salisbury dan Ross 1992). Kadar kalium dalam tanaman biasanya berkisar antara 1-5 % dari bobot keringnya (Jones et al. 1991).

Unsur K dalam tanaman berperan aktif dalam translokasi gula pada pembentukan pati, proses membuka dan menutupnya stomata, efesiensi penggunaan air, memperluas pertumbuhan akar dan meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Kalium mudah disalurkan dari organ dewasa ke organ yang muda maka gejala kekurangan unsur hara ini tampak pertama kali pada daun tua. Pada kebanyakan tanaman monokotil seperti serealia gejala ditandai dengan kematian sel pada ujung dan tepi daun dan nekrotis ke bawah sepanjang tepi menuju bagian daun yang muda (Salisbury dan Ross 1992). Kadar K yang tinggi dalam tanaman akan menyebabkan kekurangan hara Mg atau Ca dalam tanaman. Gejala kelebihan K pertama kali menunjukan adanya kekurangan unsur hara Mg terlebih dahulu dibandingkan Ca (Jones et al. 1991)

Kalium di dalam tanaman memiliki peran penting dalam mengatur tekanan osmotik tanaman yang menyebabkan pergerakan air ke dalam akar. Tanaman yang mengalami kekurangan K akan memiliki ketahanan terhadap kekeringan yang rendah dibandingkan tanaman yang cukup K (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Fungsi lain dari K adalah dalam pembentukan dinding sel, pada tanaman yang memiliki K yang cukup memiliki dinding sel yang tebal, jaringan yang lebih stabil dan tahan terhadap hama dan penyakit. Pada tanaman sayuran pemberian K yang cukup akan memiliki daya tahan hidup yang lebih baik (Bennet 1994)

Pada pemberian N rendah (13.8 g/tan) dan K tinggi (16.2 g/tan) pada tanaman lidah buaya dapat meningkatkan tebal daun 6% dan bobot basah daun 87% dibandingkan dengan pemberian N rendah (13.8 g/tan) dan K rendah (10.8 g/tan) (Supriyadi 2001). Pemberian abu janjang dengan kadar K2O 26% secara nyata meningkatkan kadar hara K pelepah lidah buaya sebesar 171.8 % (Kurnianingsih 2004).

Magnesium

Magnesium merupakan kation basa, sama halnya dengan kalium yang mempunyai afinitas rendah dan berikatan dengan asam organik, sehingga ikatannya mudah tercuci yang menyebabkan ketersediaannya rendah pada lahan gambut. Pemberian abu janjang pada lahan gambut dapat meningkatkan kadar hara Mg dalam tanah dari 16.8 me/ 100 g menjadi 29.9 me/100 g, tetapi hal tersebut tidak diikuti peningkatan kadar hara Mg (0.21% - 0.22%) pada jaringan kulit pelepah lidah buaya, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan hara Mg untuk memenuhi kebutuhan tanaman (Kurnianingsih 2004). Penambahan dolomit (CaCO3.MgCO3) dengan kadar MgO 47%, 4 ton/ha yang diamati 3 minggu setelah tanam sangat nyata meningkatkan kadar Mg-dd dan pH pada gambut (Limin 1992). Pemberian dolomit 1 gram/pot pada percobaaan semai Pinus merkusii pada medium sapih tanah gambut memberikan hasil yang paling baik terhadap pertumbuhan bibit (Muin 1988)

Berdasarkan fungsinya magnesium termasuk ke dalam unsur hara esensial yang berfungsi dalam keseimbangan muatan listrik (Gardner et al. 1991). Penyerapan magnesium dilakukan secara aktif dan pasif dalam bentuk Mg2+, transpor terutama terjadi dalam aliran transpirasi. Magnesium merupakan pusat molekul klorofil yang merupakan khelat-Mg dalam kloroplas. Di samping terdapat dalam klorofil, Mg juga bergabung dengan ATP dan menjadikan ATP berfungsi dalam berbagai reaksi, mengaktifkan beberapa enzim yang diperlukan dalam fotosistesis, respirasi dan pembentukan DNA serta RNA (Salisbury dan Ross 1992). Kadar klorofil terbesar terdapat pada daun, akan tetapi Mg juga banyak terdapat dalam biji. Hal ini berhubungan dengan fungsi lain dari fosfor yaitu sebagai pengangkut P dalam tanaman (Jones 1989)

Secara umum kadar Magnesium didalam tanaman berkisar 0.15 – 1.0% dari bobot kering jaringan. Pada sebagian besar tanaman, kadar Mg pada tingkat kecukupan berkisar 0.25% dari bobot kering tanaman. Batas kritis kadar hara ini sangat bervariasi, tanaman Leguminosa memiliki kadar kritis jaringan lebih rendah dan batas kritis kadar hara tertinggi dimiliki oleh beberapa tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan (Jones et al 1991). Pemberian Mg pada tanaman lidah

buaya mampu meningkatkan kadar klorofil daun sebanyak 30%, jumlah daun 11%, lebar daun 10%, panjang daun 11%, tebal daun 11%, bobot basah daun 43%, tinggi tanaman 11% dan bobot basah tanaman 43% dibandingkan tanaman tanpa perlakuan (Supriyadi 2001).

Gejala kekurangan Mg pertama kali terlihat adanya klorosis pada daun tua, biasanya klorosis tampak pada urat-arat daunnya (Salisbury dan Ross 1992). Kelebihan hara Mg tidak menunjukkan gejala yang spesifik, kadar P yang tinggi (> 1.0 %) pada jaringan daun dapat menyebabkan kekurangan unsur hara Ca atau K. Pada kadar hara Mg tinggi dalam jaringan terjadi ketidakseimbangan kadar Mg, Ca, dan K dalam tanaman, hal ini dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan tanaman (Jones 1989).

Serapan Hara, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman

Penyerapan hara oleh akar tanaman dilakukan dengan cara (1) pertukaran kontak, (2) pertukaran ion tanah dengan H di dalam musigel, (3) difusi ion sebagai respon terhadap landaian kimia, (4) aliran masa ion ke dalam akar sebagai respon perbedaan kelembapan, (5) pemanjangan akar ke sumber ion (Gardner et al.

1991). Penyerapan hara dapat berlangsung secara aktif dan pasif, penyerapan secara aktif ion melintasi membran sitoplasma, plasmalema, dengan energi dari senyawa-senyawa fosfat berenergi tinggi (ATP) yang dihasilkan melalui respirasi (pompa ion) (Hakim et al. 1986). Penyerapan pasif merupakan proses penyerapan hara secara fisika dimana ion bergerak bersama air tanpa melibatkan proses metabolik.

Serapan hara oleh tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor dari tanaman itu sendiri maupun lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi seluruh metabolisme tumbuhan berpengaruh terhadap serapan hara oleh akar. Hal ini berkaitan dengan energi yang dihasilkan oleh proses metabolisme yang kemudian digunakan dalam proses serapan hara oleh akar. Faktor kepadatan tanah juga dapat menyebabkan penurunan serapan hara oleh akar, dimana pada tanah tanah padat terjadi penurunan ketersediaan oksigen yang

Dokumen terkait